Sudah 3 bulan berjalan setelah hari pertemuan pertama siswa baru. Sekarang Dazzle dan teman-temannya sudah mulai melakukan persaingan untuk menjadi yang terbaik di setiap pelajaran. Dazzle mengakui, semakin ke sini banyak sekali hal yang terjadi padanya. Dari mulai namanya yang tiba-tiba muncul di obrolan circle anak kelas tingkat akhir, OSIS, juga teman seangkatannya. Dazzle mengaku tidak nyaman ketika ada saja dari sekumpulan mereka yang dengan sengaja menganggu ketenangan nya. Pernah di suatu hari Dazzle sedang duduk sendiri di pojok baca, ada seorang anggota basket datang memberikan banyak sekali pertanyaan yang menurutnya tak penting sama sekali. Dazzle bisa menebak, mereka punya niat nya sendiri untuk mendekati nya.
"Harus banget bermuka dua gitu ya? Di depan manis di belakang keluar bejatnya," gumamnya asal
Tapi sayangnya .....
"Siapa yang lo maksud?"
Suara briton yang sudah Dazzle pastikan dia adalah seorang laki-laki, kakak kelasnya mungkin.
Dazzle membalikkan tubuhnya menghadap ke arah pusat suara. Dugaannya benar, dia adalah kakak kelasnya.
Farhan Giantara Saddam, anak kelas 11A IPA1. Terkenal dengan wajahnya yang tampan dan memiliki sifat yang arogan. Kata tiap kata yang keluar dari mulutnya mampu membungkam siapa saja. Hebatnya, dia berhasil menduduki peringkat pertama di sekolah selama 2 semester berturut-turut. Di gadang-gadang menjadi ketua tim basket untuk menggantikan posisi ketua sebelumnya.
Farhan tersenyum miring, netranya seperti mengunci lawan bicaranya. Tapi sayang, Dazzle tak takut. Pikirnya, sifat laki-laki ini tak jauh berbeda dengan sifat kakak nya sewaktu masih menjadi anak sekolah.
"Dia. Temen lo bukan?" tanya Dazzle santai dengan wajah datarnya.
Farhan melihat ke arah yang di tunjuk oleh Dazzle. Memicing kan matanya karna jaraknya yang jauh juga sinar matahari yang membuat nya silau.
"Oh si Raga. Dia, ngapain lo?"
Sepertinya Farhan penasaran.
Dazzle mengernyitkan dahinya sebelum menjawab
"Khm, cuma nanya aja. Kali aja dia gangguin lo," ucapnya lagi
"Enggak di ganggu yang gimana-gimana, cuma berisik aja. Banyak nanya yang gak penting. Basa-basi yang terlalu basi," sahut Dazzle dengan pandangan mata lurus menerobos ke dalam netra Farhan.
Farhan mengerjap kaku, bisa-bisanya ia terperangkap dalam tatapan gadis yang jadi incarannya untuk balas dendam ini.
"Gue Farhan, temen Kakak lo Danzel,"
Dazzle hanya mengangguk, lalu memberikan tanya lewat ekspresi wajahnya.
"Gue gak ada maksud apa-apa. Pengen kenal aja, soalnya lo tiba-tiba jadi gunjingan hangat temen-temen gue,"
Dazzle mengernyit bingung.
"Kenapa? Gue gak kenal kalian,"
Farhan tertawa meremehkan
"Lo gak kenal kita, tapi kita kenal lo karna lo adik dari Danzel. Kakak lo yang pernah buat gue dan teman-teman gue terinjak-injak,"
"Terus hubungannya sama gue apa? Lo ada urusannya sama Danzel ya selesaiin aja sama Danzel gak usah bawa-bawa gue,"
Kini Farhan menatap Dazzle tajam.
"Perbuatan Kakak lo, harus lo yang bales. Danzel tutup mata, telinganya tuli, dia gak pernah ngaku kalau dia salah. Dan lo, sebagai fotokopi nya Danzel, harus tanggung jawab. Lo ngerti?!?"
Dazzle diam. Semua kata yang terucap dari mulut Farhan membungkam Dazzle habis-habisan.
"Stop, jangan bawa-bawa gue ke urusan kalian,"
Dazzle pergi dengan cepat. Wajahnya sudah pucat, tangannya gemetar, pikirannya melayang jauh mencari banyak jawaban dari banyaknya pertanyaan.
"Sebenernya ada apa? Kak Danzel ngapain mereka sampai harus aku yang harus mereka jadikan sasaran balas dendam"
Dazzle jalan menunduk tanpa melihat ke sekitar, sampai tak sadar....
BRAK!
Dazzle menabrak seseorang.
"Sorry sorry gue gak sengaja, sorry ya sorry,"
Belum sempat melanjutkan jalannya, tangannya sudah di cekal. Di genggamnya erat-erat sampai kuku tajamnya menusuk ke kulit Dazzle.
Dazzle meringis kesakitan, tapi cengkraman tangan itu tak kunjung di lepas olehnya.
"Sakit ya?"
Suara itu. Dazzle kenal dengan suara itu. Gabriella, si primadona sekolah yang tak sengaja dia tabrak. Sudahlah, Dazzle hanya bisa pasrah. Ia sendirian, tak akan ada yang bisa menolongnya meskipun mereka bisa.
"PUNYA MATA GAK?!?? BAJU GUE BASAH GARA-GARA LO,"
Suara bentakan Gabriella menggema ke seluruh koridor kelas. Siapa saja yang mendengarnya pasti akan bergidik ngeri.
"El, langsung aja deh. Bawa ke tempat biasa. 2 jam ini kita jamkos, cukuplah ya waktunya buat lo,"
Dengan gerakan yang cepat, Gabriella menyeret tangan Dazzle untuk di bawanya ke suatu tempat.
Di sebuah gudang di pojok sekolah. Tempat Gabriella dan para antek-antek nya biasa menghabiskan waktu. Bebas dari cctv dan pengawasan yang lain, di sini mereka bebas melakukan apapun.
Tubuh Dazzle di hempaskan dengan kasar. Tatapan matanya tajam mengunus. Gabriella, dengan emosinya yang sudah tak tertahankan melayangkan tamparan pertama nya dengan kencang. Dazzle hanya diam dan meringis kesakitan.
"GARA-GARA KAKAK LO, GUE HARUS NANGGUNG MALU. GARA-GARA KAKAK LO, GUE HARUS BOLAK-BALIK PSIKOLOG. Dazzle, Kakak lo hampir bunuh gue dengan sikap dinginnya. Gue di perlukan kayak di budak setelah dia tau GUE SUKA SAMA DIA,"
Gabriella, menumpahkan segala amarahnya pada Dazzle akibat perbuatan yang di lakukan Danzel.
Dazzle hanya diam mendengarkan segala makian yang di berikan oleh Gabriell.
"El udah, El. Udah sejam. Biarin sisanya dia beresin diri, udah berantakan banget itu,"
Gabriella menurut dan segera pergi meninggalkan Dazzle seorang diri. Kepergian Gabriel membuat Dazzle sedikit lebih lega. Tubuhnya benar-benar sudah tidak sanggup lagi, energinya sudah terkuras habis.
Dazzle berusaha menenangkan dirinya sampai bel pulang sekolah berbunyi. Untungnya, tak ada yang menyadari keadaannya yang begitu menyedihkan.
"Dazz, lo beneran di pojok baca sampai ketiduran kan?"
Kali ini Hanna kembali memastikan. Ia merasa ada banyak hal yang Dazzle sembunyikan
Dazzle tersenyum hangat
"Beneran, gue beneran ketiduran. Makasih udah nelfon gue ya,"
"Dazz, semua catetan yang bisa gue catet untuk ujian besok udah ada di tas lo,"
"Kisi-kisi nya juga udah ada. Tadi gue minta sama kelas sebelah,"
Dazzle menarik napasnya perlahan, ada sesak yang ia berusaha sembunyikan.
"Semangat ya!!!"
Dan setelahnya mereka keluar kelas dan berpisah.
...
Seperti biasa Dazzle di jemput oleh Danzel yang menunggunya cafe. Kali ini Dazzle tak melihat ada keanehan dalam diri Danzel semua seperti baik-baik saja.
Akan tetapi, Dazzle melihat satu botol obat kecil yang ada di meja dan baru saja di buka oleh Danzel.
"Itu, obat apa? Danzel sakit?"
Langkah nya melambat, Dazzle ingin melihat Danzel menegak obat itu. Dazzle terkejut, obat itu benar-benar di minum oleh Danzel.
Dazzle mempercepat langkahnya, dan,
"Kamu sakit, Kak?"
Danzel terkesiap saat mendengar suara Dazzle. Ia berpikir, kenapa langkah kaki Dazzle seperti tak bersuara.
Danzel tersenyum.
"Enggak, aku sehat. Ini cuma vitamin,"
"Kamu bisa bohongin orang lain, tapi kamu gak bisa bohongin aku, Kak"
Danzel tersenyum lagi.
"Kamu, khawatir ya?"
"Gak boleh?"
"Boleh, sini duduk dulu,"
Dazzle menurut dan duduk di sebrang Danzel
"Gimana hari ini?"
"Kak, akhiran ini kamu selalu nanya kayak gini. Kenapa? Papa yang nyuruh buat mantau aku?"
"Enggak, aku emang mau nanya. Papa kan tau nya kamu bisa dapet juara doang,"
Dazzle diam. Dia bingung harus bagaimana menjawab pertanyaan Danzel
"Kenapa diem? Kamu gak di apa-apain mereka kan?"
Oke, cukup. Dazzle akan memberitahu nya. Ia mengambil tissue basah di tasnya, mengusap pipinya yang sebelumnya ia tutupi oleh concealer. Danzel terkejut melihat ada bekas tamparan di sana.
"Kamu di apain mereka?! Jawab aku Ay,"
Wajah Danzel yang semula tenang kini kembali panik.
"Justru harusnya aku yang tanya kamu, Kak. Kamu apain mereka sampai jadiin aku sasaran bahan balas dendam mereka?"
Dazzle tersenyum melihat kearah Danzel yang keringatnya sudah mulai bercucuran.
"Mereka bilang aku fotocopy kamu. Aku mirip banget sama kamu, ini jadi alasan kenapa mereka jadiin aku pelampiasan balas dendam mereka. Kamu apain mereka, Danzel?"
DEG
Ini pertama kalinya Dazzle menyebutkan namanya tanpa embel-embel "Kak"
Lagi-lagi Danzel di buat tak berdaya. Dazzle tersenyum penuh arti di sana, tak ada yang bisa menebak apa arti senyuman Dazzle yang ia berikan pada Danzel
"Danzel, aku cuma mau sekolah dengan baik tanpa ada yang gangguin aku. Aku udah cukup tenang karna punya temen yang beneran tulus mau temenan sama aku. Bisa gak, kamu urus ini? Jangan libatin aku, Danzel. Raga aku udah gak sanggup buat nerimanya,"
Danzel tertegun
"Hari ini, aku gak mau pulang sama kamu. Aku mau pergi ke suatu tempat. Kamu bisa pergi sendiri sekarang. Aku permisi,"
Setelah nya Dazzle beranjak meninggalkan Danzel sendirian.
...
Dazzle sudah membuat janji dengan Kayani untuk membawanya pergi ke psikolog. Ada beberapa hal yang ingin ia tanyakan karna Dazzle sudah sering merasakannya 3 bulan terakhir.
Di perjalanan bersama Kayani, Dazzle hanya diam. Kayani mengerti, Dazzle sudah menceritakan keadaannya saat pulang sekolah tadi. Kayani cukup kasihan dengan Dazzle, ia hanya ingin berjalan untuk terus hidup. Sudah ada banyak sakit yang ia rasakan, ia hanya ingin sekali hidup tenang tanpa ada hal buruk yang merusaknya perlahan.
Keheningan menyelimuti sangat dalam. Kayani enggan mengganggu Dazzle, ia akan memberikan waktu yang banyak untuk Dazzle menenangkan diri dan pikirannya.
Sampai akhirnya
"Penyakit mental itu, beneran ada ya, Kak? Aku gak pernah mikir buat ke psikolog karna aku ngerasa aku baik-baik aja. Sebenernya ya enggak, tapi aku masih bisa kontrol walaupun rasanya sakit banget. Selama ini, aku belum pernah cerita ke siapa-siapa selain buku diary aku, juga ke kamu,"
Kayani masih diam, belum ingin menjawabnya
"Selama ini, aku berusaha hidup baik-baik aja di depan banyak orang. Mereka taunya aku sehat, dan aku tau nya aku juga sehat. Gak aku sangka, kalau ternyata Danzel punya penyakit mental. Dia punya PTSD, aku liat dari resep dokter juga obat yang dia minum hari ini pas jemput aku di cafe,"
Kayani sedikit terkejut, ternyata semua senyum ramah Danzel hanya untuk menutup dirinya yang memiliki gangguan mental
"Kamu serius, Dazz? Kamu gak salah liat?"
Dazzle menggeleng.
"Tulisannya jelas, dan aku gak bodoh Kak. Bentuk obatnya sama kayak punya temen deket ku Dalila,"
Lagi, Kayani di buatnya terkejut.
"Kamu pasti gak sadar, kalau ada banyak manusia yang memakai topeng untuk menutupi dirinya yang asli. Mereka yang ceria, aktif, punya banyak relasi, menerima segala hal buruk juga baik di satu waktu. Padahal, jiwa mereka yang asli nangis. Mereka sakit, mereka udah gak sanggup. Demi menuhin ekspetasi dunia, banyak dari mereka yang pakai topengnya,"
Kayani mengangguk membenarkan
"Ada senyum di balik tangis. Itu kamu Dazz. Kamu punya senyum yang cantik tapi juga punya tangis yang pilu. Entah, udah ada berapa banyak liter air mata yang udah kamu buang demi nutupin semua rasa sakit yang kamu rasain,"
Dazzle tersenyum, kali ini ucapan Kayani tepat sasaran.
"Aku seneng, Kak, tapi aku juga sedih. Aku seneng karna temen-temen satu angkatan ku banyak saling dukung walaupun diem-diem. Sekolah cuma kayak neraka kalau para primadona sekolah buat onar. Gabriella, Farhan, mereka orang-orang berisik yang buat sekolah jadi tegang. Dendam yang mereka punya untuk Danzel, di lampiasin ke aku demi memuaskan amarah mereka,"
Kayani meremas kuat setir pengemudi, seperti ada rasa kesal saat mendengar penuturan Dazzle.
Perjalanan kali ini sedikit panjang. Hingga akhirnya, mereka sampai tempat tujuan. Dazzle akan mencari tahu keadaan dirinya yang sebenarnya, sudah terlalu banyak sakit yang ia tanggung, dan ini saatnya ia berusaha menyembuhkannya walau harus menggunakan rumus sabar.
....
2 jam berlalu, Kayani membantu Dazzle mengambil resep dokter untuk Dazzle. Dazzle telah di diagnosa mempunyai Gangguan mental PTSD. Obat yang dia dapat juga sama seperti milik Dalila dan Danzel. Senyum hambar terukir di wajahnya
"Mental ku sakit ternyata," gumamnya dalam hati.
"Dazz, kamu yakin gak mau kasih tau hal ini ke keluarga kamu?"
Dazzle menggeleng.
"Kata dokter, Ibu juga Danzel penderita yang sama. Ibu baru di nyatakan sembuh 2 bulan yang lalu, sementara Danzel tiba-tiba kambuh lagi. Papah? Yang ada aku habis di tangannya,"
Kayani menatapnya iba
"Aku akan berusaha sembuh, Kak. Aku akan berusaha buat jadi diri aku yang baru. Aku janji, aku sendiri yang bakalan nentuin langkah aku,"
Kayani mengangguk mengerti
"Pelan-pelan aja, semuanya ada prosesnya sendiri kamu tau kan?"
Dazzle mengangguk.
"Selama ini, aku selalu cari jawaban tentang siapa aku yang sebenarnya. Kenapa aku harus sendirian pas aku sakit. Ternyata ini jawabannya. Ibu sakit, Kakak sakit dan semua ini karna ulah Papah. Kak Kay, aku bisa hidup sampai sekarang aja udah bagus banget,"
Dazzle menghela napas nya berat.
...
Di kamar yang penuh cerita ini, Dazzle membiarkan dirinya tenggelam dalam diam. Duduk menghadap ke arah balkon yang menampilkan langit-langit penuh bintang. Dazzle tersenyum lalu kembali murung.
"Aku mau jadi bintang. Aku mau jadi bagian dari mereka. Hidup sebagai manusia yang bergelimang harta gak cukup. Kasih sayang juga kehangatan di dalamnya harus ada. Tapi, aku gak ngerasain itu semuanya. Keluargaku terang kayak bintang di mata mereka. Tapi gelap di mata penghuninya,"
Dazzle bergumam sembari menatap bintang-bintang yang dengan senangnya memantulkan cahaya dengan bebas.
Tiba-tiba handphone nya berbunyi, ada satu pesan masuk di sana.
Kak Zel
Keluar, aku di balkon.
Dazzle berdiri dan keluar, melihat Danzel dengan satu botol alkohol yang sudah habis setengah
"Danzel.....mabok....?"
Dazzle terkejut, tapi segera menyembunyikan keterkejutannya.
Danzel menoleh ke arah Dazzle dan tersenyum.
"Aku denger kamu ngomong tadi. Aku ngerti, kenapa kamu gak berharap lahir di keluarga ini. Aku ngerti, kenapa kamu lebih sering ngobrol sama Kayani di banding sama keluarga kamu. Aku ngerti sekarang, Ay,"
Dazzle berjalan ke pembatas balkon. Angin malam menyapu helaian rambutnya yang sedikit berantakan.
"Aku juga ngerti, kenapa kamu sama ibu gak pernah nolongin aku waktu Papah marahin aku. Ibu baru sembuh dari sakit mentalnya, dan kamu kambuh lagi akhir-akhir ini. Aku bener kan?"
Danzel terkejut. Tak pernah ia sangka bahwa Dazzle akan mengetahuinya secepat ini.
"Aku habis ke psikolog tempat kalian konsultasi. Dokter nya tau aku bagian dari keluarga Lee makanya aku tanya semua yang aku mau tau,"
Dazzle menjeda sebentar ucapannya
"Temen deket ku, Dalila juga punya gangguan mental. Semua di sebabkan oleh keluarga yang punya ekspektasi ketinggian. Dalila stress dan hampir mau percobaan......,"
Dazzle kembali diam, ia tak sanggup mengucapkannya mengingatkan bagaimana menyedihkan hidup Dalila di balik gemerlap nya dunia
"Jangan di lanjut kalau gak bisa, aku paham," ucap Danzel
Dazzle menoleh lalu tersenyum
"Kak Zel...."
Danzel menoleh
"Jangan pakai topengnya lagi. Aku tau kamu juga sakit. Urusan kamu sama temen-temen kamu, aku harap kamu bisa beresinnya pelan-pelan. Aku cuma hidup dengan baik, Kak. Aku gak mau punya musuh,"
"Ay, aku boleh ke kamar kamu gak?"
Dazzle mengernyit bingung
"Mau peluk,"
Dazzle tersenyum mengangguk. Tanpa pikir panjang Danzel lompat dari balkon kamarnya ke balkon kamar Dazzle dan langsung memeluknya erat penuh sayang
"GILA YA KAMU?!?! KALAU KAMU JATUH GIMANA?!?!"
Danzel tak peduli ia hanya ingin memeluk adiknya yang sudah banyak menanggung sakit yang tak pernah terlihat
"Maaf, maafin aku,"
Hanya itu, hanya kata itu yang keluar dari mulut Danzel. Dazzle membalas pelukannya, ikut memberikan kehangatan di malam yang dingin.
...
Bagian dari Puzzle kehidupan Dazzle Lee perlahan menemukan potongannya. Saling menyatukan diri menjadi beberapa bagian. Belum terbentuk sempurna, ini baru bagian dari pojok tabs yang kosong. Masih ada banyak sekali bagian Puzzle yang terpencar. Dazzle mengerti, dalam hidup pasti ada yang namanya sakit. Sakit yang harus di obati dengan caranya masing-masing. Dazzle menyerah, dirinya tak sesempurna itu untuk mengobati luka yang di buat oleh keluarganya. Dazzle menyerahkan diri kepada dokter psikolog untuk membantu dirinya sembuh.
"Kak, aku harap kita semua bisa sembuh dan memulai kehidupan yang baru,"
Danzel tersenyum. Botol alkohol yang semula ada di tangannya kini sudah lenyap entah kemana. Danzel akan kembali mencoba berdiri untuk melawan segala ketakutannya. Tangis yang bersembunyi dalam senyum, membuatnya sadar akan segala kepura-puraan nya selama ini.