Sora tersentak ketika sekaleng soda dingin menempel di pipinya. Senyumnya terbit ketika dari mana soda itu berasal.
Sora menegakkan kepalanya yang sedari tadi menempel ke mejanya. Kepalanya pusing setelah mengerjakan ujian Kimia dan Matematika.
"Kepala lo udah berasap banget rupanya," ucap Rai sambil menaruh kaleng Soda yang sudah ia buka ke tangan Sora.
"Pusing banget. Emangnya lo nggak pusing?" tanya Sora.
Rai mengangkat bahunya. "Prinsip gue belajar, kerjain, lupain. Nilai bagus bonus, nilai jelek ya udah tinggal belajar lebih giat lagi."
Sora meminum soda pemberian Rai sambil memperhatikan Rai yang masih tinggal di tempatnya. "Kenapa belum pulang?" tanya Sora.
Agenda antar jemput Sora tidak bisa dilakukan Rai setiap hari lagi. Papa Sora menyuarakan keberatannya atas tindakan Rai, karena Rai rutin antar jemput papa Sora jadi tidak lagi memiliki kesempatan mengantar Sora ke sekolah.
Rai bersyukur papanya Sora masih memperbolehkannya menjemput atau mengantar Sora walau tidak setiap hari. Jadi Rai hanya menjemput Sora ketika papanya tidak bisa mengantar ke sekolah. Untuk mengantar Sora pulang itu terserah Sora saja.
"Karena lo belum mau pulang?" Rai mengangkat satu alisnya.
"Sebentar, ya. Gue perlu isi energi dulu."
Rai mengiyakan dan beralih duduk di bangku Anya, sebelah bangku Sora. Sora menghabiskan sodanya, lalu kembali menaruh kepalanya ke atas mejanya sambil menghadap Rai. Soal-soal kimia dan matematika sudah menguras tenaganya.
Rai ikut-ikut menaruh kepalanya di atas meja menghadap Sora, sudah seperti drama Korea yang sering Bunda tonton. "Makan yang banyak, Ra, sebelum ujian," kata Rai.
"Udah kok. Tapi pas lihat soal langsung lemes lagi."
"Kalau gitu lihat gue aja biar semangat lagi."
Mata Sora melotot, mulutnya menganga. Semakin hari Rai semakin pintar ngalus. Cuman tetap aja Sora kaget. Biasanya job goda-menggoda itu miliknya, tapi sekarang malah kebalik.
Rai tersenyum geli melihat Sora melonggo. Reaksi kaget Sora sangat lucu di matanya.
"Gaul mulu sama Chiko lo jadi pintar ngalus, ya," balas Sora seusai sadar dari keterkejutannya.
"Gue lebih sering gaul sama lo. Jadi gue belajar langsung sama ahlinya."
"Gue nyesel deh Rai."
"Kenapa?"
"Nggak godain lo dari kelas sepuluh. Setiap lo salting tuh lucu."
Terus kalau gue udah baper gimana, Ra?
"Yuk, dah! Energi gue udah kumpul dua puluh persen." Sora menegakkan kepalanya.
"Gara-gara gue semperin semangat lagi kan lo!" Rai beranjak, mengacak-acak rambut Sora.
"Tapi lo itu sering datang dan pergi, udah kayak lagunya Letto Ruang Rindu!" cibir Sora. Aksi ngambek Rai memang sulit ditebak.
"Udah lama masih dibahas aja. Kita kan udah deket banget ini."
Kalau gue tembak sekarang mau? Kok jadi ngegas banget gue?
Rai meringis. Ia menarik tangan Sora dan digenggamnya. "Gua nggak bakal pergi-pergi lagi kok."
Sora sedikit mendongak untuk menatap Rai. Air muka Rai terlihat serius. Sora menenguk salivanya. Harusnya ia udah nggak kaget sama tingkah Rai yang sulit ditebak, tetapi sekarang efek yang dia terima berbeda.
Ia jadi deg-degan.
🍬🍬🍬
"Tingkah lo hari ini aneh banget, Ra," ungkap Milo. Ya, gimana nggak aneh dari tadi Sora kalau nggak ngelamun ya nggak bisa diam pas duduk, entah kakinya goyang-goyang, ngebolak-balik halaman novel yang Milo yakin belum dibaca sama Sora. Sora kelihatan gelisah.
"Tingkah temen lo tuh yang aneh, Mil," balas Sora.
"Rai?"
"Emang lo punya temen lain selain Rai?"
Milo berdecak sebal. "Punyalah!"
Sora mendengus. Selain penuh sama rumus-rumus fisika kepalanya juga dipenuhi nama Rai. Tindak-tanduk Rai sukses membuatnya kepikiran terus.
Setelah cowok itu tiba-tiba menjauhinya, selanjutnya tanpa diduga Rai jadi boom! Berubah 180 derajat.
Tidak tidak, bukan berubah jadi Spiderman, Iron Man, Edward Cullen, Peeta, Luke Danes, atau pun Jess Mariano. Sifat Rai jelas sekali berubah jadi lebih perhatian dan ucapan nyelekit cowok itu mulai berkurang. Perdebatan mereka juga sudah jarang terjadi.
Selama ngejauhin gue Rai nggak makan yang aneh-aneh kan? Atau kepalanya ke bentur sesuatu gitu?
"Emang Rai ngapain lo sampai lo jadi gegana gini?" tanya Milo.
"Gegana?"
"Ya elah masa nggak tahu sih! Gelisah galau merana!"
"Rai jadi kayak bukan Rai, Mil." Sora jadi merengek. "Sejak kapan sifat Rai jadi manis, ya dia manis sih, cuman kan dia dulu sering banget ngedebat atau mencibir gue tapi sekarang tiba-tiba nggak kan aneh!"
"Ya, masa dia mau mencibir lo seumur hidup dia?"
Sora menggoyang-goyangkan lengan Milo rusuh. "Nggak gitu, Miloo! Sama lo dia bertingkah manis juga?"
"Kayak gimana?"
"Kasih balon t-rex?" tanya Sora bergumam.
Kejadian balok t-rex itu sudah lama sekali, tetapi masih melekat jelas dalam ingatan Sora. Rai memberikan balon itu sebelum aksi Rai ngambek. Bisa dibilang adalah satu dua sikap manis Rai sebelum ngambek.
"Lah? Ngapain dia ngasih balon t-rex ke gue? Mending kasih duit bisa buat gue beli novel!"
"Rai nggak kenapa-napa ya kan, Mil?"
Sebenarnya Milo ingin tertawa keras di atas kebingungan dan ketidakpekaan Sora. Tapi Milo menahannya takut nanti Sora tambah bingung. "Coba tanya langsung ke orangnya," sarannya.
"Nanti deh."
Sora menaruh novel yang dibawanya ke atas meja. Ia mendesah pelan, menempelkan satu telepak tangan pada pipi dan kenumpu siku di atas meja. "Gue takut, Mil."
"Takut kenapa? Balon t-rex nggak bakal makan lo," jawab Milo ngawur.
"Kalau gue baper gimana?"
Mata Milo membelalak dan mulutnya menganga. "Baper? Sama siapa? Novel? Balon t-rex?"
"Balon t-rex warna ijo yang udah kempes di pojok kamar gue!"
Sekarang Milo ingin segera berlari memeluk Rai dan berkata usahanya dikit lagi akan berhasil. Ia juga akan minta PJ, ada tiga novel yang mau PO bulan depan.
🍬🍬🍬
"Omongan gue tuh nggak pernah meleset, Ra. Jadi percaya sama gue!" Davian beralih duduk di depan Sora agar lebih puas menceramahi sahabatnya.
"Kan udah gue bilang dia itu ada benih-benih cinta sama lo. Sekarang dia mulai berani ngegas lo! Ah, lama-lama gue jadi dukun percintaan dah," lanjut Davian.
Sora mendengar penuturan Davian sambil mencoret-coret acak belakang buku tulisnya. Rencana belajar bersama mereka sudah bubar gara-gara aksi curhat colongan Sora.
"Terus gue harus gimana seandainya apa yang lo katakan itu bener?" tanya Sora.
"Kata lo kalau dia nembak lo, lo bakal terima!"
"Ya ... Nggak gitu. Waktu gue asal nyeplos aja. Waktu itu gue mikirnya nggak mungkin seorang Rai suka sama gue, ngelirik aja nggak."
"Perasaan lo ke Rai itu gimana? Sama kayak yang lo rasain ke Aksel dulu atau ke Aksel yang sekarang?"
Kesal Sora memukul kepala Davian dengan bukunya. Pengandaian yang dipakai Davian itu menyentilnya. Iya, tahu dia dulu ada perasaan suka, cinta, romantis, dan apalah itu namanya, cuman nggak perlu diungkit-ungkit lagi.
Davian tidak tahu saja dulu Sora pernah menangisi Aksel di awal-awal memutuskan untuk pergi bahkan sebelum mereka ada ikatan. Di sekolah Sora bertingkah biasa saja, tapi tidak ada yang tahu jauh di dalam diri Sora merindukan Aksel.
Proses move on itu tidak mudah, kawan. Kalau nggak kuat disapa dikit bisa langsung ambyar.
Sora semakin pulih ketika dirinya satu kelas bersama Rai dan fokus mencari tahu alasan Rai menjauhinya.
Tujuan Sora mendekati Rai selain mencari tahu alasan cowok itu menjauhinya juga tidak muluk-muluk, ia hanya ingin berteman sewajarnya dengan Rai.
Lalu, sekarang? Apa mungkin mereka lebih dari itu di saat Sora sendiri tidak yakin akan perasaannya untuk Rai.
[ ]