"Ini cerita teman gue, dia suka sama cewek tapi ceweknya ini friendly banget bahkan menganggap dia juga cuman teman biasa. Terus pas temen gue ini sadar sama perasaannya dia juga sadar kayaknya ceweknya ini belum selesai sama masa lalunya. Menurut lo gimana, Mil?"
Milo menggaruk-garuk rambutnya sambil masih mengunyah permen Yupi. Dia tahu teman yang dimaksud Rai itu siapa. Tentu saja Rai sendiri. Dia tidak sebodoh itu sampai tidak peka sama cerita yang disampaikan Rai.
Memangnya teman Rai siapa saja sih? Cowok itu juga temenan dekat sama dia doang. Milo sampai bergidik kalau teman-teman sekelasnya mengejeknya sebagai uke-nya Rai. Bah, ia masih normal.
"Apanya yang gimana?"
"Ya, temen gue ini harus apa?"
"Maju lah!"
"Maju-maju gimana?" Rai mengernyit bingung. Pengalaman percintaannya ini nol besar, mana bisa langsung ngerti sama penjelasan Milo.
Sebenarnya Rai juga ragu minta saran sama Milo. Sudah ia katakan berkali-kali kan percintaan Milo sama dia itu 11/12. Tapi Milo punya pengalaman dari novel picisan yang sering dia baca, lah ia?
Minta saran sama Bunda atau Ayah yang ada malah diceng-cengin. Apalagi Ayah pasti akan membanggakan kisah cintanya sama Bunda, perjuangan Ayah untuk mendapatkan Bunda.
"Ya, maju perjuangin dia. Masa belum berjuang udah mundur aja?"
"Tapi Mil cewek yang ditaksir temen gue ini belum selesai sama masa lalu dia."
"Temen lo ini tahu dari mana cewek yang dia taksir belum move on?"
"Dugaannya?"
Milo mendengus, kembali menyuapkan permen Yupi ke dalam mulutnya. "Belum tentu bener kan? Lebih baik konfirmasi langsung sama ceweknya. Nyesel nanti kalau nggak maju tapi ternyata ceweknya juga ada rasa sama dia gimana?"
"Gitu, ya?" Rai jadi menghela napas panjang. Kenapa masalah hati bisa serumit matematika, kimia, sama fisika? Apa ia salah jurusan?
"Temen gue juga ngerasa dia belum mengenal cewek yang dia suka dengan baik. Nyatanya dia nggak tahu hubungan cewek yang dia suka sama mantannya udah selesai atau belum. Dia sempat lihat ceweknya ngobrol sama mantannya, Mil."
Milo berusaha mati-matian agar tidak menampol kepala Rai. "Kalau nggak kenal kenapa bisa jatuh cinta, Bambang!"
"Gue juga nggak tahu."
"Denger ya, Rai! Kalau nggak tahu cari tahu. Kalau cewek yang lo suka ngobrol sama mantannya belum tentu bakal balikan, paling cuman reunian."
Rai mengangguk-angguk meresapi wejangan dari Milo. Jadi ia harus tanya sama Sora mengenai Aksel? Biar tahu hubungan mereka sudah selesai atau belum.
Nanyanya gimana? Selama ini ia belum pernah menanyakan hal pribadi pada Sora. Kebanyakan Sora bercerita sendiri. Rai mengacak rambutnya kesal.
"Kemungkinan perasaan temen gue terbalaskan itu dikit banget, Mil! Miris nggak sih. Cewek yang dia suka punya banyak temen cowok, dia juga termasuk."
"Keluar dari friendzone emang susah, Rai. Ya, tapi kalau lo nggak gerak jadinya stuck di sana aja. Jadi teman."
"Nanti kalau gerak pertemanan yang udah terjalin itu bisa hancur."
"Resiko. Pingin tahu nggak temen lo naksir balik lo apa nggak? Ya, kayak yang gue bilang tadi bisa jadi penyesalan kalau temen lo ada rasa juga tapi lo tahunya telat. Semua emang ada resikonya."
"Mumet kepala gue." Rai menyugar rambutnya yang sudah acak-acakan.
"Cewek itu Sora 'kan?"
"Ha?" Mulut Rai melonggo. Milo melengos sebal. Rai benar-benar mengira dirinya bodoh.
"Temen yang lo maksud itu diri lo sendiri dan cewek yang ditaksir teman lo itu Sora iya kan?!"
"Apaan---"
"Kebaca, Rai! Panah cinta gue belum gue lepas lo udah ambyar duluan."
Rai berdecak sebal. "Temen gue bukan gue," kata Rai keras kepala. Malu juga kalau ngaku suka sama Sora. Dia sudah jilat ludah sendiri.
"Ya-ya, percaya gue," balas Milo mengalah, temannya itu tidak akan mengaku. Gengsi Rai itu setinggi langit.
Tapi perpaduan yang unik bukan? Rai dan Sora. Cowoknya gengsian hobi denial ceweknya kurang peka.
🍬🍬🍬
Sora menumpukan dagunya pada lengannya yang menyiku di atas meja, memandangi Rai yang lahap memakan chicken katsunya. Rai sudah menghabiskan dua porsi chicken katsu. Sedang, Sora sudah menghabiskan satu porsi chicken katsu miliknya.
Hari ini Sora di kantin sekolah tidak ditemani oleh novel dan musik yang ia dengarkan karena Rai mengajaknya ke kantin bersama. Semenjak pertandingan basket usai hubungan mereka tiba-tiba membaik, lebih tepatnya sikap Rai tidak jadi menyebalkan lagi.
Sora berdehem, lalu tersenyum saat Rai mendongak menatapnya. "Nggak main kucing-kucingan lagi?" tanya Sora.
Rai menelan makanannya, kemudian membalas, "Kan udah di-update jadi macan-macanan."
Balasan Rai berhasil membuat Sora berdecak dan melunturkan senyumnya. "Tahu nggak waktu lo main kucing-kucingan atau macan-macanan itu lagi, yang dalam kamus gue artinya menjauh dan menghindari Sora jangan sampai tertangkap, gue udah berniat buat membiarkan lo. Terserah lo mau menjauh atau menghindar karena dari awal gue udah bilang kita bisa mengobrol dan menegur jika salah satu dari kita buat salah. Berhubung ternyata lo milih menghindar dan menjauh gue nggak bisa maksa lagi, Rai. Capek tahu ngejar-ngejar lo tapi nggak pernah tuh lo ngejar gue balik!"
Mendengar ungkapan Sora, Rai menjadi merasa bersalah. Tentu saja Sora capek menghadapi sifatnya yang lebih suka lari dari masalah daripada menghadapinya. Yang bingung menghadapi dirinya yang jatuh cinta pertama lagi. Mana jatuh cinta pada temannya sendiri.
Nanti pas gue kejar lo balik lo ketakutan!
"Jadi kenapa lo balik lagi ke gue?" tanya Sora.
Duh, nanya begini udah kayak baru aja menghadapi pacar ngambek.
"Karena lo peluk gue setelah tanding," jawab Rai ringan. Cowok itu sepertinya tidak mempertimbangkan akan membuat lawan bicaranya deg-degan.
Sora menyeringai, menggoda Rai. "Jadi setiap lo ngambek tanpa alasan lagi tinggal gue peluk lo, terus lo langsung nggak ngambek lagi? Ya udah, bakal sering-sering deh gue peluk lo."
Sora puas melihat Rai yang mengalihkan wajahnya darinya. Pipi cowok itu jelas sekali merona.
Untung Rai tidak lagi menelan chicken katsu-nya kalau sedang makan bisa-bisa ia langsung tersedak mendengar balasan Sora. Cewek itu bilang akan sering-sering memeluknya!
"Tapi sebelum gue peluk-peluk lo udah nyender-nyender di bahu gue waktu di perpustakaan," lanjut Sora, membuat pipi Rai semakin memanas. "Lagu yang lo putar di perpustakaan gue juga suka. Setiap malam sering gue dengerin sambil belajar."
Rai masih belum mampu membalas, ia masih berusaha meredakan salah tingkahnya. Apalagi Sora masih memandanginya.
"Gue penasaran banget kenapa lo menghindari gue lagi, Rai. Emangnya kenapa sih?"
Sekarang Rai harus jawab bagaimana? Jujur bilang dirinya jatuh cinta dengan cewek di depannya? Karena ia tidak tahu harus bagaimana dan malah memilih jalan bodoh menghindari Sora? Atau jujur pernah cemburu sama Yuan dan Juna?
Rai mengusap hidungnya hingga jadi memerah. Ia menjilat bibir bawahnya saat akan memberikan jawaban.
"Baiklah kalau lo belum siap menjawab," sahut Sora sebelum Rai melontarkan jawaban. "Gue ganti aja pertanyaannya, ya. Menurut lo apa yang membuat sebuah pertemanan hancur?"
"Cinta?"
Sora menaikkan satu alisnya. "Cinta?"
Rai mengangguk. "Seandainya di antara lo dan Davian ada yang jatuh cinta gimana? Tapi nanti perasaan lo nggak berbalas apa nggak jadi hancur pertemanan kalian?"
Kekehan kekuar dari mulut Sora. Ia menegakkan tubuhnya dan melipat tangannya di atas meja. "Gue nggak bisa bayangin gue jatuh cinta sama Vivi atau Vivi jatuh cinta sama gue. Kita bukan lagi teman atau sahabat, tapi udah seperti keluarga. Dia udah kayak kakak gue sendiri."
Seandainya Davian jatuh cinta sama Sora nasibnya pasti lebih miris dari gue! Bukan friendzone lagi tapi udah naik tingkat jadi keluarga, mana jadi kakak ketemu gede.
"Gue ketemu Vivi pas kelas enam. Mana dia nemuin gue pas nangis dan ingusan." Sora terkekeh saat mengingat kembali pertemuan pertamanya dengan sahabatnya itu untuk pertama kali.
Rai berhenti makan dan memperhatikan Sora yang bercerita asal-muasal persahabatannya dengan sang kakak kelas. Wajah Sora sangat berseri-seri ketika bercerita, sesekali juga tertawa. Bagaimana mungkin Rai bisa berpaling?
Saat itu senja mulai menyapa. Taman bermain mulai sepi ditinggalkan anak-anak yang tadi bermain. Tidak seperti anak-anak lain yang pulang dari taman Sora malah datang dengan mata yang sembab.
Sora baru saja mengobrol dengan neneknya yang akan mengajaknya ke Belanda setelah ia lulus sekolah dasar nanti. Sebelumnya neneknya sudah menceritakan tentang kediamannya di Belanda yang dulu menjadi saksi ibunya tumbuh. Sora sangat bersemangat ingin pergi sana. Ia ingin merasakan tinggal di negara asing, apalagi itu tempat ibunya dulu tumbuh besar.
Selain dari cerita-cerita nenek Sora juga diperlihatkan foto-foto ibunya saat tinggal di Belanda. Ibunya terlihat cantik sekali.
Setelah nenek mengajaknya untuk tinggal bersama ayahnya juga bertanya apa ia akan ikut Nenek? Sora bingung.
Tidak seperti sebelum-sebelumnya yang suka melupakan janji atau bahkan punya banyak waktu bersama, ayah tiba-tiba sering mengajak Sora bermain dan mengobrol tentang apa pun. Dan Sora pernah mendapati ayahnya menangis setelah membacakan dongeng untuknya. Ayahnya tidak menjawab saat ia tanya kenapa menangis, ayah langsung memeluknya.
Hari keberangkatan semakin dekat. Sora semakin gelisah. Neneknya tidak pernah memaksa. Namun, pertanyaan adiknya yang waktu itu berumur 6 tahun membuat Sora menangis.
"Kakak bakal pergi sama nenek? Lama? Kita masih bisa main bareng lagi kan Kak?" tanya Sera.
Sora tidak bisa meninggalkan Sera. Dia pergi ke taman bermain untuk menghindari Sera, ia tidak ingin Sera melihatnya menangis.
Di taman Sora duduk di ayunan sambil menunduk memandangi potret ibunya yang sedang berkebun di rumahnya yang ada di Belanda.
Sora ingin sekali pergi ke sana. Melakukan banyak hal yang dulu juga dilakukan ibunya. Kata nenek Mama suka sekali bersepeda di pagi dan sore hari.
Sora semakin terisak. Ia merindukan mamanya. Ia ingin dipeluk mamanya lagi. Ia ingin mendengar permainan piano mamanya lagi. Ia ingin diceritakan banyak dongeng oleh mamanya.
Seseorang datang tepat ketika tangis Sora semakin tak terbendung dengan isakkan yang terdengar. Seseorang itu duduk di ayunan sebelah Sora.
"Aku kira tadi kuntilanak," kata anak laki-laki itu, Davian.
Tangis Sora semakin keras karena dikatai kuntilanak membuat Davian takut. Ia takut disangka menjahati anak perempuan di sampingnya ini.
Namun, anak di sampingnya ini di lihat dari belakang pasti membuat orang mengira dia setan. Rambut anak itu panjang sepunggung tidak dikuncir dan dia memakai dress putih selutut. Sudah mirip kuntilanak kan? Kuntilanak mini hihi.
"Kamu cantik jangan nangis." Davian berusaha menghentikan tangisan Sora.
"Kuntilanak cantik?" tanya Sora disela isakkannya.
Davian cepat-cepat mengangguk. "Kuntilanak ada yang cantik. Suaranya juga merdu."
"Hihihi." Sora terkikik kembali membuat Davian terkejut dan takut.
"Kenapa nangis?" tanya Davian, ia tidak ingin mendengar kikikan Sora lebih lama. Mengerikan. Apalagi langit sudah mulai gelap.
Ditanya gitu Sora kembali menitikan air mata. Ia bercerita pada anak laki-laki yang baru ditemuinya untuk pertama kali soal kegundahannya. Davian tidak banyak berkomentar, ia hanya fokus mendengarkan.
"Aku ingin pergi melihat rumah Mama dulu tapi aku nggak mau ninggalin Papa sama adiku."
"Kalian bisa pergi liburan bersama saat libur semester ke rumah ibu kamu yang di Belanda sambil jenguk nenek dan kakek kamu."
Sora menyeka ingusnya dengan lengannya. Ia jadi kepikiran ucapan anak laki-laki di depannya. Liburan, ya? Jadi tidak perlu tinggal selamanya bersama Nenek dan Kakek?
Davian merogoh kantung celananya mengambil sapu tangannya. Bundanya sering menaruh sapu tangan di kantung celananya. Ia memberikan sapu tangan itu pada Sora.
"Nama kamu?" tanya Davian.
"Sora. Kamu?"
"Davian. Aku baru pindah ke komplek ini tiga hari yang lalu."
Sora mengangguk-angguk sambil menyeka air mata dan ingusnya dengan sapu tangan milik Davian.
"Mau ikut aku ke rumah? Bunda masak banyak hari ini. Ulang tahun Abang sama mau dibagiin tetangga baru."
Tanpa takut Sora mengiyakan. Ia melupakan nasihat mamanya dulu yang tidak boleh ikut orang asing. Tapi untunglah Davian bukan orang jahat dan Davian tetangganya.
Davian berjalan beriringan pulang ke rumahnya bersama Sora melupakan perintah ibunya untuk membeli kecap.
"Seandainya kamu ikut nenek kamu sekarang kamu tinggal di Belanda?" tanya Rai sehabis Sora bercerita.
"Iya, tapi sekarang hampir tiap libur semester aku ke sana sama Papa dan Sera."
"Masih ingin tinggal di sana?"
Sora menggeleng lemah. "Nggak tahu. Makam Mama di sini, Rai. Papa sama Sera juga di sini. Meskipun kemungkinan Sera nanti bakal pergi ke luar negeri untuk mewujudkan mimpinya. Aku hanya ingin menghabiskan banyak waktu bersama mereka selagi bisa."
"Sera mau pergi ke mana?"
"Mimpi Sera itu menjadi balerina, Rai. Dari kecil anak itu suka sekali menonton balet di tv. Dia sudah les balet di sini dan aku sudah pernah lihat dia tampil. Nanti dia akan pergi ke luar negeri untuk belajar lebih giat lagi karena untuk jadi balerina itu butuh pengorbanan yang besar. Untuk menjadi principal dancer di sebuah dance company perlu melewati perjalanan yang panjang. Biasanya balerina di dance company mulai kariernya sebagai corps de ballet, lalu naik level sebagai solois, dan lalu naik tingkat ke posisi tinggi sebagai principal dancer. Bahkan untuk masuk dance company itu nggak mudah loh Rai. Belum lagi nanti kalau saat tampil pasti harus menerima kritikan dari pengamat balet. Tapi Aku akan mendukung apa pun impian Sera!"
Tangan Rai reflek terulur mengelus kepala Sora. Sora mematung, usapan Rai terasa nyaman. Entah, kenapa Sora jadi ingin menangis.
Sora baru saja menceritakan tentang pertemuannya dengan Davian, neneknya, kegundahannya dulu, dan impian Sera kepada Rai. Dengan Rai mengelus kepalanya ia merasa laki-laki itu menghargainya.
Sora mengerjap-ngerjapkan matanya, menetralkan matanya yang mulai mengembun.
"Lalu, apa mimpi yang kamu punya?" tanya Rai. Tangannya sudah turun dari kepala Sora.
Kamu?
Kupingnya tidak budek hanya gara-gara matanya yang berkaca-kaca kan? Sora menelan ludahnya. Ia takut terbawa suasana dan baper.
"Ak---gue terlalu banyak punya mimpi sampai bingung. Jadi koki, jadi aktris gara-gara Mama pernah bilang kalau gue pintar akting, jadi penyanyi, dan jadi seorang ibu seperti Mama."
Rai tersadar sudah memanggil Sora kamu. Tapi ia tidak ingin meralatnya meski malu. Ia berharap nanti ia bisa memakai panggilan aku-kamu dengan leluasa.
"Seorang ibu?"
Dengan bersemangat Sora mengangguk. "Seperti Mama. Mama hebat banget tahu, Rai. Mama ibu yang baik, walau waktu gue sama Mama nggak banyak gue tahu Mama adalah Mama terbaik. Mama sering bacain gue dongeng, ajak gue nyanyi, ajarin main piano, anterin gue sekolah, ajakin gue belajar, dan banyak lagi. Nanti kalau lo ke rumah gue ajak ke lantai dua lihat foto-foto Mama di kamar piano. Ada kaset CD juga yang berisi video Mama."
"Lo nanti pasti jadi ibu yang baik, Ra." Rai kembali menepuk kepala Sora pelan.
"Semoga, ya."
[ ]