"Vivi, main yuk!" Sora melenggang masuk ke rumah Davian.
"Davian lagi di kamarnya, Ra," jawab Tante Ersa dari dapur.
Buru-buru Sora langsung menghampiri Tante Ersa. Di dapur ia mendapati Tante Ersa yang badannya terbalut celemek sedang menguleni adonan.
"Mau buat apa, Tan?"
"Molen. Nanti makan malam di sini aja, Ra. Tante mau masak banyak hari ini."
"Nanti tanya Papa dulu deh, Tan. Kalau Papa lembur aku makan sini. Mau aku bantuin nggak, Tan?"
"Nggak usah, Ra. Kamu main aja sama Vian. Udah bawa-bawa bola basket sama tumbler air gitu." Tante Ersa menunjuk bola yang dibawa Sora. "Tuh, si Vian udah datang."
Sora menoleh ke pintu dapur dan sudah ada Davian di sana. Cowok itu memakai training dan topi hitam.
"Aku pamit main ya, Tan."
"Cium dulu."
Sora terkekeh, lalu mengecup pipi Tante Ersa.
Davian yang memperhatikan interaksi ibunya dan Sora tersenyum. Selalu menyenangkan melihat interaksi mereka.
Ibunya kenal Sora kala anak itu berumur 12 tahun. Davian yang membawa Sora ke rumah setelah mendapati Sora menangis sendirian di taman bermain. Davian sampai lupa membelikan mamanya garam sama kecap gara-gara menenangkan dan menemani Sora menangis.
Waktu itu Davian dan keluarganya baru pindah ke komplek perumahannya Sora. Jadi Davian belum terlalu mengenal Sora. Mereka baru deket setelah insiden Sora menangis itu, bahkan Davian baru tahu rumah Sora tepat di samping rumah barunya. Mereka tetanggaan.
Setelah itu mereka sering bermain bersama dan saling berkunjung ke rumah masing-masing. Sora sudah akrab dengan keluarganya, begitu pula Davian dengan Sera dan Om Arsen, Papa Sora.
"Jangan panggil gue Vivi," kata Davian ketika mereka berjalan beriringan ke lapangan basket komplek.
"Itu panggilan kesayangan gue tahu. Kan udah banyak yang panggil lo Davi atau Vian jadi gue ambil tengah-tengahnya aja. Vivi." Sora nyengir senang.
"Kayak cewek, Ra."
"Kan gue nggak pernah menganggap lo cowok, Vi."
"Takut baper ya kalau lo memandang gue sebagai cowok?" Davian menaik turunkan alisnya dengan percaya diri.
"Nggak sudi juga gue baper sama cowok gamon."
Davian memiting leher Sora gemas. "Ledekin terus!"
"Ya, kan itu kenyataan. Coba udah berapa cewek yang lo putusin dan mengira alasan lo putusin dia itu gara-gara adanya gue? Padahal mah lo yang gak bisa move on sama si Princess Melati."
"Ya, maaf," ujar Davian. Ia tidak lagi memiting leher Sora dan beralih merangkul bahu Sora.
"Harusnya lo klarifikasi. Biar nggak ada rumor aneh-aneh soal kita di sekolah. Malah gue baru dengerin ada rumor yang bilang kalau kita sampai umur tiga puluhan belum ketemu jodoh kita bakal nikah, kurang gila apalagi coba."
"Tapi kalau gue umur segitu belum ketemu jodoh ya nggak buruk-buruk amat nikah sama lo. Nanti kita buat novel judulnya Istriku lima langkah dari rumah."
"Kadang gue mikir yang gila itu bukan gue doang. Tapi lo lebih gila lagi."
"Ya, ya," ledek Davian.
"Padahal pertemanan cewek cowok kan nggak semuanya bisa jadi kisah romansa."
"Setuju. Gue bayangin panggil lo sayang aja geli."
"Gue bayangin manggil lo Mas pas jadi suami gue aja mau muntah."
"Gue lebih tua setahun dari lo jadi wajar lo panggil gue Mas."
"Ora Sudi."
🍬🍬🍬
Davian duduk di pinggir lapangan sembari menenggak air mineral yang dibawa Sora. Sore itu semakin panas dan Sora belum juga menyerah memasukkan bola ke ring.
Alasan mereka bermain basket kali ini karena Sora akan ada praktek olahraga basket sebentar lagi. Cewek itu ingin memiliki nilai bagus dan memanfaatkan Davian yang jago basket untuk mengajarinya.
Biasanya Sora kalau diajak main basket cuman goleran di pinggir lapangan sambil baca novel sama camilan, udah kayak piknik.
Davian merekam kerja keras Sora memasukkan bola ke ring sambil terkekeh. Beberapa kali Sora berdecak kala bola sudah hampir masuk ring tapi gagal.
Setelah puas merekam Davian memposting video Sora dan foto dirinya bersama Sora yang bermain basket di aplikasi X.
"Ya udah, menggelinding yang jauh sana dan jangan balik lagi!" Sora berbicara dengan bola basketnya yang menggelinding keluar lapangan.
Sora berlari menghampiri Davian dan merebut tumbler-nya yang ada di tangan sahabatnya. Ia menghabiskan air mineralnya yang tinggal setengah setelah diminum Davian.
"Eh, hubungan lo sama Rai gimana? Udah baikan?" tanya Davian.
"Gue nggak bertengkar kali sama Rai. Ngapain baikan coba?"
"Ya, kalau lo pernah pacaran sama Rai gue tanyanya beda lagi. 'Udah balikan sama, Rai?'"
"Terserah lo deh, Dean."
"Seneng deh gue lo samain sama Dean-nya Rory."
Sora memutar bola matanya. "Lo tahu pas gue nonton Gilmore Girl season empat episode dua puluh dua rasanya gue mau cekik Dean dan gue gantung dia di pohon rambutannya Bang Billy. Dia selingkuhin istrinya! Terus tidur sama Rory! Kurang gila apalagi tuh. Mana itu pertama kali Rory tidur sama cowok.
"Meskipun di episode itu gue seneng juga gara-gara Luke cium Lorelai di pintu Dragonfly Inn. Cuman diganggu si Kirk. Pokoknya perasaan gue campur aduk."
"Kalau gitu jangan panggil gue Dean!"
"Ya, ya," ledek Sora. "Setiap ngobrol sama lo pasti gak tahu juntrungannya, Vi. Tadi bahas apa jadi bahas apa."
"Ya, gak pa-pa lah. Gue seneng-seneng aja dengerin lo cerita, entah itu cerita tentang novel-novel yang lo baca ataupun film dan series yang lo tonton."
Sora pura-pura menyeka air matanya. "Gue jadi terharu. Tanpa lo di sisi gue, gue gak tahu bakal jadi apa."
Memiliki sahabat seperti Davian adalah hal hebat yang gue punya. Yah, meskipun kadang bisa gila barengan juga.
"Tetep jadi Sora, tapi mungkin lebih gila lagi."
"Yang ada dengan sama lo gue tambah gila."
Mereka tertawa bersama. Kadang saling ejek adalah bahasa cinta mereka.
"Eh, tapi beneran loh sama Rai gimana? Kan udah sekelas. Udah lo terkam?"
"Udah mendingan menurut gue. Gue sama Rai juga ngobrol kok. Dia mau menghindar lagi juga bakal susah gara-gara satu kelas. Kalau dia pindah ke bangku paling depan gue tinggal ngikut, kalau dia pindah ke bangku belakang gue ngikut lagi. Udah muter-muter satu kelas aja."
"Nggak lo terkam dia, tapi dia pasti ngerasa ketempelan. Tapi kenapa dia jauhin lo? Itu udah kayak teka-teki menurut gue."
Sora mengidikkan bahunya. "Gue juga nggak tahu."
"Terus alasan lo ngedeketin dia itu kenapa?"
"Kapan gue ngedeketin dia?" Sora mengernyit dahinya.
"Lo pepet si Rai tapi nggak sadar?"
"Gue suka aja godain dia." Sora tersenyum membayangkan raut wajah Rai kala ia mendekatinya. "Wajahnya itu loh lucu. Kadang blushing juga."
"Kasihan nanti dia trauma, Ra."
"Gue gak selalu godain dia kok. Ada kalanya gue merasa cukup."
"Seandainya Rai punya gebetan tapi dia nggak berani deketin gara-gara lo gimana?"
"Eh, dia punya gebetan?"
"Seandainya, Sorak-sorai!"
"Kenapa nggak mau deketin?"
"Ya takutnya crush-nya salah paham akan kedekatan lo sama Rai yang gak biasa itu."
Sora mengangguk mengerti. "Seandainya emang ada, gue bakal berhenti deh jailin dia. Dan support dia buat deketin crush- nya. Gue bakal jadi teman yang baik."
Tapi bakal aneh banget gak sih kalau gue tiba-tiba jadi tim hore Rai sama calon pacarnya?
Udah kayak cinta bertepuk sebelah tangan. Tapi malah haha hihi buat dia dan gebetannya.
"Lo sebenarnya kepo kenapa Rai menghindari lo terus kan, Ra?"
"Ya, itu termasuk alasan gue."
Davian memperbaiki posisi duduknya untuk menghadap Sora sepenuhnya. Ia menatap Sora serius. Sedang Sora sendiri menyipitkan matanya, ya gimana ia menghadap matahari yang lagi terang benderang ini. Mana ngide banget si Vivi duduk membelakangi matahari.
"Ra, nggak harus kok orang suka sama kita. Kita juga gak bisa maksa buat orang suka sama kita. Kalau mereka mau jauh dari kita atau gak mau berteman sama kita ya udah."
Sora mengerjap. Kepala Davian sepertinya sudah matang dipanggang oleh matahari sore sampai-sampai jadi bijak begini.
Sora mencoba mengubah raut wajahnya menjadi serius juga. Ia taruh tangannya di bahu Davian. "Gue setuju. Kita nggak bisa maksa-maksa orang. Kalau kita dipaksa-paksa menyukai apa yang nggak kita sukai itu pasti nggak enak."
"Tapi, Vi, kenapa perkataan kita barusan kayak curahan hati lo, ya? Curahan hati lo yang tiba-tiba hilang kontak sama Princess Melati."
"Ya gimana, kadang apa yang ingin kita miliki belum tentu akan kita dapatkan."
"Vi? Mau peluk?"
Rupanya kondisi hati Davian hari ini lebih menghawatirkan dari sebelumnya. Mungkin Davian sedang terserang penyakit rindu yang sulit ditemukan obatnya. Buat ketemu Melati kan susah.
Sora meraih kepala Davian dan memeluknya. Kepala Davian panas sekali. Harusnya cowok itu tetap memakai topi saja tadi bukan malah diberikan padanya.
"Tahu nggak Vi kenapa cecak merayap ditembok?" tanya Sora yang dibalas gelengan oleh Davian.
"Kalau merayap di kaki gue waktu tidur itu kecoak."
Di dalam pelukan Sora Davian terkekeh. "Makanya jangan jorok."
"Lo tahu nggak kenapa gue nggak jadi ke negara yang terkenal dengan kincir angin?"
Davian tahu benar alasan Sora tidak jadi ke sana. Sora sudah pernah cerita di pertemuan pertama mereka sambil bercucuran air mata. Meski begitu Davian tetap menggeleng
"Soalnya nanti gue nggak bakal bisa ketemu lo. Sahabat terbaik."
"Kalau gue nggak berpisah sama Melati gue juga nggak bertemu sama lo. Sahabat terbaik."
"Yahh, galau lagi."
Davian terkekeh sembari mengurai pelukan Sora. Ia tepuk puncak kepala Sora pelan. "Nanti lo kalau udah fall in love sama cowok juga bakal putar lagu Kiss Me milik Sixpence Nine The Richer terus-terusan."
"Lah, gue belum jatuh cinta aja gue dengerin lagu itu mulu."
"Oh, Kiss Me ...."
"Beneath the milky twilight. Lead me out on the moonlit floor."
"Life your open hand.
Strike up the band and make the fireflies dance
Silver moon's sparkling
So kiss me."
Mereka bernyanyi bersama sembari sesekali terkekeh. Mereka sudah kayak King Nassar yang dikit-dikit nyanyi. Salahkan Davian yang mancing-mancing duluan.
[ ]
a.n: Terima kasih sudah baca, yaa. Jangan lupa tinggalkan jejak:))