Intro lagu The Comes The Sun milik The Beatles menggema di kamar Sora. Sang pemilik kamar masih bergelung di dalam selimut.
Here comes the sun, here comes the sun,
And i say it's all right,
Little darling, it's been a long cold lonely winter,
Little darling, it feels like years since it's been here,
"Kakak matikan alarmnya!" teriak Sera.
Lagu terus berlanjut dan Sora tidak terusik akan itu. Sera menjadi geram sendiri. Dengan kaki yang dihentak-hentakkan Sera masuk ke kamar Sora dan mematikan alarm kakaknya.
"Kakak tolonglah ini hari libur kenapa pasang alarm! Aku masih ingin tidur nyenyak!" Sera pergi setelah mengatakan itu.
"Terima kasih sudah mematikan alarmnya, Davey!" teriak Sora.
Tak begitu lama setelah Sera pergi ayah datang dengan mengetuk pintu kamar Sora yang sudah terbuka. Pintu kamar Sora jarang sekali tertutup.
"Kakak jadi buat sarapan atau Papa pergi aja beli bubur Mang Ben?"
"Kok Papa tega! Kakak bakal masak," jawab Sora dengan masih menutup matanya.
"Kakak masih ngantuk."
"Sebentar lagi bangun, Papa."
"Papa sudah lapar."
Sora menyingkap selimutnya dan mengucek matanya. "Apa Mery pindah ke perut Papa?"
"Siapa Mery?"
"Cacing di perut Seryl."
Kernyitan di dahi Papa semakin dalam mendengar nama-nama yang tak dikenalnya. "Siapa lagi Seryl itu?"
"Anak kedua Papa."
Papa menepuk keningnya, tidak habis pikir akan tingkah anaknya. Seharusnya ia sudah terbiasa akan tingkah Sora dan nama-nama imajinatif yang diciptakan anak pertamanya itu.
"Apa Mery tidak bisa dibujuk?"
"Kakak!"
"Siap, Papa. Rory akan cuci muka dulu sebelum masak."
"Sikat gigi juga. Papa tunggu di bawah."
Sora mencepol rambut panjangnya sebelum pergi ke kamar mandi. Tidak butuh lama untuk sikat dan cuci muka. Ia akan mandi sesuai sarapan.
Ketika Sora turun untuk ke dapur ia mendapati Papa yang duduk di kursi meja makan sembari membaca koran. Ia nyengir kala Papa melihatnya.
"Mau Papa bantuin, Kak?"
"Tidak usah. Papa bukan Luke Danes."
Terakhir kali Papa menyentuh peralatan masak membuat panci menjadi gosong dan menghanguskan ikan. Jadi lebih baik Papa pegang koran dari pada penggorengan.
"Mau buat apa kamu?"
"Bubur?"
"Nasi goreng aja sama telur ceplok."
"Oke. Karena terakhir aku buat bubur lembek banget ya, Pa."
"Bukan gitu Kak---"
"Pa, Sora ini tidak anti kritik. Jadi Papa jangan sungkan-sungkan mengomentari masakan Sora. Dengan Papa kasih kritik dan saran kemampuan Sora bakal bertambah."
Arsen tersenyum bangga pada anak sulungnya itu. Dirinya tahu Sora tumbuh dewasa sebelum waktunya. Di saat anak SMP hang out bersama teman-temannya Sora malah berkutat di dapur membuat eksperimen masakan. Sora belajar memasak lebih keras sejak Bi Ila pulang kampung.
Sejak Indi, mamanya Sora, meninggal Sora tidak lagi bisa bermanja-manja. Dan Arsen tahu benar Sora berusaha keras menjadi Kakak yang baik untuk Sera.
Hingga kini Arsen merasa sangat buruk pada Sora. Sejak Sora kecil ia tidak pernah ada untuk dia. Setelah Indi tiada pun ia masih melakukan kesalahan yang sama.
"Nasi goreng telur ceplok udah siap. Sora panggil Sera dulu ya, Pa."
Sora pergi ke kamar adiknya setelah menghidangkan nasi goreng buatannya di meja makan.
Sora datang sambil memapah Sera yang masih mengantuk.
"Kalau kamu gak sarapan Mery bakal mengacak-acak perut kamu, Ser."
Sera bergumam membalas ucapan kakaknya.
π¬π¬π¬
"Aku nanti tampil balet di sekolah buat menyambut tamu. Kata Miss Valen aku bakal pulang lebih telat dari biasanya buat latihan," ujar Sera.
Sora menoleh. "Tamunya siapa? Kok disambut segala."
Sera menggeleng. "Tadi udah dikasih tahu tapi aku lupa."
"Nanti kalau wali murid disuruh datang Papa bakal datang kan?" tanya Sera pada papanya.
"Iya, nanti Papa datang." Arsen mengelus puncak rambut si bungsu.
Senyum Sora merekah melihat adik dan papanya. Namun, senyum Sora perlahan surut mengingat ketika waktu SD dulu, saat dirinya berada dipanggung teater pertama kali.
Mamanya pernah bilang ia jago berakting karena sering ngambek. Foto-foto masa kecilnya juga kebanyakan berisi ekspresinya yang cemberut.
Mamanya juga bilang nanti kalau sekolah ia bisa ikut ekskul teater dan Mama berjanji akan menonton waktu ia tampil.
Tapi ketika ia sudah ada di panggung teater, ketika teman-temannya disaksikan orang tuanya, ia malah tidak melihat mama ataupun papanya. Waktu itu Mama sudah pergi, kata Bi Ila Mama pergi ke tempat yang indah. Dan Papa tidak pernah datang, melupakan janjinya.
Kakak juga bakal datang, Sera.
Sora meraih ujung baju adiknya dan memegangnya tanpa Sera menyadarinya.
Kakak berjanji gak akan membiarkan kamu merasa sendirian.
"Kalau film Barbie Of Swan Like udah selesai ganti Barbie In The Twelve Dancing, ya."
"Kenapa kamu suka sekali Barbie In The Twelve Dancing?" tanya Papa.
"Soalnya Papanya mereka kayak Papa. Mereka juga kayak aku. Mamanya udah meninggal. Terus kadang aku sama Kak Sora suka bandel hehe," jawab Sera.
Hati Sora diremas mendengar penuturan adiknya. Ia masih beruntung bisa merasakan keberadaan mama lebih lama. Namun, Sera tidak seberuntung dirinya, Mama meninggal ketika Sera berusia 5 tahun.
Sera pasti tidak lagi mengingat permainan piano mama yang indah jika tidak ada CD. Sera tidak bisa merasakan lebih lama nyanyian dan dongeng yang selalu Mama tuturkan sebelum tidur. Juga mencicipi masakan-masakan mama yang rasanya tidak ada tandingannya.
π¬π¬π¬
Rai berangkat sekolah lebih pagi dari sebelumnya karena ia belum mengerjakan PR. Rencananya akan ia kerjakan sesampainya di kelas.
Tapi sepertinya rencananya akan berakhir mengenaskan melihat ada seorang macan betina yang duduk di kursinya.
Rai melihat Sora dari jendela kelas, cewek itu sedang menenggelamkan kepalanya di lipatan tangannya yang ada di atas meja.
Seperti tahu sedang diperhatikan Sora mendongak dan menyapukan pandangannya ke sekeliling kelas, tatapan berhenti di jendela kelas tepat di mana Rai melihatnya.
Sora dengan malas mengeluarkan ponselnya dari saku kemudian mengirim chat kepada Rai yang tidak kunjung masuk kelas.
Sora: masuk aja
Rai: nggak gue di sini aja.
Rai: lo ngapain di bangku gue?
Sora: jangan usir gue, oke?
Rai: kalau nggak mau lo terkam.
Sora: ya, kalau nggak mau gue terkam.
Sora: Rai, duduk sini di kursinya si Prabu.
Rai: gue di sini aja.
Sora menatap Rai yang masih di depan jendela. Cowok itu serius sekali memandang ponselnya.
Sora: jangan keras kepala.
Rai menghela napas berat. Dengan berat hati Rai masuk kelas dan duduk di kursi Prabu, kursi yang ada di sebelah bangkunya. Entah kenapa ia mau-mau saja disuruh Sora.
Sora menyunggingkan senyum tipis. Ia kemudian membuka ranselnya yang ia taruh di lantai dan mengambil selusin pemeran karet. Ia taruh permen karet itu di atas meja Rai. "Ini buat lo," ujar Sora.
Permen karet itu mengingat Rai akan pertemuan pertamanya dengan Sora. Tentang pertanyaan random Sora dan jawaban bodohnya.
"Apa yang lo bilang itu bener," kata Sora.
"Yang mana?"
"Yang cinta kayak permen karet itu. Soalnya cinta kan gak selamanya manis."
Rai meringis dan mengusap ujung hidungnya yang tidak gagal.
Padahal maksud gue kayak permen karet itu gara-gara orang yang lagi mabok cinta lengket mulu. Tahu kan kalau permen karet nempel di rambut pasti susah di lepas? Pasti ujung-ujungnya rambutnya di potong. Ya, orang fall in love itu kayak gitu, mereka susah banget dilepas, kecuali akhirnya mereka putus atau patah hati.
Tapi gue takut ngejelasin ke Sora. Nih cewek mood-nya lagi mode senggol bacok kayaknya. Soalnya kalah disenggol ambyar itu gue haha.
Kok gue ngaku?
Dengan hati-hati Rai bertanya, "Lo lagi patah hati?"
"Iya, sama karakter fiksi."
Kok gue nyesel ya udah nanya?
Ingatkan Rai kalau cewek di sampingnya ini 11 12 sama Milo yang hobinya mencintai karakter fiksi.
"Dia selingkuh, Rai. Parah banget. Mana ke gap langsung sama pacarnya di hotel pas lagi berduaan sama cewek! Lo tahu? Ternyata cewek yang sama dia di hotel itu ternyata mantannya. Gila banget!
"Gue maraton baca sampai jam tiga pagi tapi seneng sih mereka gak balikan haha. Tapi sialnya gue jadi bangun kesiangan dan gak bisa bikin sarapan buat Sera sama Papa."
Sora berhenti bercerita lalu kembali menenggelamkan kepalanya di lipatan tangannya lagi.
Rai menggerjapkan matanya.
Udah gitu aja? Sekarang dia balik tidur.
"Maaf ceritanya setengah-setengah. Perut gue sakitnya datang dan pergi kayak lo. Sekarang sakit."
"Lo gak sarapan?"
"Sarapan kok setangkup roti dan Nuttela kacang. Cuman lagi datang bulan aja."
Rai tidak lagi menanggapi dan membiarkan Sora tidur. Ini kesempatannya untuk ngerjain PR.
Baru mengeluarkan buku matanya udah kembali lihat Sora. Baru baca satu soal matanya lirik Sora lagi.
Rai berdecak dalam hati. Ia melepaskan jaket yang dari tadi belum di lepasnya dan menyampirkannya di bahu Sora. AC kelas gak begitu dingin, tapi siapa tahu jaketnya bisa bikin Sora tambah nyaman. Anggap aja itu ucapan terimakasih untuk 12 biji permen karet yang udah diberikan Sora padanya.
Anak kelas satu persatu datang dan tak jarang mereka melihatnya dan Sora dengan ekspresi terkejut. Reputasi mereka di kelas ini sudah seperti Icha dan Tapasya.
Rai baru membangunkan Sora saat bel masuk bunyi, tetapi tidak menyuruh gadis itu pergi. Ia sudah menyuruh Prabu duduk di kursi Sora.
"Lo nggak mau ke UKS aja?"
Sora menggeleng. "Setiap bulan gue ngalamin ini jadi udah biasa."
"Lo nggaak akan tiba-tiba pingsan kan?"
"Nggak kok. Tiba-tiba kerasukan macan sih iya."
Rai tertawa, masih sakit saja Sora masih bisa ngelawak.
"Ngomong-ngomong makasih buat jaketnya."
"Ah, oke." Rai tersenyum salah tingkah.
"Rasanya kayak dipeluk lo pas pakai jaketnya."
"Kita pernah pelukan?"
"Pernah di mimpi gue. Tapi akhirnya nanti kita juga bakal pelukan kayak Teletubbies."
Kok dia PD?
"Muka lo merah." Sora menunjuk pipi Rai sambil terkekeh.
Jangan bilang teori Milo itu benar! Masa gue disenggol dikit ambyar!
[ ]