Loading...
Logo TinLit
Read Story - Batas Sunyi
MENU
About Us  

Sabda

Baik penghuni kontrakan hingga teman kampus, mereka menanyakan kenapa aku jarang terlihat dengan Aya lagi. Ini hari keempat aku sengaja menjauhinya. Aku masih terluka, effort-ku selama ini sepertinya nggak pernah dianggap ada oleh Aya. 

Aku nggak pernah menyesal sudah effort, tapi aku hanya sakit hati saja. Apalagi manusia yang dipilih Aya adalah si Setha sialan itu. Manusia yang juga merebut Cecil. Mereka putus. 

"Lo kalau lagi nggak enak badan udah rebahan aja. Biar gue sama Bian yang kelarin." Karel mendeteksi hidung merahku dan wajah pucatku hari ini sebagai kelemahan. Aku memang merasa kurang enak badan.

"Aman aja." Lalu aku lanjut mencuci bawang dan lain-lain. Tidak lupa aku bersin, tapi aku bersin di dalam kerah kaosku sehingga tidak menyebar ke mana-mana. Meski tetap saja aku mendapat tatapan jijik dari Bian karena terus bersin.

Sempat hening dan hanya terdengar suara telenan beradu dengan pisau serta minyak panas yang bercampur dengan ayam. Atau saat aku tiba-tiba bersin lagi.

"Jadi beneran putus?" tanya Karel yang baru mengiris bawang merah.

"Alamak. Jadian aja belum." Bian menyela. Kenapa dia harus sesemangat itu membeberkan fakta bahwa aku dan Aya cuman teman selama ini.

"Lagian kau nggak nembak nembak sih. Aya juga pasti bingung-lah." Bian mengomeliku. Aku baru selesai mencuci timun. Malam ini kami akan masak nasi goreng.

Kalian tuh nggak tahu posisiku. Aku sudah berusaha supaya caraku pdkt tidak membuat Aya risih. Aku khawatir kalau aku tiba-tiba nembak, dia justru menjauhiku jika ternyata dia nolak aku.

"Ya kan belum lo coba. Kenapa sih sekedar bilang aku suka kamu aja sesusah itu? Apa perlu aku wakilin?" Karel mulai menumis bumbu. Dia menggunakan resep yang diberikan oleh keluarga pacarnya. Aku pernah makan dan memang enak.

Wangi tumisan ini membuatku semakin bersin-bersin. Bahkan tidak hanya aku, mereka berdua juga bersin.

"Iya tahu nih pecundang satu." Bian kayaknya nggak bisa sehari saja bibirnya nggak pedas seperti cabe rawit. 

"Aku loh, udah nanyain tipe idealnya dia kayak apa, tapi sampai sekarang belum dijawab." jawabku dengan suara lantang. Berharap mereka tahu kalau aku sudah effort hanya belum beruntung saja.

Bersin.

Suara tawa pecah. Bian dan Karel menertawakanku. Selucu itu kah? Bukannya prihatin temannya lagi patah hati malah dari tadi aku kena roasting. Emang teman laknat.

"Plis deh." Karel tertawa sampai sakit perut.

"Pas nembak Cecil kau gimana deh? Is she your very first girlfriend?"

"Cecil yang nembak. Aku cuman bagian nge-iyain aja. Dulu pas SMP aku tahu-tahu udah jadian gitu aja. Ya jalanin aja. Kan kalian pada tahu dulu aku gak sempet pacaran. Ini pacaran dua kali pun kusempet-sempetin di sela latihan."

"Anjir, orang ganteng dan populer emang beda ya." Aku tidak menerjemahkan ucapan Bian barusan sebagai pujian.

"Balikan aja sana." usul Bian.

"Sama siapa?" nada suaraku meninggi.

"Ya Cecil lah, kalau Aya bukan balikan namanya. Jadian. Jadian dulu makanya."

"Amit amit ogah balikan." sahutku lantang. Aku tidak mau balikan dengan cewek macam Cecil.

Tahu-tahu sudah tercium wangi nasi goreng. Bian bagian menggoreng ayam bawang putih. Dua temanku ini kalau masak memang jago, aku biasanya asistensi, tapi aku juga bisa lah masak nasi. Pakai magic com.

"Ambilin wadah, Sab, tolong." kata Bian yang baru meniriskan ayam goreng. Aku yang sedang mencuci perkakas segera meluncur mengambilkan piring kering.

Makanan selesai. Kami bergantian langsung me menciduk nasi dari wajan. Sengaja ambil portugal (porsi tukang gali) karena itu porsi normal kami. Lalu berjalan menuju ruang tengah untuk menikmati hasil jerih payah kami malam ini.

Karel makan malam sambil video call pacarnya. Mengabarkan dia baru saja berhasil membuat nasi goreng ala catering keluarga. Bian makan dengan khidmat, yang wajah yang paling kasihan kalau makan kuakui ya Bian. Lalu aku, seperti biasa, menggalau. Nasi gorengnya jadi tidak sesedap sebelumnya. Pasti karena indera perasaku terkontaminasi pikiranku yang sedang runyam.

Selesai makan, aku pamit masuk kamar. Badanku semakin terasa tidak enak. Kepalaku pening sekali. Hidungku juga merah. Aku pasti ketularan teman sekelas yang sedang flu berat dan berkali-kali bersin di kelas tanpa pakai masker.

Jika ada salah seorang dari kami sakit, pasti saling mengingatkan untuk tidak mengunci pintu kamar. Antisipasi jika terjadi sesuatu bisa segera memberikan pertolongan pertama.

Jam merangkak malam. Aku menyempatkan diri membaca buku bacaan Aya (fyi, aku membeli sendiri novel sama persis dengan yang sering dibaca Aya: Keajaiban Toko Kelontong Namiya) karena setelah makan tidak dianjurkan langsung tidur apalagi penderita GERD sepertiku. 

Akulah orang yang persis dalam lirik lagu Kata Mereka Ini Berlebihan yang dibawakan Bernadya. Kubaca sampai tuntas semua buku yang paling kau suka. Diam-diam, tanpa sepengetahuan Aya, aku membeli novel yang sama seperti miliknya. Berharap kami bisa banyak berdiskusi dari buku. Padahal aku sudah sampai halaman 200.

Aku sempat terlelap sampai aku merasa seseorang menyentuh dahiku. Samar-samar kulihat wajah Karel yang terlihat khawatir.

"Lo demam loh, minum obat dulu gih. Ada paracetamol gak? Kalau gak biar gue ambilin dulu stok punya gue di kamar."

Aku mencoba duduk, mengerjap beberapa kali sampai wajah Karel akhirnya jelas terlihat. Kok aku jadi kedinginan juga ya.

"Lupa kutaruh mana." jawabku sambil memijat pelipis. Pening banget.

Karel melesat pergi, sepertinya hendak mengambilkan obat. Aku tidak melihat keberadaan Bian. Sepertinya dia sedang keluar bersama tongkrongannya.

Aku kenapa sih? Apa ini sudah ajalku ya?

"Kalau aku mati besok, please maafin salah-salahku ya, Rel."

"Si bangke, lo tuh demam cuman karena mau flu." Karel bersungut-sungut. Ah, dia kalau demam juga mengigaunya parah dan pernah minta disuntik mati.

"Perasaan flu gak sesakit ini deh kepalanya. Mana dingin banget lagi." Kutarik selimut garis warna putih, kuning, hitam untuk membungkusku.

"Minum dulu obatnya. Masa iya gue yang suapin." Karel terdengar khawatir campur kesal karena kelakuanku.

Aku pun menyingkap sedikit selimut untuk menerima gelas dan satu strip paracetamol. Kutelan bulat-bulat lalu meletakkan gelasnya di meja samping tempat tidur. Segera setelah itu aku kembali merinding dan membungkus hampir seluruh tubuhku.

"Ya udah, tidur lo. Jangan dikunci biar gue bisa ngecek-ngecek keadaan lo." 

Gue cuman mengangguk lemah seraya memandangi kepergian Karel. Karel menutup pintu kamarku dari luar. Aku beruntung punya teman sekontrakan se-care mereka.

Jadi tidak mengantuk. Aku meraih ponsel yang kuletakkan di meja. Ada pesan masuk dari Nikel.

Nikel Bukan Tembaga
Massss, apa kabar
Kok jarang kelihatan??
Aku ada tiket dbl nih, jadi mau nonton? Free buat Mas Sabda...

Aku tersenyum getir. Padahal aku dan Nikel sudah seakrab ini. Aku kira kita bisa jadi ipar loh, Kel. Dari dulu aku pengin punya adik cowok juga. Aku sayang sih sama Tsana, tapi akan lebih seru kalau aku juga punya adik cowok. 

Sabda (me)
besok ini yaa?
asik, insyaAllah, kel
soalnya aku lagi kurang sehat
(mengirim voice note batuk dan menyerot ingus)

Nikel Bukan Tembaga
Ya Allah, sakit apa e, Mas?
Mba Aya tahu nggak?

Membaca nama Aya di layar membuat dadaku sempat mengalami kejutan jantung.

Sabda (me)
demam sama pusing sih

Aku memang sengaja tidak menjawab pertanyaan kedua yang Nikel ajukan. Nikel hanya membaca chat terakhirku tanpa dibalas. Nikel ini memang kebiasaan.

Kulirik jam di dinding, sudah jam sepuluh lebih. Kuletakkan kembali handphone di meja lalu mencoba memejamkan mata kembali. 

Suara pesan masuk. Aku lupa mematikan koneksi internet.

Nikel Bukan Tembaga
Mas maaf lancang, kalian putus sejak kapan dan karena apa?
Mba Aya jadian sama orang lain
Aku kaget banget


Nikel pun tahunya aku dan kakaknya pacaran. Ironis banget.

Sesekali aku bersin. Ingus bening mulai keluar. Membaca pesan dari Nikel membuatku semakin pening dan ingin suntik mati saja. Jadi benar ya? Ternyata Aya jadian sama Setha. Brengsek dadaku nyeri banget. Aku baru tahu banget.

Sabda (me)
nikel, boleh call bentar?

Nikel langsung mengangkat telepon dariku sejak dering pertama. Dia memberi salam dengan suara agak berbeda. Lalu dengan sigap dia bilang sedang agak flu, hidung mampet. Pantas saja. Lagi musim. Aku juga.

"Gimana?" tanyaku.

Nikel tertawa prihatin di seberang, "Harusnya aku yang nanya, Mas. Gimana kalian? Kenapa putus... aku nggak berani nanya ke Mba Aya."

Gimana ya ngomongnya, "Aya jadian sama siapa?"

"Mas Setha. Yang waktu itu Mas Sabda juga lihat di rumah sakit. Waktu aku kena demam berdarah." Nikel menerangkan sedetil itu karena mengira aku tidak tahu siapa Setha.

Ternyata selama ini aku kegocek. Mereka saling mencintai. Selama ini aku hanya backburner? Oh shit. Tapi kenapa Aya bodoh banget mau menerima cinta dari laki-laki yang baru saja putus. Masa iya selama ini Aya dan Setha backstreet? Lantas Aya menunggu Setha putus. Gila. Kayaknya nggak mungkin juga. Ini cerita rumit yang tidak masuk di akal.

"Kok bisa?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirku."

"Aku juga nggak tahu, Mas." Nikel bersin. "Maaf..."

"Selama ini apa mereka memang dekat? Kok aku nggak tahu ya."

"Dulu deket sih tapi ya cuman karena tetanggaan. Selain itu dia juga teman sekelasnya Mas Ethan. Apa lagi ya, dulu beberapa kali nganterin Mbak Aya pulang sih. Tapi nggak pacaran. Mbak Aya itu terakhir pacaran malah pas SMA awal tapi putus karena Mas Ethan nggak sreg sama orangnya eh beneran si mantan Mbak Aya ini terus kena kasus nabrak mati orang. Terus pindah ke luar negeri."

Kenapa tidak dari awal aku menggali informasi soal Aya lewat Nikel. Sabda bodoh.

"Dari kapan Aya sama Setha?" 

"Baru dua hari."

Aku terdiam. Kilas balik kebersamaan dengan Aya membuat hatiku terasa berat. Tubuhku semakin terasa tidak nyaman. Dekat dan setiap hari bareng ternyata tidak menjadi jaminan kita dianggap dekat juga. Kenyataan pahitnya adalah... perasaan merasa 'dekat' itu hanya satu arah. Merasa dekat sendirian. Sementara yang kita anggap dekat masih memandang kita begitu asing.

Kenapa aku kangen sekali sama Aya. Wajarkah perasaan kangen berlebihan ini? Aku mau dengar suara Aya. Aku mau lihat mata cokelat Aya. Aku mau lihat senyuman tipis Aya. Aku kangen mengirim pesan random untuk Aya. Dan aku tidak yakin, Aya juga merasa kehilangan setelah aku tidak di sampingnya lagi.

Aku pasti hanya dianggap topping tidak penting dalam hidup Aya. Padahal bagiku, dia adalah menu utama dari alasan aku merasa harus hidup sejak aku bangun tidur.

Mengapa kita bertemu, bila akhirnya dipisahkan
Mengapa kita berjumpa, tapi akhirnya dijauhkan

Lagu Yovie & Nuno - Sempat Memilikimu. Ada lirik yang relate banget sama aku, tapi jadi nggak relate lagi di bagian 'sempat memiliki' kalau sempat dekat dan sempat mengira bakal bersama, mungkin baru relate.

It's been a week. Membiasakan bangun tidur tanpa berharap melihat wajah Aya. Berjalan di kampus tanpa berharap ketemu dengan Aya. Melintasi depan rumahnya tanpa berpikir untuk mampir. Harusnya begitu, kan? Tapi aku kebalikannya. Aku sudah berusaha, tapi tetap saja aku sulit melupakan Aya.

Aku merindukan my butterfly era. Ini sudah hari ketujuh aku tidak mengirim pesan apapun pada Aya. Padahal sebelumnya, setiap hari minimal aku mengirimkan satu chat. 

Setiap tempat mengingatkanku pada Aya. Saat ini pun, di kantin FEB, aku mengenangnya. Sekarang aku makan sendirian, di tempat dan posisi yang sama persis saat awal kita (bisa dibilang) makan bareng. Gila, aku sudah gila betulan, ya, ini?

"Boleh duduk di sini?" tanya seorang mahasiswa yang sepertinya lebih senior dariku karena jambangnya cukup tebal. Meminta izin duduk di hadapanku yang kosong karena kantin sedang penuh.

Aku masih berharap Aya datang, meskipun sepertinya tidak mungkin. "Silakan." jawabku.

Kuguncang-guncangkan es jerukku kerena aku tidak pakai sedotan. Rasanya semakin manis, tapi masih kalah dari manisnya senyum Aya yang mahal.

Aku mencoba menunggu sepuluh menit lagi. Aya tidak datang. Aku menyerah. Sebentar lagi ada kelas. Kutinggalkan kantin dengan langkah gontai.

Baru saja keluar kantin, dari arah  berlawanan aku melihat Aya berjalan beriringan dengan teman perempuannya. Masih dengan style yang sama, membawa tab dan buku, ada headphone melingkar di leher. Tepat saat aku melihat, Aya juga melihatku. Mata kami bertemu. Aku senang, tapi kutahan tubuhku berjingkat-jingkat. Kutahan diriku agar tidak berlari dan memeluk Aya yang kecil itu. Arghhhh.... 

Tanpa bicara dan menjadi pura-pura tidak saling lihat. Kami berlalu begitu saja bak orang asing. Seasing itu kita sekarang, Ay?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
A Man behind the Whistle
1476      655     2     
Action
Apa harga yang harus kau tukarkan untuk sebuah kebenaran? Bagi Hans, kepercayaan merupakan satu-satunya jalan untuk menemukannya. Broadway telah mendidiknya menjadi the great shadow executant, tentu dengan nyanyian merdu nan membisik dari para Whistles. Organisasi sekaligus keluarga yang harus Hans habisi. Ia akan menghentak masa lalu, ia akan menemukan jati dirinya!
Unforgettable
567      400     0     
Short Story
Do you believe in love destiny? That separates yet unites. Though it is reunited in the different conditions, which is not same as before. However, they finally meet.
Dessert
1037      544     2     
Romance
Bagi Daisy perselingkuhan adalah kesalahan mutlak tak termaafkan. Dia mengutuk siapapun yang melakukannya. Termasuk jika kekasihnya Rama melakukan penghianatan. Namun dia tidak pernah menyadari bahwa sang editor yang lugas dan pandai berteman justru berpotensi merusak hubungannya. Bagaimana jika sebuah penghianatan tanpa Daisy sadari sedang dia lakukan. Apakah hubungannya dengan Rama akan terus b...
TeKaWe
1139      630     2     
Humor
bagaimana sih kehidupan seorang yang bekerja di Luar Negeri sebagai asisten rumah tangga? apa benar gaji di Luar Negeri itu besar?
Kinara
4721      1678     0     
Fantasy
Kinara Denallie, seorang gadis biasa, yang bekerja sebagai desainer grafis freelance. Tanpa diduga bertemu seorang gadis imut yang muncul dari tubuhnya, mengaku sebagai Spirit. Dia mengaku kehilangan Lakon, yang sebenarnya kakak Kinara, Kirana Denallie, yang tewas sebagai Spirit andal. Dia pun ikut bersama, bersedia menjadi Lakon Kinara dan hidup berdampingan dengannya. Kinara yang tidak tahu apa...
Moment
318      273     0     
Romance
Rachel Maureen Jovita cewek bar bar nan ramah,cantik dan apa adanya.Bersahabat dengan cowok famous di sekolahnya adalah keberuntungan tersendiri bagi gadis bar bar sepertinya Dean Edward Devine cowok famous dan pintar.Siapa yang tidak mengenal cowok ramah ini,Bersahabat dengan cewek seperti Rachel merupakan ketidak sengajaan yang membuatnya merasa beruntung dan juga menyesal [Maaf jika ...
My Big Bos : Mr. Han Joe
632      384     2     
Romance
Siapa sih yang tidak mau memiliki seorang Bos tampan? Apalagi jika wajahnya mirip artis Korea. Itu pula yang dirasakan Fraya ketika diterima di sebuah perusahaan franchise masakan Korea. Dia begitu antusias ingin segera bekerja di perusahaan itu. Membayangkannya saja sudah membuat pipi Fraya memerah. Namun, apa yang terjadi berbeda jauh dengan bayangannya selama ini. Bekerja dengan Mr. Ha...
Kita
692      453     1     
Romance
Tentang aku dan kau yang tak akan pernah menjadi 'kita.' Tentang aku dan kau yang tak ingin aku 'kita-kan.' Dan tentang aku dan kau yang kucoba untuk aku 'kita-kan.'
Unending Love (End)
16960      2529     9     
Fantasy
Berawal dari hutang-hutang ayahnya, Elena Taylor dipaksa bekerja sebagai wanita penghibur. Disanalah ia bertemua makhluk buas yang seharusnya ada sebagai fantasi semata. Tanpa disangka makhluk buas itu menyelematkan Elena dari tempat terkutuk. Ia hanya melepaskan Elena kemudian ia tangkap kembali agar masuk dalam kehidupan makhluk buas tersebut. Lalu bagaimana kehidupan Elena di dalam dunia tanpa...
Her Glamour Heels
538      374     3     
Short Story
Apa yang akan kalian fikirkan bila mendengar kata heels dan berlian?. Pasti di khayalan kalian akan tergambar sebuah sepatu hak tinggi mewah dengan harga selangit. Itu pasti,tetapi bagiku,yang terfikirkan adalah DIA. READ THIS NOWWW!!!!