Loading...
Logo TinLit
Read Story - Batas Sunyi
MENU
About Us  

Elaine

Orang akan bilang aku bodoh atau mungkin gila karena menerima cinta seseorang yang telah menjadikanku opsi. Aku pernah sangat mengaguminya dan kini aku bisa bersanding dengannya dan direstui oleh Mas Ethan. Meskipun tidak seratus persen merestui keputusanku. Aku sudah bilang pada Mas Ethan, aku harus merasakan apa yang ingin kurasakan sejak menaruh hati pada Setha.

Dan kini, aku kembali menyentuh luka itu. Tapi bukan untuk merawatnya, melainkan untuk memastikan bahwa rasa yang dulu begitu membuncah sudah tidak lagi memiliki kuasa atas hatiku. Atau setidaknya, aku kira begitu.

Kami resmi menjadi sepasang kekasih. Setha memperlakukanku dengan sangat baik dan manis. Jauh dari ekspektasi awalku. Ini terlalu manis dan terlalu indah untuk harus kuakhiri segera. Aku hanya berniat menjalin hubungan dengan Setha, paling lama 3 hari saja. 

“Kamu serius, dek?” Mas Ethan di sana terdengar khawatir mendengar keputusanku. Sebelum mengiyakan ajakan Setha untuk berkomitmen. “Emang nggak ada cara lain, dek?” Mas Ethan sudah berusaha untuk mencegahku. Namun, aku meminta izin pada Mas Ethan untuk harus melakukan ini.

Aku bilang pada Mas Ethan, aku hanya akan sedikit memberikan pelajaran pada Setha. Aku berjanji akan baik-baik saja. Tekadku sudah bulat. Aku memikirkan ini seharian penuh.

Pagi ini mobil civic warna putih milik Setha sudah parkir rapi di depan halaman rumah. Padahal rumahnya berjarak 5 km dari rumahku. Effort-nya ku acungi jempol. Selama ini aku menilai, Setha memang tulus dan dia serius menyayangiku. Memperlakukanku seperti seorang puteri.

“Good morning, babe.” tubuh tinggi menjulang Setha menjadi pemandanganku beberapa hari terakhir di depan pintu, di pagi hari. Hari ini, hari ketiga. Hari terakhir hubungan ini dan aku yang harus mengakhiri semua.

Setha tampak manis. Dia datang dengan pakaian casual yang cocok sekali di tubuhnya. Ia pakai oversized kemeja putih, celana baggy denim, dan canvas sneakers senada. Hari ini Setha pakai kacamata juga. Dulu aku selalu tergila-gila saat Setha menggunakan kacamata yang jarang ia pakai itu. Dari dulu Setha memang selalu bersinar.

Senyumnya barusan, tiba-tiba membuatku merasa bersalah mengingat ini hari terakhir kami. “Gimana? Udah siap? Ada yang ketinggalan, nggak?” kalimat yang sama. Membuatku lebih siap dan tidak meninggalkan apapun yang penting.

Aku mengangguk, ”Aku sudah siap. Ayo berangkat.”

Setha menyiapkan lengannya untuk kugandeng. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menyambut gandengannya. “Awas batu…” katanya yang tidak mau aku sampai tersandung. Setha bahkan membukakan pintu mobil untukku.

Perasaanku makin tidak karuan. Dua hari terakhir aku tidak sabar menunggu hari ini. Terrnyata aku salah, apa aku justru terjebak dalam permainanku sendiri. Aku ternyata menikmatinya. Aku senang akhirnya bisa hidup dalam mimpiku selama ini. Di sebelahku, kini ada seseorang yang ternyata sama memendamnya.

“Sabuk pengaman udah, Ay?” tanya Setha segera setelah mengaitkan sabuk pengaman miliknya. Anggukanku menjadi jawaban. Tadinya, aroma parfum ini pada Sabda, mengingatkanku pada Setha. Sekarang justru sebaliknya.

Sepanjang perjalanan menuju kampus, kami tidak banyak bicara. Tidak terlalu sepi karena Setha memutar musik di mobilnya. Kepalaku lebih banyak melihat ke kiri selama perjalanan. Aku kaget waktu seseorang dengan vespa matic mengebut dan menyelip dari kiri. Saat aku sadari, ternyata itu Sabda. Aku tahu itu Sabda, tetapi sepertinya Setha tidak tahu.

Setha membunyikan klakson. “Orang gila kali ya. Kayak sengaja banget jalan di depan pas di tengah.” Sekali lagi Setha membunyikan klakson. Baru setelah hampir satu menit dia menghalangi perjalanan kami, dia baru melesat pergi.

“Mau kutabrak tapi ntar panjang urusannya. Mobilku juga eman-eman baru habis aku ppf.” keluh Setha bermonolog karena sedari tadi aku tidak meresponsnya. Setelah sempat bersabar, kali ini Setha menginjak gas untuk mengejar waktu yang terbuang. 

Civic-nya berhenti di seberang jalan menuju fakultasku. “Aman, masih ada waktu 10 menit.” Setha juga selalu memastikan aku tidak terlambat kelas pagi.

“Aku kelas dulu ya, kamu hati-hati. Jangan ngebut.” pesanku padanya sebelum beranjak. Setha mengangguk bahagia lalu meraih puncak kepalaku dan mengacak-acak pelan rambutku.

“Ganbatte!” katanya kemudian. Aku belum bilang ya kalau Setha ini cukup wibu meski tidak akut. Dari posisiku sekarang yang menghadap Setha, aku bisa melihat Sabda menyebrang. Kami sempat bertemu mata, namun kemudian Sabda membuang muka sambil memasang earbuds. Dia melintas di sebelah kami seperti orang asing. Aku pikir setelah aksi jahilnya menghalani mobil Setha, setidaknya dia akan menegur. Ah, sudahlah.

“Bye…” Setha sudah di mobil, melambai padaku, sebelum memutar balik mobilnya. 

Aku melangkah searah dengan Sabda yang sudah tinggal terlihat punggungnya yang mengecil. Kami pernah seasing ini dan kembali seperti ini seharusnya tidak masalah, kan? Fokus, Aya, hari ini ada ujian.

Mata kuliah 2 sks yang diisi ujian akhirnya berakhir. Kepalaku pusing dan langsung menjadi lapar. Apalagi sebentar lagi aku datang bulan, rasa laparku semakin tidak bisa diajak kompromi. Aku memang tipikal yang akan lebih banyak makan saat pms.

Sudah lama aku tidak makan di kantin FEB. Sebenarnya sengaja menghindarinya. Namun hari ini saat kuintip, dia tidak ada. Semenjak Tara punya pacar, kami jadi tidak pernah makan bareng lagi. Dia lebih sering makan berdua dengan pacarnya yang dari teknik itu. Aku sendirian lagi.

“Mbak Sinta, kayak biasa ya. Nulis nggak?”

“Nggak usah, Mbak Cantik. Masih sepi ini.”

“Makasih, Mbak.” baru aku akan berbalik mencari tempat duduk, Mbak Sinta mencegahku.

“Eh, eh, eh, Mbak Cantik. Ini bukunya Mas Sabda ketinggalan. Beberapa hari lalu dia makan di sini terus lupa nggak bawa bukunya.” Mbak Sinta menyerahkan novel Keajaiban Toko Kelontong Namiya padaku. Aku menerimanya dengan kikuk dan bingung. Entah kenapa rasanya aku ingin menangis. 

Tanganku gemetar saat menerimanya. Rasanya seperti kembali ditampar oleh kenangan. Bukankah ini novel yang sering kubaca? Kenapa dia baca ini juga?

Aku duduk di pojokan favoritku, dekat kaktus. Membuka halaman acak. Di sana, sebuah post-it kecil terselip. Tulisannya samar, tapi aku mengenal tulisan itu. Rupanya Sabda juga suka meng-anotasi tulisan.

Ini kan, fotoku. Dia pakai fotoku sebagai pengganti bookmark? Hasil foto dengan kamera polaroid. Jadi Sabda pernah diam-diam memotretku pakai kamera polaroid yang waktu itu katanya dia pinjam milik adiknya? Hatiku berdesir hebat.

Hari ini hari ketiga. Harusnya aku sudah bersiap untuk mengakhiri hubungan ini. Tapi di detik ini, dengan novel di tanganku, dan perasaan berserakan di antara dua nama, aku tidak tahu harus melangkah ke mana.

Tinggal beberapa jam lagi sebelum hari ini berakhir. Aku sudah mengirimkan pesan pada Setha untuk bertemu lagi nanti malam. Aku mengajaknya bertemu di kafe daerah Wirobrajan. Dia mengiyakan. Aku bilang tidak perlu jemput. Awalnya dia memaksa ingin jemput, tetapi aku mengancam membatalkan pertemuan jika dia keras kepala. 

Waktu berlalu begitu cepat. Adzan maghrib selesai berkumandang. Aku segera menunaikan ibadah sebelum bersiap pergi. Malam ini aku sengaja mengajak Nikel. Sebelumnya Nikel sudah aku briefing agar membersamaiku dalam jarak aman. Aku akan bersikap seolah datang naik ojol.

Udara malam Jogja terasa hangat. Di salah satu sudut kafe semi terbuka ini, aku duduk sendiri. Sinar lampu gantung yang berpendar temaram menyoroti wajahku yang diam-diam memantulkan resah. Di depanku meja kayu panjang bercorak rustic, dua gelas minuman telah tersedia. Uap dari hot chocolate pesanan Setha masih mengepul, sedangkan es teh lemonku mulai mencair.

Aku sudah mencari tempat yang paling nyaman untuk kami duduk sementara Nikel berada pada radius cukup jauh. Terlambat lagi. Lima belas menit kemudian, baru terlihat batang hidungnya. Berpakaian serba hitam dari ujung kepala hingga sepatu, apakah tanpa sadar ia sudah bersiap untuk berkabung?

Sepatu loafers hitam mengilap, celana slim fit, dan jaket bomber hitam membuat siluet tubuh Setha tampak seperti bayangan panjang dari seseorang yang datang membawa duka. Di tangannya, ponsel masih menyala. Di wajahnya, senyum tipis yang biasa membuat dadaku hangat, kini malah membuatku sesak.

Tanganku agak dingin saking gugupnya. Tanpa sadar, aku mengetuk-ngetukkan jari ke gelas, ritme gugup, namun terkendali.

“Maaf, Ay, aku terlambat. Aku habis ketemu sama Bupati.” ujarnya sambil menarik kursi.

“Nggak apa-apa.” jawabku santai. Saking lama menunggunya, pesanan kami sudah tersedia di meja. Malah bisa menikmati makan malam dulu sebelum ke acara inti. Setha begitu excited menceritakan harinya padaku. Menceritakan hasil pertemuannya dengan Pak Bupati katanya bahas event dan dia diamanahi menjadi MC.

Seperti biasa, aku belum selesai makan saat piring Setha telah licin. Aku sadar berkali-kali Setha mengarahkan kamera handphone-nya ke arahku. “Cantiknya…” gumamnya sambil terus memotret. Tidak lama kemudian Setha mulai sibuk kembali dengan ponselnya. Wajahnya serius mengetik sesuatu yang kuprediksi adalah urusan pekerjaan.

Aku baru saja selesai makan. Kutenggak air mineral dinginku sampai habis, lalu menarik napas. Menghitung mundur dari 10, 9, 8, 7, 6, 5…

“Ay, nanti kita foto di situ yuk. Kayaknya bagus.”

4, 3, 2, 1…

“Mas Setha, kita udahan aja ya.”

Setha yang tadinya fokus menatap layar langsung menatapku dengan ekspresi kaget setengah mati. “Eh, bentar-bentar. Kayaknya aku salah dengar, live music-nya keras banget. Aya bilang apa barusan?”

Aku menatap tepat di matanya yang berpendar terkan pantulan lampu taman, “Putus.”

Setha mematung. Matanya, yang biasanya menenangkan, kini tampak berkabut. Bahunya merosot. Napasnya berubah cepat. “Kenapa, Ay?” Aku hampir tidak sanggup membalas tatapannya.

Aku mengalihkan pandangannya sebentar ke lampu gantung di atas kepala kami, lalu kembali menatap Setha.

"Mas Setha sadar nggak?" Aku berdeham, tenggorokanku sakit. "Mas baru datang ke aku setelah semua pilihan lain nggak berhasil. Setelah semuanya gagal, baru aku dicari." Aku berhenti sejenak, membiarkan Setha mencerna kata-kataku.

"Mas mungkin merasa sekarang waktunya tepat, tapi aku nggak bisa berpura-pura seolah semua ini adil buat aku. Perasaanku udah nggak sama. Aku butuh dicari saat aku juga masih berharap, bukan sekarang, saat semuanya cuma sisa."

Setha mengatupkan bibirnya. Matanya mulai merah. Dia tampak ingin mendekat, tapi tidak jadi.

“Aku bahagia kamu pilih aku. Tapi bukan karena kamu kehabisan pilihan.”

Setha terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca. Setha ingin bicara. Tapi kata-katanya tertahan. Ia hanya menatapku, seolah memohon. Tapi dia tidak akan menemukan jawaban dari mataku, selain keteguhan yang sudah terlalu lama aku bangun susah payah.

“Jadi... ini perpisahan?”

Aku mengangguk. “Terima kasih sudah membuat aku bahagia tiga hari ini. Tapi aku nggak mau mencintai kamu hanya karena dulu aku pernah ingin. Aku mau mencintai seseorang karena sekarang aku yakin.”

Dia tidak bicara lagi. Hanya mengangguk, lalu mengusap wajahnya. Setha menangis, aku juga. "So, this is how I’m being punished, isn’t it?" katanya sambil berusaha tertawa padahal sedang menangis sejadi-jadinya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Antara Tol dan Nasi Bebek
27      26     0     
Romance
Sebuah kisah romantis yang ringan, lucu, namun tetap menyisakan luka dalam diam.
A - Z
3023      1031     2     
Fan Fiction
Asila seorang gadis bermata coklat berjalan menyusuri lorong sekolah dengan membawa tas ransel hijau tosca dan buku di tangan nya. Tiba tiba di belokkan lorong ada yang menabraknya. "Awws. Jalan tuh pake mata dong!" ucap Asila dengan nada kesalnya masih mengambil buku buku yang dibawa nya tergeletak di lantai "Dimana mana jalan tuh jalan pakai kaki" jawab si penabrak da...
When Home Become You
431      324     1     
Romance
"When home become a person not place." Her. "Pada akhirnya, tempatmu berpulang hanyalah aku." Him.
Man in a Green Hoodie
5005      1224     7     
Romance
Kirana, seorang gadis SMA yang supel dan ceria, telah memiliki jalan hidup yang terencana dengan matang, bahkan dari sejak ia baru dilahirkan ke dunia. Siapa yang menyangka, pertemuan singkat dan tak terduga dirinya dengan Dirga di taman sebuah rumah sakit, membuat dirinya berani untuk melangkah dan memilih jalan yang baru. Sanggupkah Kirana bertahan dengan pilihannya? Atau menyerah dan kem...
Mana of love
230      162     1     
Fantasy
Sinopsis Didalam sebuah dimensi ilusi yang tersembunyi dan tidak diketahui, seorang gadis tanpa sengaja terjebak didalam sebuah permainan yang sudah diatur sejak lama. Dia harus menggantikan peran seorang anak bangsawan muda yang dikenal bodoh yang tidak bisa menguasai teknik adu pedang yang dianggap bidang unggul oleh keluarganya. Namun, alur hidup ternyata jauh lebih kompleks dari ya...
Sisi Lain Tentang Cinta
782      439     5     
Mystery
Jika, bagian terindah dari tidur adalah mimpi, maka bagian terindah dari hidup adalah mati.
SURAT CINTA KASIH
582      423     6     
Short Story
Kisah ini menceritakan bahwa hak kita adalah mencintai, bukan memiliki
Pisah Temu
1039      561     1     
Romance
Jangan biarkan masalah membawa mu pergi.. Pulanglah.. Temu
I\'m Too Shy To Say
463      317     0     
Short Story
Joshua mencintai Natasha, namun ia selalu malu untuk mengungkapkannya. Tapi bagaimana bila suatu hari sebuah masalah menimpa Joshua dan Natasha? Akan masalah tersebut dapat membantu Joshua menyatakan perasaannya pada Natasha.
Eagle Dust
324      239     0     
Action
Saat usiaku tujuh tahun, aku kehilangan penglihatan karena ulah dua pria yang memperkosa mom. Di usia sebelas tahun, aku kehilangan mom yang hingga sekarang tak kuketahui sebabnya mengapa. Sejak itu, seorang pria berwibawa yang kupanggil Tn. Van Yallen datang dan membantuku menemukan kekuatan yang membuat tiga panca inderaku menajam melebihi batas normal. Aku Eleanor Pohl atau yang sering mereka...