Loading...
Logo TinLit
Read Story - Batas Sunyi
MENU
About Us  

Everyone wants him
That was my crime
The wrong place at the right time
And I break down, then he's pullin' me in
In a world of boys, he's a gentleman

 

Elaine

Aku sudah lama menunggu saat ini tiba, namun saat benar-benar tiba ternyata tidak sesuai dengan apa yang aku bayangkan. Aku tidak bahagia dengan ungkapan perasaan Setha. Aku justru dibuat bertanya-tanya. Apakah itu artinya aku dijadikan second choice olehnya setelah tidak bisa melanjutkan dengan Cecil? Lalu kenapa jika dia tahu kalau aku menyukainya sejak lama dia malah berakhir bersama perempuan lain. Aku tidak mengerti bagaimana logikanya berjalan. Sekarang aku bingung harus meminta pendapat siapa. 

Sudah berkali-kali aku mencoba fokus membaca, apa daya pikiranku melayang kemana-mana. Aku tutup bukuku agak kasar kemudian segera menyesap kopi hazelnut yang masih hangat di hadapanku. Kulihat ke sekeliling, orang-orang sibuk dengan urusan masing-masing. Tempat ini cukup tenang dengan musik vibes ghibli sehingga aku beberapa kali ke kafe ini untuk baca buku. Posisiku selalu sama, menempel tembok di ujung kafe. Sendirian. Aku tidak pernah mengajak siapapun ke sini.

Aku mencari nama Mas Ethan di daftar kontak. Sekarang hari Rabu, aku sedang jam kosong karena dosenku berhalangan hadir dan baru akan kelas nanti jam 2 siang. Saat ini waktu menunjukkan pukul 10.11 di layar ponselku. Berarti di Jerman, yang saat ini menggunakan waktu CEST (UTC +2), adalah pukul 05.11 pagi. Jerman berada 5 jam di belakang WIB saat musim panas. Mas Ethan pasti sudah bangun, dia harusnya sholat subuh kan.

Setelah dering ketiga, teleponku akhirnya diangkat. "Guten Morgen." terdengar suara di seberang sana. Suara yang bisa kubayangkan bagaimana ekspresi Mas Ethan, dia pasti sedang tersenyum. "Hey Aya! What’s up calling so early? In Indonesia, it must be around 10 o'clock, right? Don’t you have any classes today?"

"Jam kosong, Mas. Udah sarapan?"

"I just finished making an omelet."

"Hari ini sarapan pakai omelet sama apa?"

"Omelet, brötchen selai keju, sama susu." Mas Ethan memaparkan dengan excited.

"Makanan orang jerman ya."

"Nanti jam 10 paling aku lapar lagi." suara Mas Ethan selalu membuatku nyaman. Aku senang dia baik-baik saja. "So, ada apa nih nelpon Mas? Tumben?" aku memang jarang menghubunginya duluan. Biasanya Mas Ethan yang menelpon. Itu pun sering tidak kuangkat karena aku banyak urusan: baca buku dan mengaktifkan mode dnd, rapat majalah jurusan (ya, aku belum cerita ya aku keterima media di jurusanku?), atau sedang mode tidak ingin diganggu secara harfiah. Jujur aku jarang pegang hape.

"Aneh ya aku tiba-tiba nelpon Mas Ethan duluan." gumamku sambil memainkan ujung kemeja yang sedang kukenakan.

"Nggak aneh cuman tumben aja. Gimana, gimana?"

"Soal Setha, Mas." aku berusaha to the point. "Tapi kalau Mas Ethan mau sarapan dulu, boleh. Nanti hubungi aku kalau Mas Ethan selesai sarapan."

"No, no, no. Setha? Prasetya Setha Tama?"

"Iya, teman sekelas Mas Ethan. Dulu tetangga kita."

"Kenapa dia?"

"Menurut Mas Ethan, dia orangnya gimana?"

"Wait, dalam rangka apa tiba-tiba nanya dia orangnya gimana?"

Sepertinya aku tidak bisa hanya sekadar bertanya. Mas Ethan pasti akan menanyakan latar belakang aku mengajukan pertanyaan seperti itu pagi-pagi bahkan sebelum dia sempat memakan sarapannya. Aku akan mencoba peruntungan, "Tidak apa-apa sih, cuman pengen tahu aja."

"Dia akhirnya nembak kamu?"

Kenapa aku merasa aneh dengan sisipak kata 'akhirnya' pada pertanyaan kakak sulungku barusan? Aku mengangguk, lalu sadar Mas Ethan tidak dapat melihat anggukanku. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan situasiku kepada Mas Ethan. Suara di seberang telepon terdengar tenang, seolah dia sudah siap mendengarkan curhatanku.

Aku menghela napas panjang, "Jadi gini, Mas. Beberapa hari yang lalu, Setha mengungkapkan perasaannya ke aku," kataku, mencoba untuk tidak terdengar terlalu cemas. "Tapi, aku merasa aneh. Kalau boleh jujur nih ya..." aku lumayan berat mengatakan ini, "...dulu aku memang suka sama dia." imbuhku akhirnya.

Tidak ada nada kaget dari suaranya, "Dulu Setha bilang ke Mas. Kalau dia suka sama kamu. Tapi memang Mas minta dia untuk nggak gangguin kamu karena kamu harus fokus belajar."

Suara Mas Ethan dari seberang sana masih terdengar, tenang dan sangat hati-hati, tapi kepalaku berdenyut pelan seolah tubuhku menolak semua informasi yang masuk terlalu cepat. Tanganku gemetar sedikit saat meraih cangkir kopiku, bukan karena panas kopi, tapi karena satu kalimat yang ia ucapkan tanpa beban: "Dulu Setha bilang ke Mas, dia suka sama kamu."

Rasanya seperti didorong mundur ke masa lalu yang tak pernah selesai kuurai.

"Jadi... dia tahu aku suka dia?" Padahal selama ini aku pikir aku cukup lihai menyembunyikan perasaanku.

"Mas nggak tahu sejauh itu. Tapi waktu itu dia cukup yakin kamu ada rasa juga. Cuma ya, setelah itu dia malah deket sama Cecil, kan?"

Tiba-tiba, aroma kayu manis dari loyang muffin yang baru dipanggang terasa terlalu manis, nyaris menyesakkan. Musik piano khas Ghibli yang biasanya menenangkan, kini terdengar seperti gema jauh dari ruang kosong.

Kupandangi langit-langit kafe, mencoba menahan air mata yang menggantung rapuh di pelupuk mata. Kenapa baru sekarang Setha bicara? Dan kenapa saat dia akhirnya datang padaku, rasanya seperti tawaran sisa dari sesuatu yang sudah lama jatuh dan tidak dipungut?

Aku bisa dengar jelas suara Mas Ethan menarik napas yang terdengar dalam, lalu berkata pelan, "Kamu sedih? Are you mad at me?"

Pertanyaan itu seperti pisau kecil yang mengiris pelan. Bukan karena tajamnya, tapi karena kejujurannya. Saat ini aku berada di titik kecewa dan marah. Kenapa Mas Ethan dengan mudahnya mencampuri urusanku? Kenapa juga Setha malah ngomong ke Mas Ethan bukan ke aku langsung? Kenapa juga aku sekarang harus marah padahal dulu memang aku tidak ingin seorang pun tahu soal perasaanku. Agar jika bertepuk sebelah tangan, aku bisa menyembuhkan luka hatiku sendirian dan diam-diam.

"Sedih sih, Mas. Tapi lebih ke... bingung. Kenapa sekarang? Kenapa setelah gagal sama Cecil?" aku mencoba menata cara bicaraku agar tidak terdengar marah.

"Dan kamu ngerasa kamu cuma pelampiasan? Memang Setha bodoh itu."

Hening sesaat.

"Aya..." Suara Mas Ethan berubah hangat, tapi tetap tenang. "Perasaan kamu valid. Wajar kamu ngerasa ragu, buat mikir dua kali. Justru itu yang bikin kamu nggak gegabah.”

Aku mengangguk. Pandanganku kini buram karena embun dari gelas kopi yang menyentuh meja. Tapi bukan itu yang membuat penglihatanku kabur. Mataku mulai terasa memanas, kerongkonganku terasa sakit.

“You know what scared me the most back then?

“Apa?”

“Dia terlalu friendly. I know that’s his job—to serve his fans. I was scared you’d end up heartbroken. Because Setha... from what I’ve seen, he’s always been that guy — close to so many girls, always hanging out with a different one every other week. Even if he says they’re just friends, I couldn’t bear the thought of you being just another girl he plays around with.

Aku menghela napas panjang, dan senyum pahit tersungging tanpa sadar. Ada kesal yang pelan-pelan tumbuh di dalam dada, bercampur getir. Kalau boleh jujur, aku kecewa. Pada semua. Pada diriku yang hanya diam saja dan berharap orang lain peka. Pada Setha yang kenapa waktu itu tidak langsung bicara padaku saja? Dan pada Mas Ethan yang menyimpan semua ini rapat-rapat sampai akhirnya aku tahu hari ini juga, detik ini juga.

"I know he was nice when he lived next door, always polite and respectful. But no matter how much I want to accept it, I just can’t overlook that other side of him — the side that hurts you. That part, I refuse to accept. Because protecting you means not turning a blind eye to what could break your heart." Mas Ethan yang sepertinya merasa bersalah dan merasa aku marah atas kejadian ini, memberikan pemaparan cukup panjang yang perlahan mulai dapat kuterima.

Aku mengingat bagaimana aku menyukainya dalam diam. Menjaga jarak agar perasaanku tidak merepotkan siapa-siapa, bahkan dirinya. Tapi nyatanya, diamku tidak menyelamatkanku dari rasa ini.

Tanganku mengepal perlahan di atas pangkuan.

Mas Ethan bilang dia pernah memperingatkan Setha. Aku seharusnya merasa dilindungi, tapi justru ada nyeri kecil di sana. Bukan karena Mas salah, tapi karena aku menyadari, mungkin sejak dulu aku memang tidak pernah benar-benar jadi pilihan.

Dan hari ini, aku harus mengakui pada diriku sendiri: ada ruang dalam diriku yang kecewa. Bukan karena perasaanku tak dibalas, tapi karena perasaan itu baru dianggap penting setelah segalanya terlambat.

Sementara dari seberang lautan, suara Mas Ethan kembali terdengar. Lembut, tidak mendesak, hanya hadir seperti cahaya pagi yang menyusup pelan dari sela-sela tirai. Ia tidak menghakimi, tidak memberi nasihat panjang, hanya menjadi tempat yang cukup untuk menampung diamku.

Telepon tetap tersambung.

Kami tidak banyak bicara setelah itu. Tapi rasanya justru itu yang paling menenangkan ketika seseorang tidak memaksa kita untuk menjelaskan rasa sedih yang bahkan belum kita pahami sepenuhnya.

Aku menyandarkan punggung ke dinding bata ekspos yang terasa dingin di bahuku. Cangkirku kini tinggal setengah, dan jendela besar di ujung ruangan menyaring sinar matahari yang mulai hangat.

Kupandangi layar ponsel yang menyala redup. Namanya masih tertulis di sana: Mas Ethan. Kukembalikan daun telingaku menempel pada layar.

"Aya, are you still there?"

"Masih, Mas..."

"Sekarang aku balikin ke kamu. Kamu boleh mencoba membuka hati buat dia karena toh kalian punya perasaan yang sama. Or maybe not. I won’t get involved this time. You’re both grown-ups now."

Aku diam. Kehilangan kata-kata.

"Aya, remember this. Sometimes, the confession you longed for arrives not as a gift, but as a test."

Kami sepakat mengakhiri panggilan hari ini. 

Setelah telepon ditutup, aku membiarkan diriku larut dalam diam, membiarkan detak jarum jam kafe dan denting gelas para pengunjung menjadi satu-satunya pengingat waktu yang berjalan. Ada perasaan kosong yang aneh, seperti setelah selesai menangis dalam mimpi. Terasa lega, tapi menggantung.

Kupandangi bayangan diriku di jendela kafe. Wajah yang selama ini selalu berusaha terlihat tenang. Aku menyentuh dada kiriku, mencari detak yang biasanya riuh setiap kali mengingat namanya. Tapi kini, yang kurasakan hanya keheningan. Bukan karena rasa itu hilang, tapi karena rasanya sedang berusaha berdamai dengan realita.

Mungkin memang benar, aku menyukai Setha terlalu lama dalam diam. Tapi cinta yang tak pernah dinyatakan tidak bisa menuntut apa-apa.

Siang harinya aku berpapasan dengan Bian. Aku baru tiba di kampus dan dia baru akan pulang setelah selesai kelas. Sebetulnya aku ingin menghindari segala bentuk pertanyaan, tapi... "Kalian lagi berantem, kah?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir teman sekontrakan Sabda. "Dia nggak ikut ujian hari ini. Bolos."

Belum sempat mengatakan apapun, dia menghela napas. Sepertinya memang karena buru-buru juga. "Jangan lama-lama berantemnya. Dan jangan sia-siain temenku yang soft-hearted itu. Badannya boleh bongsor, tapi hatinya mungil." Bian mengangkat tangannya agak tinggi sebagai salam perpisahan. 

Tidak ada pesan dari Sabda sama sekali sudah 24 jam lebih. Lumayan terasa sepi. Setiap pagi terhitung sejak Nikel masuk rumah sakit (hubungan kami mendadak jadi dekat), Sabda selalu mengirimkanku pesan di WhastApp yang berbunyi: Aya sudah bangun, kan?

Biasanya dia juga akan mengirimkan chat random seperti 'selamat pagi' atau 'mending makan kadal atau ular?' atau memborbardir DM Instagram-ku dengan banyak reels. Biasanya spam reels di Instagram akan ku react dalam sekali waktu. Kadang juga hanya aku buka saja untuk menghilangkan notifikasinya. Apakah ini yang bisa kusebut kangen? Ternyata kehilangan chat darinya saja seberpengaruh ini dalam ritme hidupku sekarang.

kangen /ka·ngen/ v
merasa sangat ingin bertemu atau berjumpa (karena sudah lama tidak bertemu); rindu.

Apakah aku berhak untuk merindukan Sabda sekarang? 

"Hidup lebih lama ya, Ay..." pesan random darinya hampir setiap hari di penghujung hari yang selalu berhasil membuatku menitikkan air mata. Hari ini pesan itu tidak datang. Dan aku egois karena berharap setelah mengabaikannya selama ini.

 

Sabda

Aku bolos kelas dan langsung menuju gym langgananku, tempat di mana biasanya aku bisa lari dari keruwetan pikiran. Ruangan itu luas, dengan dinding kaca yang membiarkan sinar matahari masuk berkelebat di antara alat-alat latihan yang berjejer rapi. Suara dentingan besi, desisan mesin treadmill, dan gelegar musik keras memenuhi ruang itu, menciptakan suasana yang bising tapi aku justru merasa nyaman di tengah keramaian seperti ini.

Biasanya, aku jarang pakai earbuds di tempat umum karena aku suka ngobrol, bertukar cerita dengan orang sekitar. Tapi hari ini berbeda. Pikiranku sedang kacau, dan aku benar-benar ingin mengunci diri dalam duniamu sendiri. Bahkan saat aku sampai di kontrakan tadi, aku sempat mengabaikan Bian dan Karel yang coba mengajakku ngobrol.

Aku cepat-cepat memasukkan earbuds ke telinga, merasakan denting musik yang memekakkan di aliran nadiku, lalu mengeraskan volume sampai dunia luar menjadi jauh dan hampa. Biasanya di gym ini, beberapa cewek random suka mendekat, menggoda dengan senyum dan tatapan yang sengaja diperlihatkan. Mereka ingin perhatian, kadang pura-pura lemah supaya aku ikut membantu mereka, entah apa alasannya. Tapi hari ini aku benar-benar tidak punya energi untuk basa-basi atau senyum palsu.

Aku menatap alat berat yang menunggu, dan dengan langkah berat, mulai latihan. Musik berdentum di telingaku, memblokir semua suara kecuali detak jantung yang makin cepat. Di sini, di antara besi dan keringat, aku cuma ingin melarikan diri dari segala keruwetan yang menggulung di kepala.

Seseorang menepuk perut kananku saat sedang di palang pull-up, tubuhku naik turun dengan ketegangan otot yang terlihat. Tepukan tersebut bikin aku harus turun dulu, menghela napas sejenak, lalu menoleh dengan sedikit waspada. Ternyata Mas Nando, beliau trainerku saat masih baru di sini.

"Da, udah lama nggak lihat kamu. Dua mingguan?" aku tidak bisa nyuekin orang baik satu ini. Alhasil aku menjabat tangannya dan membungkuk sangat dalam. Suara hehe canggung saja yang keluar. "Biasanya kalau ke sini lagi stres nih." kelakar Mas Nando yang tidak meleset. Dia sangat hafal kebiasaanku.

"Ya udah, lanjut deh, Da." Syukurlah Mas Nando paham dengan pikiranku yang sedang kalut kemudian membiarkanku kembali hanyut dengan skenario di kepalaku sendiri. Kupasang kembali earbud satunya. Lantunan lagu drunk text yang dinyanyikan Henry Moodie seolah menjadi soundtrack of my life hari ini.

Oh, and here we go again
Destroying myself to keep a friend
Hiding away 'cause I was afraid you'd say no
I wonder if I cross your mind
Half as much as you do mine
If I tell you the truth
What will I lose? I don't know

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Hematidrosis
391      261     3     
Short Story
Obat yang telah lama aku temukan kini harus aku jauhi, setidaknya aku pernah merasakan jika ada obat lain selain resep dari pihak medis--Igo. Kini aku merasakan bahwa dunia dan segala isinya tak pernah berpihak pada alur hidupku.
Langit Tak Selalu Biru
67      57     4     
Inspirational
Biru dan Senja adalah kembar identik yang tidak bisa dibedakan, hanya keluarga yang tahu kalau Biru memiliki tanda lahir seperti awan berwarna kecoklatan di pipi kanannya, sedangkan Senja hanya memiliki tahi lalat kecil di pipi dekat hidung. Suatu ketika Senja meminta Biru untuk menutupi tanda lahirnya dan bertukar posisi menjadi dirinya. Biru tidak tahu kalau permintaan Senja adalah permintaan...
Just Another Hunch
485      335     3     
Romance
When a man had a car accident, it\'s not only his life shattered, but also the life of the ones surrounding him.
Dramatisasi Kata Kembali
708      368     0     
Short Story
Alvin menemukan dirinya masuk dalam sebuah permainan penuh pertanyaan. Seorang wanita yang tak pernah ia kenal menemuinya di sebuah pagi dingin yang menjemukan. \"Ada dalang di balik permainan ini,\" pikirnya.
My SECRETary
553      351     1     
Romance
Bagi Bintang, menjadi sekretaris umum a.k sekum untuk Damar berarti terus berada di sampingnya, awalnya. Tapi sebutan sekum yang kini berarti selingkuhan ketum justru diam-diam membuat Bintang tersipu. Mungkinkah bunga-bunga yang sama juga tumbuh di hati Damar? Bintang jelas ingin tahu itu!
Iskanje
5474      1488     2     
Action
Dera adalah seorang mahasiswa pindahan dari Jakarta. Entah takdir atau kebetulan, ia beberapa kali bertemu dengan Arif, seorang Komandan Resimen Mahasiswa Kutara Manawa. Dera yang begitu mengagumi sosok lelaki yang berwibawa pada akhirnya jatuh cinta pada Arif. Ia pun menjadi anggota Resimen Mahasiswa. Pada mulanya, ia masuk menwa untuk mencari sesuatu. Pencariannya menemui jalan buntu, tetapi ia...
Akhir yang Kau Berikan
530      373     1     
Short Story
\"Membaca Novel membuatku dapat mengekspresikan diriku, namun aku selalu diganggu oleh dia\" begitulah gumam Arum ketika sedang asyik membaca. Arum hanya ingin mendapatkan ketenangan dirinya dari gangguan teman sekelasnya yang selalu mengganggu ia. Seiring berjalan dengan waktu Arum sudah terbiasa dengan kejadian itu, dan Laki Laki yang mengganggu ini mulai tertarik apa yang diminati oleh Arum...
Used to be Mine
22      8     0     
Romance
Sudah empat tahun Alya meninggalkan Seoul, selama itu pula dia berusaha mengubur kenangan selepas kematian sang ibu. Namun, saat CALYTRIX mengumumkan comeback dan memilih event organizer-nya untuk menggelar fansign, Alya mau tak mau harus menghadapi masa lalunya, Nam Hajoon. Hanya itu pula pilihan terbaiknya untuk mendapatkan penghasilan demi mempertahankan rumah warisan mendiang sang ayah. ...
A Perfect Clues
6181      1691     6     
Mystery
Dalam petualangan mencari ibu kandung mereka, si kembar Chester-Cheryl menemukan sebuah rumah tua beserta sosok unik penghuninya. Dialah Christevan, yang menceritakan utuh kisah ini dari sudut pandangnya sendiri, kecuali part Prelude. Siapa sangka, berbagai kejutan tak terduga menyambut si kembar Cherlone, dan menunggu untuk diungkap Christevan. Termasuk keberadaan dan aksi pasangan kembar yang ...
Mana of love
227      159     1     
Fantasy
Sinopsis Didalam sebuah dimensi ilusi yang tersembunyi dan tidak diketahui, seorang gadis tanpa sengaja terjebak didalam sebuah permainan yang sudah diatur sejak lama. Dia harus menggantikan peran seorang anak bangsawan muda yang dikenal bodoh yang tidak bisa menguasai teknik adu pedang yang dianggap bidang unggul oleh keluarganya. Namun, alur hidup ternyata jauh lebih kompleks dari ya...