Sabda
Saat perkataan Ethan menggantung di udara, ragu ingin melanjutkan atau menangguhkan ucapannya, aku dibuat deg-degan bukan kepalang. Apa yang tidak kuketahui dari Aya selama ini? Aku sebegitu belum dia percaya sampai tidak dia ceritakan apapun. Mungkin nggak ya, dia akan mempercayaiku. Tunggu, aku saja tidak cerita padanya lebih detail soal yang terjadi padaku. Tapi setidaknya dia sudah tahu kalau aku berobat mental.
"Pasti karena keluarga kami. Kondisi keluarga kami tidak baik. Orangtua kami berpisah. Papa pergi dengan perempuan barunya, Mama pergi karena tidak bisa stay di rumah yang penuh kenangan itu. Selama ini Aya memang banyak diam. Dia juga tidak banyak cerita. Apa-apa pasti dia pendam sendirian." ujar Ethan akhirnya. "Itu juga yang membuatku lebih protektif padanya."
Jadi itu alasan foto keluarga di rumah, ada yang ditutupi stiker? Jadi yang villain itu bapak mereka, ya? Ternyata seperti itu... Aku mengangguk pelan. Kata-kata Ethan tidak sepenuhnya mengejutkanku, tapi entah kenapa baru sekarang aku merasa benar-benar paham.
Tiba-tiba wajah Aya terbayang: cara dia senyum setengah hati, caranya menyembunyikan mata yang bengkak. Aku kira dia cuma nggak nyaman. Nggak siap cerita. Ternyata memang ada luka yang ia sembunyikan rapi. Jangan-jangan ada hal lain juga sehingga lukanya berlapis-lapis.
"Kalau begini aku berharap aku cukup dekat sama dia," ucapku lirih.
Ethan menatapku tajam. "Kedekatan nggak selalu berarti dia bisa terbuka, Sabda. Kadang, justru orang yang kita anggap paling tahu tentang kita, justru yang paling kita jaga dari sisi paling gelap."
Wait? Apa aku bisa menyimpulkan kalau... Aya menganggapku dekat makanya tidak cerita? Tapi sepertinya memang dia bukan tipe yang suka cerita. Bahkan sampai sekarang sudah sering aku membuntutinya ke Paralayang dan dia belum sadar juga. Kapan-kapan dia akan kukejutkan dengan tiba-tiba duduk di sampingnya. Semoga itu tidak membuatnya mengganti destinasi merenung. Aku cuman mengkhawatirkan itu,
Untuk pertama kalinya, aku sadar, menyukai seseorang bukan cuma soal deg-degan saat bersama. Tapi tentang bagaimana kamu bisa jadi tempat paling aman untuknya kembali pulang terutama saat dunia terasa tidak bersahabat.
Dan untuk Aya, aku ingin jadi tempat itu. Sekalipun aku harus belajar dari awal.
"Saya cerita begini sama kamu, it doesn't mean I like you, ya. Jangan pede dulu. I just respect, karena kamu sudah memberikan informasi penting ini." ucap Ethan datar, tapi tidak dingin. Lebih seperti seseorang yang terbiasa menjaga jarak, tapi tahu kapan harus menghargai keberadaan orang lain. Ethan menatapku lurus, tanpa senyum, dengan sorot matanya yang tajam, penuh ketegasan, seolah ingin memastikan tak ada celah salah paham dari ucapannya barusan.
Bibirnya tertutup rapat setelah bicara, seolah mengisyaratkan: cukup sampai di sini, jangan ditafsirkan macam-macam.
Saat itu Ethan melirik ke bawah, lalu memutar pergelangan tangannya pelan. Jam tangan Rolex di tangannya sungguh menegaskan kelasnya bergaul. Jam tangan Rolex berwarna silver itu tampak pas membalut kulitnya bukan sekadar aksesori, tapi bagian dari dirinya.
"Oke, I have to go. Thank you buat waktumu hari ini." Ethan berdiri sambil merapikan ujung kemejanya sedikit, mengulurkan tangannya dan segera kusambut. Genggamannya tidak terlalu erat, justru aku yang membuatnya lebih erat.
Segera setelah tangan kami lepas, aku menatapnya, "Apa masih ada lagi?" tanyaku, aku yakin Ethan langsung tahu maksud arah pertanyaanku. Maksudku adalah apakah masih ada uji kelayakan lainnya. Kemarin dia sudah mempertemukanku dengan cewek seksi, mengajakku lomba lari, dan juga duel basket.
Kedua bahunya terangkat dengan bibir bawah dimajukan, ekspresinya tidak pasti, "Entah." ia menghembuskan napas pelan. "Tergantung mood." katanya lalu meninggalkanku. Aku sempat mematung beberapa saat sebelum mengekor di belakangnya karena aku juga tidak ada urusan lagi di tempat ini.
"Hati-hati, Mas. Pulangnya." kataku ramah tamah dan dibalas dengan cengiran khasnya yang kelihatan meremehkan perkataanku. Padahal aku sungguh-sungguh. Aku kan tidak ingin dia tabrakan, menabrak, atau tertabrak.
Dia mengangkat rendah tangannya melambai padaku. Aku membalas gestur perpisahan darinya sebelum mengenakan helm-ku. Keren juga, dari tiga bersaudara, mereka tidak ada yang mirip satu sama lain. Dan tepat setelah aku keluar dari halaman co-working space itu, aku melihat Setha. Dia di dalam mobil, menurunkan kaca sambil bicara dengan tukang parkir. Di sebelahnya kulihat Cecil sedang menunduk sepertinya main hape karena waktu denganku pun dia chronically online. Beda sekali dengan Aya yang jarang sekali menengok handphone-nya.
Ah, aku jadi menyadari, sekarang sejak kenal Aya, apa-apa selalu kubandingkan dengannya.
Elaine
Sinyal-sinyal darimu tak jelas
Atau mungkin aku kurang cerdas
Kadang rasanya seperti
Tak ada batas antara kita
Kadang seolah tak saling kenal
Kau terbangkan aku tinggi-tinggi
Jatuhkan lalu kau tinggal pergi
Siapa yang salah di sini
Atau mungkin ekspektasi
Memang tak boleh terlalu tinggi
Ingin berhenti berharap
Namun tanpamu tak lengkap
(Bernadya - Sinyal-Sinyal)
Lagu yang mengalun dari Bernadya ini benar-benar membuatku berpikir, itu adalah bagaimana aku terhadap Setha selama ini, mungkin. Entah mengapa lagu-lagu gadis itu belakangan sangat relate dengan perasaanku.
Aku sedang melihat room chat WhatsApp kami yang kosong. Mempertimbangkan untuk buka blokir atau tetap seperti ini saja. Memangnya dia mengirimkan apa? Jangan-jangan undangan pernikahan? Apa mereka akan menikah muda karena keduanya masih sama-sama kuliah.
Bermodalkan bismillah, kubuka blokir kontaknya. Gambar yang tadinya kosong berubah menjadi gambar dirinya sedang di pantai duduk memunggungi kamera. Seingatku terakhir sebelum kublokir, display picture-nya foto romantis sama si Cecil. Kalau tidak salah saat mereka liburan di Pantai Tangsi yang dikenal dengan sebutan Pantai Pink dari Pulau Lombok.
Selama mereka pacaran, sepertinya ini pertama kalinya dia pakai foto profil sendiri. Pikiranku pun melayang-layang. Mungkinkah hubungan mereka tengah renggang? Apakah mereka masih bersama? Kenapa dia pakai foto sendiri? Apa ini semacam sinyal? Segera kutepis pikiranku, lagipula aku sudah tidak mau peduli lagi.
Baru saja aplikasi WhatsApp kututup, ada pesan masuk darinya. Otomatis aku shock, tapi kenapa yang muncul malah... dia pakai room chat kami buat nyatet belanjaan?
Mas Setha
Daftar belanjaan:
- Gilette
- Indomie goreng jumbo
- Coklat silverqueen almond
- Roti tawar
- Nutella (sekalian aja, biar manis dikit)
- Face wash kahf
- Sunscreen facetology
- Pure paw paw pink
- Vitamin C
- Gunting kuku (udah hilang lagi)
- Sandal kamar (kalau ada yang diskon)
Aku salah fokus membaca salah satu daftar, pure paw paw adalah pelembap yang aku rekomendasikan padanya. Dia masih pakai.
Tidak lama kemudian dia menarik pesannya, langsung mengetik. Tidak kusangka, aku tersenyum membaca daftar belanjaannya. Ternyata dia cukup teratur dalam menentukan apa yang ingin dibelanjakan.
Mas Setha
Udah dibuka ternyata blokirnya...
Sengaja aku pake buat nge-list belanjaan
Eh malah udah dibuka blokirnya
Kemudian kami malah lanjut saling berkirim pesan. Dia menyampaikan kalau beberapa waktu lalu mengirimkan padaku informasi lomba membuat marketing plan karena of course dia tahu aku anak manajemen. Perlu kuberitahu jika Setha mengambil jurusan ilmu komunikasi. Kegiatannya seabrek dan dia sangat aktif di acara kampus karena merupakan anak BEM universitas.
Sebenarnya kalau aku ingat-ingat kembali, sudah lama sekali sejak kami lost contact. Setha tiba-tiba mengirimkan padaku informasi seperti itu lagi setelah sekian lama memunculkan banyak sekali tanda tanya. Haruskah aku bertanya atau membiarkan dia mengirimkan sinyal-sinyal? Tidak lama kemudian dia menerangkan kalau itu salah satu acara yang diselenggarakan oleh adik sepupunya yang satu jurusan denganku. Dia masih mengingatku saja, seharusnya dari awal aku tidak perlu berpikir kejauhan. Kami sudah kandas sebelum memulai.
Setha adalah tipikal orang yang jarang membiarkan lawan bicaranya mengakhiri chat sehingga malam ini pun chat berhenti di dia, walaupun itu hanya berupa stiker random. Sekali lagi aku mengeluarkan amplop berisi surat yang tidak akan pernah kukirim padanya. Selain itu, di buku paling bawah dari dalam laci, aku meraih sebuah foto ukuran 4R yang sengaja kucetak secara mandiri. Ini adalah foto kami berdua saat acara education fair di sekolah. Aku terlihat sangat bahagia di foto ini, begitu pula dia. Rasanya berat untuk memusnahkan foto ini.
Bolehkah aku flashback sebentar? Jadi, sore itu setelah acara berakhir, seluruh panitia foto bersama. Usai foto bersama-sama secara harfiah, beberapa terlihat asik foto bareng orang yang diminati. Setha termasuk yang banyak antrean meminta foto bareng. Aku yang sebenarnya sangat ingin foto tapi terlalu malu akhirnya menunggu Mas Ethan yang masih ngobrol dengan temannya itu di tepian sambil membetulkan ikatan rambutku.
"Aya!" suara Setha menghentikan gerakanku. Aku menoleh ke arahnya, mataku terbelalak, aku tidak menyangka di antara kerumunan para cewek di sana, Setha memanggilku. Ia mengayunkan tangan memberikanku arahan untuk mendekatinya. Aku menyelesaikan aktivitas mengucir rambut terlebih dahulu sebelum menghampirinya.
"Ayo foto..." katanya segera. Masih ada beberapa yang mengantre minta foto bareng namun dia menyela membiarkanku foto lebih dahulu. Belum sempat aku iyakan, bahkan tidak kepikiran gaya sama sekali. Setha menarik lenganku mendekat padanya dan kilatan cahaya blitz menyirami kami berdua. Kami difoto beberapa kali, hanya satu foto saja yang aku tersenyum sisanya terlihat sangat kaku dan bingung.
"Thanks for today, ya, Aya." Setha berbisik pelan kemudian melepasku pergi. Kedua matanya masih lekat menatapku sampai aku ditemukan Mas Ethan di antara kerumunan. Sepertinya saat ini wajahku sangat merah. Jantungku masih berdegub tidak karuan. Aku harap Mas Ethan tidak dengar suara jantungku.
"Udah kan? Ayo balik." Mas Ethan merangkulku beranjak pergi dari kerumunan.
Foto ini, menyimpan banyak sekali memori baik. Sekalipun kami tidak berakhir menjadi satu, namun kurasa tidak apa-apa tetap menyimpan foto ini. Kukembalikan saja ia di sela-sela buku yang sudah lama tidak kujamah. Suara Kiko membuatku kembali mencerna keadaan bahwa aku sedang berada di masa kini, bukan masa lalu.
Kuelus bulu Kiko yang terus berusaha mengitari kedua kakiku. "Lapar ya, sayang?" aku pun menggendongnya yang masih terus mengeong lantas membawanya keluar menuju bowl-nya yang kosong. Entah sejak kapan, setiap melihat Kiko, aku selalu teringat pada Sabda. Cowok yang tidak pernah absen membawa makanan kucing kemanapun dia pergi.
Dia juga bilang bercita-cita bangun shelter buang kucing dan berharap kucing jalanan setidaknya bisa dapat kehidupan yang layak. Hatinya pasti sangat lembut. Kalau Sabda dulu dia ada alergi bulu kucing jadi jelas dia menjaga jarak dengan hewan lucu seperti ini. Aku ingat betul hidungnya bisa merah pekat setelah bersin non stop, batuk, hingga matanya merah setiap kali berhadapan dengan kucing. Tentu aku tidak bisa menyalahkan alergi yang dideritanya. Dia sebenarnya suka kucing tapi keadaan memaksanya untuk jaga jarak. Wait, kenapa aku jadi memikirkan Setha terus?
"Non Aya, sudah sarapan?" tegur Mbok Dijah saat aku melamun menunggui Kiko makan hingga bowl-nya licin.
"Udah, Bi. Tadi Nikel udah sarapan, kan? Sebelum pergi."
"Sudah, Non. Tadi request dimasakin roti sandwich isi telor ceplok. Sama saya buatin susu juga. Mas Nikel makannya habis, lahap, Non,"
"Karena Mbok ngomong roti sandwich isi telor, aku jadi pengen juga. Kayak biasanya, Mbok. Tolong."
"Siap, Non. Mau susu cokelat atau full cream hari ini?
"Sandwich aja, susunya nggak usah, Mbok."
"Sebentar ya saya buatkan."
"Iya, makasih Mbok." aku membiarkan Mbok Dijah kembali kedapur untuk meramu makanan kesukaanku. Sandwich buatan Mbok Dijah enak sehingga kami (aku dan Nikel) sering minta dibuatkan sandwich ketimbang masakan lainnya. Usia Mbok Dijah terbilang masih muda baru 41 tahun dengan 1 putera sehingga bisa mengimbangi selera lidah anak muda di rumah ini.
Dan secara mengejutkan, aku tiba-tiba saja teringat oleh setiap ucapan Sabda di alun-alun kidul tadi. Serentetan memori bersamanya pun terulang begitu saja dalam ingatanku. Dia yang sering memberikanku jajanan tanpa kuminta. Dia yang selalu menurunkan foot step untukku. Dia yang selau berusaha memasangkan helm untukku. Dia yang memastikan sabuk pengamanku sudah benar saat naik mobil. Dia yang selau tersenyum di hadapanku seperti tidak punya beban hidup. Dia juga yang memberikan ikat rambut yang sedang kukenakan saat ini. Lalu pertanyaan itu kembali terngiang 'tipe ideal kamu yang seperti apa?'.
Aku pun mengeluarkan handphone-ku dan membuka aplikasi notes.
Haruskah aku mulai menulis daftar laki-laki idaman? Aku mulai membuat list, menuliskannya ke bawah dengan mudah. Tanpa sadar, pikiranku melayang kepada Setha saat aku menuliskannya. Setiap kata yang kutulis seolah terinspirasi oleh kenangan-kenangan indah bersamanya.
Aku menuliskan sifat-sifat yang kuinginkan: perhatian, humoris, dan tentu saja, seseorang yang bisa membuatku merasa aman. Dalam setiap deskripsi, bayangan Setha semakin jelas. Senyumnya, cara dia memperhatikanku, dan semua momen kecil yang kami bagi. Rasanya, semakin aku menulis, semakin aku menyadari bahwa mungkin, tanpa aku sadari, dia adalah tipe ideal yang selama ini kucari. Namun setelah kupikir-pikir lagi, semua itu juga ada pada diri Sabda. Ini benar-benar membuatku frustrasi. Sebenarnya hatiku condong ke siapa?
Dan apakah aku yang kacau ini pantas dan layak untuk memikirkan cinta-cintaan saat mengurus hidupku sendiri saja aku kewalahan... Tidak, Elaine... pikirkan dulu hidupmu yang kacau ini baru memikirkan hal lain. Percintaan itu bukan prioritasmu sekarang. Sekarang prioritasmu adalah bertahan hidup.