Loading...
Logo TinLit
Read Story - Batas Sunyi
MENU
About Us  

Sabda

Hari ini ada tugas kelompok dan kelompokku yang kebetulan hobi ngerjain tugas di kafe pun memilih kafe dekat tugu sebagai destinasi kami berlima untuk menggarap tugas. Seharian ini aku belum melihat Aya sama sekali karena dia juga bilang dari kemarin kalau hari ini dia ada urusan. Ya sudah aku menghargai privasinya dengan tidak menanyakan apa urusan yang harus dia kerjakan. 

Saat di pertengahan diskusi, Mahes, salah seorang teman sekelompokku menunjuk ke belakang dan menyebut ada Aya baru saja masuk. Teman-teman sejurusanku tahunya Aya itu pacarku. Setiap mereka berspekulasi, aku tidak pernah meluruskan karena aku merasa tidak ada yang perlu diluruskan. Biar saja mereka menduga dan mengira. Aku sih senang saja dikira pacaran dengan Aya.

"Sumpah? Mana?" kataku menoleh ke belakang.

Refleks aku menoleh. Kalau yang dimaksud adalah cewek yang duduk membelakangi kami, dengan sweater kuning cerah dan rambut panjang terurai, lengkap dengan headphone cream yang sering dia pakai… ya, itu pasti Aya. Aku hafal benar gayanya. Aku bahkan mengenali cara dia duduk.

"Aya?" gumamku lirih.

Ada senyum tak sadar muncul di wajahku. Entah kenapa, tahu dia ada di ruangan yang sama membuat jantungku terasa lebih ringan. Itu benar Aya. Dia mau bertemu siapa, ya? Aku jadi senang karena ada Aya didekatku.

Aku meneruskan diskusi dahulu, nanti akan kuperiksa kembali Aya ada janji dengan siapa yang kebetulan di tempat yang sama denganku. Sampai Mahes di hadapaku berbisik kembali dengan pelan, "Loh, kok Aya berduaan sama cowok. Lo kenal, Sab?"

Aku menoleh. Awalnya biasa saja. Tapi saat kulihat siapa yang duduk berhadapan dengan Aya, napasku tercekat. Dadaku serasa diremas dari dalam. Setha.

Gila. Rasanya seperti mimpi buruk yang terputar kembali. Teman-temanku mulai berisik dan berspekulasi. Aku masih mencerna semuanya di saat harus tetap duduk tenang menyelesaikan tugas. Mereka tahu betul, yang mereka sangka pacarku sedang berduaan dengan orang yang paling tidak ingin kulihat

Aku menatap gelas matcha frappe-ku yang tinggal setengah. Rasanya ingin kubanting saja gelas ini, tapi aku tahu aku hanya akan terlihat bodoh dan menyedihkan.

"Minum dulu, minum dulu..." ucap Reni yang duduk di sebelahku sambil membukakan air mineral 300ml miliknya yang masih tersegel. Sepertinya saat ini wajahku sangat merah saking emosinya. Emosi yang tertahan karena aku tidak punya hak untuk marah. Fakta bahwa aku dan Aya hanya teman seolah menamparku berkali-kali. Ingin rasanya aku berlari menghambur ke arah mereka dan bertanya sedang apa. Aku semakin penasaran ada hubungan apa di antara Aya dan Setha.

Aku tidak bisa memalingkan mata dari mereka. Apa-apaan dengan ekspresi itu. Setha tampak sangat... memelas? Wajahnya bukan seperti orang yang sedang menggoda atau merayu. Dia seperti sedang... memohon? Aku tidak mengerti.

Setha brengsek, kenapa semua perempuan yang dekat denganku seolah ingin dia kuasai? Kemarin dia berhasil mendapatkan Cecil, apa sekarang dia akan merebut Aya dariku?

"Nggak lo samperin?" tanya Mahes hati-hati.

"Nggak usah, kita kelarin tugas ini dulu." jawabku dengan tenggorokan terasa dicekik, sakit sekali. Aku menahan nada suaraku tetap tenang. Padahal hatiku... hancur. Kacau. Irama jantungku masih belum teratur dan aku tidak berbohong tiba-tiba saja aku merasa gerah padahal posisiku tepat terkena siraman angin dingin dari AC. 

Setengah jam berlalu, mereka masih duduk di sana. Aku tidak bisa melihat wajah Aya, apakah dia senang atau tidak berbicara dengan Setha. Mereka berbicara lama, kadang Setha menunduk, kadang Aya mengangguk. Dia sedang membicarakan apa sih? Teman-temanku paham dengan kondisiku sehingga membiarkanku mode mengintai selagi diskusi berjalan. Diam-diam mereka juga ikut mengawasi Aya dan Setha untuk menginformasikan padaku saat aku sedang tidak melihat ke arah mereka.

"Mereka pergi." ucap Mahes dengan tatapan prihatin melihatku. Aku tahu benar, kondisiku saat ini sangat kacau. Aku tidak terlalu fokus dengan diskusi tugas malam ini. Reni mengusap bahuku, memberiku semangat. Mereka paham betul hatiku saat ini sedang remuk. Tapi aku tidak bisa apa-apa selain memaki-maki diriku sendiri di dalam hati.

Lagu Tiara Andini yang mengalun tiba-tiba menjadi kisah hidupku sekarang?

Kini ku mengerti kau lebih memilih dia

Cinta ini takkan berbalas
Sayang kupastikan melayang
Pedih ku saat merasa indah
Semua hilang dan usai

Bila cinta ini tak nyata
Jangan engkau beri harapan
Sudah cukup kini kusadari
Terlalu cepat jatuhkan hati

Aku segera bangkit duduk, bukan untuk mengejar Aya dan Setha. Aku menghampiri salah satu waitress meminta mereka untuk mengganti musik yang kafe mereka mainkan. Aku meminta lagu yang lebih bersemangat. Aku protes. Lagu itu seolah menceritakan kisahku. Lirik lagu yang biasanya hanya dinikmati musiknya, bisa beralih jadi menghayati lirik jika kita mengalami hal serupa. Dengan sigap lagu pun segera diganti yang lebih cheerful.

"Sab, you okay?"

Aku mengangguk menjawab pertanyaan Mahes dan teman-temanku lainnya.

"Sorry ya, aku jadi nggak fokus."

"It's okay. Kalau lo mau cabut duluan juga boleh. Ini udah semua juga kok. Tinggal ntar aku yang rapihin slide presentasinya. Yang lain kalau mau balik duluan juga boleh. Gue masih ada perlu di sini soalnya." Ersya membetulkan kacamatanya, mendeklarasikan bahwa diskusi kami sudah selesai. Ersya bersedia merapikan slide presentasi kelompok kami.

"Kalau gitu gue balik ya. Thank you semua. Sorry banget sebelumnya. See you tomorrow." Aku berpamitan dengan mereka semua dengan saling tinju kepalan tangan (fist bump). Kukenakan kembali hoodie abu-abu dan menyambar tasku yang hanya berisi tablet, charger, dompet, handphone, dan makanan kucing. Oh iya, satu bungkus ikat rambut untuk Aya juga.

Saat aku keluar, mereka sudah tidak kelihatan. Hampir saja aku berteriak frustrasi kalau tidak datang bapak tukang parkir yang hendak membantuku mengeluarkan vespa matic-ku. "Ke arah mana, Mas?" aku pun menunjuk ke arah kanan. Memberikan bapak itu sehelai uang 10 ribu karena itu cash terkecil yang kupunya.

Sebelum bapak itu mengambil kembalian, langsung aku bilang, "Nggak usah kembalian, Pak." kataku cepat sebelum menyebrang jalan. Sempat kudengar bapak parkir itu berterima kasih dan berdoa agar aku murah rejeki. 

Di jalan dekat perempatan Gramedia Sudirman, dari kejauhan, aku melihat siluet seseorang berdiri di samping motor yang tampak diam. Aku pun memperlambat Vespa matic-ku, suara mesin mendesing pelan di antara suara kendaraan lain yang berlomba-lomba ingin duluan. Di bawah cahaya redup, aku mengenali sweater kuning dan rambut panjang itu. Aya.

Aya sedang jongkok, tangannya mengusap rantai yang menjuntai lepas dari gear belakang. Wajahnya terlihat kesal, ponselnya menyala dengan senter kecil sebagai penerang. Di sebelahnya berdiri seorang priba paruh baya yang tampak menjelaskan kondisi yang Aya alami. Aku tidak memanggil, tidak menyapa. Aku menepikan Vespa-ku perlahan, mematikan mesin, dan turun.

Aya menoleh, sedikit kaget. Aku membuka jok Vespa dan mengeluarkan kain lap kecil dan kunci pas tua yang selalu kubawa. Aku jongkok di sisi motor Aya, tanganku mulai bekerja dengan cekatan. Senyap. Aku tahu bapak tadi sudah pergi meninggalkan kami setelah tahu ada yang akan membereskan masalah ini.

Aya bergeser sedikit memberiku ruang. Tanpa melihat langsung aku bisa tahu jika dia memperhatikanku yang mengaitkan kembali rantai ke gear, lalu mengetatkan baut penahan seadanya. Tidak sempurna, tapi cukup kuat agar bisa dibawa ke bengkel. 

Setelah selesai, aku berdiri pelan dan mengelap tangan di kain microfiber yang kubawa meski tidak bisa seratus persen bersih. Kulihat Aya sibuk memutar tasnya ke depan lalu memberikanku botol air. "Ini buat cuci tangan..." dia menyiapkan itu kemudian kuulurkan tanganku menerima siraman air dari botol pink miliknya.

“Ini harus ke bengkel. Aku cuman nyatuin seadanya dan bakal putus lagi. Biar aman ke bengkel sekalian ganti rantai.” aku kasih kunci vespa-ku. "Biar aku yang bawa motormu, kamu bawa punyaku. Tarikan yang mendadak bisa langsung putus."  Aku sudah berpengalaman dengan rantai putus. Tsana pernah. 

Aku menyalakan motor Aya dan berjalan sangat hati-hati, seingatku di dekat sini ada bengkel. Semoga masih buka. Sepanjang jalan menuju bengkel, aku tidak minat bicara. Hanya suara berderit dari rantai dan dengung Vespa yang terdengar mengisi udara malam. 

Syukurlah, bengkel kecil di ujung jalan masih buka, tukangnya menyambut dengan anggukan malas karena sedang makan saat kami datang. Motor Aya langsung dicek, digantung di dongkrak kecil. Aku dan Aya duduk bersebelahan di kursi plastik yang sudah lusuh. Kami hanya diam tidak berinteraksi sama sekali. Aku tahu Aya seperti ingin bicara sesuatu tapi aku sengaja tidak menoleh ke arahnya sama sekali, justru aku pura-pura sibuk dengan handphone-ku. Kalau saja Aya tahu aku hanya sedang main game.

Satu jam berlalu akhirnya motor Aya selesai diperbaiki. Aya mengucapkan terima kasih pada mekanik dan membayarkan beberapa lembar uang seratus ribu. Aku cukup takjub dia pegang uang cash lumayan banyak. Aku sedikit terkejut saat dia menghampiriku. “Makasih ya,” katanya pelan seraya mengembalikan kunci vespa-ku dan aku mengembalikan miliknya. Aku hanya mengangguk singkat. Sengaja melama-lamakan gerakanku supaya dia yang jalan duluan. Meskipun aku sedang marah dan kecewa, aku tetap khawatir kalau dia kutinggal di belakangku.

Aya membunyikan klakson, berpamitan padaku. Aku balas membunyikan klakson kemudian mengekor di belakangnya. Sengaja memberi jarak 100 meter. Tiba-tiba Aya menepi dan parkir di depan indomaret. Aku tetap di motorku menunggunya. Aya kembali dengan dua bungkus sosis bakar dan dua botol air mineral. Salah satu sosisnya ia ulurkan kepadaku. Dengan canggung aku menerimanya. 

"Mau di makan di sini atau di bawa pulang?"

"Bebas." jawabku dingin. "Di sini juga nggak apa-apa." lalu aku turun dan menuju kursi besi. Kami duduk bersebalahan memandang ke arah jalan yang mulai sepi karena malam semakin larut. Hanya suara kunyahan kami yang terdengar sampai sosisnya habis tidak bersisa. Aku baru sadar obrolan kami selama ini memang banyak dari pancinganku sehingga jika aku tidak memancingnya bicara, Aya akan diam saja.

Aya meminta sampahku dan membuangkan bungkusannya ke tong sampah. Ia memberikan gestur mengajak pulang. Aku mengikut saja. Sebelumnya aku juga sudah bilang terima kasih karena sudah dibelikan jajan. Aku heran kenapa Aya tidak bertanya apa yang terjadi padaku sampai mendiamkannya begini. Atau mungkin dia sebetulnya ingin bertanya namun tidak enak? Alhasil seperti yang kubilang sebelumnya, kalau bukan aku yang mulai tidak akan ada obrolan di antara kami.

Aku sampai di depan rumah Aya, memastikan dia aman sampai rumah sebelum pulang ke kontrakanku. 

"Sabda..." panggilan Aya membuatku hampir jatuh saat berbelok karena memencet rem mendadak. Aku menoleh ke arahnya.

"Makasih ya."

Aku hanya menatapnya beberapa detik dan untuk pertama kalinya malam ini, aku hampir menjawab. Tapi yang keluar hanya anggukan kecil, lalu aku langsung tancap gas. Di balik kaca helmku, aku mengejap cepat. Entah debu, atau… Entah kenapa, malam ini rasanya terlalu sunyi untuk disebut selesai.

 

Elaine

Hari ini Setha mengajakku bertemu, hanya berdua saja. Aku mengiyakan ajakannya. Hari ini aku cukup lama di meja rias karena aku ingin kelihatan cantik. Aku tahu ini salah, tapi aku hanya ingin kelihatan tidak kalah dari kekasihnya. Aku ingat Sabda bilang aku kelihatan lebih fresh dengan warna lip produk sedikit bold. 

Dia terlambat sepuluh menit dari jadwal janji. Saat dia datang, dia menjelaskan bahwa ada interview mendadak yang membuatnya tidak bisa datang tepat waktu. Menurutku, Setha masih sama seperti Setha yang dulu. Tetap tampan dan enak dipandang. Namun, rasaku tumbuh bukan karena fisiknya, aku suka dengan cara berpikirnya. Aku suka caranya menyampaikan isi pikirannya. Itu yang membuatku terkesima.

Mungkin mayoritas penggemarnya akan suka padanya karena fisik, namun kalau boleh jujur, dulu aku sama sekali tidak tertarik padanya. Namun semakin kenal dan semakin sering mendengarnya bicara, aku tidak bisa menahan pesona yang ia pancarkan. Dia sangat terang seperti bintang.

Saat dia datang, hal yang pertama kali mengusik fokusku adalah parfumnya. Sama persis dengan milik Sabda.

"Kamu pesan dulu aja." kataku yang sudah memesan Choco Frappe. Setha membolak-balik buku menu sebelum berakhir memesan menu yang sama denganku setelah ia bertanya minuman apa di hadapanku. 

Aku tidak menyangka obrolan dengan Setha akan terasa seberat itu. Ia tidak banyak basa-basi. Langsung bilang kalau hubungannya dengan Cecil sudah tidak baik-baik saja sejak dua bulan lalu. Sekarang mereka putus. 

"Aya, I’ve always known you had feelings for me. You don’t have to say it—I just knew. I’m not a kid, Ay." Pernyataan Setha barusan membuat kedua tanganku mengepal. Kedua tanganku yang semula di atas meja sengaja ku pindahkan ke bawah meja di atas pahaku. Ternyata selama ini dia tahu dan kenyataan ini membuat dadaku terasa nyeri.

Parfum itu.
Aroma itu.
Kenapa harus sama. Aku jadi tidak fokus.

Setha menjelaskan banyak hal. Tentang penyesalan, tentang momen yang tidak bisa dia ulang. Tapi aku hanya mengangguk-angguk. Rasanya seperti sedang menonton seseorang menceritakan film sedih yang tidak lagi menyentuhku. Apalagi setelah pernyataan bahwa dia tahu aku menyukainya tapi malah berakhir dengan perempuan lain. 

"I thought staying friends would keep us safe from goodbyes like couples do. But I was wrong 'cus you started pulling away after I got into a relationship." Setha menghela napas berat.

Aku masih diam.

"But... I understand if you’re angry or disappointed. I don’t blame you, really, you did nothing wrong. It’s me. I’ve been so foolish, Aya. So blind. I’m sorry... I’m so, so sorry for everything." Mata kami sempat bertemu, namun aku tidak bisa menahan lebih lama.

Di tengah-tengah kalimatnya, aku tanpa sadar menoleh ke belakang. Entah karena perasaan atau insting, mataku menangkap sekilas punggung yang sangat aku kenal. Sabda. Duduk bersama teman-temannya. Dan aku tahu… dia melihat. Salah seorang temannya sempat bertemu mata denganku. Tapi Sabda tidak bergerak. Tidak mendekat. Tidak memanggil. Memangnya aku berharap apa sih?

"Gimana, Aya?"

“Mas Setha, aku nggak bisa pura-pura nggak terharu dengan apa yang kamu bilang. Tapi... rasanya aku sudah bukan Aya yang dulu. Dan yang lebih penting, aku juga nggak lagi nunggu kamu.” Aku bohong, selama ini aku memang nunggu kamu.

Kedua bahu Setha terlihat turun. "I asked Nikel already, and she said you’re not dating anyone. Not even that guy. I know you might be upset, but is there still a chance for me, Aya?"

Maybe. I’m not sure yet. Can you give me some time?” Akhirnya aku meminta kesempatan untuk berpikir sebelum memutuskan. 

Setelah pertemuan itu, aku ingin cepat pulang. Tapi semesta seperti sedang bercanda. Di jalan pulang, rantai motorku putus. Aku nyaris panik sebelum kemunculan Sabda. Tanpa sepatah kata pun, dia membantu. Membongkar. Memperbaiki. Tangannya kotor, bajunya ternoda minyak. Dan dia diam.

Dan aku pun sama… hanya bisa diam.

Sabda seperti enggan melihat wajahku. Bahkan senyumnya pun tidak kutemukan malam itu. Seolah aku hanya orang asing yang kebetulan butuh bantuan. Aku ingin bertanya, ingin menjelaskan, ingin bicara soal pertemuanku dengan Setha. Tapi Sabda seolah nggak memberi celah untuk bicara. Hanya tatapannya yang sesekali terasa dingin dan jauh.

Di bengkel, kami duduk berdampingan. Tapi rasanya seperti duduk di dua dunia yang berbeda. Ingin mengajaknya ngobrol, tapi lidahku kelu. Aku tahu… aku yang membuat dia seperti ini. Tapi aku belum tahu bagaimana harus bicara.

Aku hanya tahu satu hal: Sabda yang banyak bicara ternyata lebih baik daripada Sabda yang dingin seperti ini.

Di Indomaret, aku membelikannya sosis bakar. Aku tidak tahu harus bagaimana, jadi kuletakkan perhatian dalam bentuk makanan. Sabda menerimanya, tapi hanya sebagai formalitas. Kami makan dalam diam, dan aku ingin menangis.

Terlihat dingin tapi tetap peduli padaku hingga mengantarku sampai di depan gerbang.

"Sabda…" aku memanggil pelan, tepat saat dia hendak berbelok. Matanya tidak bisa kubaca.

“Makasih ya.”

Tidak ada jawaban darinya, hanya anggukan kecil sebelum akhirnya dia melaju dengan vespa matic abu-abu miliknya itu. 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
SURAT CINTA KASIH
582      423     6     
Short Story
Kisah ini menceritakan bahwa hak kita adalah mencintai, bukan memiliki
GLACIER 1: The Fire of Massacre
773      578     2     
Fantasy
[Fantasy - Tragedy - Action] Suku Glacier adalah suku yang seluruhnya adalah perempuan. Suku damai pengikut Dewi Arghi. Suku dengan kekuatan penyegel. Nila, anak perempuan dari Suku Glacier bertemu dengan Kaie, anak laki-laki dari Suku Daun di tengah serangan siluman. Kaie mengantarkannya pulang. Namun sayangnya, Nila menjatuhkan diri sambil menangis. Suku Glacier, terbakar ....
The One
311      206     1     
Romance
Kata Dani, Kiandra Ariani itu alergi lihat orang pacaran. Kata Theo, gadis kurus berkulit putih itu alergi cinta. Namun, faktanya, Kiandra hanya orang waras. Orang waras, ialah mereka yang menganggap cinta sebagai alergen yang sudah semestinya dijauhi. Itu prinsip hidup Kiandra Ariani.
Pasha
1281      575     3     
Romance
Akankah ada asa yang tersisa? Apakah semuanya akan membaik?
Lovebolisme
147      129     2     
Romance
Ketika cinta terdegradasi, kemudian disintesis, lalu bertransformasi. Seperti proses metabolik kompleks yang lahir dari luka, penyembuhan, dan perubahan. Alanin Juwita, salah seorang yang merasakan proses degradasi cintanya menjadi luka dan trauma. Persepsinya mengenai cinta berubah. Layaknya reaksi eksoterm yang bernilai negatif, membuang energi. Namun ketika ia bertemu dengan Argon, membuat Al...
Hunch
39057      5516     121     
Romance
🍑Sedang Revisi Total....🍑 Sierra Li Xing Fu Gadis muda berusia 18 tahun yang sedang melanjutkan studinya di Peking University. Ia sudah lama bercita-cita menjadi penulis, dan mimpinya itu barulah terwujud pada masa ini. Kesuksesannya dalam penulisan novel Colorful Day itu mengantarkannya pada banyak hal-hal baru. Dylan Zhang Xiao Seorang aktor muda berusia 20 tahun yang sudah hampi...
Mencari Virgo
486      344     2     
Short Story
Tentang zodiak, tentang cinta yang hilang, tentang seseorang yang ternyata tidak bisa untuk digapai.
Mahar Seribu Nadhom
4931      1715     7     
Fantasy
Sinopsis: Jea Ayuningtyas berusaha menemukan ayahnya yang dikabarkan hilang di hutan banawasa. Ketikdak percayaannya akan berita tersebut, membuat gadis itu memilih meninggalkan pesantren. Dia melakukan perjalanan antar dimensi demi menemukan jejak sang ayah. Namun, rasa tidak keyakin Jea justru membawanya membuka kisah kelam. Tentang masalalunya, dan tentang rahasia orang-orang yang selama in...
Fallen Blossom
561      363     4     
Short Story
Terkadang, rasa sakit hanyalah rasa sakit. Tidak membuatmu lebih kuat, juga tidak memperbaiki karaktermu. Hanya, terasa sakit.
Tuan Landak dan Nona Kura-Kura
2822      954     1     
Romance
Frans Putra Mandala, terancam menjadi single seumur hidupnya! Menjadi pria tampan dan mapan tidak menjamin kisah percintaan yang sukses! Frans contohnya, pria itu harus rela ditinggal kabur oleh pengantinnya di hari pernikahannya! Lalu, tiba-tiba muncul seorang bocah polos yang mengatakan bahwa Frans terkena kutukan! Bagaimana Frans yang tidak percaya hal mistis akan mematahkan kutukan it...