Loading...
Logo TinLit
Read Story - Batas Sunyi
MENU
About Us  

Masa lalu yang belum selesai itu menyesakkan

Jangan sampai menggunakan manusia untuk melupakan manusia lainnya

 

Elaine

"Aya? Kebetulan banget ketemu kamu di sini. Nomor WhatsApp kamu ganti, kah?" Setha dengan parfum semerbaknya. Ini hari apa ya? Kenapa tiba-tiba bertemu secara tidak sengaja dengan orang-orang. Tadi adiknya Sabda, sekarang... Setha.

Aku harap ekspresiku tidak terlihat ambigu sekarang. Aku masih sulit mengontrol ekspresiku setiap kali bertemu dengannya.

"Tidak kok." jawabku sekenanya. Yah, ketahuan kalau nomornya sengaja aku blokir. 

"Serius? Kemarin centang satu dan foto profilmu nggak ada sih." ucap Setha yang membuatku merasa semakin tersudutkan.

Secara halus dia ingin menyindirku yang sudah memblokirnya dari daftar kontak. Setha terlalu sering mengunggah story dengan kekasihnya sehingga aku sering juga terkena serangan jantung setiap kali tidak sengaja melihat story itu. Bukan karena cemburu, hanya tidak nyaman saja. Jangan bilang kalau itu cemburu? 

Tiba-tiba saja Sabda berdiri tepat di depan tubuh Setha mencoba menutupi eksistensinya, "Aya, udah selesai kan, makannya? Ayo balik."

Kulihat tangan Setha menggenggam bahu kanan Sabda kemudian memberikan tarikan di sana sehingga Sabda berbalik menghadapnya. Tinggi mereka tidak terpaut jauh, aku yang terlalu pendek dibandingkan dua tiang di hadapnku ini yang sepertinya tinggi mereka di atas 180cm. 

"Apaan sih? Aku lagi ngomong sama Aya." Setha bersungut-sungut dan kulihat ia menatap Sabda dengan kesal.

Aku jadi ingat, Setha ini kan pacar mantannya Sabda. Apa dia bersikap seperti ini karena masih sakit hati kekasihnya direbut? Tidak, bukankah ini keinginan mantannya? Setha tidak bisa disebut merebut, kan? Ah... aku jadi bingung harus memihak siapa. Aku tidak tahu kisah pastinya siapa yang salah dan siapa yang benar.

"Ya kita emang udah mau pulang. Kalau nomor diblokir itu sadar diri. Introspeksi." 

Kenapa tiba-tiba suasana jadi kacau begini? Aku jadi tidak enak dengan penjual bubur dan customernya yang mulai memadat. Akhirnya kuraih lengan baju Sabda dan mengajaknya pergi. Semisal masih ingin berdebat sebaiknya pindah tempat. Alhasil benar pindah tempat karena Setha masih mengikuti kami.

"Justru itu, aku nanya. Aku ada salah apa sama kamu, Aya? Sampai aku diblokir?" aku belum siap menjawab.

Selama ini aku tidak kepikiran jawaban apapun kalau pertanyaan ini sampai diajukan. Masa iya aku harus jujur kalau aku tidak suka melihat story-nya dengan Cecil? Dan ya, Sabda masih kekeh berdiri menghalangi Setha. Mereka lebih terlihat seperti dua bocah bongsor yang saling mendorong. Aku tidak bisa menentukan ini adegan lucu atau membahayakan buat mereka berdua.

"Introspeksi." Sabda kembali mengatakan satu kata itu 'introspeksi'. Entah ada makna tersembunyi apa dari kata itu. Dia bahkan tidak tahu-menahu masalahku yang memblokir Setha, tetapi dia bisa meminta Setha introspeksi. 

"Ya karena aku nggak tahu apa salahku, kita udah cukup lama lost contact. Aku nggak merasa melakukan kesalahan apapun. Kalaupun aku ada salah, aku... I'm really sorry, Aya. For anything I may have done wrong to you, in the past or in the present, I offer my heartfelt apology."

Kata-kata Setha barusan membuatku merasa seperti villain di sini. Setha jelas tidak bersalah karena semua terjadi dalam pikiranku. Aku yang suka padanya, dia tidak tahu itu, dan aku yang merasa patah hati kemudian memblokir semua akses komunikasi dengannya. Aku yang salah karena sudah jatuh hati pada laki-laki friendly yang baik ke semua orang. Kesalahan besarku di masa lalu yang sampai sekarang belum kumaafkan karena aku masih terjebak di sana.

"Introspeksi makanya." Sekali lagi, Sabda berada di pihakku meski dia tidak tahu bahwa aku yang keliru. Oleh karena aku tidak siap dengan pertemuan ini, aku pun kembali menarik lengan baju Sabda. Mengajaknya pergi dan hanya berpamitan dengan Setha dengan mengangguk sedikit.

Aku mendengar Setha masih memanggil manggil namaku, namun aku enggan menoleh. Untung saja Setha tidak mengejar, dia cukup peka untuk mengetahui kalau aku tidak ingin dikejar. 

Dengan wajah kesal, Sabda mengambil helm-ku berniat memakaikan. Langsung kutolak. Sabda cukup sering melakukan ini dan menerima penolakanku, namun dia tetap terus melakukannya, aku pun sama. Dua orang keras kepala bertemu, jadi seperti ini. "Jogja sesempit ini." ucapnya setelah menghela napas keras-keras ke udara.

Sabda mengenakan hoodie hitam miliknya kemudian membayar parkir dengan selembar uang 2000 dari saku hoodie. "Kalau itu orang gangguin kamu lagi, kasih tahu aku, Ay. Biar aku kasih pelajaran." Sabda membunyikan jari-jarinya sebelum naik ke motor. Tidak lupa dia menurunkan footstep motor yang sepertinya dinaikkan tukang parkir saat motor kami tinggalkan.

Kami pun mulai bergerak meninggalkan alun-alun kidul yang semakin ramai di Minggu pagi. Sempat hening beberapa saat sebelum Sabda bercerita panjang lebar. "Aku tuh udah move on dari mantanku, cuman kenapa ya aku masih nggak seneng lihat cowoknya yang sekarang?" gerutunya saat kami berhenti menunggu lampu yang sedang merah. "Wait, aku nggak suka lihat dia karena dia cowoknya mantanku, atau aku nggak suka lihat dia karena ternyata dia kenal sama kamu, ya?"

"Maksud kamu?" aku sungguh tidak paham Sabda barusan ngomong apa.

"Ya gitu deh, aku juga bingung aku ngomong apa." katanya lalu tertawa terbahak-bahak.

"Sab, aku boleh nanya sesuatu?" tanyaku pelan sampai Sabda hah heh di depan. Aku pun mengeraskan volume suaraku sampai akhirnya terdengar olehnya dan direspon dengan senang hati. Aku pun melanjutkan, "Kalian itu putus karena cewekmu selingkuh, kan? Katamu, waktu itu."

"That's right. Kenapa?"

"Setha sebelumnya tahu nggak kalau cewekmu punya pacar?" Kenapa aku ingin sekali menanyakan hal ini? Kenapa aku benar-benar ingin memastikan kalau Setha se-innocent itu sampai tidak mungkin dia jadi pihak yang merebut di sini.

"Harusnya tahulah. Aku sering ketemu dia waktu anterin Cecil ke tempat pertemuan putera puteri daerah."

"Mungkin dia nggak tahu kalau kalian pacaran? Mungkin juga cewekmu..."

"MANTAN atuh." Sabda menyela dengan senewen.

"Iya, maaf, maksudku mantanmu. Mungkin mantanmu memang ngakunya single. Bisa aja, kan?"

"Jadi kamu ngebela Setha, nih, ceritanya?" Ternyata sinyal pertanyaanku terbaca oleh Sabda dengan 'membela'. Sabda sampai meminggirkan motornya lalu berhenti. Sabda sampai melepas helm lalu turun. Aku pun ikut turun bersamanya.

"Aku memang belum tanya sih, hubunganmu sama Setha?" tanya Sabda sejurus kemudian. "Kalian ini... sebetulnya... apa?"

Tentu saja aku langsung menjawab dengan tegas dan cepat, "Bukan apa-apa. Dia kakak kelasku waktu SMA." 

"Bukan mantannya?" Aku cukup bersyukur Sabda tidak malah menebak kalau aku pernah naksir pada kakak kelasku itu. Pertanyaan ini malah bisa membuatku menggeleng mantap. Tentu saja bukan, jadian saja tidak pernah. Dia tahu aku naksir padanya pun entah.

"Terus, alasan kamu blokir nomor WhatsApp-nya?" Sabda menatapku serius, berharap mendapatkan jawaban yang aku sendiri tidak bisa menjelaskan.

"Bukan urusan kamu." jawabku tegas. Jawabanku berhasil membuat Sabda yang sempat terlihat mencoba mendominasi dan galak jadi luluh. Ia menghela napas kemudian mengenakan kembali helm-nya kemudian naik lebih dulu. Aku menyusul tanpa menyentuhnya sedikit pun. Aku berpegangan pada besi belakang motor.

Sesampainya di rumah, aku berpapasam dengan Nikel yang baru akan pergi. Pakai jaket varsity dongker-cream dan celana basket yang identik dengan celana agak kebesaran. Sepatunya juga baru. Dia akan latihan basket lagi hari ini. Seperti hari-hari biasa, adik yang mengerti tata krama dan sopan santun. Nikel meraih tanganku dan mengecupnya menggunakan pipi.

"Aku pergi dulu, Mbak."

"Hati-hati." kuacak-acak rambutnya saat posisi kepalanya masih rendah. Aku melanjutkan perjalananku masuk kamar. Kakiku langsung menuju meja belajar. Kutarik salah satu laci dan mengangkat setumpuk buku di dalamnya. Kutarik sebuah amplop yang sangat rapi dan ada isinya itu. Surat yang tidak akan pernah sampai pada pemiliknya. Aku menyebut ini sebagai surat cinta. 

To Mas Setha,

Mas, what are we, really?

You've always been so kind to me. I know you're naturally warm to everyone, but somehow, the way you're kind to me feels... different. Maybe it's just in my head. And if that’s the case, I’m sorry. But if you feel it too—even just a little—I need some clarity. That way, if this truly is one-sided, I can begin to let go properly.

I hope this letter doesn’t create any awkwardness between us. If, in your eyes, I’m just like a little sister, that’s okay—I still want to thank you. Thank you for all your kindness, and for all the little things that made me feel safe. You’re a good person, Mas. I genuinely hope you’ll end up with someone who truly deserves your heart.

Once again, I’m sorry for writing this and for asking something so personal.

Warmly,
Cantika Elaine

Harusnya waktu itu surat ini kukirim bersamaan dengan cookies yang kubuat dalam rangka ia terpilih jadi ketua OSIS. Namun, aku mengurungkan niat mengirimkan surat ini juga. Aku tidak sanggup membayangkan betapa awkward-nya kami jika sampai surat ini jatuh ke tangannya. Alhasil, surat ini hanya kusimpan sebagai kenangan bahwa aku pernah sebegitu menyayanginya dan hanya berdoa agar bisa bersamanya. 

 

Sabda

Setibanya di kontrakan, kulihat Bian dengan kaos hitam dan sarungan itu sudah menyapu halaman rumah dengan sapu lidi. Dia menyambutku dan menangkap ekspresi kesalku, sepertinya. "Ada apa nih, kok cemberut gitu. Berantem, kah?" dia tertawa.

"Diam kau. Atau kuplorotin sarungmu itu."

"Mesum." umpat Bian lalu membiarkanku masuk.

Aku duduk di sofa. Teringat kejadian baru saja yang cukup mengganggu pikiranku. Aku yakin Aya tidak berbohong kalau mereka tidak pernah menjalin hubungan apapun. Tapi kenapa aku merasa ada yang Aya sembunyikan? Perasaan saat ngobrol dengan si Ethan tempo hari, dia sama sekali tidak menyebut nama Setha.

Aku belum cerita ya? Sekitar dua minggu di Indonesia, aku benar-benar melalui uji kelayakan melalui Ethan, selaku pengujiku. Tentu saja tanpa sepengetahuan Aya. Kenapa aku bisa tahu? Ethan sendiri yang me-warning. Anyway, Ethan ini usianya hanya setahun lebih tua dariku. 

"Aya nggak tahu soal ini, ini cuman antara kita berdua." Ethan mengemut permen lolipop milkita rasa cokelat. Kudengar Ethan mantan perokok dan sekarang mencoba beralih ke permen namun dalam batas wajar karena beliau juga takut kena diabetes kalau tidak terkontrol.

Hari itu kami bertemu di sebuah co-working space. Kami duduk di pojok, hanya aku dan Ethan saling berhadapan. Dia juga menyuruhku memesan dan ujungnya dia yang membayarkan. Saat itu aku pesan kopi hazelnut dan pisang selimut caramel sedangkan Ethan memesan kopi gula aren dan mendoan. Mendoan bukan sembarang mendoan karena plating-nya sesuai harga. Kira-kira itu cuman satu bar tempe yang dipotong jadi beberapa bagian lalu dihindangkan dengan harga tiga puluh ribuan. 

"GPA?" tanya Ethan sambil menusuk salah satu mendoan dengan garpu kemudian mencocolnya di sambal kecap.

Awalnya aku tidak terlalu dengar dia bilang apa, kenapa dia tidak sebut IPK saja supaya aku langsung paham. Tidak ada angin tidak ada hujan, setelah makanan datang malah tanya IPK.

"Oh, itu terakhir 3,84."

"You sure?" Ethan memajukan duduknya sambil memicingkan mata, memandangku suspicious. "Sambil dimakan sama diminum aja. Santai aja." Dia nyuruh aku santai tapi dia buat suasana semencekam ini.

Aku cuman mengangguk mengiyakan lalu menjawab pertanyaannya. "Serius." aku langsung membuka website akademik dan menunjukkan padanya agar dia tidak mengira aku sedang membual. Untuk apa aku berbohong soal IPK. Aku cukup percaya diri karena memang aku suka belajar. 

Ethan menyesap kopi hangatnya itu sambil mangut-mangut seperti pegas. Meskipun terlihat cuek dan tidak peduli, aku bisa melihat ada secercah kekaguman di sana. Mungkin dia tidak berekspektasi aku akan cumlaude bahkan di angka 3.84. Bahkan saat semester awal aku pernah dapat IP semester sempurna. Aku juga memperlihatkan itu kepada Ethan dan dia tidak bisa menyembunyikan kekagumannya meski buru-buru ia singkirkan agar terlihat sangar.

"Kuliahmu jurusan?" matanya itu tajam sekali seperti tatapan elang. Benar, kalau boleh kudeskripsikan tatapan Ethan dan adik-adiknya itu seperti elang. Beda pada kadar ketajaman saja. Nikel yang ramah itu juga punya tatapan elang, jadi kalau dia serius kelihatan seram.

"Psikologi, Mas."

Bibir bawahnya maju, beliau nampak berpikir, "Kenapa? Mau jadi psikolog?"

Dengan tegas aku mengangguk, "Betul, Mas. To be more spesific, aku pengen jadi sport psychologist."

"Interesting, so... why?"

“Orang cuma tahunya banyak penonton, banyak penggemar, hadiahnya gede Tapi nggak tahu gimana rasanya pressure menjelang final, atau rasa takut bikin kesalahan. Aku pengin bantu atlet buat navigate tekanan itu. I see being a sport psychologist like being a coach for an athlete’s mind. Soalnya kadang yang bikin mereka gak perform bukan karena the lack of training—it’s the pressure, the overthinking, losing focus. So helping them win mentally is just as important as helping them win physically."

"You love volleyball so much. Parah ya kecelakaan waktu itu? Sampai harus pensiun dini." Ethan kembali memasukkan potongan mendoan ke dalam mulutnya. Dia tampak sangat menyukainya.

Jantungku serasa melorot, aku cuman bisa mengangguk seraya mengendalikan napasku agar tidak terpancing oleh pertanyaan ini. Aku sangat berharap Ethan mengganti topik.

"Keluarga? Bagaimana?"

Syukurlah dia benar-benar mengganti topik, "Maksudnya? Bagaimana?"

"Ya, coba ceritakan soal keluargamu. I just want to know something."

Aku mengangguk dengan percaya diri dan menceritakan kalau aku punya bunda hebat yang bekerja sebagai dokter spesialis saraf. Beliau sangat mencintai kami semua. Meskipun sibuk kerja, Bunda tidak pernah lupa untuk menanyakan keadaan anak-anaknya. 

Aku juga menceritakan soal Papa yang bekerja di perusahaan tambang. Papa bukan orang yang banyak bicara juga kusampaikan. Beliau hanya bicara saat penting saja dan saat bicara beliau akan terlihat sangat keren dan berwibawa sesuai posisinya di perusahaan.

Tidak lupa aku juga menceritakan adikku satu-satunya, Tsana yang saat ini kelas 2 SMA yang sangat ekstrovert. Keluarga kami baik dan sering disebut cemara oleh orang-orang. Dengan suka cita aku menceritakannya. 

Ethan menyimakku serius, kuperhatikan rahangnya mengeras. Sorot matanya sedikit luluh mendengar ceritaku bahkan aku merasa dia seperti terharu mendengar cerita soal keluargaku yang baik-baik saja. Jujur, aku tidak tahu keluarga Aya karena dia tidak pernah cerita dan aku tidak terlalu senang bertanya soal keluarga jika bukan karena keinginan mereka sendiri. Beberapa orang akan sensitif saat ditanya soal keluarga, kan?

"That's good. Jogja asli?"

"Bunda aslinya Tangerang. Papa yang asli Jogja. Aku sendiri lahir di Namyangju-si, Korsel."

Kedua alisnya terangkat, dia orang kesekian yang akan terkejut tahu aku lahir di tanah kelahiran idol kpop. "Annyeonghaseyo." Tiba-tiba banget annyonghaseyo. Jujur, aku hanya lahir, aku sama sekali tidak bisa bahasa Korea.

"Ne, annyeonghaseyo, Hyung." Aku tertawa canggung dibuatnya.

Ethan menghela napas panjang, ingin segera beranjak ke topik lain, "What do you think about me? Your first impression. Jujur aja nggak usah perez." Ethan kembali memasukkan mendoan ke dalam mulutnya. Sepertinya dia mengunyah potongan cabai yang agak besar sampai terlihat kepedasan. Mau minum kopi, kopinya juga panas. Alhasil beliau lari ngibrit ke pegawai kafe dan memesan sebotol air mineral dingin sebagai penawar.

Ethan sampai keselek, aku hampir tertawa untuk segera bisa kukendalikan.

"Sorry," ucapnya segera setelah kembali ke tempat duduk lalu menenggak isi air mineral tersebut hingga sisa setengah. "Tadi sampai mana kita."

"Firts impression-ku ke Mas Ethan."

"Oh ya, itu."

"Sayang banget sama Aya. Sama, Mas. Aku juga punya adik cewek, jadi aku tahu rasanya. Menurutku Mas Ethan orangnya tegas dan cerdas. Pas awal lihat foto Mas Ethan di rumah, aku cuman ngebatin keluarganya Aya visual semua. Menurutku kamu juga ganteng."

UHUK UHUK UHUK...

Kenapa? Dia kaget ya karena kupuji ganteng sampai tersedak waktu sedang minum kopi.

"Kan saya sudah bilang jangan perez." sepasang matanya itu masih merah karena malah sekarang dia tersedak padahal baru saja selesai dengan urusan kepedasan.

"Aku serius, Mas. Nggak boleh ya cowok muji cowok?" kelakarku mencoba mencairkan suasana. Dia tidak bereaksi dengan guyonanku sehingga aku tidak nyaman untuk meneruskannya.

"Sudah... sudah... sekarang saya beri satu kesempatan untuk menanyakan satu hal yang pengen kamu ketahui. Pikirkan baik-baik karena cuman satu. Kamu bisa makan atau minum dulu sambil berpikir karena sekarang sesi santai ramah tamah."

Apakah pujianku barusan membuatnya luluh? Harusnya tadi dia suruh saja aku bawa CV supaya dia tinggal membaca. Soal pertanyaan, setelah merenung kurang lebih dua puluh menit—sambil bolak-balik menimbang konsekuensinya—aku akhirnya memutuskan bertanya soal tanda itu. Aku ingin tahu, apakah Ethan atau keluarganya tahu sesuatu. Tapi begitu pertanyaan itu keluar dari mulutku, kedua mata Ethan langsung membelalak, seolah-olah baru saja mendengar kabar yang mengguncang isi dunianya.

"Are you sure?" tanyanya pelan, nyaris berbisik. Dari sorot matanya yang mengerut dan alisnya yang naik tak percaya, aku tahu dia benar-benar tidak tahu. "Aku sudah lama banget ninggalin Indonesia. Selama ini cuma komunikasi lewat video call... dan dia selalu kelihatan baik-baik aja." Suaranya goyah, seperti ditarik-tarik antara ingin percaya dan ingin menyangkal. "Are you really sure that she’s self-harming?"

Ethan mencondongkan tubuhnya ke arahku, mata cokelatnya memantulkan kegelisahan yang tak mampu ia sembunyikan. Napasnya mulai terdengar berat, dan aku bisa lihat jemarinya mengepal di atas meja. Ia berusaha menahan sesuatu: kemarahan, rasa bersalah, atau mungkin campuran keduanya.

"Maaf, kalau Mas Ethan memang tidak tahu. Aku mohon untuk tidak langsung bertanya pada Aya. Aku khawatir itu bikin dia nggak nyaman."

"Terus what should I do?" nada suaranya meninggi. Dia mulai menggigit bibir bawahnya, seolah sedang menahan diri agar tidak langsung berdiri dan pergi menemui adiknya saat itu juga. Matanya menyapu ruangan tapi tidak benar-benar melihat. Gelisah.

Aku menarik napas pelan dan mencoba menenangkan suasana. “Lukanya kelihatan udah agak lama. Selama aku bareng Aya, aku nggak lihat ada yang baru. Makanya aku belum ambil tindakan apa-apa.”

"You sure about that?" sorot matanya tajam, penuh tuntutan. “Selama ini kamu selalu pantau itu juga?”

Aku mengangguk mantap. “Itu salah satu alasan kenapa aku pengen selalu ada di dekat Aya. Biar aku bisa bantu jagain dia, setidaknya sebisa aku.”

Ethan memejamkan mata sesaat, menunduk. Bahunya turun pelan, seperti baru saja memikul beban yang beratnya dua kali lipat dari sebelumnya. “Oh God... how could I not know?

Ia terdiam beberapa detik, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ada jeda, cukup panjang, sebelum akhirnya dia membuka suara lagi—pelan, hampir seperti gumaman.

“Sebenarnya…”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Replika
1698      779     17     
Romance
Ada orang pernah berkata bahwa di dunia ini ada 7 manusia yang mirip satu sama lain? Ada juga yang pernah berkata tentang adanya reinkarnasi? Aku hanya berharap salah satu hal itu terjadi padamu
Just For You
6011      1980     1     
Romance
Terima kasih karena kamu sudah membuat hidupku menjadi lebih berarti. (Revaldo) *** Mendapatkan hal yang kita inginkan memang tidak semudah membalik telapak tangan, mungkin itu yang dirasakan Valdo saat ingin mendapatkan hati seorang gadis cantik bernama Vero. Namun karena sesuatu membuatnya harus merelakan apa yang selama ini dia usahakan dan berhasil dia dapatkan dengan tidak mudah. karen...
CEO VS DOKTER
259      215     0     
Romance
ketika sebuah pertemuan yang tidak diinginkan terjadi dan terus terulang hingga membuat pertemuan itu di rindukan. dua manusia dengan jenis dan profesi yang berbeda di satukan oleh sebuah pertemuan. akan kah pertemuan itu membawa sebuah kisah indah untuk mereka berdua ?
Once Upon A Time
389      259     4     
Short Story
Jessa menemukan benda cantik sore itu, tetapi ia tak pernah berpikir panjang tentang apa yang dipungutnya.
HAMPA
410      283     1     
Short Story
Terkadang, cinta bisa membuat seseorang menjadi sekejam itu...
Teacher's Love Story
3197      1091     11     
Romance
"Dia terlihat bahagia ketika sedang bersamaku, tapi ternyata ia memikirkan hal lainnya." "Dia memberi tahu apa yang tidak kuketahui, namun sesungguhnya ia hanya menjalankan kewajibannya." Jika semua orang berkata bahwa Mr. James guru idaman, yeah... Byanca pun berpikir seperti itu. Mr. James, guru yang baru saja menjadi wali kelas Byanca sekaligus guru fisikanya, adalah gu...
Mendadak Halal
8010      2192     1     
Romance
Gue sebenarnya tahu. kalau menaruh perasaan pada orang yang bukan makhramnya itu sangat menyakitkan. tapi nasi sudah menjadi bubur. Gue anggap hal ini sebagai pelajaran hidup. agar gue tidak dengan mudahnya menaruh perasaan pada laki-laki kecuali suami gue nanti. --- killa. "Ini salah!,. Kenapa aku selalu memandangi perempuan itu. Yang jelas-jelas bukan makhrom ku. Astagfirullah... A...
After School
3110      1319     0     
Romance
Janelendra (Janel) bukanlah cowok populer di zaman SMA, dulu, di era 90an. Dia hanya cowok medioker yang bergabung dengan geng populer di sekolah. Soal urusan cinta pun dia bukan ahlinya. Dia sulit sekali mengungkapkan cinta pada cewek yang dia suka. Lalu momen jatuh cinta yang mengubah hidup itu tiba. Di hari pertama sekolah, di tahun ajaran baru 1996/1997, Janel berkenalan dengan Lovi, sang...
Kalopsia
725      533     2     
Romance
Based of true story Kim Taehyung x Sandra Sandra seharusnya memberikan sayang dan cinta jauh lebih banyak untuk dirinya sendiri dari pada memberikannya pada orang lain. Karna itu adalah bentuk pertahanan diri Agar tidak takut merasa kehilangan, agar tidak tenggelam dalam harapan,  agar bisa merelakan dia bahagia dengan orang lain yang ternyata bukan kita.  Dan Sandra ternyata lupa karna meng...
Kebaikan Hati Naura
633      358     9     
Romance
Naura benar-benar tidak bisa terima ini. Ini benar-benar keterlaluan, pikirnya. Tapi, walaupun mengeluh, mengadu panjang lebar. Paman dan Bibi Jhon tidak akan mempercayai perkataan Naura. Hampir delapan belas tahun ia tinggal di rumah yang membuat ia tidak betah. Lantaran memang sudah sejak dilahirikan tinggal di situ.