Loading...
Logo TinLit
Read Story - Batas Sunyi
MENU
About Us  

Tak ada manusia
Yang terlahir sempurna
Jangan kau sesali
S'gala yang telah terjadi

Kita pasti pernah
Dapatkan cobaan yang berat
Seakan hidup ini
Tak ada artinya lagi
 

(d'Masiv - Jangan Menyerah)

 

Aku mengajak Aya jogging hari ini, dia bersedia. Kuajak jogging di alun-alun kidul. Saat kuketuk pintu depan rumah, Aya sudah siap dengan outfitnya. Jersey pink yang ada nama punggung dan celana training sedikit longgar. Dia mengenakan sepatu running putih bermerk Nike.

“Aku kira kamu jogging bakal bawa headphone atau tws juga.” ucapku segera saat melepas helm, kami sudah tiba di lokasi setengah enam pagi. Motor memenuhi parkiran, beberapa orang sudah mulai lari, beberapa senam, beberapa lainnya jalan santai.

“Ya nggak, emang kamu mau aku cuekin pas lagi ngomong?”

“Ya jangan dong. Berasa ngomong sama candi.”

“Makanya.” pungkasnya seraya merapikan rambut sebelum mengumpulkannya jadi satu untuk dikucir tinggi.

“Ya ampun…” Aya melepaskan kembali rambutnya yang telah terkumpul. Wajahnya tampak kesal.

“Kenapa, Ay?” 

“Tadi perasaan aku udah nyaku kuciran. Jatuh kali ya.” Aya mencari-cari di bawah kakinya. 

Entah mengapa rasanya senang sekali. Ini saatnya wong tulus tampil. Aku segera memamerkan lenganku padanya.

“Ngapain kamu?" Aya malah mendekatkan hidungnya di nadiku. "Parfum baru?” tanyanya tidak sesuai yang kuharapkan. Dikira aku nyuruh dia cium parfum.

“Aku bawa kuciran.” Aku lepas kuciran warna hitam yang sekilas orang akan menyangka itu gelang biasa. Padahal itu kuciran.

“Bekas ngucir rambutmu?” wajah Aya tampak jijik.

“Aku mau ngucir rambutku yang sebelah mana atuh, Ay? Ini tuh baru, bersih, emang sengaja aku bawa setiap sama kamu. Aku juga punya sewadah isi kuciran semua tapi di tas.” Akhirnya aku ceritakan saja sekalian.

Oh, you’re really thoughtful. Thank you so much!” Aya pun menerima kuciran hitam yang tadinya melingkar di pergelangan tanganku. 

Aya kembali mengumpulkan rambut lebatnya jadi satu kemudian mengucirnya tinggi. Kenapa cewek kuciran tuh… indah banget ya? Leher jenjang mereka itu loh. Sabda istighfar.

“Pemanasan dulu,” aku mengajak Aya menuju dekat pohon beringin. Kami pemanasan sejenak sebelum mulai ritual jogging. 

Kami lari beriringan, sesekali aku yang sengaja ketinggalan agar bisa memantau Aya dari belakang. Jika bisa bersebelahan, selalu aku upayakan. 

“Aya, kalau udah capek ntar bilang ya.”

Aya langsung berhenti, menepi, dan mulai mengatur napasnya yang tersengal-sengal.

Kami baru dua putaran, bahkan aku belum berkeringat sama sekali.

You okay?

“Agak pusing,” jawabnya singkat. Bibirnya yang hanya mengenakan lip balm itu tampak pucat. Aku tahu karena sempat tanya tadi sebelum berangkat. Kebanyakan cewek bibirnya seperti orang tipes kalau tidak diwarnai.

Tenang saja, buatku semua cewek itu cantik meskipun bibir mereka pucat. Tapi kebanyakan dari mereka tidak pede dengan bare face.

“Duduk dulu, Ay? Sini aku bantu jalannya. Pegang lenganku, Ay.” Aku menyodorkan lenganku padanya. Aya menolak halus dan bilang dia bisa jalan sendiri dan tidak mau merepotkanku. 

Akhirnya kami berdua terdampar di tempat jualan bubur ayam Jakarta. Bubur ayam yang nggak pernah aku skip setiap jogging di alun-alun kidul.

Kusodorkan botol air mineral pada Aya yang sudah kubuka segelnya. Aya langsung menenggaknya sampai tinggal setengah.

“Maaf ya, kayaknya saking aku nggak pernah olahraga. Jadi kaget.”

Kugerakkan telunjukku sebagai gestur yang jelas maknanya, “Nggak perlu minta maaf. Lumayan juga udah dapat dua putaran.” Aku mencoba membesarkan hatinya.

"Masih pusing nggak?" 

"Udah enggak sih."

Aya kembali menenggak minumannya. Saat itu kulihat tangannya yang banyak luka. Lebih tepatnya bekas luka. Seolah sudah jadi ritual bawah sadar, kontan Aya segera menarik ujung lengan baju itu kemudian menahannya dengan tangan yang lain. Seolah tidak ingin ada yang melihat.

“Kalau kamu mau lari lagi, lari aja. Aku tunggu di sini. Sayang kalau nggak lanjut.”

“Nggak mau, aku nemenin kamu kok. Pak, mau bubur ayamnya dua ya. Satunya nggak pake kacang.” Lalu aku konfirmasi pada Aya, “kamu pake kacang atau nggak?”

Aku masih belum berani makan keras karena behel ini. Biasanya sih kacang aku request dibanyakin.

“Aku mau kacang.”

“Satunya pakai kacang, satunya nggak. Minumnya jeruk anget, sama…” aku melirik pada Aya.

“Aku ini aja.” Aya mengangkat sebentar botol air mineral di tangannya. Selesai memesan.

Kami berdua duduk di kursi plastik bersebelahan sambil menghadap kerumunan yang masih semangat olahraga.

“Kalau anak psikologi, bisa nyembuhin trauma sendiri?” Tiba-tiba saja Aya mengajukan pertanyaan yang cukup membuatku excited.

Rasanya di kepalaku sudah ada sejumlah paragraf yang siap kuperdengarkan pada Aya. Aku akan menjadi informan paling keren yang Aya kenal.

Fun fact, sama kayak dokter, gampangnya dokter bedah deh, gak mungkin nge-bedah dirinya sendiri.” Aku mencoba menyederhanakannya.

“Iya sih…” Aya terdengar sepakat. “Dulu aku sempat pengen masuk psikologi. Tapi aku takut, pasienku tambah gila kalau psikolognya aku.” kupandangi wajahnya, dia tersenyum getir.

“Aku punya psikolog tau. Dan psikiater juga.” akhirnya aku cerita pada Aya.

Kenapa aku bilang Aya itu ‘beda’ ya salah satunya karena dia tidak pernah mengulik tentang hidupku. Aku senang selama enam bulan ini dia tidak pernah menyinggung soal pensiunku dari voli. Dia seperti tahu bahwa aku akan ke-trigger dengan pertanyaan terkait itu, meski nggak semuanya. Aku senang dengan kepekaannya pada hal-hal yang menurutku penting bagiku.

Selama ini, dadaku selalu berdesir setiap kali ada yang mulai membahas soal voli. Namun saat bersama Aya, dia tidak pernah mengupasku, justru dia hanya mendengar yang ingin dan mampu kusampaikan saja. Itu yang membuat aku merasa aman di samping Aya.

“Kamu nggak kaget?”

Aya menggeleng.

“Nggak penasaran kenapa aku sampai punya psikolog sama psikiater?”

Aku pikir Aya akan mulai menggaliku setelah aku terbuka soal psikolog dan psikiaterku. Ternyata Aya malah memberikan statement yang mengejutkanku.

“Nggak kaget sih. Kamu punya psikolog dan psikiater. Kita tuh sering nilai orang dari tampilan luarnya aja. Seseorang bisa kelihatan baik-baik aja, kehidupannya sempurna, ketawanya paling keras setiap hari, tapi waktu dia lagi sendiri dia bisa jadi orang yang paling hancur di dunia.” Aya menatapku dan tatapan itu beserta kata-katanya sukses menancap di jantungku. Itu benar, yang Aya katakan itu adalah gambaranku.

Aku bisa jadi orang paling kacau dan paling ingin lenyap saat sendirian. Makanya, aku ini banyak acara, sibuk bukan kepalang supaya pikiranku tidak kosong jadinya aku tidak akan memikirkan yang aneh-aneh.

"Aku malah belum pernah ke psikolog." Sebuah fakta yang sejujurnya aku pun di satu sisi kaget, di sini lain udah nggak kaget. Apalagi di Indonesia, anggapan setiap orang yang visit ahli kesehatan mental 'pasti wong edan' sudah jadi stigma yang susah dihilangkan.

"Bedanya psikolog sama psikiater tuh, apa? Aku pernah browsing sih tapi aku pengin dengar langsung dari kamu yang anak psikologi."

Kuusap ujung hidungku, "Mau versi panjang apa yang sederhana nih?"

"Sederhana aja boleh." pilih Aya dengan nada suara sedikit menahan ketawa. 

"Psikolog itu nggak ngasih obat, karena fokusnya lebih pada terapi dan konseling untuk membantu pasien mengatasi masalah mental mereka," kutatap wajah Aya, dia benar-benar menyimakku dengan bola matanya yang cemerlang itu.

Aku sampai harus berdeham sebelum lanjut menjelaskan, "Mereka menggunakan metode seperti kognitif-behavioral terapi atau psikoterapi untuk membantu pasien memahami dan mengelola emosi serta perilaku mereka."

Wajah Aya nampak sedang mencerna perkataanku. Dia mangut-mangut setelah pemrosesan selesai.

"Di sisi lain, psikiater itu dokter spesialis yang memiliki wewenang untuk meresepkan obat-obatan untuk mengobati gangguan mental. Mereka punya latar belakang medis dan bisa melakukan pemeriksaan fisik serta tes diagnostik untuk menentukan penyebab gangguan mental pasien."

Aya mengangguk, "Oh, jadi psikolog lebih fokus terapi dan konseling, sedangkan psikiater lebih fokus pada pengobatan medis." Ia mencoba menyimpulkan.

Aku tersenyum semringah, penjelasanku pasti sangat mudah dipahami. "Betul sekali, Aya! Jadi, keduanya memiliki peran yang berbeda namun saling melengkapi dalam membantu pasien mengatasi masalah mental mereka."

"Monggo..." bubur pesanan kami sudah diantar. Posisi duduk hanya kursi tanpa meja dan mangkuk panas membuat kami merasa kurang nyaman.

"Ay, duduk di tikar aja gimana?"

"Boleh, enakan di tikar bisa ditaruh mangkuknya." Aya pun berdiri dan segera lepas sepatu. Kami sudah duduk berhadapan di atas tikar bersebelahan dengan seorang pria dan wanita paruh baya yang sepertinya suami istri.

Aya batuk-batuk sambil mengibasi asap rokok yang disebabkan oleh bapak di samping kami.

"Pak, ngapunten, rokoknya boleh dimatikan dulu? Istri saya lagi hamil muda nggak bisa hirup asap rokok."

Kulirik Aya sekilas, ekspresinya langsung berubah drastis dan shock berat. Syukurlah dia tidak mendebat, mungkin karena melihat reaksi suami istri itu. Sang istri menyuruh suaminya segera membuang puntung rokok dan akhirnya bebas asap.

Aku cuman bisa nyengir, kami pun makan bubur. Syukurlah Aya juga tidak mengaduk buburnya. Cukup mengerikan melihat bubur diaduk. Tidak bermaksud apa-apa pada kaum bubur diaduk, tidak ada salahnya juga, hanya kurang indah dipandang saja.

"Sudah berapa bulan?" Aku pikir dramanya sudah berakhir, ternyata si ibu sebelah kami malah jadi penasaran dengan usia kandungan fiktif Aya.

Aku dan Aya saling melempar pandang. Aya memberikan tatapan menyuruhku membereskan yang sudah kubuat.

"Tiga bulanan ya, Sayang?" aduh, lidahku kok terasa gatal sekali rasanya malu sekali. Aya di hadapanku terlihat merah padam. Entah marah atau malu. Dia sangat merah, kulihat dia mengangguk tipis setelah menyadari jawabannya dinantikan.

"Oh masih awal-awal memang gejolaknya luar biasa. Mas sing sabar yo, semoga kehamilan istri sampean lancar."

Aya mengikuti alurku, dengan canggung ia memegangi perut sambil bilang aamiin.

Rasanya aku ingin tertawa keras sekali karena bisa-bisanya mereka percaya kami suami istri. Apakah secocok itu? Apakah kami serasi banget?

Selama makan, aku dan Aya jadi saling diam. Bingung mau ngobrolin apa. Untung saja suami istri itu cuman ngebungkus jadi langsung pergi.

"Maaf ya, Aya..."

"Iya aku paham maksud kamu kok."

Kemudian Aya tertawa, aku jadi ikut tertawa. Sangat langka sekali melihat dan mendengar Aya tertawa. Tawanya kali ini cukup lama.

"Kamu ada aja idenya." dia menggeleng saking nggak habis pikir.

"Kamu juga elus elus perut sambil bilang amin, tadi aku udah hampir nggak bisa nahan ketawa tahu."

Suara tawanya renyah dan terdengar begitu lepas. Sampai-sampai aku pengen merekam momen ini supaya bisa kuulang-ulang terus. Atau kalau bisa, sudah kuhentikan waktu supaya terus bisa melihat Aya tersenyum bahkan sampai tertawa.

Seekor kucing tuxedo menghampiri kami. "Eh, ganteng sini." Aya memanggilnya. "Tapi nggak bawa makanan buat kamu meng..."

Kucing itu mendekat dan sudah mendusel-dusel pada Aya.

"Aku bawa creamy treat." Aku rogoh saku celanaku agak dalam. Aku cuman bawa dua sih. Langsung kubuka salah satunya karena aku sudah selesai makan dari tadi.

"Sini mam..." aku sodorkan makanannya dan langsung dilahap dengan matanya yang merem-melek. Kucing ini cukup cerewet seolah bilang 'makasih' berkali-kali.

"Kamu tuh bener-bener selalu nyetok makanan kucing ya."

"Wajib, soalnya hampir selalu ketemu meong."

"Makasih ya, Sabda."

"Buat?

"Makasih udah jadi orang baik." 

Asli, ini aku seperti petasan yang baru saja disulut api dan siap meledak-ledak. Hatiku langsung terasa hangat dan seperti banyak kupu-kupu di perutku.

"Mas Sabda..." suara ini kan... kan, bener. 

Tsana langsung menghambur ke arahku dan menciumku habis-habisan. Kucing tuxedo tadi sampai kaget dan lari terbirit-birit meninggalkanku.

Aya yang melihat juga langsung menganga lebar saking shock-nya. Mereka belum pernah ketemu sebelumnya, pasti Aya salah paham.

"Lipstikmu nempel di mukaku nggak?" Aku langsung memastikan. Terakhir dia menciumku, ada bekas bibir yang bikin aku diketawain sekelas bahkan ditegur dosen. Bocil iseng.

"Transferproof ini, aku pakai liptint doang." Tsana menyodorkan kamera depan ponsel miliknya. Kemudian melirik pada Aya. Kedua alisnya terangkat seperti memberiku kode.

"Mbak Aya, ya?"

Jelas saja Aya nampak kebingungan. Tsana khatam betul soal Aya karena sering kuceritakan, sementara Aya nggak tahu Tsana sama sekali. Aku hanya pernah bilang kalau aku punya adik cewek seumuran Nikel.

"Aya kenalin, ini adekku. Namanya Tsana."

"Aya."

Perlu kuberitahu, adikku ini ekstrovert-nya luar biasa. Bahkan sekarang dia sudah akrab ngobrol dengan Aya. Lebih tepatnya dia sangat sok akrab pada Aya. Syukurlah Aya tidak kelihatan terganggu. Dia menanggapi setiap pertanyaan dan pernyataan Tsana dengan sangat friendly

"Ya udah deh, Mbak, Mas, aku gabung lagi ke temen-temenku ya. Kita mau langsung cus ke pantai." tuturnya girang.

"Sama siapa aja? Hati-hati loh. Kamu bawa motor sendiri atau bonceng?"

"Biasa sama temen-temen kelas. Si Najwa, Aqila, Bara, Olivia, Juan, sama..." dia menggantungkan kata sambil cengar-cengir, pasti sama cowok yang lagi dekat sama dia yang belakangan sering muncul di story-nya hanya kelihatan separuh badan atau cuman tangan doang itu.

Aku raih puncak kepala adik sematawayangku ini lalu mengacak-acaknya agak kasar. "Hati-hati suruh dia jangan ngebut."

"Okay..." Tsana memelukku erat, mengecup pipiku (lagi). Tidak ketinggalan dia juga salim dan cium tangan Aya, kemudian pamit pergi.

"Dia itu energinya gede banget ya." komentar Aya memandangi punggung kecil Tsana yang kian menjauh.

"Iya, beda banget sama aku. Dia ekstrovert-nya ekstrim."

"Kamu bukannya ekstrovert juga?" Aya menenggak habis isi air mineral miliknya.

Aku memajukan bibir bawah sambil menggeleng, "Aku ISTJ."

"Aku juga introvert."

"Kelihatan banget sih." sahutku segera memotong perkataannya. Dia tampak tersenyum simpul.

"Aku INFP kalau nggak salah ingat."

Tiba-tiba datang pengamen entah dari mana asalnya, pengamen yang kulitnya gelap terbakar mata hari dengan baju dan celana oversized kumal itu mulai memetik ukulele. Satunya memainkan kerincingan sekaligus membawa bungkus relaxa yang dibalik. Mereka membawakan lagu d'masive - jangan menyerah.

Tak ada manusia
Yang terlahir sempurna
Jangan kau sesali
S'gala yang telah terjadi

Kita pasti pernah
Dapatkan cobaan yang berat
Seakan hidup ini
Tak ada artinya lagi

Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anug'rah
Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik

Aku nggak menyangka suaranya bagus juga padahal kelihatan tidak meyakinkan. Aya di sebelahku juga tampak menghayati lagu yang dibawakan kemudian terlihat pergerakan dia mencari-cari harta karun dari saku celananya. Duduk bersila cukup menyulitkan untuk merogoh sesuatu di dalam saku.

Sekitar dua puluh detik merogoh saku kiri dan beralih ke kanan, akhirnya Aya berhasil meraih selembar uang lumayan lecek berwarna hijau.

Dia tidak langsung memberikan uang itu, "Suara kamu bagus, boleh nyanyikan sampai selesai?" pinta Aya tulus. Lagu yang sudah cukup lama tidak kudengar. Kalau tidak salah itu lagu yang rilis tahun 2000an awal. Lagunya memang bagus dan aku merasa maknanya lebih dalam lagi setelah mengalami sendiri masa sulit yang membuat pikiran-pikiran ingin lenyap dari hidup ini.

Syukuri apa yang ada, mensyukuri hal yang membuat kita hancur tidak mudah, aku pun masih berada di tahap belajar. 

Tetap jalani hidup ini melakukan yang terbaik, ya aku sedang berusaha semampuku. Bersama Aya di dekatku, aku jadi merasa tidak sendiri. Aku jadi merasa punya teman yang sama-sama dalam masa sulit dan berusaha bangkit karena masih ada yang sayang sama kita. Hidup memang sering kali terasa berat dilalui, dan aku butuh setitik cahaya untuk terus melanjutkan hidup yang serba kejutan ini.

Aku butuh Aya.

Tuhan pasti 'kan menunjukkan
Kebesaran dan kuasa-Nya
Bagi hamba-Nya yang sabar
Dan tak kenal putus asa

Dulu, aku hanya mampu mengucapkannya tanpa benar-benar percaya. Sebab, di balik doa yang kulantunkan tiap malam, aku juga menyimpan luka yang sangat amat dalam. Pernah ada masa ketika aku merasa titik terendah itu bukan hanya sekadar "masa sulit", tapi jurang yang terasa gelap, dingin, dan sunyi, tempat di mana pikiranku sendiri jadi musuh terbesar.

Saat aku membaca pernyataan bahwa "Allah tidak akan menguji hamba-Nya dengan musibah di luar kemampuannya," aku sempat tidak mau menerima. Kenapa aku dianggap mampu? Aku bahkan nyaris mati.

Berkali-kali pikiran ingin mengakhiri hidup datang seperti badai yang tidak kunjung mereda. Rasanya mustahil jika ini disebut 'kemampuan'. Akan tetapi waktu berjalan. Dan perlahan, bukan karena semuanya tiba-tiba membaik, melainkan karena aku memilih untuk bertahan satu hari lagi, lalu satu hari lagi. Aku mulai melihat bahwa mungkin... kekuatan itu bukan selalu soal tidak merasa sakit, tapi soal terus hidup meski merasa hancur.

Kini aku mulai mengerti, mungkin kemampuan yang dimaksud bukan tentang seberapa kuat aku tampak di mata orang. Tapi tentang bagaimana Tuhan diam-diam menanamkan benih kekuatan di dalam hati, bahkan ketika aku sendiri tidak sadar ia tumbuh. Dan ya, sekarang aku percaya kalau kekuatan terbesar dalam hidup ini bukan datang dari dalam diriku semata, tapi dari keyakinan bahwa Allah memang punya rencana. Bukan rencana yang selalu mudah atau indah, tapi rencana yang membuatku utuh meski pernah retak.

Uang dua puluh ribu itu dia berikan dengan ikhlas, disambut suka cita oleh dua orang itu yang kemudian pergi meninggalkan kami. Kulirik Aya, dia mengusap sudut matanya. Aku mencari-cari eksistensi tisu lalu kutarik dua helai kuberikan untuk Aya.

"Dulu dengerinnya lagu tadi sekadar bagus aja, ternyata semakin kita gede, lagunya makin relate, kan." kataku.

Anggukan Aya menjadi jawaban dan Aya mulai terisak pelan, seperti berusaha dibendung dengan susah payah.

"Udah nggak apa-apa, nangis aja, Ay." Tapi bukan kata yang keluar, melainkan air mata yang justru semakin menetes, satu-satu, lalu jadi deras seperti hujan yang sudah terlalu lama ditahan awan.

Ia menunduk, bahunya bergetar. Bukan karena dingin, tapi karena beban yang ternyata selama ini dipikulnya sendirian. Berat, ya?

Rasanya ingin sekali membentangkan tangan dan mengambilmu dalam pelukan. Tapi aku tahu batasan bahwa sejauh ini kita hanya sebatas kawan baik. Aya belum merespon apa-apa soal pertanyaanku tempo hari, aku juga masih terlalu pengecut untuk mengatakan sesuatu agar kami saling terikat.

Kadang kita cuma butuh satu kalimat dari orang lain untuk akhirnya berani runtuh. Bukan karena lemah, tapi karena terlalu kuat dalam diam.

"Aku capek," gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.

Aku mengangguk memahaminya, "Aku tahu. Kamu manusia, Ay. Bukan robot. Bukan tokoh utama dari cerita yang harus selalu kuat. It's okay, Aya. Nangis aja. Keluarin. Biar lega."

Dia menarik napas panjang, seperti mencoba mengatur ulang perasaannya yang berantakan.

"Aya... can you look at me for a second?"

Aya menatapku, wajahnya basah air mata dengan mata sedikit merah. Aku akan mengajarkannya melakukan butterfly hug. Lebih dulu aku menyilangkan kedua tanganku di depan dada.

"Ini namanya butterfly hug. It can be helpful for reducing stress and anxiety in everyday situations. It can be used to support emotional healing and processing difficult experiences. It can be a simple and effective way to calm yourself during times of emotional distress." Kulihat Aya mulai mengikutiku.

"Coba ikut aku ya, Ay..."

Aku mendekat pelan, memastikan suaraku cukup lembut. "Silangkan tanganmu di dada, kayak sayap kupu-kupu... Nah, biarin ujung jarimu nyentuh tulang selangka, di sini." Aku mencontohkan gerakannya di depan dia.

"Sekarang, coba tutup matamu. Nggak harus kok, tapi biasanya itu bisa lebih bantu buat rileks."
Ia menurut. Pelan-pelan.

"Terus, mulai tepuk-tepuk dada kamu secara bergantian, kanan… kiri… kanan… kiri… pelan aja, kayak detak jantung yang tenang. Satu atau dua detik sekali."

"Sambil kamu lakuin itu, tarik napas pelan-pelan… terus buang pelan juga. Fokus sama napasmu, atau bayangin tempat yang bikin kamu ngerasa aman."

Aku menatapnya dalam diam, memberi ruang.

"Ini namanya butterfly hug. Boleh kamu lakuin kapan pun kamu ngerasa berat. Kadang kita nggak bisa nyembuhin luka saat itu juga, tapi kita bisa belajar nenangin diri. Dan itu udah langkah besar."

Aya masih terisak pelan, tapi napasnya mulai teratur. Tangannya masih di dada, masih mengikuti ritme butterfly hug, walau sedikit gemetar.

Ada luka yang belum sembuh, ada kalimat-kalimat yang masih belum sempat keluar. 

"Thank you..." gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.

Aku hanya mengangguk. Kadang, diam lebih hangat dari kata-kata. Kadang, kehadiran saja sudah cukup jadi penyelamat.

Lalu aku kembali mencari sorot matanya, sekelebat rasa yang berbeda di matanya. Bukan sekadar sedih. Ada sesuatu yang menunggu untuk diceritakan. Sesuatu yang selama ini dia kubur terlalu dalam.

Tapi sebelum aku sempat bertanya, Aya menatapku dengan sorot yang belum pernah kutemui sebelumnya. "Boleh aku jujur soal sesuatu?" katanya pelan, hampir ragu. Aku mengangguk penuh perhatian.

Tapi sebelum bibirnya sempat bergerak lebih jauh, suara seseorang memecah obrolan kami. Dan saat itu juga, entah kenapa, perasaan hangat yang sempat ada di antara kami berubah menjadi dingin. Seketika. Dan tanpa alasan yang jelas, aku merasa... sesuatu akan berubah setelah kedatangannya, Setha.

"Aya? Kebetulan banget ketemu kamu di sini. Nomor WhatsApp kamu ganti, kah?"

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Letter From Who?
484      335     1     
Short Story
Semua ini berawal dari gadis bernama Aria yang mendapat surat dari orang yang tidak ia ketahui. Semua ini juga menjawab pertanyaan yang selama ini Aria tanyakan.
Looking for J ( L) O ( V )( E) B
2241      917     5     
Romance
Ketika Takdir membawamu kembali pada Cinta yang lalu, pada cinta pertamamu, yang sangat kau harapkan sebelumnya tapi disaat yang bersamaan pula, kamu merasa waktu pertemuan itu tidak tepat buatmu. Kamu merasa masih banyak hal yang perlu diperbaiki dari dirimu. Sementara Dia,orang yang kamu harapkan, telah jauh lebih baik di depanmu, apakah kamu harus merasa bahagia atau tidak, akan Takdir yang da...
Pertama(tentative)
956      517     1     
Romance
pertama kali adalah momen yang akan selalu diingat oleh siapapun. momen pertama kali jatuh cinta misalnya, atau momen pertama kali patah hati pun akan sangat berkesan bagi setiap orang. mari kita menyelami kisah Hana dan Halfa, mengikuti cerita pertama mereka.
NADA DAN NYAWA
15371      2890     2     
Inspirational
Inspirasi dari 4 pemuda. Mereka berjuang mengejar sebuah impian. Mereka adalah Nathan, Rahman, Vanno dan Rafael. Mereka yang berbeda karakter, umur dan asal. Impian mempertemukan mereka dalam ikatan sebuah persahabatan. Mereka berusaha menundukkan dunia, karena mereka tak ingin tunduk terhadap dunia. Rintangan demi rintangan mereka akan hadapi. Menurut mereka menyerah hanya untuk orang-orang yan...
Premium
Ilalang 98
6796      2142     4     
Romance
Kisah ini berlatar belakang tahun 1998 tahun di mana banyak konflik terjadi dan berimbas cukup serius untuk kehidupan sosial dan juga romansa seorang mahasiswa jurusan Sastra Indonesia bernama Ilalang Alambara Pilihan yang tidak di sengaja membuatnya terjebak dalam situasi sulit untuk bertahan hidup sekaligus melindungi gadis yang ia cintai Pada akhirnya ia menyadari bahwa dirinya hanya sebuah il...
Cinta untuk Yasmine
2298      994     17     
Romance
Yasmine sama sekali tidak menyangka kehidupannya akan jungkir balik dalam waktu setengah jam. Ia yang seharusnya menjadi saksi pernikahan sang kakak justru berakhir menjadi mempelai perempuan. Itu semua terjadi karena Elea memilih untuk kabur di hari bahagianya bersama Adam. Impian membangun rumah tangga penuh cinta pun harus kandas. Laki-laki yang seharusnya menjadi kakak ipar, kini telah sah...
Catatan Takdirku
962      639     6     
Humor
Seorang pemuda yang menjaladi hidupnya dengan santai, terlalu santai. Mengira semuanya akan baik-baik saja, ia mengambil keputusan sembarangan, tanpa pertimbangan dan rencana. sampai suatu hari dirinya terbangun di masa depan ketika dia sudah dewasa. Ternyata masa depan yang ia kira akan baik-baik saja hanya dengan menjalaninya berbeda jauh dari dugaannya. Ia terbangun sebegai pengamen. Dan i...
SEPATU BUTUT KERAMAT: Antara Kebenaran & Kebetulan
6939      2122     13     
Romance
Hidup Yoga berubah total setelah membeli sepatu butut dari seorang pengemis. Sepatu yang tak bisa dibuang dan selalu membawa sial. Bersama Hendi, teman sekosnya, Yoga terjebak dalam kekacauan: jadi intel, menyusup ke jaringan narkoba, hingga menghadapi gembong kelas kakap. Di tengah dunia gelap dan penuh tipu daya, sepatu misterius itu justru jadi kunci penyelamatan. Tapi apakah semua ini nyata,...
The Boy
1876      731     3     
Romance
Fikri datang sebagai mahasiswa ke perguruan tinggi ternama. Mendapatkan beasiswa yang tiba-tiba saja dari pihak PTS tersebut. Merasa curiga tapi di lain sisi, PTS itu adalah tempat dimana ia bisa menemukan seseorang yang menghadirkan dirinya. Seorang ayah yang begitu jauh bagai bintang di langit.
Perverter FRIGID [Girls Knight #3]
1467      637     1     
Romance
Perverter FIRGID Seri ke tiga Girls Knight Series #3 Keira Sashenka || Logan Hywell "Everything can changed. Everything can be change. I, you, us, even the impossible destiny." Keira Sashenka; Cantik, pintar dan multitalenta. Besar dengan keluarga yang memegang kontrol akan dirinya, Keira sulit melakukan hal yang dia suka sampai di titik dia mulai jenuh. Hidupnya baik-baik saj...