Elaine
Setelah Mas Ethan kembali lagi ke Jerman (hanya seminggu di rumah) aku dapat merasakan Sabda kelihatan gelisah, dia selalu kelihatan seperti hendak mengatakan sesuatu namun selalu tidak jadi ia katakan.
Semakin sering seperti itu aku jadi semakin yakin dia ingin mengatakan sesuatu yang mungkin bisa membuatku segera akan canggung. Aku tidak yakin dengan perasaanku, tapi aku memang tidak ingin seyakin itu dengan yang ingin dia katakan.
Kalau saja dia benar akan mengungkapkan perasaan, sebenarnya aku sudah tahu tanpa dia perlu bilang. Namun, selama ini dia tidak bilang justru terasa lebih menenangkan. Kami sama-sama tidak ada kewajiban untuk ‘saling’. Mulai dari saling memberi kabar atas segala apa aktivitas kita dalam keseharian. Itu cukup merepotkan.
Dan fakta bahwa Sabda terlalu ‘sempurna’ untuk suka padaku yang jauh dari sempurna ini membuat pikiranku selalu ke sana. Saat dia semena-mena meninggalkanku saat aku terlanjur jatuh. Selama ini kan aku tidak pernah benar-benar suka sama seseorang kecuali pada Setha.
Aku juga masih belum memiliki ide harus menjawab dia bagaimana kalau benar dalam waktu dekat dia akan menyatakan perasaannya.
"Ngelamun bae..." Nikel melambaikan tangan besarnya tepat di depan hidungku. Harusnya aku sudah selesai mengiris empat buah sosis untuk memasak nasi goreng hari ini.
Segera kulanjutkan mengiris sosis-sosis yang kubeli di toko khusus menjual frozen food dekat pasar tradisional. Tadi sepulang kuliah aku mampir sebentar karena Nikel request malam ini ingin makan nasi goreng buatanku.
"Kenapa e, Mbak? Lagi mikirin apa?" Nikel melanjutkan aktivitasnya mengiris sebuah mentimum muda yang akan menjadi menu pendamping nasi goreng yang luar biasa. Tanpa timun bagai sayur tanpa garam.
"Nggak lagi mikirin apa-apa," sanggahku yang hampir menyelesaikan potongan sosis. Apesnya, ujung jariku malah teriris karena aku sempat menoleh sekilas ke arah Nikel. Darah mengucur deras. Buru-buru kutekan pangkal telunjukku dan Nikel sempat mondar-mandir kebingungan apa yang harus dia lakukan.
"Aaaaa Mbak..." dia hampir pingsan dan aku segera menyembunyikan pemadangan darah yang mengucur deras dari pandangannya. Badannya boleh bongsor, sama darah Nikel takut.
"It's okay, Kel.. Darahnya udah mulai berhenti." segera kucuci jariku dengan aliran air dari washtafel. Nikel, entah dia lari kemana sepertinya mengobrak-abrik isi kotak p3k. Benar, dia datang ke dapur lagi sudah membawa kain kasa, betadine, dan plester luka.
"Aku bantu plesterin luka Mbak." Dengan wajah pucat Nikel memberanikan diri membantu merawat lukaku. Dia lucu sekali. Kami pun duduk di kursi makan, kuulurkan tanganku dan meletakkannya di pangkuan Nikel. Nikel sibuk memotong-motong kain dan plester luka setelah membubuhkan sedikit betadine pada lukaku.
"Finally."
"Kamu nahan napas?" tanyaku iseng. Aku melihat sepanjang merawat lukaku, Nikel tidak bernapas sama sekali.
"Iyalah, aku takut tapi aku harus bantu Mbak Aya ngobatin luka. Biar Nikel yang lanjutin masak deh. Yah gak jadi makan nasi goreng bikinan Mbak Aya. Tapi nggak apa-apa, Mbak Aya istirahat aja, okay?"
Aku terkekeh pelan, "Alahhh, ini udah nggak sakit kok. Makasih ya, Nikel." kutepuk-tepuk pundaknya, bangga, adikku yang selalu kulihat dia seperti bayi ternyata sudah sebesar ini. "Ntar Mbak masaknya sambil angkat telunjuk yang diperban juga masih bisa. Biar kamu jadi makan nasi goreng bikinan Mbak."
"Beneran nih, Mbak?" Nikel kelihatan ragu kalau aku tetap bisa masak. Ini cuman luka keiris doang, nggak lama lagi juga sembuh. Ini bukan pertama kalinya aku keiris saat motong kok.
"Beneran," jawabku meyakinkannya. Aku pun meneruskan apa yang harus kulakukan, dibantu Nikel yang menjadi asistenku. Setelah sebelas menit berlalu, nasi goreng buatanku sudah jadi. Aroma gurih memenuhi seisi dapur. Aku selalu menambahkan ekstra ebi di nasi gorengku supaya cita rasanya makin kuat. Aku juga selalu menyertakan terasi di dalamnya.
"Kayaknya udah lama banget aku nggak makan nasi goreng bikinan Mbak Aya." Nikel tampak antusias. Piringnya sudah berisi full nasi goreng, mentimun, serta scrambled egg buatannya sendiri. Nikel jagonya bikin scrambled egg karena tinggal menghancurkannya dan menggorengnya.
Kami berdua sudah di meja makan. Nikel tampak bermain dengan ponselnya. "Mbak, Mas Sabda katanya mau ke sini. Dia barusan reply story WhatsApp-ku."
"Emang kamu bikin story apa?" tanyaku dengan dahi yang ternyata sudah mengernyit.
Nikel memperlihatkan layar ponselnya padaku. Dia mengunggah foto nasi goreng buatanku dan membuat caption yang agak menggelikan: nasi goreng buatan kakakku yang paling cantik, rasanya amazing...
"Boleh, kan?" Nikel meminta persetujuanku.
Aku mengangguk, lagipula masih ada kira-kira satu porsi lebih bisa untuk Nikel kalau mau tambah, bisa juga buat tamu tak di undang seperti Sabda yang ingin datang.
Tidak lama berselang, seseorang membunyikan bel, Nikel yang membuka pintu dan kini di meja makan kami sudah bertiga.
"Dari pintu depan aku bisa cium aromanya enak banget..." kurasa Sabda berlebihan. Tapi memang aroma terasi yang dimasak selalu bisa menggentayangi seisi rumah.
"Thank you atas undangan makan malamnya ya.." Sabda menarik kursi di sebelahku lalu duduk. Aku bantu mengisi piringnya.
"Mau minum apa?" tawar Nikel.
"Jus buah naga aja boleh sih." aku agak tersedak. Dia pikir ini warung makan, ya? Jus buah naga katanya. Aku tahu dia bercanda tapi ini cukup mengejutkanku.
Lalu dia tertawa, "Bercanda. Air putih aja. Nanti aku ambil sendiri, nggak usah repot-repot, anggap rumah sendiri."
"Maaf, Bapak, harusnya saya yang bilang gitu." Nikel menimpali. Mereka berdua terlihat sangat akur dan sangat cocok.
Sepanjang makan, Sabda tidak berhenti memberikan pujian. Dia sampai bertingkah bak orang dari jaman batu yang menemukan nasi goreng. Reaksinya berlebihan sehingga aku tidak tahan ingin tertawa. Iya, aku tertawa dan tersipu malu karena pujian tak berujung hingga piringnya kinclong tak bersisa.
"Asli ini nasi goreng terenak yang pernah aku makan seumur hidupku." dia mengangkat telunjuknya. Itu berlebihan.
"Ya kan, menurutku nasi goreng paling enak ya buatan Mbak Aya." Ini lagi, Nikel malah ikut-ikutan. Aku cukup tersanjung dengan pujian mereka berdua, entah apa mau mereka sebenarnya dengan memujiku seberlebihan ini.
"Kalian berdua lebay." aku meninggalkan meja makan menuju tempat mencuci piring.
"Aku bantu, Ay." Sabda mengekor di belakangku. "Tangan kamu sakit kan, biar aku yang nyuci piring sama perkakasnya."
"Eh, nggak apa-apa nggak usah kamu kan tamu."
"Ish, anggap saja ini sebagai wujud terima kasihku sudah dibolehin makan gratis di sini."
Karena dia memaksa, akhirnya aku perbolehkan dia mencuci piring dan perkakas yang kugunakan untuk masak nasi goreng malam ini. Dia terlihat ulet mencuci, mungkin karena dia saat ini tinggal di kontrakan bertiga cowok semua, pasti mau tidak mau harus terbiasa mandiri sekalipun dia berasal dari keluarga yang sangat berkecukupan. Dia bisa saja tidak perlu melakukan kegiatan ini seumur hidupnya.
"Aku paling rajin cuci piring di antara anak kontrakan. Karena aku nggak betah lihat dapur banyak yang kotor. Bau." too much information yang menurutku penting. Pantas saja, Sabda memang selalu terlihat rapi dan sempurna. Wajar dia tidak suka tempat yang kotor.
Setelah semuanya bersih, Nikel sedari tadi sudah di ruang tengah, hanya ada kami berdua di dapur. "Aya, kamu punya tipe cowok idaman, nggak?" tanyanya dengan nada canggung, bahkan dia sama sekali nggak melihat ke arahku waktu bertanya. Kami berjalan meninggalkan dapur bersama-sama.
Aku tidak kunjung menjawab karena jujur aku tidak tahu. Yang jelas laki-laki itu harus pintar dan baik.
"Let me know ya, Yak." langkah kakinya terhenti, aku menoleh dan mendapatinya menatap ke arahku. Ia tersenyum canggung. Dia lalu tertawa sambil menggaruk kepalanya yang kuprediksi tidak gatal itu. Orang salting biasanya sering ngelakuin hal itu.
"Nggak harus dijawab sekarang kok." katanya lalu melangkah mendahuluiku menghampiri tempat Nikel berada. Mereka berdua duduk mengapit Kiko yang sedang asik grooming bulu-bulunya.
Kulihat Nikel dan Sabda tampak begitu asik setelahnya. Sesekali tangan kiri Sabda dengan gemas menggenggam kepala Kiko. Sabda bahkan mengajak bicara Kiko dengan baby speech. Mereka sudah pasti akan bermain game online free fire bareng. Kalau sudah begitu dunia serasa milik mereka berdua, aku tinggalkan saja mereka ke kamar.
Aku hanya duduk sambil bersandar di tempat tidurku karena tidak mungkin aku tidur setelah makan. Apa, ya? Aku juga bertanya-tanya. Pintar dan baik terlalu umum. Aku mencoba memikirkan tipe idealku, lalu sekelebat wajah Setha menghampiri. Langsung kuguncangkan kepalaku keras-keras. Kenapa malah wajahnya yang muncul.
Tapi kalau harus berkaca dari Setha... wait, haruskah aku menjadikannya tipe idealku? Huft, tidak-tidak. Jadi kelihatan banget aku lama move on-nya padahal 'pernah bersama' saja tidak.
Tunggu, tapi haruskah aku menjawab Sabda? Aku belum siap menjalin hubungan serius. Aku masih dipenuhi banyak luka. Aku saja belum bisa mencintai diriku sendiri dan aku masih sering kumat ingin menyakiti diri sendiri. Aku tidak mau dia terlibat dalam pikiranku yang sering kalut. Aku tidak ingin menjadi beban dalam kehidupan Sabda.
Kuraih buku pemberian Sabda, kupasang headphone-ku sembari mendengarkan instrumen ghibli melalui youtube music premium. Semakin aku membaca, aku semakin tidak paham. Aku tidak dapat mencerna bacaan jika pikiranku sendiri sebenarnya sedang melayang kemana-mana.
Kututup kasar buku itu. Sebenarnya bagaimana sih perasaanku terhadap Sabda? Aku sendiri tidak mengerti. Aku tidak bisa menerjemahkan perasaanku sendiri. Rasanya hubungan kami cukup seperti ini saja, tapi akankah suatu saat nanti aku menyesalinya jika hanya 'sebatas ini' seterusnya? Apakah aku akan tetap baik-baik saja jika nanti melihat dia akan bersama perempuan lain dan jarang menampakkan diri di hadapanku karena prioritasnya telah berubah?
Kuraih ponselku dan membuka galeri. Pada recent galeri Samsung-ku memperlihatkan banyak sekali wajahnya. Iya, Sabda hampir selalu mengirimkan foto mukanya dan keberadaannya. Sesekali juga hanya foto lokasi. Setelah kupikir-pikir, tidak ada hari tanpa saling memberi kabar. Sabda-lah yang paling sering memulai chat ini sementara aku hanya bagian membalas.
Aku tidak sadar, bibirku tersenyum sendiri membaca history chat kami. Sampai aku juga tidak sadar dia baru saja mengirimkanku pesan.
Sabda
Aya aku balik ya
Wihhh langsung di read??? Kok tumben???
Sebuah ketumbenan,...
Tentu saja langsung di read, aku dari tadi membuka room chat kita tahu. Dia langsung saja mengirimiku dengan banyak sekali stiker random. Kurasa dia itu bandar stiker absurd deh. Dia bahkan nggak segan mengirimkan stiker mukanya sendiri.
Elaine (me)
Kepencet pop up notif wa kamu makanya langsun ke read...
Aku mencoba berkilah dan sepertinya dia percaya.
Sabda... Sabda... Kenapa kamu harus suka sama aku yang sering kepikiran buat mengakhiri hidup? Padahal kamu punya banyak alternatif pilihan, aku yakin banyak cewek cantik dan sempurna ngantre buat dapetin hati kamu. Tapi kenapa aku sih?
Ini saatnya aku mengganti musik dengan lagu isyana favoritku, untuk hati yang terluka.
Untuk hati yang terluka
Tenanglah, kau tak sendiri
Untuk jiwa yang teriris
Tenang, ku kan temani
Hidup itu sandiwara
Yang nyata ternyata delusi
Terlarut posesi berujung kau gila sendiri
Aku tidak pernah cerita apapun padanya, selama ini kita jalan begitu saja tanpa dia tahu apa yang berkecamuk di pikiranku dan membuatku sering kesulitan tidur di malam hari. Apakah setelah dia tahu betapa kacaunya aku dia masih tetap mau denganku? Aku terlalu kacau untuk diceritakan. Aku terlalu kacau untuk dicintai.
Rasanya aku ingin sekali jatuh cinta namun akun merasa tidak pantas.
Sabda
Aku sudah cerita belum sih soal Ethan? Ya, ternyata dia ke Indonesia setelah mendengar kabar adik kesayannya (baca: Aya) tengah dekat dengan seorang jantan, maksudnya aku.
Ethan sampai cuti kuliah (atau mungkin bolos) demi bisa memberikanku sejumlah uji kelayakan.
Aku tidak tahu apakah aku layak atau tidak baginya. Ethan mengecek following-ku, sepertinya dia hanya ingin make sure bahwa aku tidak follow akun bokep atau akun cewek cantik random. Sepertinya aku lulus ujian following check karena aku hanya followback keluarga, rekan voli, dan beberapa teman sekolah.
Kemudian kondisi fisikku pun diuji oleh Ethan. Dia mengajakku pagi-pagi jogging 5 km. Kalau jogging sih aku sudah biasa. Aku akui fisik Ethan sangat prima. Napasnya oke, dia berlari non stop sepanjang 5 km. Dalam ujian fisik jogging sepertinya aku juga lulus.
Dia juga menanyakan IPK. Aku bilang IPK-ku cumlaude, yahh cuman 3.84 sih. Matanya sempat terbelalak kaget mendengar jawabanku. Aku bahkan harus login website akademik agar Ethan percaya. Sepertinya dia ingin tahu apakah aku cukup pintar untuk bersanding dengan adiknya.
Besoknya lagi dia mengajakku bertemu. Entah dia bawa LC dari mana, kala itu dia bersama dengan cewek super seksi. Aku tidak sampai hati melihat ke arah cewek itu. Entahlah apa maksudnya. Mungkinkah dia ingin lihat ekspresiku atau gerak mataku saat dihadapkan dengan cewek seksi?
Ujian demi ujian dia berikan tanpa ada hasil yang dipaparkan apakah aku layak atau tidak. Dia balik ke Jerman menyisakan tanda tanya dan pesan tepat di telinga kananku, "Berani kau macam-macam sama adekku atau sampai adekku nangis gara-gara beruk jantan macam kau..." kata-katanya sengaja ia gantungkan, seolah meminta aku menerjemahkan maksud tatapan tajamnya. Iya aku mengerti, dia nggak akan segan menghabisiku dan menjadikanku rendang.
Dan tadi saat aku tanya tipe idealnya, Aya kelihatan bingung. Semoga aku tidak menyesal sudah bertanya. Bagaimana kalau tipe idealnya tidak bisa aku penuhi?
Ada pesan masuk di WhatsApp-ku, aku pikir Aya. Ternyata klinik gigi tempatku akhirnya membuat appointment untuk pasang behel. Yap, aku pengin pasang behel karena gingsulku ini sering membuatku sariawan terus. Aku sudah lama ingin behel tapi aku butuh waktu bertahun-tahun untuk seyakin ini.
Sebenarnya aku punya alasan ingin pakai behel dalam waktu dekat. Aku ingin menjadi sangat sempurna tanpa cela saat bersama Aya. Aya memang nggak pernah komentar soal gigiku, bahkan aku nggak yakin dia ngeh atau nggak aku punya gingsul.
Meskipun aku sering menerima pujian 'imut' dengan gingsul ini, tetap saja mereka tidak merasakan betapa seringnya aku sariawan gara-gara ini juga.
Dan alasan lainnya, kalau saja Aya menolakku dan aku jadi kurus karena stres, behel akan kujadikan kambing hitam. Aku kurus karena sulit makan. Seperti review orang-orang pengguna behel.
Aku cerdas, kan? Untuk ukuran ipk hampir sempurna, jelas aku cerdas. Aku sudah mempersiapkan segala kemungkinan.