Wali kelas tiba-tiba masuk kelas dengan wajah tegang begitu bel istirahat pertama dibunyikan.
"Raya, baru saja keluargamu menghubungi supaya kamu ke rumah sakit daerah sekarang. Ini surat ijinnya sudah saya dan guru BK tanda tangani. Jadi kamu bisa langsung pulang."
"Rumah sakit?" Raya bingung dan panik.
"Lebih baik berangkat sekarang, Raya. Naik taksi saja biar cepat sampai. Kamu ada uangnya, kan?" Wali kelas Raya tahu apa yang terjadi, tapi dia tidak tega menyampaikan.
Rasya yang berdiri tidak jauh dari pintu langsung menyela. "Biar saya antar, Pak. Saya mohon ijin sekalian."
Tanpa menunggu jawaban, Rasya menggandeng tangan Raya dan segera beranjak ke tempat parkir.
"Rasya, lo nggak perlu lakuin hal ini. Nanti ada masalah ...."
"Tolong kali ini aja, lo nurut sama gue. Tanpa bertanya, tanpa protes. Please?"
Rasya membukakan pintu dan melindungi kepala Raya dari atap mobil. Mobil langsung melaju membelah jalanan kota yang lumayan ramai. Maklum sekarang jam makan siang. Tetapi Rasya cukup pintar mengemudi jadi dalam waktu lima belas menit mereka sampai rumah sakit.
"Makasih, Sya. Gue turun dulu."
"Gue nggak bilang cuma nganter sampe sini. Gue ikut lo ke dalam."
Raya mau protes tapi Rasya keburu keluar dan berputar untuk membukakan pintu. Rasya baru sadar Raya hanya memakai seragam.
"Tunggu dulu!" Rasya membuka pintu belakang dan mengambil jaket di sana. "Pakai ini!"
Raya tertegun, dia baru sadar tidak memakai sweater. "Makasih."
Langkah mereka segera memasuki IGD. Di sana begitu banyak orang. Raya langsung menuju bagian informasi untuk bertanya. Tapi dia baru ingat wali kelasnya tadi tidak bilang siapa yang sakit.
"Kenapa?"
"Walikelas tadi nggak bilang siapa yang dirawat di sini, Sya. Gue telepon Mama dulu."
Terdengar nada dering di sana, lama tidak diangkat. Raya mengulang lagi. Wajahnya sudah panik dan pucat. Rasya yang melihat ikuta khawatir.
"Ray, lo duduk dulu. Gue beliin minum, ya." Rasya hendak pergi tapi ditahan Raya.
"Nggak usah. Lo di sini aja, temenin gue."
Rasya mengangguk. Dia duduk di sebelah Raya sambil melihat ke sekitar. Barangkali dia melihat kakaknya Raya.
"Dek!" Tio tergopoh-gopoh menghampiri adiknya dengan penampilan yang sama-sama berantakan. Dia cuma memakai kaos rumah dan celana pendek.
"Papa pengen ketemu kamu, Dek."
Tubuh Raya limbung. Rasya memegang erat bahunya sehingga Raya tidak terjatuh.
"Papa? Bukannya Papa sampai nanti sore, Kak? Papa sudah bilang sama aku sorean baru sampe rumah. Ini bohong, kan?" Suara Raya bergetar, air matanya sudah menetes ke pipi dan makin deras mengalir.
"Kita nggak ada waktu, Dek. Temuin Papa dulu. Ayok!"
"Ray, gue ada di sini. Jangan takut, gue selalu ada di samping lo," ucap Rasya dan menuntunnya mengikuti langkah Tio.
Sampai di ranjang papanya, Raya sudah terlambat.
"Pasien atas nama Darto Wibisono meninggal dunia, pukul 10.00 WIB."
Kaki terasa lemas bagai tak bertulang lagi. Raya jatuh terduduk tepat di depan tirai yang menutupi ranjang, tempat papanya mendapatkan perawatan. Napasnya sesak, aliran udara di tubuhnya tiba-tiba saja seperti terhenti. Raya memukul-mukul dadanya berulangkali. Mau bicara juga tak ada suara yang keluar.
Rasya yang terus menemani Raya cuma bisa ikut duduk. Apa yang bisa dia lakukan? Andai dia ada di posisi yang berhak dan pantas, dia akan memeluk gadis rapuh di depannya.
"Ray, lo harus ketemu papa lo. Masih ada kesempatan bilang semua yang lo pendam selama ini."
Raya menoleh, genggaman tangan Rasya meruntuhkan semua dinding penghalang yang membuatnya sesak. Air mata menetes satu persatu lalu mengalir semakin deras.
Rasya berdiri tanpa melepaskan genggaman tangannya. Orang yang bisa memeluk Raya, saat ini tengah menenangkan sang ibu. Ya, mamanya Raya hilang kesadaran.
Genggaman Raya makin kencang saat melihat tubuh papanya hendak ditutup seluruhnya.
"Tunggu! Tolong beri waktu putri bungsu almarhum untuk melihat papanya." Rasya bergeser dan memberikan ruang.
Tangis Raya pecah, isaknya sudah tak terbendung lagi. "Maafin Raya, Pa. Seharusnya Raya nggak usah minta apa-apa lagi. Seharusnya Papa langsung pulang ke rumah. Raya nggak mau apa-apa, Pa. Bilang ini cuma bercanda. Pa, bangun!"
"Ray." Rasya mengusap bahu Raya lembut.
"Gue tahu, Sya!"
Sudah tak ada gunanya meratap. Papanya sudah pergi dan dokter sudah melakukan penyelamatan sesuai prosedur. Raya menghapus air mata dan membisikkan kata-kata perpisahan. Berat tapi Raya berusaha ikhlas.
Belum juga reda tangisnya, Raya dibuat kaget dengan teriakan tajam dari Nina—mamanya. Dia berubah jadi orang lain.
"Semua karena kamu. Papa meninggal karena kamu!!!"
"Ma, tenanglah. Raya nggak tahu apa-apa. Jangan salahin dia." Tio berusaha menenangkan Nina yang terus mengoceh.
"Aku nggak ngerti maksud Mama. Kenapa aku yang salah?" Raya mendekati mamanya tanpa peduli kemarahan yang sedang melanda Nina. Saat ini mereka sama-sama kehilangan. Dia butuh dukungan, belaian dan pelukan penuh kasih dari sang mama. Tapi yang terjadi sorot mata Nina sangat membencinya. Dia tidak ingin didekati Raya, anaknya sendiri.
Perlahan Raya mundur. Dia berbalik dan berlari keluar. Rasya segera menyusul. Raya tidak berhenti, dia tidak peduli di luar sedang hujan deras. Rasya segera menahan dengan mencekal lengannya. Raya masih berontak. Terpaksa Rasya merengkuh gadis itu dalam pelukannya. Sungguh saat ini hanya itu yang terpikir.
Benar saja Raya perlahan tenang dan berhenti berontak. Mereka berpelukan di tengah hujan deras. Isak tangis Raya tertutup suara rintik hujan di antara mereka. Tetapi Rasya tahu persis tangis Raya begitu pilu. Apalagi gadis itu makin erat memeluknya.
***
"Minum dulu jahe angetnya." Rasya terpaksa mengajak Raya ke rumahnya.
Asisten rumah tangga di rumah sempat kaget melihat tuan muda mereka mengajak gadis pulang. Rasya selama ini belum pernah mengajak temannya ke rumah. Baru kali ini, cewek cantik lagi.
Mereka langsung bergegas membantu. Membawakan handuk dan membuatkan segelas air jahe hangat. Rasya menuju kamarnya untuk mengambil baju miliknya.
"Lo ganti pakai baju gue dulu. Mungkin agak kegedean, tapi lebih nyaman daripada baju lo yang basah itu."
Raya mengangguk, dia bangkit dan diantar Rasya ke kamarnya. Setelahnya Rasya menunggu di bawah.
Hari ini sangat berat bagi Raya. Tak disangka dia harus kehilangan sekaligus dibenci ibunya sekaligus. Apa yang dialami gadis itu hampir sama dengannya. Memori saat maminya meninggal kembali berputar. Semua sedih dan kehilangan. Rudi tak pernah beranjak dari sisinya. Tidak pernah menyalahkan. Padahal maminya meninggal waktu itu karena menyelamatkannya dari tabrakan mobil. Miris, posisi Raya justru sebaliknya. Dia disalahkan atas apa yang sudah terjadi.
"Sya, gue nggak bisa tinggal di sini lama-lama. Gue harus pulang, papa ...." Raya tak sanggup melanjutkan kalimatnya.
"Gue tahu, Lo makan dulu baru kita ke rumah lo." Rasya sudah minta ART untuk membuat sesuatu saat Raya ganti baju.
"Tapi gue nggak ...."
"Nggak laper?" Rasya mengambil nasi dan lauk yang sudah tersedia di meja. "Gue juga ngerasa gitu waktu mami meninggal. Gue paham apa yang lo rasain sekarang, Ray."
Raya terdiam. Baru sekarang dia tahu tentang background keluarga cowok menyebalkan, yang hari ini melakukan banyak hal untuknya. Rupanya dia pernah ada di posisi seperti dirinya sekarang.
Rasya lega Raya mulai menyuap sesendok demi sesendok makanan yang ada di piring. "Gue ngambil baju lo dulu. Semoga udah kering."
Tak lama ponsel Rasya bergetar, ada pesan dari Adit. Foto, dan info detail menyusul. Rasya terkejut dengan hasil pencarian yang butuh waktu bertahun-tahun, ternyata akan berakhir.
Om Adit :
Saya sudah kirim salinannya ke Pak Rudi. Oiya, gadis yang kamu cari ini punya bakat emas yang sayang kalau hanya dipendam. Dia pernah datang ke studio Om. Kapan-kapan kita bicara lagi, ya. Om senang akhirnya pencarian kita nemuin ujungnya. Meski situasinya tidak kita inginkan. Ayah gadis itu baru saja meninggal karena kecelakaan.
Rasya :
Aku tahu, Om. Karena tanpa kita sadar, dia sudah ada di dekat saya selama tiga bulan terakhir. Makasih banyak atas semua kerja keras Om beberapa tahun ini. Saya akan lindungi dia.
Rasya tidak tahu apa yang dirasakannya sekarang. Hari ini semua hal beruntung terjadi. Kabar duka, dan kabar bagus juga datang. Satu yang pasti sekarang dia akan pastikan Raya tidak mendapatkan hinaan lagi seperti dulu.