"Jangan sungkan, ruangan ini memang jarang saya sewakan. Tapi berhubung kamu sendirian, dan penyewa terakhir masih satu jam lagi, mending pakai ini aja, kan?"
Raya masih bertanya-tanya, apa memang seramah itu pemilik studio ini? Dia melihat ruangan itu tidak berbeda jauh dengan studio lain. Hanya saja di sana ada piano klasik yang harganya kelihatan mahal banget.
"Kamu bisa pakai alat musik di sini, kecuali piano itu. Paham?"
Raya mengangguk. Dia memang bisa main piano dan tertarik memainkan piano klasik itu. Pasti mengasyikkan sekali, tapi dia segera tersadar. Dia baru pertama kali datang ke sini, tak etis kalau dia menyalahi apa yang diminta oleh pihak studio. Meskipun studio ini kecil tapi suasananya membuat siapa pun betah berlama-lama. Sengaja Raya mencari yang tidak begitu ramai. Lokasi ini lebih aman untuk tetap merahasiakan hobi dan bakatnya.
Adit meninggalkan Raya dan kembali ke depan. Hari itu sebenarnya ada beberapa informasi tambahan yang dia dapat. Tapi sebelum dilaporkan ke Rudi, sangat penting untuk memastikan lagi. Kesalahan yang dulu pernah dilakukan, jangan sampai terulang lagi.
Saat Adit memeriksa semua pemasukan dan administrasi studio, Adit tertarik dengan profil Raya. Melihat alamat di kartu pelajarnya, sama dengan lokasi yang dia temukan beberapa hari lalu. Asal sekolah juga sesuai. Mungkinkah Raya ini orang yang dicari anak bosnya selama ini? Adit perlu beberapa waktu lagi untuk memastikan.
"Pak Adit, untuk penyewa ruang pribadi Bapak, sepuluh menit lagi batas waktunya. Apa perlu saya datangi sekarang?"
"Jangan sekarang. Biar saya saja. Sekalian memastikan dia benar-benar menepati janji atau tidak." Saat melihat piano klasik miliknya, Raya tampak sangat tertarik memainkan.
"Baik, Pak!" Pegawai itu segera melayani penyewa berikutnya.
Adit tidak langsung membuka pintu. Dia melihat dari kaca yang terpasang di bagian tengah pintu. Raya tampak sedang memainkan gitar sambil bernyanyi. Tidak jelas dia menyanyikan lagu apa, karena ruangan itu kedap suara. Tapi terlihat sekali dia sangat menikmati permainannya. Bahasa tubuh mengatakan seakan berada di dunianya sendiri. Terlalu asyik sampai tidak sadar waktu dua jam akan segera berakhir.
Tepat dua menit sebelum berakhir masa sewa, Adit mengetuk lalu membuka pintu. Sontak Raya menoleh. Dia langsung melihat jam di pergelangan tangannya. Tak lama ponsel di saku outer-nya bergetar.
"Sudah dua jam, ya," gumam Raya sambil mematikan getar alarm dari ponselnya.
"Kamu mau main bareng satu lagu dengan saya?" tanya Adit tiba-tiba. "Saya akan memainkan piano, kamu bernyanyi. Gimana?"
Tawaran yang menggiurkan. Tanpa berpikir dia langsung mengangguk. Adit memainkan intro sebuah lagu yang dipopulerkan Phill Collins dan dinyanyikan ulang oleh penyanyi muda, Niki. Adit cukup terkesan dengan suara bening gadis di depannya.
Denting piano begitu pas beradu dengan suara unik milik Raya. Permainan mereka membuat orang yang mendengar langsung melihat pertunjukkan gratis kayaknya konser. Bagaimana bisa terdengar sampai luar, Adit tidak menutup pintu kembali. Tentu saja untuk menjaga kesopanan.
Tepuk tangan riuh membahana begitu lagu selesai. Raya sontak menoleh ke arah pintu. Beberapa orang bahkan sudah ada yang memasuki ruangan demi mendengarkan suara indah dipadu permainan piano yang harmonis.
"Luar biasa. Nyanyikan satu lagu lagi, dong."
"Iya, keren banget suaranya." Permintaan itu disetujui yang lain.
Tetapi rasa tidak nyaman mulai mengurung Raya. Dia tidak biasa ditonton orang banyak seperti ini. "Maaf, saya sudah harus pulang. Terima kasih, ehm ...."
"Panggil saja Om Adit."
"Aah, iya. Makasih, Om Adit. Saya pamit."
Dengung menyayangkan mengiringi penolakan Raya. Dan gadis itu menanggapi dengan senyum canggung sambil beberapa kali minta maaf.
Sampai di depan rumah, waktu sudah hampir gelap. Tio sudah di ruang tamu.
"Hei, kamu baik-baik aja, kan?" Tio langsung berdiri menghampiri adiknya.
"Baik, Kak. Memangnya kenapa?" Raya melihat Tio tampak cemas. "Aku sudah pamit mau ke toko buku, kan?" tanya Raya.
"Iya. Kakak cuma khawatir aja, kamu rahasiain sesuatu dari Kakak."
Raya tertegun. Segitu pekanya Tio tentang dirinya. "Aku baik-baik aja, Kak. Kak Tio fokus aja sama skripsinya. Oiya, apa ada ... nggak jadi." Raya mengurungkan niatnya bertanya tentang papanya.
Sudah hampir enam bulan belum ada kabar. Raya cemas dan sangat merindukan hangatnya pelukan dari beliau. Banyak hal dan keluh kesah yang hanya bisa dia ceritakan pada papanya. Bahkan mamanya pun tidak Raya percaya bisa menanggapi sesabar papa.
"Kamu mau tanya soal Papa?" Tio menghela napas. Dia duduk lagi di sofa. "Belum ada kabar, Dek. Kakak juga nunggu dan cari tahu, tapi tetap belum ada."
Raya tahu hal ini mungkin saja terjadi. Dulu saat dia masih SD hal ini juga terjadi. Dia menangis hampir tiap hari karena tidak bisa bertemu papanya begitu lama. Saat seperti itu Nina terkadang tidak bisa sabar menghadapi tantrumnya Raya. Dan hal itu tersimpan dalam hatinya hingga besar. Sehingga saat terjadi buly dan hinaan, Raya memilih menyimpannya sendiri.
Beban Raya sedikit berkurang meskipun belum semua hilang. Melampiaskan penat dan takut dengan bermain musik, lumayan bekerja. Paling tidak malam nanti dia bisa fokus belajar dan tidur nyenyak.
***
Jam istirahat baru saja berbunyi. Hari ini ada hal yang membuat Raya hanya ingin cepat pulang. Semalam papanya mengabari akan pulang dan mungkin akan stay agak lama di rumah. Beliau mengatakan kalau akan memulai usaha bersama temannya. Ada perusahaan yang akan ikut menanam saham juga. Jadi modalnya cukup.
"Jadi, Papa nggak akan ikut berlayar lagi?" tanya Raya penuh antusias.
"Betul. Sudah waktunya Papa nemenin princess-nya Papa. Jadi, tunggu Papa, ya. Oiya, ada hadiah buat kamu sama Kak Tio. Sekarang cepat tidur, karena Papa mungkin baru sampai besok sore."
Obrolan semalam terus terngiang di telinga Raya. Saking bahagianya sampai-sampai fokus belajarnya terganggu. Untungnya tidak ada guru yang menyadari dia kurang memperhatikan materi. Dalam hati Raya berjanji hanya untuk hari ini saja, dia ingin menikmati excited-nya menunggu seseorang yang paling berharga bagi hidup kita.
Rasya ikut bahagia melihat binar yang jarang sekali terlihat di mata Raya. Hari ini Raya berbeda, bahkan dia tersenyum padanya tadi pagi. Mungkin dia tidak sadar melakukan itu. Entah apa yang membuat Raya jadi lebih bersinar. Dia ikut senang.
"Raya." Kali ini Rasya tidak datang tiba-tiba. Dia mengetuk pintu kelas, dan memastikan Raya melihatnya lebih dulu sebelum dia menghampiri.
"Kali ini gue nggak ngagetin lagi, kan?" Rasya melihat Donna langsung keluar begitu Rasya menghampiri bangku mereka.
Raya menggeleng. Dia menyuap makan siangnya dengan lahap. Tidak peduli porsi yang diberikan Nina lebih banyak dari biasanya.
"Kalo makan lo kayak gini terus, gue jamin lo bakal .... oh, em ... akan makin sehat maksudku." Rasya tidak jadi mengatakan maksud sebenarnya. Dia menduga kalau alasan Raya selalu memakai jaket atau outer untuk menutupi kondisi tubuhnya.
Bagi Rasya badan Raya tidak sekurus yang dirasa gadis itu. Entah, cerita apa yang membuat dia jadi merasa berbeda.
"Gue tahu lo mau ngomong apa. Makasih sudah nahan nggak bilang. Gue hargai itu." Raya melanjutkan makan hingga habis tak bersisa.
***