Suasana rumah sudah ramai dengan para pelayat. Teman, sahabat, dan tetangga memenuhi halaman rumah Raya. Bahkan tenda yang dipasang belum cukup lebar untuk menampung orang-orang yang melayat.
Langkah Raya terseok memasuki halaman rumahnya. Dia takut saat akan memasuki rumah. Banyak orang yang mengucapkan belasungkawa padanya dengan tatapan simpati dan mengasihani.
"Ray, gue di sini." Rasya ingin gadis itu tahu dirinya tidak akan pergi ke manapun.
Tio yang menyadari kedatangan adiknya langsung memeluk dengan erat. "Kakak cemas kamu tiba-tiba ilang di rumah sakit. Bahkan sempat nyari dan tanya semua pegawai rumah sakit. Kamu nggak apa-apa, kan? Sudah makan?"
"Kak Tio sendiri pasti nggak bisa makan, kan? Jangan pikirin aku, tadi aku ditemenin sama Rasya." Raya menoleh ke belakang, tempat Rasya menunggu, bersandar di mobilnya.
Rasya melambaikan tangannya. Banyak hal yang harus dia urus jadi tidak bisa menghampiri Rasya untuk berterima kasih. Nanti dia akan lakukan hal itu.
"Ya sudah, sebentar lagi jenazah Papa mau diaholatin di masjid. Kakak terpaksa tinggalin Mama. Kamu ...." Tio ragu tapi dia harus bilang.
"Raya ngerti, Kak Tio pergi, aja. Mama biar sama aku di rumah." Meski tidak yakin, Raya harus mengatakannya, kan. Mengingat kemarahan Nina tadi cukup menyurutkan nyalinya.
Namun demi lancarnya pemakaman Papa, Raya harus menelan sepahit apa pun reaksi Nina saat bertemu.
Di ruang tengah, di sana sofa, kursi dan meja diangkat ke ruangan lain. Tampak Nina tengah duduk di dekat jenazah Papa sambil memeluk sajadah kesayangan almarhum.
Raya memutuskan hanya diam. Dia duduk jauh dari mamanya sendiri. Menjaga jarak adalah pilihan terbaik untuk sekarang. Sudah cukup histerisnya Nina terjadi di rumah sakit. Kalau terjadi lagi bukan saja keributan, tapi Nina akan marah-marah juga. Raya tidak menginginkan hal itu.
"Dek, sudah waktunya pemakaman. Kalo ini Kakak minta tolong jangan ladenin Mama kalau dia marah sama kamu. Untuk hari ini saja, turutin apa maunya Mama."
Anggukan Raya melegakan Tio. Langkah selanjutnya memberi pengertian Nina kalau pemakaman harus disegerakan. Masjid sudah siap untuk sholat jenazah, tidak ada lagi alasan menunda. Nina masih belum rela suaminya dibawa pergi. Dia bangkit dan memeluk tubuh kaku suaminya.
"Mama mau ikut aja, Pa. Tio ijinin Mama ikut sama Papa."
"Ma, tolong jangan begini. Kasihan Papa kalau Mama kayak gini. Kita mudahkan jalan Papa, ya. Please, Mama di rumah aja, ya. Itu ada Raya, dia bisa nemenin Mama."
Mendengar nama Raya, seketika Nina menoleh ke arah pandang Tio. Raya menatap mata Nina, sorot mata itu masih begitu membencinya. Demi Papa, Raya menguatkan diri.
Setelah disholatkan jenazah langsung dibawa ke pemakaman. Karena lokasinya lumayan jauh, jenazah dibawa dengan mobil jenazah. Nina bersama Tio ikut ke dalam mobil jenazah.
"Kamu nggak perlu masuk. Mama nggak mau kamu disamping Papa. Anggap ini hukuman buat kamu." Nina menghalangi langkah Raya saat ingin ikut ke mobil jenazah.
Mengingat kata-kata Tio tadi, Raya mundur. Sakit, marah dan tidak berdaya. Orang yang dia cintai, orang yang seharusnya memeluk dan mengayomi justru membuangnya.
Maafin Raya, Pa. Raya akan nunggu Papa di pemakaman.
Langkah Raya langsung menuju gerbang rumahnya. Di sana dengan mudah dia menemukan Rasya dan mobilnya.
Tanpa perlu banyak bicara dan permintaan, Rasya langsung membukakan pintu untuk Raya. Mobil segera meluncur menyusul mobil yang membawa jenazah papanya Raya.
"Lo baik-baik aja, kan?" tanya Rasya sambil menyodorkan tumbler.
Raya menggeleng.
"Lo harus minum, Ray. Tadi lo makan cuma sedikit, sekarang minumlah. Lo butuh tenaga buat hadapin semuanya nanti."
Suasana pemakaman tidak akan mudah bagi siapa pun. Sebentar lagi gadis itu akan mengalami apa yang pernah terjadi padanya. Entah, sekuat apa Raya sebenarnya dia juga tidak tahu. Yang pasti dia akan pastikan semua baik-baik saja.
Jangan pernah berpikir buat nyerah, Ray. Gue akan pastikan lo bisa lewatin semuanya. Gue nggak peduli yang lain. Gue cuma mau lo tetap jalani hidup lo.
Raya baru menyadari tenggorokannya sangat kering saat seteguk air masuk ke kerongkongannya. Akhirnya dia meminum beberapa teguk lagi.
"Habisin aja, Ray!"
"Lo nggak mau minum? Gue baru sadar lo malah nggak makan apa pun tadi. Bahkan minum juga ...."
"Gue nggak apa-apa. Tadi masih sempat makan duluan sebelum lo keluar dari kamar gue."
Oh iya, tadi Raya lumayan lama di kamar mandi dan terdiam di kamar Rasya. Jaket yang dia pinjam tadi sudah basah kuyup. Dan sekarang Rasya meminjamkan sweater berwarna biru muda yang begitu pas padanya. Apa boleh buat miliknya tertinggal di kelas. Entah, gimana caranya dia bawa pulang.
"Tas dan outer punya lo sudah gue suruh temen gue ambil. Sekarang paling udah ada di rumah gue. Jadi, lo bisa ambil kapan aja lo bisa. Atau gue anterin ke rumah lo juga nggak masalah."
Sontak Raya menoleh. Apa Rasya bisa baca pikirannya, sampai kebetulan sekali memikirkan hal yang sama. Baiklah, soal tas sekolah sudah selesai.
***
Pemakaman sudah berjalan lancar. Raya menjaga jarak dari makam papanya. Dia tidak ingin mendengar Nina mengusirnya di depan orang banyak seperti tadi. Malu dan menyakitkan.
Matanya sudah berat karena kebanyakan menangis. Raya menyembunyikan tangisnya seperti dulu lagi. Dia sembunyikan semua rasa yang datang. Termasuk pada Rasya. Setiap tetes air mata langsung dia hapus. Namun bagi Rasya, mata merah Raya sudah cukup mengatakan semuanya.
"Makasih ya, Sya. Lo bantu gue banyak hari ini. Suatu hari nanti gue akan balas kebaikan lo." Raya mengantarkan Rasya ke depan setelah semua orang pulang ke rumah masing-masing.
"Pikirin lo sendiri dulu. Gue ikhlas bantuin lo. Jadi lupain mau balas budinya. Gue balik, ya."
Raya mengangguk, dia langsung masuk ke rumah lagi begitu mobil Rasya hilang dari pandangan.
"Lo udah nggak perlu balas apapun ke gue, Ray. Justru gue yang ganti kebaikan lo di masa lalu. Lo pasti udah lupa siapa gue," gumam Rasya sambil tersenyum lega.
"Nama gue Raya. A-aku pengen Papa pulang, tapi Papa bilang nggak bisa. Nama lo siapa?"
"Lo kenapa nangis di sini. Sendirian lagi. Mama lo belum jemput?"
Wajah Raya seketika cemberut. Hal yang dia tanyakan tidak dijawab oleh anak laki-laki di sebelahnya. Dia tidak saling kenal, tapi anak itu langsung ikutan jongkok dan cerewet sekali. Hatinya yang sedih makin kesal.
Anak itu tersenyum melihat ekspresi marah gadis kecil di sebelahnya.
"Nama gue, Rasya." Sayang, suaranya terganggu dengan deru motor yang lewat.
Saat itu Raya sangat merindukan papanya. Janji akan pulang ternyata ditunda karena ada masalah yang harus ditangani. Raya kesal, marah, lalu kabur keluar sekolah sambil menangis. Di teras sebuah toko yang tutup keduanya bertemu.
Kondisi Rasya juga sedang tidak baik-baik saja. Dia baru saja kehilangan maminya. Dia yang merasa bersalah, kabur juga dari rumah. Tangisnya langsung berhenti karena tangis Raya lebih kencang. Gadis kecil itu dengan randomnya, masih bisa bernyanyi setelah tangisnya reda. Katanya itu lagu yang sering dinyanyikan papanya.
"Om Adit bener. Lo punya bakat yang sayang kalo lo simpen sendiri, Ray."
***