"Papi mau bicara penting, Rasya. Duduk dulu!" Rudi—papanya Rasya menahan Rasya setelah makan malam selesai. Mereka hanya hidup berdua setelah maminya Rasya meninggal beberapa tahun lalu.
Rasya yang masih memakai seragam dan mencangklong tas ranselnya, terpaksa duduk di sofa. Tumben sekali papinya sudah ada di rumah, biasanya setiap kali pulang sekolah, rumah cuma ada asisten rumah tangga, dan satpam di pos jaga.
"Papi tumben sudah pulang. Sebentar, Pi, Rasya mau ambil minum."
Rudi mengangguk. "Nggak minta tolong Simbok, aja?"
"Nggak usah, Pi. Cuma minum apa susahnya, sih." Rasya membawa botol air minum dan gelas ke ruang tengah, tempat papinya ingin bicara.
Rudi tersenyum mendengar jawaban putranya. Dia bersyukur, Rasya tumbuh jadi anak mandiri dan tidak tergantung dengan orang lain. Meskipun ada asisten rumah tangga yang siap melayani, Rasya melakukan sendiri hal ringan yang bisa dikerjakan.
Hanya saja Rasya berubah pendiam dan suka menyendiri setelah maminya meninggal. Permintaannya untuk mencari seorang gadis kecil langsung Rudi turuti. Sepertinya Rasya sangat ingin bertemu gadis itu.
"Ada apa, Pi?"
"Soal gadis kecil yang kamu cari apa sudah ada kemajuan? Papi beberapa waktu terakhir nggak sempat hubungi Adit buat tanya langsung."
"Belum, Pi. Om Adit cuma kasih info kalo orangnya satu sekolah sama Rasya. Tapi belum jelas detailnya."
Rudi menghela napas. "Kamu masih ingin ketemu gadis itu? Dia pasti sudah seumuran kamu, mungkin di kelas yang sama."
Rasya menoleh cepat, ada sebersit sinar harap di sorot matanya. Tetapi bagaimana bisa dia berharap sebesar itu, informasi detailnya saja belum dia dapat. Rasya tidak ingin kecewa lagi seperti sebelumnya. Adit pernah bilang kalau ada kemungkinan orang itu sudah meninggal. Karena sempat ada kebakaran besar di rumah gadis itu.
"Sya, papi mau kamu bergaul dan cari kegiatan seperi teman kamu yang lain. Nikmati masa muda kamu."
Rasya hanya terdiam. Tidak mudah menanggapi papinya untuk satu hal itu. Hatinya masih terluka karena kehilangan maminya. Saat bisa menemukan seseorang yang menarik perhatiannya, dia juga menghilang entah, ke mana.
Obrolan dari hati ke hati sore itu terpaksa terhenti. Rudi diubungi asisten pribadinya kalau ada masalah sedikit di kantor. Rasya sudah biasa dan tidak ambil pusing. Hal ini bukan yang pertama kali. Diambilnya ransel dan beranjak ke lantai atas. Kamarnya.
***
Raya berangkat agak siang hari itu. Dia makin terbiasa dengan ocehan teman-teman Rasya. Hari itu orang-orang juga tidak banyak yang mengomentari soal penampilannya. Tetapi saat dia sampai di depan pintu kelas, Eca dan dua temannya—Sisi dan Tini, sedang membicarakan dirinya.
"Ca, kamu apa ndak pengen ngurus si kurus itu? Jangan sampe makin deket sama Rasya." Tini sengaja memanas-manasi Eca dengan logat Jawa-nya yang medok.
Sisi ikut mengangguk setuju. "Gue setuju lo harus lakuin sesuatu."
"Gue tahu. Tapi nggak tahu mau ngapain. Secara Rasya itu cuek banget sama gue. Dia tuh, kayak udah diguna-guna sama si kurus itu."
Raya meremas tangannya hingga terasa sakit. Sudah pindah sekolah pun masih ada saja orang macam Eca. Padahal dia tak ada hubungan apa pun dengan Rasya. Jelas-jelas cowok itu yang deketin terus, dan dia tidak menanggapi sejauh itu. Dia tahu diri dan memang tidak mau terlalu dekat atau bermusuhan dengan siapa pun.
Kemarin-kemarin pengen banget kenal sama Kak Tio. Sekarang berubah haluan. Lagian kalo mau sama Rasya, ambil aja, sana. Gue lebih nyaman kayak sekarang. Tapi kenapa hati gue ngerasa nggak rela Rasya bakalan sama Eca? Nggak mungkin gue suka cowok nyebelin itu, kan.
"Gue nggak bakal mau sama cewek minus itu."
"Astaga!!" Raya mengelus dadanya. Reflek dia melotot marah ke Rasya, yang selalu saja tiba-tiba ada di dekatnya.
Eca dan teman-temannya langsung bubar begitu mendengar orang yang mereka bicarakan sudah datang. Tidak ada rasa khawatir atau cemas, mungkin Raya mendengar obrolan mereka. Bahkan Eca malah sempat-sempatnya cari perhatian ke Rasya.
"Rasya, lo ganteng banget hari ini." Eca menghampiri Rasya, tapi lebih dulu tangan Rasya memberi isyarat untuk tidak mendekat.
Cowok itu menoleh tanpa ekspresi. Dia memilih mengabaikan Eca dan menganggapnya tidak ada. Perhatiannya kembali ke Raya. Cewek itu masih berdiri canggung di depannya.
Raya ingin kabur, tapi sebelum dia lakukan, lengan Rasya menghalangi. Raya menuju arah sebaliknya, lengan Rasya satu lagi menutup akses itu. Sempurna sudah Raya terkungkung. Posisi yang menguntungkan bagi Rasya untuk mengamati wajah cewek di depannya. Adakah petunjuk yang bisa dia dapat? Raya begitu mirip dengan gadis cilik di memori otaknya. Meskipun tidak begitu jelas.
Raya tidak berani mendongak, apalagi menatap wajah Rasya yang lebih tinggi darinya. Dalam kungkungan ini tubuh Raya begitu mungil dan rapuh. Dia hanya ingin pergi dari sana dan menghindari masalah. Tapi cowok menyebalkan ini selalu saja mengganggunya.
"Tatap gue!" Suara Rasya tegas dan entah apa sebabnya Raya menurut begitu saja.
Jarak keduanya membuat siapa pun yang melihat akan menahan napas. Beruntung adegan itu tak berlangsung lama. Bel masuk berbunyi, mau tak mau Rasya melepaskan Raya. Hanya tiga detik bertatapan, tentu saja tidak mampu membuka memori Rasya sepenuhnya.
Dua teman Rasya langsung menyerbu teman mereka dengan pertanyaan. Mereka tahu tidak akan mudah dapat jawabannya. Karena Rasya tetap diam dan tidak mau membahas. Dia akan cerita saat benar-benar ingin sharing. Kali ini dia memilih bungkam.
Banyak orang yang melihat, sehingga kabar kedekatan keduanya menyebar dengan cepat ke seantero sekolah. Raya mendadak terkenal. Kalau Rasya sudah terbiasa jadi pusat perhatian, dibicarakan juga sudah jadi hal biasa. Tetapi Raya, dia cukup terganggu dan khawatir.
Eca makin menyimpan rasa tidak suka pada Raya. Apalagi cara Rasya mendekati si kurus itu membuatnya cemburu. Padahal wajah dan penampilan dia jauh lebih cantik. Apa yang dicari Rasya dari cewek itu.
***
Hari ini banyak yang terjadi. Tekanan itu datang tanpa diminta. Raya memilih tidak langsung pulang. Dia menghubungi Tio dan bilang kalau harus ke toko buku. Ada tugas yang memerlukan rekomendasi buku tertentu. Raya tidak sepenuhnya bohong, memang ada tugas sekolah dan dia harus cari buku itu. Tapi tidak hari ini. Dia butuh waktu dan ruang untuk sendiri.
Sebuah studio musik bernama Metamorfosa kini di depan Raya. Sudah lama dia tidak bernyanyi dan memainkan musik. Saat mencari studio musik yang bagus dan harga miring, tempat ini banyak muncul di internet. Langkahnya memasuki pintu depan, dan langsung menyuguhkan interior yang nyaman. Nuansa tenang dan banyaknya printilan kupu-kupu, langsung membuat Raya jatuh hati.
"Selamat datang," sapa resepsionis yang berjaga hari itu.
"Saya mau sewa dua jam, Mas. Apa masih bisa langsung main hari ini?" Setahu Raya studio ini sering penuh, jadi terkadang harus booking dulu dan baru bisa main besoknya.
"Sebentar saya cek dulu ya, Kak. Mohon ditunggu!"
Raya mengangguk. Dia merapatkan outer yang dia pakai hari itu. Ada gunanya juga, jadi tidak banyak orang yang tahu dia dari sekolah mana.
Seorang pria dengan usia sekitar empat puluh tahunan datang bertepatan dengan resepsionis yang mengecek sisa waktu penyewa terakhir.
"Kasih ruangan saya, aja. Dua jam, kan?"
"Baik, Pak Adit."
Ya, namanya Adit dan dia pemilik studio musik. Studio jadi salah satu penghasilan selain pemasukan sebagai orang kepercayaan Rudi—papinya Rasya.
***