Loading...
Logo TinLit
Read Story - Eagle Dust
MENU
About Us  

Sedari berumur tujuh tahun, aku tidak pernah bertanya pada Mom mengenai hal-hal yang bersifat bijaksana. Tidak seperti anak-anak seusiaku pada umumnya, di mana mereka punya akses dan hak lebih luas untuk mengolah pikiran mereka menjadi rentetan pertanyaan untuk dijawab oleh seorang ibu.

Apa menu makan malam kali ini? Baju apa yang cocok untuk menghadiri pesta ulang tahun sahabatmu? Bagaimana bisa seorang anak laki-laki bertingkah terlalu menyebalkan saat mereka menyingkap rok sekolah anak perempuan dengan sengaja? Atau mungkin pertanyaan tentang daftar tempat yang akan dikunjungi saat libur sekolah. Dapat- kah kalian bayangkan reaksi apa yang akan diterima oleh ibu normal pada umumnya? Terlebih lagi, intensitas emosi seorang ibu terkadang seperti gelombang pasang surut air laut.

Baiklah, kita ambil satu sampel saja kalau begitu. Salah satu dari seorang ibu itu mungkin akan membelai rambut anak perempuannya yang sedang beranjak remaja dengan penuh kehangatan, pelukan nyaman, sambil menjawab penuh kejujuran dan juga nasihat sebagai perantara kasih sayang. Seorang ibu tentu akan melakukan apa pun untuk menyenangkan hati anaknya. Tak peduli seberat apa pertanyaan yang dilontarkan oleh para anak-anak yang sedang dalam masa perkembangan otak remaja.

Bagaimana denganku? Jika kalian ingin tahu, bahkan di usia sebelum tujuh tahun saja aku tidak pernah mengalami komunikasi yang wajar dengan ibuku sendiri. Masa lalu kelam memang selalu berbuntut mimpi buruk.

Aku tumbuh besar di lingkungan rumah bordil, Mom adalah salah satu penghuninya. Tunggu, tentu saja bukan sebagai wanita penghibur, ah dia terlalu suci untuk melakukan hal semacam itu.

Pekerjaannya sebagai seorang penjahit pakaian pria dan wanita membuatnya harus bertahan di lingkungan tersebut. Dia sudah punya banyak pelanggan. Terutama para wanita yang ingin membuat gaun khusus penarik minat lelaki. Mom sangat piawai membuat model baju sesuai selera mereka. Jika jahitannya sudah selesai, biasanya ia menyuruhku untuk mengantarkan pakaian jadi itu kepada para pelanggannya sekaligus meminta upah. Keluar masuk rumah bordil tentu sudah menjadi makanan sehari-hariku. Dulu, di saat aku masih bisa melihat jelek dan buruknya tingkah laku para calon penghuni neraka itu.

Kesibukan Mom, orang tua tunggal, tanpa sosok ayah yang hingga sekarang tak pernah kuketahui keberadaannya, terlebih wajahnya. Aku sudah terbiasa dengan sikap Mom yang terlalu dingin menanggapi sesuatu.

Sebagai putri satu-satunya yang ia miliki, terkadang aku sulit membedakan mana sosok baik hati dalam dirinya, dan mana sosok pemarah dalam benaknya. Sebab Mom, akan selalu menyumbangkan senyumnya, senyum, dan senyum terindahnya padaku. Manakala aku terjatuh dan menangis, ia akan tersenyum padaku tanpa mengatakan hal yang membangun untukku. Manakala aku antusias bercerita tentang berbagai hal, Mom hanya mampu tersenyum dan berkata 'anak pintar buah hati Mom' – lantas kecupan lembut mendarat di kening, pipi dan juga leherku. Ia tak pernah menyurutkan keceriaanku, meski tanpa kalimat penghibur.

Dan kembali lagi, mengenai pertanyaan-pertanyaan bijaksana itu, yang membuatku iri dengan anak perempuan lain. Ah, lagi-lagi Mom hanya bisa memelukku dan tidak pernah menanggapi pertanyaanku secara teori.

Terkadang aku tidak mengerti pola pikir Mom, bahkan ia yang hanya bicara seperlunya saja, bagaimana bisa membesarkan seorang putri sepertiku yang terlalu extrovert pada hal-hal kecil sekali pun. Sifatku yang tidak seimbang dengan garis gen yang ia turunkan sering menimbulkan pertanyaan besar dari dalam diriku sendiri.

Apa barangkali ini adalah gen yang diturunkan ayahku? Benih yang membuahi sel telur Mom itu terlalu aktif dan ceria. Terkadang aku membayangkan benih itu menari-nari mengikuti irama musik jazz sebelum mencapai indung telur Mom. Menjentikkan jari, mengangguk-angguk, dan tertawa bahagia saat tangan benih putih itu menggabungkan diri dengan sel pemalu milik Mom.

Aku memang tidak pernah menginjakkan kaki ke sekolah semenjak usiaku melewati tujuh tahun, dan semenjak Tuhan mengambil pengli- hatanku juga. Namun, setidaknya teori dasar biologis itu pernah kude- ngar dari guru privat brailleku.

Itu kisah singkat mengenai ibuku. Sayangnya, ia sudah tidak hidup bersamaku lagi setelah usiaku sebelas tahun. Yah, Mom meninggalkanku begitu saja saat matahari bahkan belum muncul ke permukaan. Tanpa alasan. Tanpa pesan. Mom tidak menyisakan apa-apa untuk aku bisa memahami mengapa aku ditinggal sendirian dalam keadaan but? Selain menangis pilu dan merasa si kecil Eleanor Pohl sama sekali tidak berguna untuk sekadar hidup. Tidak, sampai seorang pria bersedia memungut dan menjadikanku seperti sekarang ini.

Jika kau bertanya bagaimana gadis buta sepertiku bisa hidup sendiri di kota Wina yang besar dan dikelilingi oleh orang-orang sibuk, maka aku juga ingin bertanya padamu. Apakah benar setiap orang memiliki kadar kekejaman hidup masing-masing? Atau benarkah setiap manusia disematkan kekurangan dalam tubuh mereka? Meski hanya secuil jerawat yang membuat wajahmu tidak tampak menarik sekali pun. Itu juga sebuah kekurangan, bukan?

Jadi jika kau bertanya padaku bagaimana aku menjalani semua ini dengan tongkat sebagai mata pengetukku—hidup tanpa bantuan keluarga satu pun—maka aku akan menjawabnya sederhana saja.

Ada atau tidaknya orang lain dalam proses pertumbuhan usia dua puluh dua tahunku, tetap saja, aku akan sendiri dalam kegelapan. Seramai dan sepadat apa pun situasi di sekitarku, toh aku akan tetap merasa sendiri di mana pun. Aku yakin kau juga pernah merasakan hal yang sama denganku jika berada di suatu tempat yang gelap tanpa cahaya.

***

Drama keluarga.

Sesungguhnya aku sangat senang jika beberapa dari mereka menunjukkan keharmonisan itu di dekatku. Sebagaimana yang saat ini sedang mereka sajikan. Aku bisa menerka, ada seorang ayah menggendong balitanya yang sedang mengoceh bercampur tangis masuk ke dalam toko Tea & Coff Shop tempat aku bekerja. Selang sepuluh detik, pintu kaca toko kembali mengkriyet tanda seseorang yang lain masuk menyusul.

"Selamat sore, Miss Helen. Apa kau ingin mengambil pesananmu?" tanyaku ramah saat aroma wanita yang tak asing itu menghampiri indra penciumanku.

Dari getar gelombang udara yang terhantar ke indera perasaku, perempuan itu mendengkus. "Pintu kaca sialan! Tidak bisakah pintu itu bisu sekali saja?" gerutunya sambil menepuk lengan bajunya guna membersihkan sesuatu.

Aku keluar dari balik meja kasir kecil ini, meraba tepi meja untuk bisa lebih dekat dengan rak tempat kopi khusus pesanan miss Helen tadi pagi kuletakkan.

"Meskipun pintu itu tidak bersuara, aku masih bisa mencium aromamu, Miss. Jadi, berhentilah mengerjaiku," ujarku sembari meraba rak tingkat empat dari dasar. "Dua kilo?" tanyaku memastikan.

Aku belum mendengar jawaban apa pun dari miss Helen kecuali suara balitanya yang merengek dalam gendongan sang ayah. "Maaf, Eleanor. Aku tidak tahu kenapa Joe tiba-tiba menangis begini, bisakah kau lebih cepat sedikit?"

Tanganku yang semula ingin mengambil dua bungkus kopi pesan- an miss Helen terpaksa turun. "Tentu saja aku bisa bergerak cepat jika kau memberi tahuku berapa kilo yang ingin kaubeli."

Suara tangisan Joe semakin meninggi. Memangnya apa yang menyebabkan anak itu menangis? Apakah tempat ini terlalu menyeram- kan baginya? Atau mungkin ia melihat setan yang menempel di pundakku? Hei, aku ini hanya seorang penjaga toko, bukan pembunuh. Well, setidaknya sebelum malam. Dan setahuku ini masih siang, Nak.

Suami Helen mengalihkan Joe ke tangan istrinya, aku bisa mendengar Helen mendesis dengan suara naik turun karena membawa anak itu bergoyang ke atas dan ke bawah. "Tiga kilo, El," pintanya.

"Oh, baiklah." Aku mengambil tiga bungkus kopi robusta bubuk dengan kemasan masing-masing sekilo, mencium bungkusnya sekali lagi, memastikan bahwa yang kuambil itu tidak salah. "Ini milikmu, Miss." Tanganku menjulur ke depan menyerahkan tiga bungkus kopi tadi.

"Terima kasih, Ellie. Maaf kali ini aku tidak bisa mengobrol panjang denganmu. Joe tampaknya kurang sehat hari ini." Helen meraih tangan kananku lalu menyerahkan dua lembar uang kertas Euro. Uang pas, aku tidak perlu mengambilkan kembaliannya.

Oh, jadi anaknya itu kurang sehat? Aku tersenyum kecil saat mengetahui bahwa ternyata aku tidak semengerikan itu di mata seorang balita.

"Tidak apa, Miss. Kita bisa mengobrol lain kali. Lagi pula di luar sedang angin kencang. Cepatlah pulang sebelum salju membuat Joe bertambah sakit."

"Kau juga hati-hati saat pulang nanti. Sampai jumpa, Ellie." Helen menepuk bahu kiriku. Lantas langkah kaki mereka terdengar menjauh hingga pintu kaca itu mengkriyet lagi.

Satu jam setelah kepergian Helen, Tea & Coff tidak lagi keda- tangan pembeli. Nyonya Shawn— pemilik toko yang umurnya sudah enam puluh tahunan—menyuruhku untuk pulang lebih awal. Ia menga- ku cemas jika membiarkanku pulang sendirian dengan angin kencang di luar yang bisa saja mengganggu kepekaan telingaku menginduksi sekitar.

Sudah satu tahun aku bekerja di Tea & Coff, tapi ketahuilah bahwa sebenarnya itu hanya kamuflase diriku untuk membuat hidupku tampak normal sebagaimana manusia pada umumnya. Aku tahu, meskipun aku berusaha membuat aktivitas keseharianku tampak normal, tetap saja kenyataannya aku jauh dari kata itu.

Hal apa yang patut disandang wanita tunanetra sepertiku ketika berjalan di pinggiran kota yang padat dan berisik? Ditambah deru angin kencang menerbangkan dedaunan dan juga serpihan sampah plastik. Menerpa tubuhku yang tetap berjalan tenang tanpa rasa takut. Sementa- ra orang-orang berlari terburu-buru hendak mencari tempat perlindung- an. Ini adalah bulan November, penyambutan musim dingin di Wina akan menjadi hal yang lumrah ditemui di setiap sudut kota.

Namun, hal yang serba meresahkan masyarakat seperti ini mem- buatku terbilang beruntung. Sore ini, giliran lorong lima tempatku bertengger barang sepuluh menit.

Aku berdiri di lorong lima setiap hari Rabu, dan para agen yang membutuhkan jasaku sudah sangat hafal. Di mana aku bersandar pada tembok sunyi, kemudian seorang pria datang padaku memberi pertan- da. Pria itu, aku tidak tahu siapa namanya, tapi aku bisa sangat menge- nalinya dari aroma yang kurasa sudah lebih dua puluh kali memberikan pertanda padaku. Dan suara serak seperti orang yang terkena batuk seumur hidup mengalirkan pemahaman terhadapku bahwa kali ini ia akan memberiku makan malam lagi.

"Lorong 21. Malam ini jam sebelas. Perompak," bisik pria itu saat dekat dengan telingaku dengan sedikit bau napas yang hampir membuatku mual.

Akan kuterjemahkan kode yang disampaikan pria itu.

Lorong 21; maksudnya adalah titik di mana aku harus menemui korban. Dalam kamus komunitas kami, setiap kota memiliki nomor yang menjadi acuan tempat kami menghabisi korban. Untuk Wina saja, kami memiliki 80 nomor tempat yang harus kami hafal dengan baik. Perompak; itu adalah kode menentukan cara mati si korban, artinya aku harus membunuh calon korbanku seolah-olah dia adalah seorang perampok yang kena sial. Artinya dibunuh oleh korban perampokannya sendiri.

Untuk kode yang lain, akan kujelaskan satu per satu. jika memungkinkan diriku menyandang profesi ini untuk waktu yang lama.

Pria pemberi pertanda mendekatkan sebuah benda ke daun telingaku. Muncul sebuah suara sekitar tujuh kata yang dihasilkan oleh seseorang. Si pemberi pertanda memutar suara itu sampai tiga kali, kemudian mengangguk paham setelah pria itu memberikan potongan sapu tangan berbau alkohol yang bercampur dengan bau uang kertas Euro lecek.

Seorang pria jangkung, namanya Peter Freil. Sudah kuhafal betul ciri dan aroma yang ditinggalkan padaku. Aku pun keluar dari lorong. Melanjutkan perjalananku dengan berjalan kaki sampai ke tempat ting- galku. Bukan jarak yang jauh, hanya satu kilometer, seratus dua puluh langkah, dan aku tidak perlu angkutan umum untuk sampai ke sana.

 

How do you feel about this chapter?

1 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Janjiku
610      437     3     
Short Story
Tentang cinta dan benci. Aku terus maju, tak akan mundur, apalagi berbalik. Terima kasih telah membenciku. Hari ini terbayarkan, janjiku.
Kuncup Hati
671      463     4     
Short Story
Darian Tristan telah menyakiti Dalicia Rasty sewaktu di sekolah menengah atas. Perasaan bersalah terus menghantui Darian hingga saat ini. Dibutuhkan keberanian tinggi untuk menemui Dalicia. Darian harus menjelaskan yang sebenarnya terjadi. Ia harus mengungkapkan perasaan sesungguhnya kepada Dalicia.
The Skylarked Fate
7231      2130     0     
Fantasy
Gilbert tidak pernah menerima takdir yang diberikan Eros padanya. Bagaimanapun usaha Patricia, Gilbert tidak pernah bisa membalas perasaannya. Seperti itu terus pada reinkarnasi ketujuh. Namun, sebuah fakta meluluhlantakkan perasaan Gilbert. Pada akhirnya, ia diberi kesempatan baru untuk berusaha memperbaiki hubungannya dengan Patricia.
Forget Me After The Rain
434      316     1     
Short Story
\"Kalau begitu, setelah hujan ini, lupakan aku, seperti yang aku lakukan\" Gadis itu tersenyum manis
Mysterious Call
502      334     2     
Short Story
Ratusan pangilan asing terus masuk ke ponsel Alexa. Kecurigaannya berlabuh pada keisengan Vivian cewek populer yang jadi sahabatnya. Dia tidak sadar yang dihadapinya jauh lebih gelap. Penjahat yang telah membunuh teman dekat di masa lalunya kini kembali mengincar nyawanya.
IDENTITAS
709      484     3     
Short Story
Sosoknya sangat kuat, positif dan merupakan tipeku. Tapi, aku tak bisa membiarkannya masuk dan mengambilku. Aku masih tidak rela menjangkaunya dan membiarkan dirinya mengendalikanku.
Alzaki
2202      906     0     
Romance
Erza Alzaki, pemuda tampan yang harus menerima kenyataan karena telah kejadian yang terduga. Di mana keluarganya yang hari itu dirinya menghadiri acara ulang tahun di kampus. Keluarganya meninggal dan di hari itu pula dirinya diusir oleh tantenya sendiri karena hak sebenarnya ia punya diambil secara paksa dan harus menanggung beban hidup seorang diri. Memutuskan untuk minggat. Di balik itu semua,...
Kebaikan Hati Naura
641      363     9     
Romance
Naura benar-benar tidak bisa terima ini. Ini benar-benar keterlaluan, pikirnya. Tapi, walaupun mengeluh, mengadu panjang lebar. Paman dan Bibi Jhon tidak akan mempercayai perkataan Naura. Hampir delapan belas tahun ia tinggal di rumah yang membuat ia tidak betah. Lantaran memang sudah sejak dilahirikan tinggal di situ.
The Eternal Witch
23661      3659     6     
Fantasy
[Dunia Alternative] Perjalanan seorang pengembara dan petualang melawan dan memburu entitas Penyihir Abadi. Erno Orkney awalnya hanyalah pemuda biasa: tak berbakat sihir namun memiliki otak yang cerdas. Setelah menyaksikan sendiri bagaimana tragedi yang menimpa keluarganya, ia memiliki banyak pertanyaan-pertanyaan di benaknya. Dimulai dari mengapa ia menerima tragedi demi tragedi, identitasnya...
Paragraf Patah Hati
5894      1915     2     
Romance
Paragraf Patah Hati adalah kisah klasik tentang cinta remaja di masa Sekolah Menengah Atas. Kamu tahu, fase terbaik dari masa SMA? Ya, mencintai seseorang tanpa banyak pertanyaan apa dan mengapa.