Bekerja tengah malam, hari di mana situasi tampak sama. Dingin. Hanya embusan angin malam dan suara satu atau dua kendaraan yang melintas di jalan raya.
Meski dalam realita, kegelapan membuatku lebih terdistraksi untuk menjalankan naluri. Bukan hanya karena malam yang gelap, tetapi memang setiap jam, hari, bahkan seumur hidupku terlanjur berlumur kegelapan nan samar. Ketahuilah bahwa aku bisa mengetahui keberada- anmu lewat indra penciuman yang tajamnya mengalahkan hidung se- ekor anjing pemburu. Dan melihat menggunakan indra pendengaran yang kepekaannya melebihi ultrasonik kelelawar.
Kini, aku berdiri di depan pintu sebuah toko roti yang sudah tertutup rapat, menggenggam gagang tongkatku dengan tangan dingin meski glove berbahan kulit yang kukenakan seharusnya menghangatkan. Aku menundukkan kepalaku di balik hoodie jas panjang selutut. Sekali lagi aku mengambil benda yang menjadi panutanku memburu seseorang dari dalam saku jas. Sobekan baju pria yang baunya seperti gelandangan miskin. Padahal mereka bilang dia adalah orang kaya, tapi kenyataannya—aku hanya bisa tersenyum sumir.
Suara seseorang menandakan sedang keluar dari pintu klub malam. Jaraknya kemungkinan seratus meter dari tempatku berdiri. Kemudian, satu orang pria lagi keluar, mereka tertawa terbahak–bahak, entah sebab apa.
Harold Blanc, ia adalah sasaran yang sebentar lagi akan kulucuti nyawanya. Aku harus memastikannya sekali lagi, sebab rekaman suara yang kudengar terkadang bisa saja salah.
"Selamat malam, Harold! kita akan bertemu lagi besok! Apa kau yakin tidak mau kutumpangi? Kau sedang mabuk." Suara seorang pria lain terdengar menjauh. Mungkin salah satu rekannya.
"Tidak perlu, aku bisa menyetir sendiri. Kalaupun aku celaka, paling aku akan mati. Haha! Haha!" Lelucon itu terasa lucu baginya. Kematian terkadang dijadikan ajang bercandaan bagi mereka yang belum sepenuhnya sadar bagaimana rasanya kematian itu benar-benar datang.
Dengan sigap, aku menggeser tongkat ke daratan untuk menuntunku ke arah suara yang tadi kudengar. Tutup hoodie kutarik ke bawah untuk menutupi wajahku. Aku tidak akan tahu jika ada orang lain yang melihatku, bukan? Hanya saja aku tidak merasakan suhu panas manusia lain di sini kecuali suhu panas yang keluar dari seorang pria yang turut menyuarakan pintu mobil yang dibuka.
Kupercepat langkahku sebelum ia pergi meninggalkan tempat ini. Suara berdeham pria itu cukup membantuku menuntun diri lebih dekat dengannya. Deru mesin mobil menyala merayap ke telinga. Segera, aku menyentuh body mobil sedan tersebut, mengetuk pintu mobil yang kuyakini bahwa pria itu sudah duduk manis di dalam sana.
"Selamat malam, Tuan. Apa kau bisa membantuku sebentar?" pintaku pada pria yang kuketahui sedang membuka jendela kaca mobilnya. Aku berpikir mungkin ia sedang memperhatikan gelagatku yang sedang celangak-celinguk memasang wajah cemas.
"Ada apa, Nona?" tanyanya singkat.
"Uh ... maaf aku sedang tersesat dan butuh bantuan. Apa kau melihat ada taksi di sekitar sini? Aku harus pulang tapi aku tidak punya kendaraan untuk sampai ke rumah," ujarku beralasan.
Pria itu membuka pintu mobilnya dan kini sudah berdiri di hadap- anku. Hawa panas tubuhnya membuatku tak sabar ingin memainkan bagian demi bagian tubuhnya. Walau secara lumrah, aku lebih senang menjatuhkannya dalam satu kali tebas. Mendekatlah, karena yang kau lakukan sekarang padaku―menggerakkan lima jarimu di wajahku—hanya akan membuat nyawamu semakin dekat dengan ajal.
"Maaf, Nona ... apa kau tidak bisa melihat?"
Ahh, sayang sekali aroma tubuhmu sama dengan yang terekam di dalam ingatanku. Ujung bibirku naik ke atas sambil menganggukkan kepala.
"Bagaimana anda bisa tersesat di tempat seperti ini, tengah malam begini, Nona?" tanyanya lagi.
Diam-diam, aku menyungkit gagang tongkatku ke atas mengguna- kan ibu jari, sementara tangan kiriku menggenggam bagian terluar tongkat yang juga menjadi boton sword. Dalam hitungan detik, pedang kurus berkilau membawaku menari. Leher pria itu tersayat sempurna dalam satu kali gerakan. Aku berpaling ke belakang dengan cepat agar darah itu tidak mengotori wajahku. Suara mencirit darah memercik sebagai pertanda bahwa urat dan kerongkongan Harold Blanc sudah terputus sempurna.
Tubuhnya terjatuh ke tanah, menggelepar sesaat. Aku mengambil potongan kain yang menjadi panutanku tadi untuk membersihkan mata pedang dari noda darah. Mengendusnya, memastikan bau anyir darah manusia itu tidak melekat. Tentu saja aku harus membersihkannya lagi sesampainya di rumah nanti.
Sekali lagi, aku menoleh ke belakang, memastikan tak ada lagi embusan napas yang terdengar. Kukembalikan boton sword pada rangka asalnya, menggeser, menggunakannya sebagai tongkat penuntun jalan. Seperti biasa, aku telah melakukan pekerjaanku dengan sempurna. Sete- lah itu aku hanya perlu pergi berlalu dari tempat ini dan pulang. Menik- mati kopi hangat dan sebungkus kacang kulit di depan TV kesayangan.
Eleanor Pohl --- 78TH TAGESORDNUNG---Sept 17th 2015 --- Mr. Harold Tod --- Flur 15 --- Vergewaltigt.
==== Opening dari Thorjid ====
Komposisi :
Action == 40%
Thriller == 30%
Romance == 30%
I Hope you like it... karena tokoh utama di Eagle Dust ini akan ku buat sehidup mungkin. Berharap kalian bisa ngerasain karakternya yang kuat.
NOTE: JANGAN pikir ini cerita gore dan penuh kesadisan, tidak seperti itu Esmeralda 😌😌 udh liat trailernya? Nah, semanis itulah cerita ini.