Kertas itu diletakkan rapi di atas meja kayu di kamar Lara—tempat yang selama ini menjadi saksi bisu kegelisahannya, puisi-puisi diam-diam yang ia tulis, dan malam-malam panjang yang penuh tangis. Surat itu ditulis dengan pulpen tinta hitam, tulisan tangan Lara yang khas, rapi, tapi sedikit miring ke kanan. Ada bekas air di salah satu sudut kertas. Entah tetesan teh, atau air mata. Tak ada yang tahu pasti.
Ibunya menemukannya pagi itu, saat membuka pintu kamar dan mendapati tempat tidur yang telah rapi, lemari yang sedikit terbuka, dan keheningan yang ganjil.
Surat itu berbunyi:
Ayah, Ibu tersayang.
Maaf karena Lara pergi tanpa pamit secara langsung. Tapi Lara tahu, kalau Lara berdiri di depan kalian dan mengucapkan ini, Lara akan menangis dan tak bisa pergi.
Lara pergi sementara saja, kok.
Bukan untuk marah. Bukan karena Lara membenci kalian. Tapi karena ada bagian dari diri Lara yang masih hilang—dan Lara ingin mencarinya sendiri. Lara ingin tahu rasanya menjadi utuh... tanpa harus menjadi anak baik setiap waktu. Tanpa harus mengorbankan diri sendiri agar orang lain tetap tenang.
Lara tahu kalian sudah banyak berubah. Terima kasih karena sudah berusaha menjangkau aku, bahkan saat Lara menjauh. Terima kasih karena telah mulai melihat Lara apa adanya, bukan seperti yang kalian inginkan. Tapi luka yang ada dalam diri ini sudah tumbuh terlalu lama. Dan aku gak bisa menyembuhkannya hanya dengan tinggal diam.
Kalian tahu, dulu Lara sempat ingin jadi jahat. Ingin menyakiti balik dunia yang pernah mengabaikan aku. Tapi ternyata... itu bukan aku.
Menyembuhkan diri tak harus menyakiti siapa pun. Aku mulai belajar mencintai diriku—perlahan, pelan, tanpa tergesa. Aku masih belajar menolak tanpa rasa bersalah, berkata tidak tanpa takut ditinggalkan, dan menolong hanya jika aku mampu, bukan karena merasa wajib.
Dan aku juga tak akan berhenti menulis puisi. Karena di sanalah aku paling jujur, paling manusia, paling Lara.
Lara pergi hanya dengan uang tabunganku sendiri. Tanpa drama. Tanpa niat menyalahkan siapa-siapa.
Hanya dengan satu niat, untuk mencari Lara yang utuh.
Kalau nanti Lara kembali, aku ingin bisa berkata—dengan penuh. Ini aku. Dan Lara tak malu lagi menjadi diri sendiri.
Jangan khawatir. Aku akan baik-baik saja.
Terima kasih karena pernah menjadi rumah bagi Lara. Sekarang, izinkan aku membangun rumah itu di dalam diriku sendiri.
Dengan cinta,
Lara
Tak ada yang tahu pasti ke mana Lara pergi. Tapi yang mereka tahu, ia pergi bukan karena ingin hilang, melainkan karena ingin benar-benar ditemukan.
Dan mungkin... dalam jarak, Lara akhirnya akan menemukan kedekatan yang ia cari seumur hidup—dengan dirinya sendiri.
i wish aku punya temen kaya sera:((
Comment on chapter 9 - Luka yang tak diakui