Dulu, Lara adalah gadis yang selalu berkata "iya". Ia terbiasa menyenangkan semua orang, mengorbankan dirinya demi menjaga harmoni. Ia takut berkata tidak, takut mengecewakan, takut dianggap merepotkan. People pleaser—itulah label yang ia kenakan seperti pakaian yang sudah terlalu lama menempel di kulit. Terlalu nyaman untuk dilepas, terlalu menyesakkan untuk terus dikenakan.
Namun semuanya mulai berubah ketika luka-luka kecil itu menumpuk. Saat air mata jatuh diam-diam di balik senyumannya, saat semua kebaikan dibalas dengan pengabaian, dan ketika ia sadar bahwa dirinya sendiri tak pernah diberi ruang untuk bersuara. Saat itulah, muncul keinginan aneh yang tumbuh seperti benih gelap di dadanya—keinginan untuk menjadi jahat.
Ia ingin berhenti menjadi anak baik. Ingin menolak. Ingin membalas. Ingin berhenti peduli pada semua hal yang mengurasnya. Tapi, di tengah gelapnya kehendak itu, datang seseorang. Sera—teman yang muncul di saat Lara mulai kehilangan kepercayaannya pada dunia. Sera tak menghakimi. Tak memaksa Lara untuk tetap jadi anak manis. Ia hanya ada. Dan dari kehadirannya yang sederhana itu, dunia Lara yang semula kelabu, mulai punya semburat warna.
Untuk sesaat, Lara percaya bahwa mungkin, mungkin, semuanya akan baik-baik saja. Tapi hidup, seperti biasa, menyisipkan garam ke dalam teh manis. Hidup akan terasa hidup, justru ketika ia memaksa kita mencicipi getir.
Lara tahu rasanya.
Anak sulung yang dikenal baik, penurut, dan tak pernah menyusahkan—telah berubah menjadi anak yang paling disayang. Bukan karena kebaikannya yang menutupi luka, tapi karena ia mulai jujur tentang siapa dirinya. Dan dari kejujuran itu, keluarga akhirnya melihat dirinya yang sebenarnya.
Ia mulai menemukan potongan dirinya yang selama ini hilang. Ia tahu ia suka menulis. Ia suka puisi. Ia suka memandangi langit sore dan meresapi maknanya dalam barisan kata. Ia tahu ia ingin kuliah di jurusan sastra. Dan ketika UTBK itu menolaknya, ia hancur, tapi tidak sepenuhnya hancur. Karena ia sudah tahu mimpinya. Dan dengan mengetahui mimpi itu, Lara menemukan pijakan.
Ia mulai belajar menerima bahwa tidak semua jalan terbuka lebar sejak awal. Kadang, jalan itu butuh dipahat sendiri, sedikit demi sedikit. Penolakan itu bukan akhir. Hanya penundaan. Ia masih bisa mencoba lagi.
Dan keinginannya untuk menjadi jahat? Kini terasa seperti bayang-bayang masa lalu yang samar. Lara sadar, ia tak benar-benar ingin menyakiti siapapun. Ia hanya ingin dicintai. Ia hanya ingin didengar. Ia hanya ingin merasa cukup.
Mencintai diri sendiri bukan tentang membalas dunia dengan luka, tapi merawat luka itu agar tak merembet ke orang lain. Lara akhirnya tahu, menolong orang lain pun ada batasnya. Ia tak ingin menolak karena jahat, tapi karena tahu mana yang layak untuk diperjuangkan dan mana yang tidak.
Ia tak ingin menjadi "tak enakan" lagi. Ia ingin memilih. Dan untuk pertama kalinya, memilih dirinya sendiri.
Orang tuanya pun sudah mulai berubah. Mereka menjadi lebih jujur, lebih terbuka, lebih hadir sebagai manusia, bukan hanya sebagai figur orang tua yang sempurna. Tapi di dalam Lara, masih ada ruang kosong yang tak bisa diisi siapapun. Pertanyaan tentang siapa dirinya, dari mana ia berasal, dan kenapa ia harus melalui semua ini—terus menggantung.
Ia tahu ia diadopsi.
Dan kini, rasa itu semakin kuat—keinginan untuk bertemu dengan masa lalunya, untuk menyentuh akar dari siapa dirinya. Panti Asuhan Ceria. Tempat yang selama ini hanya disebut-sebut dalam surat. Tempat ia dulu diasuh sebelum menjadi "anak" dari keluarga Pratama.
Tapi Lara tak datang ke sana sebagai seseorang yang mencari jawaban saja. Ia datang sebagai relawan. Sudah beberapa bulan ini ia membantu di sana setiap Minggu, bermain dengan anak-anak, membacakan cerita, mendengarkan tangis-tawa dunia kecil yang mengajarinya tentang ketulusan.
Dan dunia, ternyata, sangat sempit.
Suatu hari, setelah malam yang panjang dipenuhi kegelisahan, Lara memutuskan untuk datang ke panti itu. Bukan di hari Minggu seperti biasanya, tapi di tengah minggu yang sunyi.
Begitu turun dari ojek online, gerbang kecil bercat hijau muda itu menyambutnya. Masih sama seperti biasanya, dengan semilir angin dan suara anak-anak bermain di kejauhan.
“Kak Lara! Tumben datengnya bukan Minggu,” sapa Putri, seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun yang paling dekat dengannya.
“Iya,” jawab Lara, mencoba tersenyum. “Kakak ada urusan sama Bu Panti. Kamu tahu dia di mana?”
Putri mengangguk cepat. “Ada di ruang kerja. Lagi ngetik di komputer.”
Lara masuk, menapaki lorong sempit yang harum sabun dan kayu tua. Jantungnya berdegup keras.
Ketika ia mengetuk pintu dan membuka ruangan itu, Bu Panti—seorang perempuan paruh baya dengan senyum lelah namun hangat—menoleh dan tersenyum.
“Oh, Lara. Ada apa? Biasanya datang akhir pekan.”
Lara menarik napas. “Bu, saya mau bicara. Tentang... tentang saya.”
Mata Bu Panti menyipit. “Silakan duduk.”
Lara duduk, lalu mengeluarkan amplop berisi fotokopi surat adopsi yang ia temukan di laci orang tuanya. Ia menyerahkannya perlahan.
Senyum di wajah Bu Panti menghilang pelan-pelan, digantikan dengan keterkejutan yang tulus. “Tunggu... jadi selama ini, kamu adalah anak itu?”
Lara mengangguk pelan. “Iya, Bu. Saya Lara yang diadopsi empat belas tahun lalu.”
Bu Panti menghela napas panjang. Tangannya gemetar saat menyentuh amplop itu. “Astaga... Ibu tak pernah menyangka. Kamu tumbuh jadi gadis yang sangat baik.”
Keheningan jatuh sejenak. Kemudian Bu Panti melanjutkan, suaranya pelan.
“Ya. Ayah kandungmu sempat menelepon ke sini... beberapa bulan lalu. Ia bilang... ibumu sudah meninggal karena kanker otak stadium akhir. Ia ingin mencari kamu, tapi tak tahu harus ke mana. Ia ia bilang, mereka menitipkan kamu di sini, karena mereka tak punya uang, apalagi Ibu kamu sering sakit-sakitan.”
Lara menunduk, suaranya nyaris tenggelam. “Ayah saya... masih hidup?”
“Ya.” Bu Panti mengangguk pelan, matanya sedikit berkaca. “Tapi... dia sudah menikah lagi. Dan pindah ke luar pulau. Tapi kalau kamu mau, Ibu bisa berikan alamatnya.”
Waktu seakan menahan napas. Lara memejamkan mata, merasakan detak jantungnya menabrak dinding-dinding dada. Ada denyut asing yang perlahan menjalar, rasa perih yang telah lama ia kenal—tapi kini tak lagi menggulungnya seperti ombak ganas. Lebih seperti arus tenang yang hanya mengusap bekas luka.
Ia menarik napas panjang. Dalam kegelapan kelopak matanya, ia melihat sekilas masa lalu—wajah-wajah samar, pelukan yang tak pernah ia ingat, suara ibu kandung yang hanya bisa ia reka dalam imajinasi. Semua masih kabur. Tapi Lara tahu, ia tidak lagi ketakutan menatapnya.
Ketika matanya terbuka lagi, dunia masih sama. Lampu gantung di atas kepala, suara detak jam tua di dinding, dan aroma teh hangat yang samar dari meja sudut ruangan. Tapi ada sesuatu di dalam dirinya yang tak sama. Sesuatu yang sedikit lebih berani.
“Boleh... Bu,” katanya akhirnya. Suaranya pelan, namun jernih. “Saya pikir... saya perlu tahu. Meski hanya sedikit.”
Bu Panti tersenyum, lembut dan penuh pengertian. “Kalau begitu, kamu pulang dulu saja. Besok datang lagi, Ibu siapkan semuanya.”
Lara bangkit perlahan. Ia membungkuk kecil, seperti memberi hormat kepada seseorang yang telah menjaga rahasia hidupnya begitu lama. “Terima kasih, Bu. Untuk segalanya.”
Tangannya meraih gagang pintu. Saat didorong, engselnya berderit ringan. Di ambang pintu, langkah kecil menyambutnya.
“Kak Lara!” seru Putri, dengan pipi merah karena berlari. “Besok main lagi, ya?”
Mata Lara bertemu dengan mata bening itu. Dalam tatapan anak kecil itu, Lara melihat dirinya dulu—yang menunggu, berharap, dan ingin dipercaya. Hening menyusup di antara mereka.
Senyumnya muncul, pelan, seperti daun yang jatuh ke permukaan air.
“Kalau Kakak masih di sini... Kakak pasti datang,” ucapnya. Kalimat itu melayang ringan, tapi mengandung begitu banyak yang tak terucap.
Putri mengangguk semangat. Sementara Lara membelai rambutnya dengan lembut, lalu melangkah pergi, pelan-pelan.
Di luar, langit sore telah berubah warna—jingga tembaga membakar cakrawala, seperti lukisan yang diciptakan Tuhan untuk hati yang masih mencari arah. Angin sore menyusup di antara dedaunan, mengibaskan rambut Lara ke belakang. Ia berdiri sejenak di ambang pagar panti, memandang ke depan, ke arah jalan kecil yang sepi.
Langkah kakinya menyusuri aspal perlahan. Sepatu ketsnya menyentuh tanah dengan suara nyaris tak terdengar, namun setiap langkah terasa seperti sesuatu yang baru. Dunia di sekelilingnya tak berubah—motor yang lalu-lalang, warung tutup separuh, suara azan sayup-sayup dari kejauhan—tapi dunia di dalam dirinya telah bergerak. Arah jarumnya berubah.
Ia tahu, ini bukan tentang mencari ayah kandung semata. Bukan tentang jawaban, atau masa lalu yang telah pergi. Tapi tentang dirinya sendiri.
Tentang ruang kosong di dalam dada yang tak bisa diisi siapa pun, kecuali dirinya sendiri.
Dan di persimpangan jalan kecil itu, Lara berhenti. Menatap langit yang perlahan berubah ungu.
Pertanyaan muncul dalam dirinya, lirih, nyaris seperti doa:
Apa aku benar-benar siap pergi?
Tak ada suara menjawab. Hanya suara angin yang menyusup seperti rahasia. Dan detak jantungnya sendiri, tenang tapi penuh harapan.
Ia menghela napas panjang. Lalu berjalan kembali, membawa keraguan dan keberanian dalam satu tarikan langkah.
Sebab kadang, keputusan paling penting dalam hidup... tidak datang dalam satu suara tegas, tapi dalam keheningan. Dalam langkah yang tetap berjalan, meski belum tahu akan sampai ke mana.
@pacarmingyuu, ahaha, maaf aku sensi, abisnya komennya menjerumus banget, aku kepikiran punya salah apa, dikomen juga aku jelasin, aku harap aku salah, kalau beneran aku salah, aku minta maaf ya😔😔🙏🩷
Comment on chapter 3 - Aku ingin berubahthank you udah berkenan komen juga, have a great day🩷🙏