Hari itu datang tanpa peringatan, seperti badai yang tiba-tiba menggulung segala harapan yang selama ini tertanam di dada Lara. Ruang tengah rumah Citra dipenuhi tawa dan canda. Sera, Zea, Kesya, dan Citra duduk melingkar mengelilingi Lara, kamera sudah merekam persiapan mereka. Rencana mereka sederhana yaitu merekam reaksi pengumuman UTBK, lalu mengunggahnya ke media sosial kalau ada yang lolos.
Mereka semua penuh semangat. Suara riuh rendah yang mengisi ruangan itu terasa seperti ledakan kebahagiaan kecil yang tak kunjung henti. Namun, Lara sendiri hanyalah sosok yang diam. Tangannya dingin, napasnya terasa berat, dan perutnya bergolak tak menentu. Di tengah tawa itu, dia merasa seperti sosok asing yang tak benar-benar hadir.
Di kepalanya, satu pikiran menggelayuti tanpa henti. Aku hanya menumpang di keriangan ini. Seperti menonton film dari jauh. Aku bukan pemeran utama, hanya figuran yang kebetulan lewat.
Sera menoleh, tersenyum lebar. “Ayo, Lara! Senyum dong, ini momen kita!”
Lara mengangguk pelan, mencoba menempelkan senyum kecil di bibirnya. Tapi senyum itu terasa berat, seperti dipaksakan.
“Siap ya! Satu... dua... tiga!” seru Zea, jari-jarinya siap menekan tombol enter.
Semua menahan napas. Lara menatap layar yang mulai menampilkan barisan angka dan huruf. Jantungnya berdetak kencang.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga.
Empat.
Lalu, kalimat yang sangat sederhana itu muncul:
“Maaf, Anda belum lolos seleksi UTBK…”
Tidak ada warna. Tidak ada perasaan. Hanya huruf-huruf datar di layar yang terasa seperti pukulan keras di dada.
Ruang itu hening sesaat, tapi di kepala Lara, semuanya berputar liar. Suara teman-temannya mendadak jadi jauh, seperti dari dalam mimpi buruk. Tubuhnya gemetar, kepalanya berdengung.
Sera berbisik pelan, “Lara, kamu gak papa?”
Lara menggeleng kecil. Ia coba tersenyum, tapi bibirnya sudah bergetar. Air mata jatuh satu per satu tanpa bisa ditahan.
*****
Beberapa jam kemudian, Lara sudah kembali di rumah. Ia duduk di lantai ruang tamu, memeluk lututnya erat-erat. Bajunya yang sama masih menempel di tubuhnya, terasa berat seperti beban yang tak terlihat. Matanya merah dan bengkak. Detik jam di dinding terdengar terlalu nyaring, seolah setiap dentang menjadi teriakan dalam keheningan.
Ibunya duduk di sebelahnya, meraih punggung Lara dan mengusap perlahan. Ayahnya berdiri agak jauh, menatap dengan pandangan ragu-ragu. Dia ingin bicara, tapi kata-kata seakan tercekik di kerongkongan.
“Aku gagal, Bu…” suara Lara serak, penuh keputusasaan. “Aku gagal... aku bener-bener gagal. Padahal aku belajar siang malam. Aku berharap banget… aku ingin membanggakan kalian.”
Ayahnya menarik napas panjang, suaranya pelan dan bergetar, “Gak semua yang kita inginkan bisa terjadi, Lara. Kamu udah berusaha begitu keras, kami tahu usaha kamu, mungkin ini memang belum menjadi milik kamu.”
Kata-kata itu memicu ledakan di dada Lara yang sudah sesak.
“Katanya, usaha gak akan mengkhianati hasil!” tangisnya meledak, “Tapi kenapa aku yang selalu dikhianati? Aku berjuang mati-matian, Ayah... tapi aku tetap gagal! Aku capek... aku capek banget…”
Ibunya mencoba meraih tangan Lara, namun ditolak kasar oleh Lara yang sudah terluka.
“Kamu gak boleh ngomong kayak gitu, Lara—"
"Kenapa? Karena aku cuma pengganti? Aku bukan anak kalian! Aku cuma anak dari surat adopsi itu, kan?!"
Kalimat itu meluncur dari bibir Lara seperti anak panah yang tak bisa ditarik kembali. Tajam. Penuh luka. Satu ruangan terdiam. Suara kipas angin di sudut ruangan mendadak terdengar terlalu nyaring. Hening yang menggigit menguasai rumah, seolah semua udara tersedot keluar bersama kalimat terakhir Lara.
Ayahnya menatapnya, matanya berkaca-kaca. Ia melangkah maju perlahan, seakan setiap langkahnya menyadari bahwa dinding yang ia bangun bertahun-tahun ini tengah runtuh. Wajahnya penuh luka yang tertahan. Suaranya pelan, nyaris serak, seperti menahan tangis yang sudah lama tidak diberi ruang.
"Benar, Lara... Kamu anak adopsi. Kami mengadopsimu waktu kamu berusia tiga tahun."
Lara menatap lurus ke depan. Matanya tak berkedip. Wajahnya kaku seperti patung, namun di dalam tubuhnya, dunia runtuh dalam diam.
"Kami kehilangan anak yang juga bernama Lara. Dia meninggal saat berusia satu tshun, karena infeksi paru. Kami... kami hancur, Lara. Rumah ini jadi terlalu sunyi, terlalu sepi..."
Ayahnya menunduk. Tangan kanannya meremas lengan kirinya.
"Beberapa bulan kemudian, panti asuhan itu memberitahu kami... ada bayi perempuan yang juga bernama Lara. Kami pikir itu tanda dari Tuhan. Kami membawamu pulang. Awalnya, ya, kami... kami mengira kamu bisa mengisi kekosongan itu. Tapi... kamu bukan pengganti. Kamu adalah kamu. Anak kami."
Lara mulai terisak. Bahunya berguncang. Ia berusaha bicara, namun suara yang keluar hanya serpihan dari emosi yang berantakan.
"Jadi aku cuma bayangan? Anak yang harusnya mengisi kekosongan kalian? Aku hanya... hanya pengganti anak yang bahkan tak pernah kukenal?"
Ibunya yang sejak tadi membisu, akhirnya membuka suara. Suaranya serak, nyaris patah.
"Awalnya, iya. Ibu bahkan nggak berani menggendongmu. Setiap tangisanmu mengingatkan Ibh pada anak yang sudah tiada. Tapi hari-hari berjalan. Kamu mulai tumbuh. Kamu tertawa, kamu bicara, kamu menangis... dan aku jatuh cinta lagi. Bukan karena kamu menyerupai yang dulu, tapi karena kamu berbeda. Karena kamu Lara yang baru. Lara yang kami cintai dengan segenap hati."
Lara menggeleng perlahan, air matanya tak tertahan.
"Kenapa kalian nggak pernah cerita? Selama ini aku percaya aku punya tempat di rumah ini. Tapi ternyata... tempat itu dibangun di atas rahasia... di atas kebohongan."
"Kami takut kamu pergi. Kami takut kehilangan kamu."
Luna, yang selama ini menjadi pusat perhatian keluarga, duduk terpaku. Ia tak berani bicara. Wajahnya pucat, dan untuk pertama kalinya, ia tak menjadi bintang di ruangan itu. Ia hanya diam, menyimak kehancuran yang begitu dekat, yang selama ini ia tak tahu sedang terjadi di dalam dada Lara.
Lara duduk memeluk lututnya di lantai ruang tamu. Matanya kosong, seperti seseorang yang baru saja kehilangan seluruh arah hidupnya. Suaranya keluar pelan, seperti napas terakhir dari harapan yang mati.
"Aku ini siapa? Kalau aku bukan anak kandung, gagal di sekolah, dan nggak punya masa depan... aku ini apa, Bu? Apa, Yah?"
Tak ada yang menjawab. Karena memang tak ada jawaban yang bisa menyembuhkan luka sedalam itu. Hanya diam yang bisa menemani saat kata-kata tak cukup.
*****
Waktu berjalan lambat setelah hari itu. Suara tawa yang dulu menghiasi rumah itu seakan tak lagi kembali. Lara menghabiskan sebagian besar waktunya di kamar, tak lagi membuka buku, tak lagi menyentuh ponsel. Dunia luar terasa terlalu bising. Dunia dalam terlalu hampa.
Pagi datang tanpa makna. Malam tiba tanpa pengantar. Hari-hari berlalu seperti salinan yang tak pernah berubah.
Teman-temannya mengirim pesan, menanyakan kabar, mengajak keluar. Tapi semuanya hanya dibaca, tak dibalas. Baginya, semua hal yang dulu penting kini hanya potongan cerita lama yang tak lagi layak dibaca ulang.
Suatu sore, langit menggantung rendah. Hujan mulai turun perlahan, rintik-rintik kecil yang menyelinap di antara jendela kamarnya. Lara duduk di sudut kamar, lutut ditarik ke dada, matanya menatap ke luar.
Tetesan hujan menari di kaca, membentuk alur-alur aneh yang tak bisa ditebak arahnya. Seperti pikirannya. Seperti hidupnya.
"Kenapa aku harus seperti ini?" bisiknya pada diri sendiri. Suaranya tipis, nyaris tak terdengar.
"Kenapa semuanya terasa sia-sia?"
Tangannya meraih sebuah buku catatan yang tergeletak di rak. Di sela-selanya, ada sebuah surat kecil yang sudah lusuh. Tinta di atas kertas itu mulai pudar. Surat dari panti asuhan. Tertulis tentang ibu kandung yang meninggal karena komplikasi persalinan. Tentang seorang pria yang pernah datang, mencoba mencari anaknya, tapi tak pernah kembali lagi.
Lara membaca pelan, setiap kata seperti menancap di dadanya.
Ia menutup mata, membiarkan air matanya jatuh perlahan.
Apakah aku pernah dicari? Pernah diinginkan? Atau aku hanya kebetulan saja ditemukan?
Telepon di kamar tiba-tiba berdering. Suara nyaring itu mengejutkan Lara. Ia menatapnya beberapa detik, ragu. Lalu, perlahan, ia angkat.
Suara ibunya mengalir pelan, hati-hati.
"Lara... kamu baik-baik aja? Kami di luar. Kami... selalu di sini, kalau kamu mau bicara."
Hening. Suara hujan masih mengetuk jendela.
Tiba-tiba, tangis itu pecah. Lara menutup mulutnya dengan tangan, tapi suara isaknya tetap terdengar.
"Aku... aku bingung, Bu. Aku ngerasa hancur. Aku nggak tahu arah. Aku nggak tahu siapa aku... semuanya kayak kabur... kayak mimpi buruk yang nggak bisa aku bangun dari dalamnya."
"Kami nggak akan ninggalin kamu, Nak. Nggak sekarang. Nggak nanti."
Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Lara membuka pintu kamarnya. Ibunya berdiri di ambang, ayahnya tak jauh di belakang. Mereka duduk bersama di lantai. Tak ada nasihat. Tak ada janji-janji semu. Hanya genggaman tangan dan diam yang penuh pengertian.
Tangisan Lara pecah di pelukan ibunya. Ayahnya mengelus punggungnya pelan, seperti sedang menenangkan badai.
"Maafin kami, Lara... Maafin karena nggak pernah jujur. Kami pikir itu cara terbaik. Tapi ternyata kami salah. Kamu berhak tahu sejak awal."
Lara hanya mengangguk dalam isakan. Rasa sakit itu belum hilang. Tapi malam itu, untuk pertama kalinya, ia tak merasa sendirian.
*****
Beberapa hari kemudian, Lara mulai pelan-pelan keluar kamar. Ia duduk di ruang makan, menonton televisi tanpa benar-benar memperhatikan. Ia ikut sarapan bersama, walau hanya beberapa suap.
Luna yang biasanya cerewet kini lebih diam. Tapi pagi itu, ia menyodorkan secangkir teh ke hadapan Lara.
"Ini teh favorit lo, kan? Yang rasa melati."
Lara menatap cangkir itu sejenak, lalu menerima dengan anggukan pelan.
"Makasih," ucapnya pelan.
Luna menggigit bibir, lalu duduk di sebelahnya.
"Gue... nggak ngerti rasanya jadi lo. Tapi... kalau lo butuh temen buat diem bareng, gue bisa. Karena gimana pun, lo itu Kakak gue yang, gue kenal."
Senyum tipis muncul di bibir Lara, untuk pertama kalinya sejak semua runtuh. Ia merasa sesuatu bisa menjadi pegangannya saat dunia berhenti berpihak padanya.
@pacarmingyuu, ahaha, maaf aku sensi, abisnya komennya menjerumus banget, aku kepikiran punya salah apa, dikomen juga aku jelasin, aku harap aku salah, kalau beneran aku salah, aku minta maaf ya😔😔🙏🩷
Comment on chapter 3 - Aku ingin berubahthank you udah berkenan komen juga, have a great day🩷🙏