Beberapa minggu telah berlalu sejak momen kelulusan yang mengharukan. Waktu berlalu dengan cara yang tak bisa ditangkap, seperti pasir yang lolos dari sela jemari. Hari ini, Lara melangkah ke salah satu kampus negeri untuk mengikuti UTBK—sebuah babak baru yang menentukan jalan panjang setelah SMA.
Matahari menggantung rendah di langit, menyinari wajah-wajah muda yang menampakkan kecemasan dan harapan. Lara berdiri di dekat gerbang masuk gedung ujian. Napasnya terasa berat, bukan hanya karena ujian itu sendiri, tapi juga karena perjalanan yang membawanya ke titik ini—penuh luka, perenungan, dan keberanian untuk berdamai.
Di sisi kanan, Lusi—ibunya—berdiri dengan senyum lembut, meskipun lelah tergurat di bawah matanya. Ayahnya tak bisa ikut hari itu, karena ada rapat penting yang mendadak. Namun, kehadiran Lusi, Luna, Satya, serta beberapa teman—Sera, Zea, Kesya, dan Citra—cukup untuk membuat Lara merasa tak sendirian.
Ia sempat heran. Tiga nama terakhir itu, dulunya tak lebih dari orang-orang yang memancing amarah dan luka dalam hidupnya. Tapi kini mereka hadir, membawa semangat, bukan ejekan. Lara bukan anak yang naif. Ia tahu mereka tak serta-merta menjadi malaikat. Tapi ia juga tahu, mereka masih punya hati. Dan yang penting, mereka sudah sadar. Itu cukup.
Lara belajar sesuatu dari itu, menjadi jahat tak membuat luka hilang. Menyakiti orang lain tak membuat cinta pada diri sendiri tumbuh. Justru, ada kekuatan yang lebih besar dalam memaafkan, dan membuka lembaran baru.
“Deg-degan banget…” gumamnya pelan, sambil memeluk tas.
“Minum, minum dulu. Nih,” ucap Sera, menyodorkan sebotol air dari tasnya yang menggelembung.
Kesya menyipitkan mata. “Perasaan yang ujian Lara deh. Kok tas lo gede amat, Ser?”
“Biarin,” cemberut Sera, membuat yang lain tertawa kecil.
Tawa kecil yang membuat dunia seolah lebih ringan.
Lalu suara pengeras memanggil nama Lara.
Lara menoleh ke ibunya. Lusi menggenggam kedua bahunya, kemudian menariknya dalam pelukan singkat sebelum mencium keningnya.
“It's okay, Lara. It's all gonna be okay. Lakuin yang terbaik, ya. Apapun hasilnya, Ibu nggak akan nge-judge kamu.”
Tangis yang sudah sejak tadi ditahan Lara akhirnya luruh di pelukan itu. Ada sesuatu yang meleleh, namun bukan kelemahan—melainkan kekuatan baru.
Ia melangkah masuk ke ruang ujian. Suara di luar mengecil. Dunia menyempit hanya pada detik jam, layar komputer, dan detak jantung yang menguatkan dirinya.
Dan di sanalah ia, menghadapi masa depannya dengan keberanian yang lahir dari luka-luka yang telah ia rawat sendiri selama ini.
*****
Sore hari, rumah terasa lebih sunyi dari biasanya.
Ujian selesai. Bukan sempurna, tapi cukup. Lara tahu ia telah melakukan yang terbaik. Lusi, Luna, dan Satya belum kembali. Mereka mampir ke toko alat tulis, membeli perlengkapan sekolah. Lara sendiri yang meminta pulang lebih dulu. Ia hanya ingin sendiri—untuk bernapas, untuk mencerna semuanya.
Televisi menyala, tapi ia tak benar-benar menonton. Perutnya lapar, jadi ia berjalan ke dapur, membuka kulkas, mengambil telur, susu, dan keju untuk membuat omelet. Tapi ketika akan mengaduk telur, rambut panjangnya jatuh menutupi wajah. Ia mendengus pelan dan memutuskan untuk mencari tali rambut.
Entah mengapa, kakinya membawanya ke kamar ibunya. Itu bukan kebiasaan. Lara jarang—atau hampir tak pernah—masuk ke kamar orang tuanya tanpa izin. Tapi hari ini… seolah ada sesuatu yang memanggilnya.
Ia membuka satu per satu laci meja rias. Tak ada tali rambut. Tapi kemudian pandangannya tertumbuk pada sebuah laci kayu paling bawah—tertutup rapat dan terkunci.
Seketika ia ingat. Ibunya pernah berkata lirih, “Jangan pernah buka itu.”
Namun kalimat itu justru menanamkan rasa ingin tahu.
Di sisi vas kecil berisi bunga plastik, ia menemukan kunci kecil—dan mencoba. Laci itu terbuka.
Lara membeku.
Di dalamnya, ada tumpukan dokumen dalam map usang berwarna cokelat. Beberapa foto lama. Satu amplop krem yang masih tertutup. Dan satu foto bayi dengan pipi bulat dan mata sipit—wajah yang tak asing tapi bukan dirinya.
Tangannya gemetar saat menyentuh foto itu. Di belakang foto bayi, tertulis dengan spidol hitam: “Untuk Lara.”
Ia duduk perlahan di sisi tempat tidur, membuka map itu. Dan seperti menyaksikan ulang kehidupannya dalam potongan tak dikenal, ia membaca kata demi kata yang mengubah segalanya.
Lara, anakku…
Kepergianmu menyisakan luka yang tak bisa kutuliskan dengan kata-kata. Tapi Ibu percaya, Tuhan tak pernah salah menempatkan manusia. Ibu menitipkanmu kepada orang-orang yang, Ibu harap, bisa mencintaimu seperti darah daging mereka sendiri. Maaf karena tak bisa bersamamu di dunia ini. Tapi cintaku tak pernah pergi.
Lara membacanya berulang-ulang, tapi tetap saja tak mampu sepenuhnya mencerna.
Ia membuka dokumen lain. Surat adopsi. Tanda tangan. Cap resmi. Nama orang tuanya. Nama dirinya.
Dadanya mulai sesak. Tangannya dingin.
“Jadi… selama ini?” bisiknya pada dirinya sendiri.
Ia bukan anak kandung. Bukan darah dari darah mereka. Apakah ini alasan mengapa dulu ia merasa diperlakukan berbeda? Apakah ini alasan mengapa ia merasa tak pernah cukup di mata ayahnya?
Di kepalanya, segala kebingungan yang sempat reda mulai menari liar. Luka-luka lama yang nyaris sembuh seperti kembali menganga, mengalirkan perih yang baru. Mungkin dunia memang tak pernah sepenuhnya menginginkan kebahagiaannya. Mungkin ia memang hanya pengganti.
Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar dari arah depan.
“Kak laraaa!” teriak Satya dari ruang tamu.
Lara buru-buru menghapus air matanya, menyelipkan kembali semua dokumen ke dalam laci, menguncinya, dan mengembalikan kunci ke tempat semula.
Ia berjalan keluar kamar dengan wajah setenang yang bisa ia ciptakan.
“Lara, kamu kenapa?” Lusi berseru dari lantai bawah, suaranya cemas.
Lara membuka mulut, lalu menutupnya. Kemudian menjawab dengan suara lembut yang hampir tak terdengar, “Lara mau tidur, ya, Bu. Boleh nggak?”
“Boleh dong,” jawab Lusi, tanpa curiga.
Lara berjalan ke kamarnya. Menutup pintu. Meringkuk di atas kasur.
Dunia tak berubah dalam sehari. Tapi dunia Lara? Baru saja berguncang sedemikian rupa.
Namun di dalam guncangan itu, bukan keberanian yang langsung tumbuh—melainkan kehampaan. Sunyi yang dingin menjalar dari ujung jari hingga ke dada. Rasanya seperti berdiri di tepi jurang yang tak terlihat dasarnya, dan tak ada satu pun yang bisa ia genggam untuk bertahan.
Lara menatap langit-langit kamar yang remang, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tak tahu siapa dirinya. Bukan hanya sebagai anak—tapi sebagai manusia. Semua yang ia yakini tentang asal-usulnya, semua luka yang selama ini ia coba maklumi, semua keinginan untuk tumbuh… kini terasa seperti kebohongan panjang yang tak pernah ia sadari.
Ia bertanya-tanya—apakah cinta yang selama ini ia rasakan dari ibunya masih tulus, atau hanya kewajiban yang dipaksakan dari sebuah tanda tangan adopsi? Apakah ia sungguh diinginkan di dunia ini? Ataukah sejak awal hanya pengganti… seseorang yang tak pernah ia kenal, namun bayangannya selalu ada?
Di luar sana, dunia berjalan seperti biasa. Anak-anak tertawa, matahari tetap tenggelam, dan waktu terus bergerak ke depan. Tapi di hati Lara, waktu seolah berhenti.
Ia memeluk dirinya sendiri, mencoba menghimpit segala rasa agar tak tumpah. Tapi air matanya tetap lolos. Ia menangis dalam diam—sepi yang terasa lebih menusuk daripada teriakan.
Lembaran baru?
Tak ada yang puitis dari ini semua. Yang ada hanya reruntuhan, dan Lara berdiri di tengahnya, terluka, tercabik, dan sendirian.
Tapi bahkan dari serpihannya yang hancur, ia tahu satu hal, tak ada jalan kembali.
Dan itu... lebih menakutkan daripada apapun.
@pacarmingyuu, ahaha, maaf aku sensi, abisnya komennya menjerumus banget, aku kepikiran punya salah apa, dikomen juga aku jelasin, aku harap aku salah, kalau beneran aku salah, aku minta maaf ya😔😔🙏🩷
Comment on chapter 3 - Aku ingin berubahthank you udah berkenan komen juga, have a great day🩷🙏