Sudah lama Lara tidak merasakan pagi yang terasa ringan. Biasanya, ia hanya akan bangun karena terpaksa, menjalani hari seperti menarik-narik tubuh yang enggan bergerak.
Tapi pagi ini berbeda. Matahari memang tetap bersinar dari arah yang sama, burung-burung tetap berkicau di pohon mangga depan rumah, dan suara Ibunya yang memanggil dari dapur masih setia mengisi udara. Tapi ada yang berubah—di dalam dirinya.
"Lara, kamu udah siap?" suara Ayahnya dari ruang tamu terdengar ragu-ragu tapi hangat. Lara menghentikan gerakan menyisir rambut dan menoleh pada pantulan wajahnya di cermin. Wajah itu masih sama, dengan mata yang menyimpan sisa-sisa luka, tapi hari ini ia memilih untuk memberinya sedikit senyum.
"Iya, Yah. Sebentar."
Ia menuruni tangga dengan langkah ringan, tas gendong hitam yang dulu sempat ia tinggalkan kini kembali digendong di bahu. Di ruang tamu, Ayahnya berdiri sambil mengambil kunci mobil dan mengenakan jaket. Tidak banyak kata di antara mereka, hanya senyum yang terlihat canggung tapi penuh upaya.
Perjalanan ke tempat les diisi dengan percakapan ringan. Ayahnya sempat salah belok dan Lara tertawa kecil sambil membetulkan arah. Hal-hal sepele seperti itu, yang dulu mungkin akan mereka abaikan, kini terasa seperti batu bata kecil yang perlahan membangun kembali sesuatu yang dulu runtuh.
Sesampainya di tempat les, Lara sempat ragu melangkah. Sudah lama ia tidak ke sini. Tapi para penjaga dan beberapa guru masih mengenal wajahnya. Beberapa anak melirik, ada yang berbisik, tapi ia memilih fokus. Ia bukan lagi Lara yang takut pada pandangan orang.
"Jemput jam berapa?" tanya ayahnya sebelum ia masuk.
"Jam lima juga boleh," jawab Lara. Ayahnya mengangguk, lalu dengan pelan mengangkat tangan dan mengacak rambut Lara sebentar—gerakan yang dulu sering ia lakukan saat Lara kecil. Kali ini, Lara tidak menepis.
Di dalam kelas, Lara kembali duduk di bangku biasa. Try out akan diadakan minggu depan, dan semua siswa mulai menyiapkan diri. Ia mencatat dengan tekun, sesekali bertanya, dan mencoret-coret rumus matematika yang sempat mengabur dari ingatan.
Sore harinya, ketika kembali ke rumah, Ibunya sudah menyiapkan makanan kecil dan susu hangat. Tidak ada komentar berlebihan, hanya tawa kecil saat Lara bercerita soal guru les yang masih suka menyebut “bisa” dengan “biseh.”
"Kalau kamu semangat belajar gitu, Ibu jadi semangat juga bikinin camilan," kata ibunya sambil meletakkan sepiring roti bakar ke meja.
"Makasih, Bu. Karena udah perhatian sama Lara."
Ibu tersenyum sambil mengelus punggung tangan Lara pelan. Gerakan kecil, tapi menenangkan.
*****
Malamnya, kamar Lara diterangi lampu belajar kecil. Buku try out berserakan di atas meja. Ia membuka laptop, memutar musik instrumental, dan mulai menulis ulang catatannya. Matanya mulai terasa berat, tapi tangannya masih ingin bergerak. Setiap soal yang ia kerjakan terasa seperti bentuk kecil dari pengendalian hidupnya sendiri.
Ketika jam menunjukkan pukul 01.43, Lara masih terjaga. Sisa kopi dari sore tadi sudah dingin, tapi ia tetap meneguknya. Di luar, hujan turun perlahan. Ada sesuatu yang hangat di dalam dadanya, semacam rasa yang selama ini ia tunggu-tunggu, harapan.
Ia menoleh ke jendela, mengintip bayangan dirinya di balik kaca yang basah. “Kamu mulai kembali, ya,” katanya pelan pada bayangan itu.
Pagi datang dengan mata yang sedikit bengkak dan kantung hitam tipis di bawahnya. Tapi saat ia duduk di meja makan, Ibu menyodorkan semangkuk sup ayam hangat.
"Tadi malam Ibu denger kamu masih ngetik jam dua pagi," kata Ibunya sambil tersenyum. "Jangan lupa istirahat juga."
"Iya, Bu," jawab Lara. Kali ini tanpa merasa disalahkan.
Ayahnya membaca koran di seberang meja. Ia mengangkat wajahnya sebentar dan berkata, "Kamu mau nyoba simulasi try out akhir pekan ini? Biar Ayah bantu buatin soal tambahan."
Lara tertegun. Ia mengangguk. “Mau, Yah. Makasih.”
Setelah makan, Lara duduk di ruang tengah sambil membuka soal-soal latihan. Di sebelahnya, Satya—adik laki-lakinya itu—ikut nimbrung sambil membawa buku gambar.
"Kak, Kak Lara," panggil Satya. "Lihat deh, aku gambar monster robot! Bisa nembak laser dari matanya."
Lara menoleh dan tertawa kecil. "Keren banget, Dek. Tapi jangan buat Kakak makin takut ya. Kakak lagi stres mikirin try out."
Satya nyengir dan duduk lebih dekat. "Try out tuh semacam ujian, ya?"
"Iya, buat nyiapin masuk kampus."
"Kakak mau masuk mana?"
Lara diam sebentar. Lalu ia menoleh ke arah ibu yang sedang melipat pakaian di sofa.
"Bu... Lara bisa keterima nggak ya di UI?" suaranya pelan, nyaris seperti gumaman, tapi cukup jelas terdengar.
Ibu menoleh perlahan. Wajahnya teduh, penuh empati.
"Ibu nggak tahu masa depan, Lar. Tapi Ibu tahu kamu berusaha. Dan itu yang paling penting. Keterima atau nggak, kamu tetap anak Ibu yang Ibu banggakan."
Lara menggigit bibir, menahan air mata. "Aku takut gagal, Bu. Takut semuanya sia-sia."
Ibu berdiri, lalu duduk di samping Lara, mengelus rambutnya pelan. "Yang kamu lakukan sekarang bukan sia-sia, sayang. Kamu bangkit lagi, kamu belajar, kamu pulang... itu semua luar biasa."
Satya ikut menyandarkan kepala ke lengan kakaknya. "Kalau Kakak masuk UI, Kakak jadi kayak tokoh utama di film-film, ya? Keren banget!"
Lara tertawa sambil memeluk Satya. "Ya nggak gitu juga. Tapi doain, ya."
"Aku doain tiap malam!" ujar Satya dengan semangat. "Biar Kak Lara jadi orang hebat. Tapi jangan lupa main sama aku juga."
"Nggak akan. Kakak janji."
*****
Beberapa hari kemudian, suasana sekolah mulai terasa lengang. Ujian akhir sudah selesai, dan banyak siswa sudah sibuk dengan urusan masing-masing—mendaftar kuliah, mengurus berkas, atau sekadar bersantai sebelum pengumuman kelulusan.
Lara melangkah pelan di koridor lantai dua, langkahnya teratur, tidak tergesa. Cahaya matahari sore menerobos lewat jendela besar, menciptakan bayangan panjang di lantai. Saat berbelok di ujung lorong, ia mendapati Sera sedang berdiri di depan kelas, bersandar ringan di dinding, wajahnya cerah meski ada lingkaran samar di bawah matanya.
"Lara!" panggil Sera, melambai dengan senyum lebar. “Eh, aku mau cerita! Kamu harus denger ini.”
Lara mendekat. “Apa?”
“Aku keterima SNBP!” ucap Sera, matanya berbinar. “Di Universitas Negeri Jakarta. Pendidikan Sosiologi.”
Lara membulatkan mata. “Gila, serius?”
Sera mengangguk cepat, pipinya kemerahan karena antusias. “Dan—dan aku juga dapet beasiswa dari pemerintah. Bu Meri bantuin ngurusin. Katanya cukup buat ongkos dan beli laptop. Aku masih nggak percaya ini semua beneran kejadian.”
Lara tersenyum lebar, lalu memeluk Sera sebentar. “Aku ikut seneng banget, Ser. Kamu pantas dapetin itu semua.”
Sera menghela napas panjang, seperti menahan air mata bahagia. “Aku tuh gak nyangka. Maksudnya, hidup aku kan gak pernah mudah. Tapi ternyata, ada aja jalannya ya. Aku bakal bolak-balik dari rumah, soalnya masih harus jagain nenek. Tapi Aku nggak mau lewatin kesempatan ini.”
“Dan kamu bakal jadi guru sosiologi nanti?” tanya Lara sambil mencondongkan badan, matanya berbinar.
Sera tertawa kecil. “Mungkin. Atau peneliti. Aku pengin ngerti gimana manusia bisa berubah. Termasuk keluarga sendiri.”
Lara terdiam sejenak, lalu menunduk. “Ngomong-ngomong soal keluarga…”
Sera menatapnya lembut. “Gimana? Mereka ada perubahan?”
“Iya.” Lara mengangguk perlahan. “Awalnya berat, tapi… mereka mulai berubah. Ayah lebih sering ngobrol sama aku sekarang, walaupun masih kaku. Ibu juga… mulai ngajak aku belanja. Bahkan Luna—entah kenapa—nggak sejutek dulu. Rumah rasanya… enggak setegang dulu.”
Sera menatapnya, lalu tersenyum. “Itu kabar terbaik, Lar. Kamu juga pantas bahagia.”
Lara mengangguk pelan, bibirnya membentuk senyum tipis yang tulus.
“Akhirnya,” katanya lirih, “Aku ngerasa kayak... mulai pulang.”
*****
Sore itu, setelah membersihkan wajah dan mengganti pakaian, Lara duduk di meja belajarnya. Kamar itu, yang dulu terasa seperti tempat pelarian, kini mulai berubah jadi ruang yang terasa... bersahabat. Tirai jendela berkibar perlahan, angin sore membawa suara motor yang lewat di kejauhan, dan matahari menebar warna jingga di dinding.
Ia membuka laci, jari-jarinya menyentuh buku jurnal lama bersampul coklat. Buku itu penuh dengan keluhan, kegelisahan, dan coretan marah—jejak masa yang berat dan gelap. Lama ia menatapnya, sebelum akhirnya ia menggesernya ke samping.
Hari ini bukan untuk luka.
Lara menarik napas dalam-dalam, lalu mengambil sebuah buku baru dari tasnya—sampulnya berwarna biru langit, masih bersih, lembut disentuh, dan belum terisi apa pun. Ia membelinya dua hari lalu, di toko alat tulis dekat rumah, tanpa rencana, hanya karena warnanya membuat dadanya sedikit lega.
Ia membuka halaman pertama.
Tangannya mulai menulis—tanpa beban, tanpa marah. Hanya dengan perasaan yang perlahan mulai tenang.
Pulih
Rumah,
bukan lagi tempat aku menyembunyikan napas
di balik dinding dan dengung resah,
tapi tempat namaku dipanggil tanpa amarah.
Aku masih belajar menanam tenang
di tanah yang dulu retak oleh jeritan,
namun lihatlah—
hari ini aku duduk tanpa gemetar.
Pulang,
bukan lagi perjalanan yang kulalui dengan gentar,
melainkan arah yang perlahan
kupeluk sebagai rumah.
Terima kasih, luka,
karena kau menjelma ruang sunyi
tempat aku akhirnya tumbuh
meski dengan tubuh yang tertatih.
Saat menulis titik terakhir, Lara meletakkan pulpen perlahan.
Ia menatap halaman itu. Tidak sempurna, tapi terasa hidup.
Buku catatan biru langit itu kini telah memiliki isi pertamanya—dan untuk pertama kalinya, bukan tangisan, tapi harapan.
Dan Lara percaya—hidup memang tidak pernah mudah, tapi semua orang pantas mendapatkan akhir yang sempurna.
@pacarmingyuu, ahaha, maaf aku sensi, abisnya komennya menjerumus banget, aku kepikiran punya salah apa, dikomen juga aku jelasin, aku harap aku salah, kalau beneran aku salah, aku minta maaf ya😔😔🙏🩷
Comment on chapter 3 - Aku ingin berubahthank you udah berkenan komen juga, have a great day🩷🙏