Loading...
Logo TinLit
Read Story - Let me be cruel
MENU
About Us  

Beberapa hari setelah Lara sadar dari koma, rumah sakit tak lagi seramai pekan pertama. Lalu-lalang perawat masih terdengar, tapi tidak sesibuk sebelumnya. Kamar rawat Lara kini jauh lebih tenang, hanya suara mesin infus dan detak jantung perlahan dari monitor yang menyatu dengan aroma antiseptik yang menggantung di udara.

Lara duduk bersandar di ranjang, mengenakan kaus putih longgar dan selimut selutut. Rambutnya belum dicuci sepenuhnya, masih kusut di bagian belakang. Pandangannya kerap mengarah ke luar jendela yang memperlihatkan potongan langit dan sebagian pohon flamboyan. Tapi bukan karena ia menikmati pemandangan—hanya karena tak tahu harus menatap ke mana.

Ia belum banyak bicara. Kadang menjawab dengan anggukan, kadang hanya menoleh perlahan. Sesekali Lusi mencoba memancing percakapan, tapi hanya bertemu dinding tipis yang belum bisa ditembus.

“Kalau kamu mau ganti baju, Ibu bisa bantu, ya?”

Lara menoleh, lalu mengangguk sedikit. Tak ada kata. Hanya itu.

Leo duduk di kursi pojok, membaca koran yang sudah dilipat berkali-kali. Tapi ia lebih sering melirik ke arah anak perempuannya.

Sore itu, Luna datang. Mengenakan cardigan biru dan celana jeans, ia membawa sebungkus roti kesukaan Lara. Senyumnya manis, tapi matanya menatap Lara dengan campuran asing—canggung dan khawatir, tapi juga... sejenis rasa terpinggirkan.

“Kak Lara...”

Lara menoleh.

“Lo suka roti ini, kan? Gue bela-belain beli di tempat yang lo suka itu, yang di dekat lampu merah.”

Lara mengangguk. “Makasih,” lirihnya. Suara itu pelan, seperti suara yang terpaksa dipanggil dari tempat jauh.

Luna duduk di kursi sebelah tempat tidur. Ia menggenggam jari-jarinya sendiri. “Lo tidur lama banget tahu gak. Sampai... sampai Ibu masak tiap hari, lho. Biasanya kan cuma hari Minggu.”

Leo tertawa kecil. Lusi hanya menghela napas.

Luna melirik ke arah Ibunya, lalu kembali pada Lara. “Kayaknya sekarang semua orang perhatian banget, ya. Biasanya kan gue yang dibawain buah sama Ayah,” ucapnya sambil tersenyum. Tapi senyum itu tidak sampai ke matanya.

Lusi menoleh. “Luna...”

“Luna cuma bercanda, Bu,” potong Luna cepat. Tapi ia berdiri tak lama setelah itu, berpamitan sebentar, lalu keluar lebih cepat dari seharusnya.

Lara menatap pintu yang tertutup. Ada sesuatu di wajahnya. Bukan sedih. Bukan marah. Hanya kosong—seperti benang kusut yang bahkan ia tak tahu harus ditarik dari mana.

****

Malam itu, saat Lara tertidur, Lusi membereskan tas tangan yang beberapa hari ini tak ia sentuh. Di dalamnya, terselip sebuah buku catatan kecil—sampulnya lusuh, pinggirannya tertekuk, dan ada bekas tinta bocor di sudut kiri.

Itu buku catatan bersampul cokelat lusuh yang sempat terlupakan. Dulu, Sera yang memberikannya—di hari saat Lusi menjemput Lara pulang sekolah. Waktu itu, Lara melengos, berjalan cepat ke arah halte, tak menunggu seperti biasanya. Sera hanya menyelipkan buku itu ke tangan Lusi, tanpa banyak penjelasan, hanya berkata bahwa sebelumnya Lara menjatuhkannya.

Waktu itu, Lusi sempat membaca halaman pertamanya, kemudian menutup buku itu dengan kasar. Ia merasa dituduh, disalahkan oleh anaknya sendiri. Ia marah—bukan hanya pada Lara, tapi pada dirinya sendiri yang tak tahu harus merasa apa. Ia mengira anaknya sedang mencari perhatian. Ia menganggap tulisan-tulisan itu berlebihan, dramatik, dan tak pantas ditulis oleh anak yang masih diberi makan, tempat tinggal, dan sekolah.

Isi buku itu bukan sekadar catatan harian biasa. Halaman-halamannya dipenuhi dengan tulisan tangan rapi yang berubah-ubah ukuran, seperti ditulis dalam keadaan emosi yang berbeda-beda. Ada puisi-puisi pendek yang berbicara tentang sepi, tentang langit yang tidak menjawab, tentang kamar gelap yang dinginnya bukan hanya dari udara dan juga tentang keinginannya untuk menjadi jahat.

Ada juga potongan kalimat seperti penggalan surat, tapi tak pernah ditujukan pada siapa pun secara langsung. Hanya ditulis, lalu dibiarkan begitu saja.

Kini, rumah sakit sudah sunyi. Lara sedang tidur setelah jadwal fisioterapi sore tadi. Leo terlelap di kursi sebelah tempat tidur putrinya. Di luar hujan turun pelan, mengetuk jendela dengan irama yang nyaris menyedihkan. Lusi duduk sendirian di ruang tunggu yang gelap setengah, dan di pangkuannya... buku itu. Ia menemukannya tadi siang saat mencari tisu di tas lama yang sempat ia bawa dua minggu lalu.

Tangannya gemetar saat membuka halaman-halaman itu. Ia takut, tapi kali ini ia tidak menolak rasa takut itu. Ia menahan napas dan mulai membaca. Perlahan. Satu kalimat ke kalimat berikutnya.

Hari ini aku pulang lebih awal, tapi nggak ada yang sadar. Rumah ramai, tapi rasanya seperti kosong. Aku ingin bilang aku capek, tapi entah kenapa, lidahku seperti patah.

Lusi menelan ludah. Ia ingat hari itu. Hari saat ia dan Leo sibuk menyambut tamu dinas, dan Lara pulang lebih cepat karena kelas kosong. Ia memang tak menyadarinya.

Aku waktu dengar Ibu cerita ke temen-temen aku, katanya aku nggak seperti Luna. Luna ceria, pintar, gampang akrab, Luna itu cantik dan pintar merawat diri, tak sepertiku. Aku memang merasa aku menyebalkan. Tapi aku tahu Ibu nggak bilang itu buat nyakitin aku. Tapi tetap aja rasanya sakit.

Lusi berhenti membaca. Kepalanya tertunduk. Jantungnya berdetak keras di dalam dada. Ia tahu percakapan itu, ketika di ruang tengah, saat ia dan Luna baru pulang berbelanja. Begitu ia melihat Lara dan teman-temannya sedang mengerjakan PR, ia langsung menghampiri dan menyombongkan Luna. 

Tapi bagaimana anak ini bisa berfikir ia tak sengaja—benarkah begitu? Tapi Lusi yakin kata-katanya terlalu tajam dan menancap.

Ia membalik halaman. Air mata mulai mengaburkan pandangannya.

Aku suka lihat Luna dipeluk. Dipanggil “sayang”. Aku juga pengin. Tapi aku takut kalau minta, takut dikira manja.

Terkadang aku mikir, kalau aku gak jadi Kakak, aku bisa disayang seperti Luna dan Satya, gak ya.

Apa aku harus jadi jahat dulu ya? Mungkin setelah itu mereka akhirnya mau melihat aku.

Tangis Lusi pecah, tapi tak bersuara. Ia tekan bibirnya agar tak mengeluarkan bunyi. Tangannya menggenggam ujung buku erat-erat, seolah rasa sakit di ujung jari bisa mengalihkan luka yang menyayat dari dalam.

Ia membaca terus, halaman demi halaman. Tentang hari-hari saat Lara merasa tak diinginkan. Tentang perasaan menjadi bayangan, menjadi “anak pertama” yang tak pernah benar-benar diharapkan. Tentang malam-malam gelap di balik selimut, saat Lara merasa ia tidak cukup apa-apa untuk dicintai.

Dan pada satu halaman, ada satu tulisan kecil, nyaris seperti bisikan:

Tapi aku masih pengin hidup. Masih pengin diperhatikan. Masih pengin tahu rasanya dicintai karena aku... aku percaya itu.

Lusi membekap wajahnya. Ia merasa kotor. Rusak. Seperti telah menelantarkan sesuatu yang rapuh selama ini dan baru sadar saat semuanya hampir hancur. Ia ingin kembali ke hari saat Lara duduk diam di meja makan, memandangi nasi tanpa bicara. Ia ingin menyentuh bahu itu dan bertanya, “Ada apa?”—tapi tak bisa. Tak ada waktu mesin waktu.

Di ruang sebelah, Lara masih tertidur. Napasnya lembut, dadanya naik turun pelan. Di wajah pucatnya masih tampak garis-garis luka yang belum sepenuhnya sembuh. Dan meskipun matanya sudah bisa terbuka, Lusi tahu, putrinya belum sepenuhnya kembali.

Belum. Tapi ia akan menunggu. Dengan sabar.

Karena sekarang ia tahu, Lara tidak berlebihan. Lara tidak ingin jadi jahat, seperti tulisannya yang ia baca, Lara hanya ingin perhatian. Lara hanya ingin dicintai. Dan kali ini, Lusi akan mendengarkan—tanpa marah, tanpa menyangkal, tanpa memotong cerita. Ia akan belajar mencintai dari awal.

Satu halaman, satu pelukan, satu langkah kecil.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Lusi merasa ingin menjadi Ibu. Bukan hanya orang tua. Tapi Ibu—yang hadir, yang mendengar, yang menyembuhkan.

Lusi menutup buku itu. Ia menatap wajah Lara yang tertidur lemah. Ada bekas luka di kening anak itu, dan pipinya masih pucat.

“Ibu minta maaf,” bisiknya, terlalu pelan untuk didengar siapa pun. “Maaf.”

*****

Keesokan harinya, Satya datang menjinjing ransel merah bergambar robot. Ia masuk dengan langkah kecil, lalu langsung naik ke kursi samping ranjang.

“Kak Lara...”

Lara membuka mata, menoleh.

“Aku kangen belajar bareng. Di rumah, nggak ada yang ngerti matematika sepinter Kakak.”

Lara tersenyum. Tipis. Tapi kali ini, senyum itu sampai ke matanya.

“Kakak juga kangen, Satya,” suaranya pelan, tapi lebih nyata dari hari sebelumnya.

Satya tertawa kecil, lalu mengeluarkan pensil dan kertas. “Kalau Kakak udah sembuh, ajarin lagi, ya?”

Lara mengangguk. “Iya.”

Dari kejauhan, Sera berdiri di ambang pintu. Ia tak masuk, hanya menatap dari balik tirai, matanya berembun. Ia tahu luka itu belum sembuh. Tapi ia juga tahu, hari ini, Lara tersenyum.

Dan itu cukup.

Untuk hari ini, itu cukup.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (20)
  • yourassiee

    @pacarmingyuu, ahaha, maaf aku sensi, abisnya komennya menjerumus banget, aku kepikiran punya salah apa, dikomen juga aku jelasin, aku harap aku salah, kalau beneran aku salah, aku minta maaf ya😔😔🙏🩷

    thank you udah berkenan komen juga, have a great day🩷🙏

    Comment on chapter 3 - Aku ingin berubah
  • pacarmingyuu

    Ka aku komen tokoh cerita kmu 😂
    kmu ada mslah personalkah?

    Comment on chapter 3 - Aku ingin berubah
  • desitananand

    yg aku suka dari cerita ini tuh karena banyak puisinya😭🫶🫶

    Comment on chapter 14 - Semakin tak tahu arah
  • auraangela

    jujur di chapter ini aku kecewa sama sera, udah tau sahabatnya lagi dituduh gak bener, dia gak tegas:( ya i know sera tuh emng pemalu kalau gak sama lara, tapi plis lah Ser, u kan udh di bantu di kehidupan sekolah u sama si Lara

    Comment on chapter 13 - Aku yang kembali salah
  • alunannada

    chap ini campur aduk, ada kasian ama lara, ada gemesnya juga mereka tiba2 bareng gitu😭🙏

    Comment on chapter 12 - Tak sengaja dekat
  • jelitamyname

    kadang aku ngerasa ayahnya lara tuh mencurigakan banget, tiba2 perhatian, tiba2 engga, kaya ada yg disembunyiin, apa perasaan ak aja?

    Comment on chapter 7 - Mencoba bertahan
  • naylaagrtina

    ternyata ada ya orang yang hidupnya tuh bergantung ke puisi, tepatnya puisi yg selamatin dia dari kejamnya dunia, ya walau hanya lewat kata, good job for u ya lar😣😣

    Comment on chapter 4 - Puisi penyelamat
  • claudiannsstty

    "Aku ingin jadi luka, yang terluka tanpa harus ditertawakan" IHHH KENA ULU HATI BANGETT!!😭😭😭

    Comment on chapter 9 - Luka yang tak diakui
  • yuyuyun

    sabar ya laraa... walau keluarga kamu gak peduli sama kamu, kita peduli kok^^ sumpahh dari namanya aja udah penuh lara banget ya thor T-T

    Comment on chapter 1 - Anak baik
  • lovitattaaa

    ihh chapter terngeselinnnnnn!!!

    Comment on chapter 13 - Aku yang kembali salah
Similar Tags
Di Antara Luka dan Mimpi
572      335     52     
Inspirational
Aira tidak pernah mengira bahwa langkah kecilnya ke dalam dunia pondok akan membuka pintu menuju mimpi yang penuh luka dan luka yang menyimpan mimpi. Ia hanya ingin belajar menggapai mimpi dan tumbuh, namun di perjalanan mengejar mimpi itu ia di uji dengan rasa sakit yang perlahan merampas warna dari pandangannya dan menghapus sebagian ingatannya. Hari-harinya dilalui dengan tubuh yang lemah dan ...
Chapter Dua – Puluh
3663      1508     3     
Romance
Ini bukan aku! Seorang "aku" tidak pernah tunduk pada emosi. Lagipula, apa - apaan sensasi berdebar dan perut bergejolak ini. Semuanya sangat mengganggu dan sangat tidak masuk akal. Sungguh, semua ini hanya karena mata yang selalu bertemu? Lagipula, ada apa dengan otakku? Hei, aku! Tidak ada satupun kata terlontar. Hanya saling bertukar tatap dan bagaimana bisa kalian berdua mengerti harus ap...
Diary of Rana
183      155     1     
Fan Fiction
“Broken home isn’t broken kids.” Kalimat itulah yang akhirnya mengubah hidup Nara, seorang remaja SMA yang tumbuh di tengah kehancuran rumah tangga orang tuanya. Tiap malam, ia harus mendengar teriakan dan pecahan benda-benda di dalam rumah yang dulu terasa hangat. Tak ada tempat aman selain sebuah buku diary yang ia jadikan tempat untuk melarikan segala rasa: kecewa, takut, marah. Hidu...
Langkah Pulang
356      266     7     
Inspirational
Karina terbiasa menyenangkan semua orangkecuali dirinya sendiri. Terkurung dalam ambisi keluarga dan bayang-bayang masa lalu, ia terjatuh dalam cinta yang salah dan kehilangan arah. Saat semuanya runtuh, ia memilih pergi bukan untuk lari, tapi untuk mencari. Di kota yang asing, dengan hati yang rapuh, Karina menemukan cahaya. Bukan dari orang lain, tapi dari dalam dirinya sendiri. Dan dari Tuh...
UNTAIAN ANGAN-ANGAN
268      235     0     
Romance
“Mimpi ya lo, mau jadian sama cowok ganteng yang dipuja-puja seluruh sekolah gitu?!” Alvi memandangi lantai lapangan. Tangannya gemetaran. Dalam diamnya dia berpikir… “Iya ya… coba aja badan gue kurus kayak dia…” “Coba aja senyum gue manis kayak dia… pasti…” “Kalo muka gue cantik gue mungkin bisa…” Suara pantulan bola basket berbunyi keras di belakangnya. ...
Kertas Remuk
103      85     0     
Non Fiction
Tata bukan perempuan istimewa. Tata nya manusia biasa yang banyak salah dalam langkah dan tindakannya. Tata hanya perempuan berjiwa rapuh yang seringkali digoda oleh bencana. Dia bernama Tata, yang tidak ingin diperjelas siapa nama lengkapnya. Dia hanya ingin kehidupan yang seimbang dan selaras sebagaimana mestinya. Tata bukan tak mampu untuk melangkah lebih maju, namun alur cerita itulah yang me...
Tanda Tanya
432      313     3     
Humor
Keanehan pada diri Kak Azka menimbulkan tanda tanya pada benak Dira. Namun tanda tanya pada wajah Dira lah yang menimbulkan keanehan pada sikap Kak Azka. Sebuah kisah tentang kebingungan antara kakak beradik berwajah mirip.
Laut dan Mereka
195      126     0     
Fan Fiction
"Bukankah tuhan tidak adil, bagaimana bisa tuhan merampas kebahagiaanku dan meninggal kan diriku sendiri di sini bersama dengan laut." Kata Karalyn yang sedang putus asa. Karalyn adalah salah satu korban dari kecelakaan pesawat dan bisa dibilang dia satu satunya orang yang selamat dari kecelakaan tersebut. Pesawat tersebut terjatuh di atas laut di malam yang gelap, dan hampir sehari lamanya Ka...
Psikiater-psikiater di Dunia Skizofrenia
994      637     0     
Inspirational
Sejak tahun 1998, Bianglala didiagnosa skizofrenia. Saat itu terjadi pada awal ia masuk kuliah. Akibatnya, ia harus minum obat setiap hari yang sering membuatnya mengantuk walaupun tak jarang, ia membuang obat-obatan itu dengan cara-cara yang kreatif. Karena obat-obatan yang tidak diminum, ia sempat beberapa kali masuk RSJ. Di tengah perjuangan Bianglala bergulat dengan skizofrenia, ia berhas...
Because Love Un Expected
11      10     0     
Romance
Terkadang perpisahan datang bukan sebagai bentuk ujian dari Tuhan. Tetapi, perpisahan bisa jadi datang sebagai bentuk hadiah agar kamu lebih menghargai dirimu sendiri.