Beberapa bulan setelah proses pemulihan selesai, Lara akhirnya kembali ke sekolah. Tak ada sambutan khusus, tak ada sorak-sorai di gerbang sekolah. Tapi bagi Lara, setiap langkah yang ia ambil terasa seperti menjejak tanah yang baru—dengan tubuh yang sama, namun hati yang belum sepenuhnya pulih.
Ia duduk di bangkunya seperti biasa, namun lebih sering diam. Suara lonceng, celoteh teman-teman, bahkan gurauan guru terasa seperti gema yang datang dari kejauhan. Dunia seolah bergerak lebih cepat dari dirinya, meninggalkan bagian dirinya yang tertinggal di tempat tidur rumah sakit.
Sera tetap setia di sampingnya, seperti jangkar yang menjaga Lara agar tidak hanyut terlalu jauh. Obrolan ringan yang dilontarkan Sera—tentang guru baru yang cerewet, soal cuaca yang bikin malas mandi, hingga kabar remeh-temeh soal kakak kelas yang putus cinta—mengalir lembut, seperti mantra. Aneh, karena bagi Lara, kata-kata itu sering kali membuat matanya berat. Mengantuk, tapi juga hangat.
Yang paling mengejutkan adalah perubahan dari Zea dan gengnya.
Dulu, mereka adalah badai kecil yang mewarnai sekolah: ramai, berisik, dan sering sembrono. Mereka tak pernah benar-benar membenci Lara, tapi mereka tahu cara memanfaatkan kelembutannya. Mereka tahu Lara sulit berkata tidak. Mereka tahu Lara akan tetap meminjamkan catatan meski tubuhnya lelah, akan tetap ikut nongkrong meski ingin pulang cepat, akan tetap tersenyum meski pikirannya keruh.
Tapi setelah insiden itu—saat Lara sempat nyaris tak kembali—sesuatu dalam diri mereka berubah.
Mereka mulai mendekat, perlahan-lahan. Bukan dengan permintaan maaf dramatis atau air mata sesal, tapi lewat perhatian kecil. Zea yang diam-diam menjemput Lara di gerbang sekolah. Kesya yang membawakan bolu kukus buatan ibunya. Citra yang sesekali membantu mengangkat tas bukunya. Hal-hal sederhana, tapi bermakna.
Mereka masih tetap Zea, Citra, dan Kesya yang sama—cerewet, penuh komentar sarkas, dan kadang masih terlalu spontan. Tapi kini mereka lebih hati-hati. Lebih mendengar. Dan untuk pertama kalinya, Lara tidak merasa dimanfaatkan.
Meski begitu, ada ruang dalam dirinya yang belum terisi. Rasa hangat yang ia rasakan tak cukup untuk menghilangkan satu sisi hampa dalam dirinya—kerinduan pada sesuatu yang bahkan ia sendiri tak tahu apa.
Pagi itu, mereka duduk di kantin. Lara melamun, matanya kosong menatap jendela.
“Lara, jangan ngelamun terus dong,” kata Sera sambil menyodorkan sebungkus roti. “Ini dimakan. Aku bangun pagi-pagi buat kamu loh.”
“Iya ya,” timpal Zea. “Lo kok bangun dari koma malah makin pendiem sih? Kan gak tega gue.”
Lara mengedip pelan. “Waktu aku koma, aku kayak… ketemu bintang.”
Mereka serempak menoleh.
“Apa? Bintang?” tanya Sera dengan alis terangkat.
Lara mengangguk. “Iya. Bintang itu awalnya berwarna kuning kayak yang kita tahu. Besar banget. Terus dia deketin aku… dan berubah jadi perempuan bercahaya. Dia meluk aku.”
Citra dan yang lain langsung diam, mendengarkan.
“Terus-terus?” tanya Citra penasaran.
“Dia bilang, aku tuh gak sepenuhnya jahat. Gak sepenuhnya benci dunia. Katanya aku cuma… lelah. Cuma pengen nyari bahagia.”
Kesya mengerutkan kening. “Maksudnya apa sih? Aneh banget.”
Lara menunduk sejenak, lalu menatap mereka. “Menurut kalian… aku jahat gak?”
“Iya,” jawab Citra tanpa ragu.
“Eh, kok iya?” protes Zea cepat.
Citra mendesah. “Iya. Waktu lo terlalu nurutin kita. Waktu lo bela-belain minjemin uang buat Kesya padahal lo sendiri lagi gak punya. Gue tahu anak ini emang ngeselin,” ia melirik Kesya, “Tapi lo bisa nolak. Tapi lo gak nolak. Jadi, menurut gue, lo pernah jadi versi jahat—tapi jahat ke diri lo sendiri.”
Semua terdiam. Kata-kata Citra meluncur jujur, tanpa dibungkus basa-basi.
Lara akhirnya berkata pelan, “Kalau ke orang lain gimana?”
Zea mengangkat alis. “Waktu lo milih nyendiri, dan ninggalin Sera sendirian… sampe Sera nangis mulu. Itu sih, jahatnya.”
Mereka tertawa kecil, kecanggungan yang berubah jadi kehangatan.
Lara tersenyum lalu memeluk Sera erat. “Aduh, temanku tersayang. Maafin aku ya.”
Sera memeluk balik, suaranya parau. “Udah… udah kok. Yang penting kamu bangun! Uh, Laraku.”
Tawa kecil kembali mengisi udara. Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama, Lara merasa seperti bagian dari dunia ini lagi. Mungkin belum sepenuhnya utuh. Tapi cukup… untuk hari ini.
*****
Bau wangi kue pandan menyebar dari dapur, memenuhi seisi rumah. Lara berdiri di depan meja dapur, menggulung lengan bajunya sambil memandangi loyang yang baru keluar dari oven.
Lusi berdiri di sampingnya, sedang mengolesi permukaan kue dengan mentega cair. “Udah, Lara. Kamu duduk aja. Bersantai kayak Luna, tuh.”
Lara tersenyum kecil. “Aku gak enak, Bu. Lagian tangan aku masih bisa dipakai.”
Ibunya melirik, wajahnya tak sekaku dulu. “Bukan soal bisa atau enggak, tapi kamu baru aja mulai pulih. Gak usah maksa, ya?”
Lara mengangguk pelan, tapi tidak langsung pergi. Ia tetap berdiri, menonton tangan Ibunya bergerak lincah seperti biasa. Dulu, momen seperti ini terasa asing. Tapi sekarang... ia justru ingin lama-lama di sini.
Tak lama kemudian, suara langkah terdengar dari arah tangga.
Luna masuk ke dapur dengan hoodie kebesarannya, rambutnya dikuncir seadanya. Ia menatap mereka sebentar, lalu duduk di kursi makan tanpa berkata apa-apa.
Ibunya mengambil dua potong kue dari loyang yang masih hangat, meletakkannya di piring kecil. Tanpa banyak basa-basi, ia menyodorkannya ke arah Lara.
“Ini, coba dulu. Masih agak panas sih, tapi biasanya kamu suka yang baru keluar oven.”
Lara tampak terkejut, tapi langsung menerima. “Makasih, Bu.”
Luna menoleh sedikit, matanya tak lepas dari gerakan itu. Biasanya, Ibu yang selalu menyodorkan kue pertama ke dirinya. Bukan karena ia meminta, tapi karena sudah terbiasa begitu. Kini, piring pertama berpindah arah. Dan meski ia tak berkata apa-apa, ada sesuatu yang bergerak perlahan di dadanya—kecil, tajam, dan menggigit.
Ibunya kembali ke loyang dan mengiris potongan kedua. “Luna, kamu juga mau?”
Luna tersenyum tipis. “Gak, udah kenyang.”
Ibu tak memaksa. Lara menatap Luna sekilas, ada rasa bersalah samar di wajahnya. Tapi Luna cepat-cepat mengalihkan pandangannya.
Suasana dapur jadi hening untuk beberapa detik, hanya disela suara sendok menyentuh piring.
“Aku tadi ngobrol lumayan banyak di sekolah,” kata Lara pelan, lebih pada ingin mencairkan suasana.
“Oh ya?” tanya Ibu sambil terus mengiris kue.
Lara mengangguk. “Bu Meri bilang ke Ibu, ya?”
Ibu tertawa kecil. “Iya, katanya kamu udah mulai balik bercanda sama teman. Ibu senang dengernya. Sedikit-sedikit, tapi kamu udah mau jalan lagi.”
Lara menunduk, tersenyum kecil.
Di seberang meja, Luna masih diam. Matanya menatap ke arah luar jendela, tapi telinganya tak lepas dari percakapan itu. Ia menggigit bibirnya pelan. Dulu, hanya dia yang membuat Ibu tertawa begitu. Hanya dia yang tahu sering bercerita ke Ibu. Hanya dia yang jadi ‘anak kesayangan’ Ibunya. Dan sekarang… sesuatu dalam rumah ini mulai bergeser.
Lara menatap kakaknya. “Luna… mau coba kuenya bareng?”
Luna menoleh perlahan. Sejenak, wajahnya seolah tak menunjukkan apa-apa. Tapi senyum yang akhirnya muncul tak benar-benar sampai ke matanya.
“Enggak, makan aja. Lo kan sekarang kesayangan Ibu,” katanya setengah bercanda, tapi nadanya menyisakan sembilu.
Lara terdiam. Ibu juga.
Kue pandan yang wangi itu, mendadak terasa pahit di mulut.
Tak lama setelah percakapan di dapur yang terasa menggantung, suara gerbang depan terbuka. Disusul derap langkah yang dikenal semua orang di rumah itu.
“Ayah pulang!” seru Satya, langsung melompat dari sofa.
Ayah masuk sambil mengangkat sebuah kantong belanja. Wajahnya cerah, penuh semangat seperti biasa. “Ayo, ayo, siapa yang hari ini dapat hadiah?”
Satya langsung menyerbu lebih dulu. “Aku! Aku rajin ngerjain PR!”
Ayah tertawa dan mengeluarkan sebuah kotak kecil dari kantong. “Tuh, robot baru buat Satya. Bisa jalan dan bersuara.”
“Yeay! Makasih, Yah!” Satya langsung sibuk dengan mainannya, duduk di lantai ruang tamu.
Lalu ayah mengeluarkan benda kedua: sebuah dress warna pink pastel, mengembang, dengan bordir bunga halus di ujung rok. Lara mematung.
“Untuk Lara. Karena kamu udah kuat, dan sekarang udah bisa sekolah lagi.”
Leo menyerahkannya dengan senyum bangga.
Lara menerima dress itu dengan kedua tangan. “Makasih, Yah...”
Dan terakhir, Ayahnya mengeluarkan satu bungkus pewarna kain berwarna dasar merah, hijau, dan biru, lalu menyodorkannya pada Luna. “Ini buat kamu, bisa buat tugas gambar atau proyek seni di sekolah, ya.”
Luna menatap bungkus itu. Tidak berkata apa-apa untuk beberapa detik. Lalu bibirnya mengerucut.
“Ih Ayah, kok aku cuma dikasih ini?”
Ayah terdiam sejenak, kemudian menjawab, “Luna, kan itu bisa buat gambar di sekolah.”
Luna menggenggam bungkus itu erat. “Aku juga mau dress cantik kayak Kak Lara! Kenapa sih kalian ke Kak Lara terus? Apa aku harus sakit juga biar kalian perhatian lagi ke Luna?”
Seketika udara di ruang tamu membeku.
Ayahnya mengangkat suaranya. “Luna!”
Nada itu membuat Satya berhenti memainkan robotnya, dan Lara mendongak perlahan.
“Dari kecil kan hadiahnya selalu buat kamu. Sekarang gantian, untuk Kak Lara, ya? Besok Ayah bawain kamu dress yang bagus lagi.”
Luna diam. Tapi wajahnya jelas-jelas menunjukkan kecewa yang tak bisa ia sembunyikan. Ia berbalik cepat, lalu berjalan menuju tangga tanpa sepatah kata pun.
Langkah kakinya cepat, nyaris menghentak. Pintu kamar tertutup dengan suara lembut tapi tetap terdengar penuh makna.
Lara memeluk dress pink itu di pelukannya. Matanya menatap tangga yang kini kosong.
“Ibu…” katanya pelan, “...boleh nanti dress ini dikasih ke Luna aja?”
Ibu menoleh. “Lara, itu buat kamu.”
“Aku tahu. Tapi... dia kelihatan sedih banget.”
Ibu menarik napas panjang. “Dia hanya kaget. Biasa jadi pusat perhatian, sekarang harus berbagi. Tapi kamu gak perlu nyalahin diri sendiri, ya?”
Lara mengangguk, tapi hatinya tetap berat. Bukan karena tak suka diberi hadiah. Tapi karena tahu—di balik pewarna kain dan dress pink, ada luka kecil yang mulai tumbuh diam-diam.
Dan mungkin, luka itu milik Luna.
@pacarmingyuu, ahaha, maaf aku sensi, abisnya komennya menjerumus banget, aku kepikiran punya salah apa, dikomen juga aku jelasin, aku harap aku salah, kalau beneran aku salah, aku minta maaf ya😔😔🙏🩷
Comment on chapter 3 - Aku ingin berubahthank you udah berkenan komen juga, have a great day🩷🙏