Pagi ini cuaca cerah, burung-burung berkicau amat merdu. Seorang gadis tunanetra yang memiliki wajah cantik, ia berjalan menuruni anak tangga rumahnya dengan bantuan tongkat agar tidak jatuh. Ia berjalan kearah meja makan, memperlihatkan anggota keluarganya yang sudah berkumpul disana.
"Pagi ma, pagi pa, pagi bang" Alva, gadis tunanetra itu menyapa keluarganya.
"Hm," hanya itu balasan yang ia dengar dari ibunya.
"Alva, hari ini kami semua mau pergi ke puncak, dan bi Ijah ikut. Kamu sendiri di rumah, jaga rumah. Awas kamu bikin kekacauan." Hendrik, ayahnya Alva.
"Alva gak diajak, pa?" Alva memberanikan diri untuk bertanya, padahal ia sudah tahu jawabannya.
"Aduh Alva, lo tuh bego atau gimana sih? Siapa yang mau nahan malu, ngajak orang buta kaya lo!?" Aksa, abangnya Alva.
Alva menarik sudut bibirnya, ia sudah tahu jawabannya. Ia kembali mengaduk makanannya yang sudah di tiang bi Ijah ke piringnya.
"Pa, nanti mama mau mampir ke toko kue langganan kita dulu ya, mau beli kue untuk kita di puncak."
"Oke, ma,"
"Aku ntar ikut mama ke toko kue, mau ikut pilih kuenya." ujar Aksa.
"Boleh dong sayang,"
Alva hanya mendengarkan percakapan orang tua dan abangnya. Mungkin mereka berada di atap yang sama, namun keberadaannya tak dianggap.
"Ma, pa, kalian pergi berapa hari?" tanya Alva.
"Satu Minggu," jawab Vania, mamanya Alva.
"Hum, aku ditinggali uang berapa ma? Untuk aku makan satu minggu." tanya Alva.
"Dua puluh ribu, cukup?" Hendrik yang menjawab.
"Hah?"
"Apa? Mau protes? Masih untung saya kasih uang, daripada enggak saya kasih sama sekali." ujar Hendrik.
"Oke, pa," Alva hanya pasrah.
Aksa tertawa, sedetik kemudian ia menghentikan tawanya. "Ngapain dikasih sih pa? Mending untuk kita di puncak uangnya." ujar Aksa.
"Bang, kalau aku gak dikasih uang, aku makan apa seminggu kalian pergi?" ujar Alva.
"Makan kertas-kertas tulisan lo yang enggak jelas itu." jawab Aksa dan membuatnya kedua orang tuanya tertawa.
"Abang kenapa sih selalu bawa-bawa tulisan aku? Abang selalu remehin aku seakan aku enggak bisa jadi seorang penulis?"
Tawa Aksa kembali pecah mendengar ucapan Alva. "Penulis apa sih? Novel? Film?" ujar Aksa. "Mata lo aja buta, gimana caranya lo bisa jadi penulis, Alva Zea Razeta?"
Air mata mengalir begitu saja membasahi pipi Alva. "Aku juga enggak mau kaya gini, bang. Aku lahir normal, kecelakaan itu yang buat aku seperti ini." Alva menunduk menyembunyikan wajah sedihnya.
"Tapi kan sekarang kenyataannya, lo.." Aksa menjeda ucapan. "Buta." Aksa menekankan perkataannya. Saat setelahnya Aksa dan kedua orang tuanya tertawa tak memperdulikan perasaan Alva.
Alva tersenyum miris, ia memilih lanjut makan daripada meladeni abangnya dan membuat hatinya semakin sakit. Alva menikmati makanannya, ia makan dengan tenang sambil mendengar celotehan orang tua dan abangnya.
Beberapa menit kemudian, mereka selesai makan. "Bi, beresin ini semua, abis itu kita berangkat. Kalau kesiangan jalan macet." ujar Vania.
"Baik, nyonya." sahut bi Ijah.
"Alva, ini uang untukmu. Inget, jaga rumah dan jangan buat kekacauan!" ujar Hendrik.
Alva menyambut dan meraba uang pemberian ayahnya. "Oke, pa," Alva langsung menggenggam uangnya.
***
Di teras rumah, orang tua dan abangnya Alva sudah siap dengan barang-barang di bagasi mobil. "Alva, kami berangkat dulu ya. Kamu jaga rumah." ujar Vania.
"Oke, ma, hati-hati ya."
Tak lupa ia salim dengan kedua orang tuanya, walaupun ia dibenci orang tuanya, tapi ia tetap menghormati mereka. "Inget ya Alva, jangan buat kekacauan." ujar Hendrik.
"Iya, pa,"
Alva juga tak lupa salim dengan bi Ijah. "Hati-hati ya bi,"
Bi Ijah memeluk Alva dan menyelipkan uang ke tangan Alva. "Untuk makan non Alva, dua puluh ribu mana cukup, jangan bilang tuan sama nyonya ya, non." Bi Ijah membisikkan sesuatu ke Alva.
Alva menggenggam uang dari bi Ijah, seenggaknya ia masih punya bi Ijah yang menyayanginya. Bi Ijah mencium kening Alva. "Bibi berangkat dulu ya, non."
"Bibi ayo, ngapain sih lama bener?" teriak Aksa dari dalam mobil.
"Iya, den," bi Ijah berjalan masuk ke mobil, dan mobil mulai jalan meninggalkan perkarangan rumah.
Alva berbalik untuk kembali ke kamarnya, sungguh perasaan tidak karuan sekarang.
"ALVA." teriak seorang gadis memanggil namanya.
Alva tahu betul siapa pemilik suara tersebut. "Alva, gw kangen banget sama lo!" Gadis itu langsung memeluk Alva.
"Udah balik ya? Gimana tesnya? Lancar?" tanya Alva pada sahabat.
"Gila gw gila. Snbt bikin kepala gw mau pecah tau gak? Lo tahu? Literasi bahasa Indonesia, masa ada fisika sama kimianya. Mana banyak yang curang, soalnya bocor pula, gw hari pertama utbk gak ikhlas sumpah." Zyfa Frederica Xabella, sahabat Alva. Panggil saja Caca.
Alva tertawa karena temannya yang satunya selalu sama, bicara tidak ada jeda sedikitpun. "Kok bisa bahasa Indonesia ada fisika?"
"Gw juga gatau sumpah, yang buat soal ngajak ribut sih kata gw mah." ujar Caca.
"Tapi kamu bisa gak jawabnya?" tanya Caca.
"Pake nanya lagi, ya enggak lah! Orang gw gak belajar fisika kimia sama sekali."
Alva tertawa. "Ya udahlah, banyakin aja doa, biar hoki."
"Ih sumpah ya, gw ini udah gapyear, masa iya ini gak lolos lagi." ujar Caca lagi.
"Insyaallah lolos, yakin aja. Usaha kamu selama ini gak bakal sia-sia, Allah itu baik, Allah gak tidur. Dan yang curang itu pasti dapet karmanya, yang bocorin soal juga dapet karma." ujar Alva.
"Hm, overthinking sebulan nih gw." ucap Caca. "Btw, tadi mobil ortu lo gw lihat jalan dan kayanya rame tuh dalem mobil, mau kemana mereka?"
"Puncak,"
"Terus lo gak ikut?" tanya Caca.
"Enggak diajak," jawab Alva.
"Gila, jahat banget sih mereka. Tapi tenang aja, lo punya gw disini, jangan sedih, okey?" ujar Caca.
"Udah terbiasa, ngapain sedih?"
"Good, jangan sedih pokoknya. Berapa hari mereka pergi?" tanya Caca.
"Seminggu,"
"Tapi ditinggalin duit kan?" tanya Caca.
"Dua puluh ribu," jawab Alva miris.
"DEMI!? GILA KALI ORANG TUA LO! NASI SEBUNGKUS AJA PALING MURAH SEPULUH RIBU, DUA PULUH RIBU DAPET APA, NJIR?" ujar Caca kaget.
"Tapi ini aku di kasih uang sama bi Ijah, gatau berapa." Alva membuka genggaman tangannya yang berisi uang dari bi Ijah.
"Tiga ratus ribu," ujar . "Untung ada bi Ijah ya, dia ngerti uang dua puluh ribu dapet apa. Dan orang tua lo beda banget sama bi Ijah, bi Ijah aja gak sayang uangnya."
"Iya, aku beruntung masih punya bi Ijah, seenggaknya aku masih ada tempat berlindung atau sekedar tempat bercerita." ujar Alva.
"Ini gw gak diajak masuk ni?"
Alva tertawa. "Ayo masuk,"
Caca membantu Alva masuk ke dalam rumah, ia juga tak lupa mengunci pintu rumah Alva. "Kamu tau gak? Ceritaku yang waktu itu udah mau ending tau, kamu mau baca gak?" ujar Alva setelah sampai di kamarnya.
"Bacain, gw gak bisa baca huruf Braille." ujar Caca.
Alva mengambil bukunya yang sudah ia tulis dengan huruf Braille. Namun, tiba-tiba Alva teringat dengan sepucuk surat yang dikasih sosok misterius beberapa hari yang lalu. Alva mengambil kertas tersebut.
"Nanti aja baca ceritanya, ini dulu. Kemaren pas kamu berangkat snbt, aku kan jalan sore-sore, nah sosok misterius itu datang lagi. Kali ini dia kasih kertas ini, ada tulisannya, huruf braille." ujar Alva.
"Maunya apasih sosok itu? Beling, boneka santet, ban mobil, gelang putih, sekarang surat, apasi maunya orang itu?"
"Aku juga gatau, tapi coba deh kamu lihat ini, barangkali kamu tau." ujar Alva lagi.
Caca membuka laci meja Alva, ada pena dan buku di sana. "Lo sebutin, biar gw tulis ulang."
Alva meraba huruf di kertas tersebut. "C E H J Z B spasi N P Q S Z B M O F H spasi S U D F Q S C E F G J L Z B S U spasi J L Z B L N T V." ucap Alva mengeja huruf tersebut.
"CEHJZB NPQSZBMOFH SUDFQSCEFGJLZBSU JLZBLNTV? Maksudnya?" tanya Caca. Ia memandangi huruf-huruf tersebut.
"Nah itu dia, tapi kayanya orang itu cuma iseng deh, kaya sebelum-sebelumnya, dia kirim boneka santet, ban mobil, dan macem-macem itu." ujar Alva.
Caca menutup bukunya acuh. "Maybe,"
Pada akhirnya, mereka memilih mengabaikan kertas itu. "Eh, mana tadi katanya cerita lo dah mau ending, sini gw mau liat, lo bacain tapi ya."
Alva berdiri dengan tumpuan tongkat di tangannya, berjalan menuju rak buku tempat ia menyimpan buku tulisannya. Setelahnya, Alva kembali duduk.
Alva meraba-raba bukunya. "Kemaren udah sampe mana aku cerita?"
"Terakhir tu sebelum gw berangkat tes, itu sampe di cerita si cewek itu periksa ke dokter dan taunya dia kena kanker."
"Oh, udah jauh itu." Kemudian Alva meraba tulisan di bukunya, dan menceritakan isinya pada Caca. Beberapa menit kemudian, Alva selesai menceritakan isi tulisannya yang belum selesai.
"Yah lagi seru itu, kok abis ihh?" ujar Caca kesal.
"Yakan belum ending, nanti ya kalau udah ending aku bacain lagi." ujar Alva.
"Lo nulis itu manual huruf perhuruf ya?" tanya Caca.
"Iya,"
"Kenapa enggak beli mesin tulis khusus huruf Braille?" tanya Caca.
Alva tersenyum. "Mesin itu mahal, aku mana punya uang Ca."
"Kan lo orang kaya."
"Yang kaya itu mama papa aku, kalau kata mereka, aku itu anak sialan yang gak pantes ikut nikmati hasil kerja keras mereka." ujar Alva dan membuat Caca terdiam.
Caca merasa bersalah dan langsung merangkul Alva. "Dah, jangan sedih-sedih. It's okey, gw kan kerja, nanti gw bantu kumpulin uang untuk beli mesin ketik untuk lo, biar tulisan lo makin banyak dan bisa diterbitin atau bahkan di film-in."
Alva tersenyum. "Enggak perlu, uangnya kamu tabung aja untuk pegangan kalau nanti kamu keterima univ top dua itu."
Caca tertawa. "Kecil harapan gw Va, univ pilihan kedua aja belum tentu jebol, apalagi yang top dua. Dah pokoknya nanti gw bakal kumpulin uang untuk beliin lo mesin ketik itu ya, pokoknya lo harus percaya sama gw."
Alva diam tak tahu mau bicara apa, ia bahagia, ia hampir lupa, ia masih punya sahabat bernama Caca yang sangat menyayanginya.
Alva, mama kau telpon. Alva mama kamu telpon. Itu adalah suara dari handphone Caca yang menggunakan fitur talkBack.
"Mama lo telpon tu, Va."
Alva segera mengangkat telpon. "Hallo ma,"
"Hallo, apa ini dengan keluarga ibu Vania?" tanya seseorang dari sebrang sana.
"Benar, saya anak ibu Vania, ini siapa ya? Kenapa hp mama saya ada di kamu?"
"Saya pihak rumah sakit, dari empat korban kecelakaan dengan mobil merah plat B 962, hanya hp ibu Vania yang tidak di kunci dan riwayat panggilan terakhir dari nomor ini."
Seketika jantung Alva serasa berhenti. Air mata lolos begitu saja. "Ke-kecela-kaan?" tanya Alva terbata-bata.
"Benar, sekarang keempat korban sedang mendapatkan penanganan pertama di rumah sakit Putri Tunggal. Diharapkan anda bisa kesini dan menyelesaikan administrasi."
Telpon terputus dari pihak rumah sakit, Alva langsung menangis sejadi-jadinya. Caca sigap memeluk Alva. "Siapa yang kecelakaan, Va?"
Alva tidak menjawab, ia terus menangis di pelukan Caca, dada sesak sekali, sungguh ia takut kehilangan mereka semua. "Va? Siapa yang kecelakaan?"
Caca melepas pelukannya, menatap sahabatnya yang terlihat sangat terluka. "Va?"
"Mama, papa, Abang, sama bi Ijah. Mobil mereka kecelakaan." ucap Alva dan membuat Caca syok.
"Innalilahi, sekarang mereka dimana?"
Alva kesulitan untuk bicara, untuk bernapas pun rasanya sulit. "Ru-rumah sa-kit put-tri tunggal." ucap Alva terbata-bata.
"Ya udah ayo kita kesana sekarang." Caca membantu Alva berdiri, menuntunnya keluar kamar, dan bergegas pergi ke rumah sakit.