Hidup dalam lingkaran cahaya tak selalu berarti bersinar. Begitulah kira-kira cara Yazlyn memaknai hari-harinya kini. Ia adalah wajah sampul majalah remaja yang paling banyak dicari akhir-akhir ini.
Dalam sebulan, ia bisa tampil di dua hingga tiga pemotretan, menghadiri undangan fashion show, dan rutin mengikuti kelas modeling sepulang sekolah. Di balik semua pencapaian itu, Yazlyn mulai kehilangan dirinya sendiri.
Setiap pagi, ia menyusun wajahnya di depan cermin besar di kamar—memastikan tak ada satu pori pun yang terlihat besar, tak satu helai rambut pun yang jatuh sembarangan.
Bunda selalu mengingatkannya, “Wajahmu investasi, Yazlyn. Jangan sembarangan makan, jangan terlalu banyak tertawa, jangan bergaul dengan orang sembarangan!”
Hari itu, sebelum berangkat sekolah, bundanya kembali menegaskan hal yang sama.
“Bunda sudah lihat daftar makananmu minggu ini. Tolong kamu hindari gorengan, minuman manis, dan semua yang mengandung tepung. Kamu harus jaga berat badan. Minggu depan kamu ada pemotretan dengan brand Korea, mereka sangat ketat soal ukuran,” ujar bundanya sembari menyodorkan menu makanan yang hanya terdiri dari jus hijau dan roti gandum kering.
Yazlyn menatap sarapannya dengan pandangan kosong. “Boleh nggak sekali aja, aku makan ayam panggang yang dibuat Mbak Rani kemarin? Aku cium aromanya dari dapur.”
Bunda langsung menoleh tajam. “Yazlyn! Kamu tahu konsekuensinya. Jangan mulai lagi, jaga berat badan. Jangan buat kerja keras kita sia-sia!”
Yazlyn hanya diam. Di matanya tampak awan gelap. Ia menunduk dan menyuap sarapannya perlahan. Rasanya hambar, seperti hidupnya.
Ayahnya, yang duduk di sofa ruang tengah, tak bereaksi. Wajahnya tenggelam di balik koran harian dan kopi hitam. Yazlyn tahu tak ada gunanya bicara pada ayahnya. Ia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri.
Namun tiba-tiba, suara Bunda meninggi, “Kamu nggak pernah bantu aku urus Yazlyn! Semua ini aku yang atur, aku yang pikirin jadwalnya, makanannya, kariernya!”
Ayah menurunkan korannya perlahan. “Aku nggak ikut campur karena kamu selalu merasa paling tahu. Kamu atur semuanya tanpa tanya pendapatku.”
“Karena kalau aku tunggu kamu, anak kita nggak akan sampai di titik ini!”
“Titik apa? Dimatamu aku gak pernah ikut andil apapun?”
Pertengkaran itu menggelinding seperti bola panas. Yazlyn menelan air liurnya. Ia cepat-cepat membawa ranselnya dan pergi ke sekolah tanpa menoleh.
Di sekolah, Yazlyn mencoba tetap jadi dirinya yang 'dikagumi'. Tapi terkadang, ketika ia melihat seorang gadis bermain basket, atau siswa yang tertawa dengan percaya diri, ia merasa sangat iri.
Gadis-gadis itu bebas menjadi apa adanya. Sedangkan ia? Ia terjebak dalam lingkaran popularitas yang penuh topeng.
Saat itu ia melewati aula kecil di belakang kelas. Di sana, ia melihat kerumunan kecil. Suara tawa mencuat.
“Kamu bawa berapa camilan hari ini, Kathlea? Dua atau tiga plastik?”
“Eh, jangan-jangan dia bawa satu dus, buat stok seminggu!”
Tawa membahana. Yazlyn menoleh. Di tengah kerumunan itu, ia melihat Shanum berdiri canggung, mencoba menyembunyikan diri di balik tasnya. Sementara itu, Kathlea tertawa kecil, tertunduk, pura-pura tak terganggu.
Yazlyn hanya diam, akhir-akhir ini ia sering menyaksikan Kathlea yang dikenal dengan gadis gemuk itu menjadi bahan olokan.
Ia menahan diri untuk tidak maju, tidak ingin ikut campur. Tapi ia tak tahu mengapa hatinya terasa sesak melihat itu, padahal bukan urusannya. Tapi pandangan matanya lama tertuju pada wajah Kathlea yang memaksakan senyum.
Saat siang datang langit mulai menggelap oleh awan tipis. Yazlyn sedang duduk di salah satu kursi lapangan basket. Suara sepatu berderit, bola memantul, dan tawa anak-anak basket terdengar jelas. Ia menatap mereka—beberapa siswa berlari, berkeringat, tertawa, bahkan terjatuh sambil saling bantu bangun.
Salah satu dari mereka, seorang gadis dengan rambut dikuncir dua dan jersey hitam, menembak bola dari jarak jauh. Masuk. Teman-temannya bersorak.
Yazlyn menghela napas. Dalam diam, ia membayangkan dirinya di tengah lapangan, mengenakan jersey, melompat, bebas dari beban kamera dan sorotan. Tapi kemudian suara seseorang menyentaknya kembali ke kenyataan.
“Lihat deh, kenapa kamu bengong?” Seorang pria berdiri di belakangnya, tangan menyilang di dada.
“Enggak,” jawab Yazlyn cepat. “Cuma lihat-lihat aja.”
Yazlyn menatap pria itu lekat-lekat, merasa tidak asing.
“Kenapa gak jadi daftar ekstrakurikuler basket? Padahal aku nungguin kamu balik lagi buat isi formulir,” tanya pria sambil mendekat.
“Kamu.."
Pria itu berdeham sembari tersenyum tipis, "Kamu lupa? Aku yang waktu itu jaga stand ekstrakulikuler basket."
Yazlyn langsung ingat siapa pria di hadapannya ini, tapi mengingat kejadian itu Yazlyn jadi teringat bagaimana bunda nya merusak lembar kertas yang berhasil ia dapatkan.
"Oh.. aku baru ingat. Kak Lucas—kan?
Lucas tertawa kecil, "Just call me Lucas," ucapnya.
“Tapi kalau di ingat lucu juga. Cewek model suka basket. Nggak takut hitam?” cibirnya.
Yazlyn memalingkan wajah. “Aku nggak takut apa pun.”
Lucas tertawa kecil. “Yakin?”
Yazlyn hanya diam. Ia tidak mau menjelaskan pada orang-orang yang tak benar-benar ingin mendengarkan.
---
Sore hari hujan turun tak begitu deras, Yazlyn sudah berada di studio kelas modeling yang penuh cermin dan pencahayaan terang, Yazlyn mengganti seragamnya dengan pakaian latihan. Sepatu hak pendek, kaus putih fitted, dan celana bahan warna krem. Tubuhnya sempurna, namun matanya memancarkan lelah yang tak bisa disembunyikan.
Tak lama kemudian, Kathleen masuk—rambutnya tergerai sempurna, wajahnya dilapisi riasan tipis. Ia tersenyum, lalu mendekati Yazlyn dengan langkah percaya diri.
“Kamu cepat hari ini,” sapa Kathleen.
Yazlyn hanya menoleh dan mengangguk kecil. “Kelas mulai jam berapa pun, aku selalu datang tepat waktu.”
“Bagus. Aku suka orang disiplin,” balas Kathleen dengan nada netral.
Tapi Yazlyn tak bisa menahan diri lagi. Yazlyn berdiri di sampingnya, menatap bayangan Kathleen di cermin. “Kamu tahu kan, kalau Kathlea—kembaran kamu—sering diolok-olok sama teman-teman sekolah?”
Kathleen tidak langsung menjawab. Ia mengambil lip balm dari tasnya dan mengoleskannya pelan di bibir.
“Kalau tahu?” jawabnya ringan. “Mereka juga nggak sepenuhnya salah.”
Yazlyn menoleh. “Maksudnya?”
Kathleen terdiam sesaat. Lalu ia mendecak pelan. “Kamu terlalu sensitif, Yazlyn. Itu cuma bercanda.”
“Cuma bercanda?” Yazlyn menatap Kathleen lekat-lekat.
“Kathlea terlalu... lemah. Dia nggak cocok di dunia kita. Dunia yang penuh kepopuleran, kamera, dan perhatian,” kata Kathleen sambil memutar tubuhnya.
“Dia adik kamu,” ucap Yazlyn tegas. “Dia juga manusia. Sama kayak kita. Dia kembaran kamu Kathleen.”
“Dia memang kembaran aku,” Kathleen membetulkan. “Tapi bukan berarti aku harus jadi bodyguard-nya.”
Yazlyn mengepalkan tangan. “Jadi kamu biarkan aja dia terus dipermalukan?”
Kathleen mengangkat alis. “Nggak semua orang lahir buat jadi sorotan, Yazlyn. Dan sayangnya, Kathlea bukan salah satunya.”
Sebelum Yazlyn sempat membalas, pelatih masuk ke studio.
“Siap, girls?” suara pelatih cukup keras. “Hari ini kita latihan runway dan ekspresi mata. Nggak ada yang setengah-setengah."
Para gadis sudah berbaris rapi, bersiap untuk kelas hari ini.
Saat latihan dimulai, Yazlyn dan Kathleen berjalan beriringan di catwalk kecil. Setiap gerakan dipantau pelatih dengan tajam.
“Kamu terlalu kaku, Kathleen. Lembutkan dagu, jangan seperti mau berkelahi,” kritik pelatih.
Kathleen melirik Yazlyn dengan tajam. “Aku cuma ikut alur. Mungkin karena sebelahku terlalu kaku juga.”
Yazlyn berhenti sejenak. “Apa maksud kamu?”
“Kamu terlalu serius, Yazlyn. Dunia modeling itu tentang ‘enjoy the spotlight’, bukan mikirin soal anak-anak cupu yang kena bully,” bisik Kathleen saat mereka bersimpangan di tengah runway.
Yazlyn menahan emosi. Ia tahu Kathleen sedang ingin memprovokasinya dan ia tahu cara menusuk tanpa terlihat kejam.
“Kamu nggak harus kehilangan empati untuk bersinar,” balas Yazlyn lirih.
Kathleen terkekeh. “Dan kamu nggak harus jadi pahlawan untuk merasa berarti.”
Latihan selesai setelah dua jam. Yazlyn keluar dari ruangan lebih dulu, menarik napas dalam-dalam sebelum membuka ponselnya. Tak ada pesan dari Bunda. Tak ada panggilan tak terjawab dari Ayah. Sunyi.
Yazlyn bergegas keluar dari studio modeling setelah kelas nya usai, tapi Yazlyn tidak langsung pulang. Ketika langit mulai memudar, berganti jingga lembut, suara lalu lintas tak terlalu ramai.
Kakinya melangkah menuju sebuah kafe kecil di pojok jalan: Coffee Beans & Calm—tempat yang ia kunjungi diam-diam ketika ingin menghindar dari segalanya.
Bel pintu berdenting saat ia masuk. Aroma kopi hangat dan kayu manis menyambutnya.
“Sendiri?” tanya barista dengan senyum ramah.
Yazlyn hanya mengangguk. “Caramel latte, less sugar.”
Ia memilih duduk di sudut dekat jendela. Saat sedang membuka ponselnya, suara kursi ditarik di seberangnya membuatnya mendongak.
“Boleh duduk?” tanya seorang pria dengan hoodie abu-abu dan rambut acak, matanya hangat.
Yazlyn berkedip. “Lucas?”
Lucas tersenyum kecil. “Kita ketemu lagi. Tadi siang cuma sempat ngobrol sebentar.”
“Dan sekarang kamu tiba-tiba muncul di sini?” Yazlyn menaikkan alisnya, setengah geli.
Lucas mengangkat gelasnya. “Guilty pleasure: latte malam hari. Dan kamu?”
“Guilty life,” gumam Yazlyn pelan sambil tersenyum tipis.
Lucas mencondongkan tubuhnya sedikit. “Kamu oke?”
Yazlyn menghela napas. “Nggak tahu. Terkadang aku bingung... hidup ini seperti pertunjukan yang nggak pernah selesai. Harus sempurna setiap saat. Harus cantik, harus sopan, harus… kelihatan bahagia.”
Lucas menyandarkan punggungnya. “Lingkaran popularitas, right?”
Yazlyn menatapnya. “Kamu nggak ngerti…”
“Tahu nggak,” Lucas menatap meja. “Dulu aku pernah coba ikut audisi jadi bintang iklan. Gagal total. Katanya, mukaku terlalu biasa. Sejak itu, aku sadar… bukan semua orang diciptakan untuk disorot. Tapi bukan berarti yang nggak disorot itu nggak berarti.”
Yazlyn terdiam beberapa detik. “Kamu tahu rasanya ketika semua orang berekspektasi kamu selalu sempurna?”
“Pasti capek.”
“Bukan cuma capek. Tapi kayak... kehilangan arah. Aku bahkan nggak ingat kapan terakhir kali aku tertawa tanpa mikir ‘nanti kerutan muncul’,” ujar Yazlyn, tertawa hambar.
Lucas menatapnya lama, lalu berkata, “Tapi kamu masih punya rasa. Masih bisa mikir soal kebebasan, masih bisa iri lihat anak-anak main basket. Itu tandanya, kamu belum sepenuhnya hilang.”
Yazlyn mendongak, agak terkejut. “Emang nya kamu tahu?”
Lucas mengangguk pelan. “yes, dari lapangan. Kamu kelihatan… pengin ikut main.”
Yazlyn menunduk, lalu tersenyum kecil. “Iya. Basket itu impian masa kecil aku. Tapi sekarang? Aku bahkan nggak boleh lari takut bentuk betis berubah.”
“Kamu tahu,” ujar Lucas sambil menyesap kopinya, “popularitas itu kayak lampu sorot. Menerangi kamu, tapi juga membutakan. Kalau kamu terlalu fokus sama yang disorot, kamu lupa siapa diri kamu dalam gelap.”
Yazlyn terdiam. Kata-kata itu menamparnya, tapi dengan lembut.
Lucas melanjutkan. “Mungkin kamu perlu waktu buat berhenti mikirin dunia luar dan mulai lihat ke dalam. Apa yang benar-benar kamu suka. Bukan yang orang lain suka lihat dari kamu.”
Yazlyn menatap Lucas. Kali ini lebih lama, seolah baru pertama kali benar-benar melihat seseorang setelah sekian lama dikelilingi topeng-topeng.
“Kamu sering ngomong kayak gini ya?” tanya Yazlyn pelan.
Lucas tertawa. “Nggak. Biasanya aku cuma ngomong soal bola, ayam geprek, dan film kartun.”
Yazlyn ikut tertawa. “Thanks, Lucas. Serius.”
Lucas tersenyum. “Kapan pun kamu butuh tempat ngumpet, sini aja. Tapi janji, sekali-kali ajak aku main basket bareng.”
Yazlyn mengangguk pelan. “Deal.”
Menjelang malam tiba suasana hati Yazlyn sedikit menghangat karna obrolan setengah ringan dengan Lucas. Hal itu ampuh mengobati rasa kesepian dan kecewa nya dari suasana rumah yang selalu tidak ramah untuk tempatnya pulang.
---