Kathlea memandangi langit-langit kamarnya yang diredam tirai tebal. Hari telah siang, namun ia belum bangkit dari tempat tidur. Suasana kamarnya sunyi, hanya suara detak jam dinding yang terus berdetak pelan, seolah ikut memahami isi hatinya yang berat.
Ia memeluk lutut di atas kasur, kepalanya bersandar pada dinding. “Kenapa harus seperti ini?” gumamnya lirih.
Hari ini seharusnya jadi hari kedua di sekolah barunya, Elvoreign High School. Tapi Kathlea sengaja tidak masuk. Ia pura-pura sakit, menyembunyikan kenyataan bahwa hatinya tengah terluka. Bukan karena demam atau flu, tapi karena keputusan Daddy dan Mommy yang lebih mendengarkan Kathleen.
Kathleen—si kembaran yang selalu berhasil mendapatkan apa pun yang ia mau. Bahkan untuk hal kecil seperti memilih kelas, orangtua mereka selalu mengabulkan permintaan Kathleen lebih dulu. Katanya agar mereka tidak saling bergantung dan bisa mandiri. Tapi Kathlea tahu, itu hanya cara halus untuk menyenangkan Kathleen seperti biasa.
Hari terus berjalan, hingga senja mulai menuruni langit. Kathlea tak beranjak dari kamar. Ia menolak makan malam, hanya minum segelas susu yang dibawakan asisten rumah tangga. Dalam hati, ia berharap malam ini tidak cepat berlalu. Semakin cepat waktu berlalu, semakin dekat ia pada pagi yang harus dihadapinya.
---
Pagi harinya, alarm belum berbunyi saat Kathlea sudah berdiri di depan cermin. Ia mengenakan seragam Elvoreign lengkap. Rambutnya dikuncir rendah. Wajahnya dirias tipis, cukup untuk menutupi lingkar hitam di bawah matanya.
Ia tidak sarapan, juga tidak pamit. Ia memesan taksi online dan meluncur ke sekolah lebih pagi dari biasanya. Dadanya sesak, tapi ia mencoba menenangkan diri dengan menggenggam tasnya erat-erat.
Setibanya di sekolah, gedung Elvoreign tampak megah seperti istana di negeri dongeng, namun bagi Kathlea pagi itu, gedung itu lebih mirip labirin asing yang dingin dan membingungkan.
Ia menuju meja tata usaha untuk mengambil kunci locker dan mengetahui kelas barunya. Petugas menyerahkan secarik kertas kecil berisi informasi.
Kelas: 10-B | Locker: B-12
Kathlea menatap kertas itu lama. Setelah menghela napas, ia melangkah menuju ruang kelas 10-B. Bel belum berbunyi, sekolah masih sepi, hanya beberapa siswa yang lalu lalang.
Begitu membuka pintu kelas, matanya langsung tertuju pada satu sosok di dekat jendela. Mata itu pun menatapnya balik, sama-sama terkejut.
“Shanum?” suara Kathlea nyaris tercekat.
“Eh… Kathlea?” Shanum bangkit berdiri, senyumnya lebar, tulus. “Kita satu kelas?”
Kathlea mengangguk pelan. Senyum Shanum adalah satu dari sedikit hal yang membuat dunia sekolah ini tidak terlalu menyeramkan. Ia merasa sedikit lebih ringan. Ia berjalan ke tempat duduk paling belakang dan duduk di sana.
“Senang kamu sekelas sama aku,” kata Shanum sambil duduk di bangkunya lagi. “Aku pikir kamu nggak masuk karena bosen berteman sama aku.”
Kathlea terkekeh kecil. “Nggak mungkin… kamu satu-satunya yang menyapa aku waktu itu.”
Hari itu berjalan lambat, tapi tidak membosankan. Kelas 10-B ternyata cukup ramah. Memang tidak sehangat teman-teman di sekolah sebelumnya, tapi juga tidak sekasar teman-teman Kathleen yang suka mencibir. Kathlea mulai merasa, mungkin, ini bukan awal yang buruk.
Tapi harapan itu tak bertahan lama.
Saat bel istirahat berbunyi, geng ‘The Girls’—Ghianetta, Rosela, Fabianca, dan Kathleen—tak sengaja melewati kelas 10-B. Mereka terkejut melihat Kathlea di sana.
“Oh, kamu di kelas ini?” tanya Fabianca menghampiri sambil tertawa kecil.
“Iya, baru masuk hari ini,” jawab Kathlea pelan.
Kathleen memiringkan kepalanya, lalu tersenyum manis, tapi ada kilatan tajam di matanya. “Tapi dilihat-lihat, cocok deh sama dia. Sama-sama unik.”
Ghianetta tertawa, lalu matanya menyapu laci meja Kathlea yang terbuka sedikit. Terlihat plastik camilan cokelat. “Eh, kamu bawa snack? Tumben banget anak orang kaya bawa bekal!”
“Cemilan? Ya ampun, kamu bawa makanan tiap hari ya? Nggak takut tambah… bulky?” Rosela menambahkan sambil memutar mata ke arah tubuh Kathlea.
Kathlea memaksakan senyum. Tertawa. “Hehe, ya biar nggak laper di kelas…”
Padahal, dalam hati, ia ingin berlari keluar. Tapi ia terlalu takut dianggap lemah. Tawa itu jadi senjata untuk menyelamatkan harga dirinya yang mulai hancur.
Setelah olok-olokan soal camilan saat istirahat tadi, Kathlea berusaha fokus mengikuti pelajaran. Namun, suara bisik-bisik dari bangku depan nya sedikit mengganggu.
"Ada yang punya camilan, nggak? Coba tanya locker bagian belakang, katanya gudang makanan tuh," celetuk salah satu siswa laki-laki.
Beberapa tertawa. Kathlea menunduk, pura-pura sibuk membuka buku. Shanum meliriknya dengan khawatir, tapi tak berkata apa-apa. Mereka hanya saling pandang sekilas.
Menjelang siang, mata pelajaran olahraga dimulai. Lapangan Elvoreign terbentang luas, dikelilingi pohon dan tribun kecil. Siswa diminta ganti baju olahraga, dan berkumpul di lapangan tengah.
Kathlea mengganti bajunya di toilet sekolah. Ia lama menatap pantulan dirinya di cermin. Seragam olahraga agak ketat di bagian dada dan lengan. Ia menarik napas panjang. “Jangan pedulikan mereka, Kath… at least, kamu nggak sendiri.”
Begitu di lapangan, guru olahraga membagi siswa menjadi dua tim untuk bermain bola tangkap. Nama Kathlea disebut, dan ia masuk tim yang sama dengan Shanum, dan dua siswa laki-laki lainnya.
Permainan dimulai. Ketika bola dilempar ke arah Kathlea, ia berusaha menangkapnya, namun bola terpental dari tangannya.
“Yah, makan camilan banyak-banyak tapi nangkep bola aja mental,” seru salah satu siswa cowok, disambut gelak tawa.
“Pantes tadi berat larinya. Udah kayak bawa dua tas belanja,” celetuk salah satu siswa lain sambil menahan tawa.
Kathlea tergelak kecil, berusaha menyamakan nada dengan mereka. “Hahaha… iya, mungkin aku perlu olahraga lebih sering, ya?”
Tawanya terdengar ringan, tapi dadanya sesak. Bahkan saat tertawa, air matanya nyaris tumpah. Tapi ia harus bertahan. Ia tak ingin guru mendengar, tak ingin orangtuanya dipanggil, dan yang paling penting—tak ingin dipindah ke kelas lain.
Ia ingin tetap di kelas ini. Karena Shanum ada di sini.
Shanum berjalan pelan mendekatinya saat istirahat, setelah pelajaran olahraga selesai. Mereka duduk di bangku taman belakang, di bawah pohon flamboyan.
“Kamu nggak harus pura-pura ketawa, Kath,” ucap Shanum lembut.
“Mereka cuma bercanda,” jawab Kathlea, menatap ranting di atas kepala mereka. “Lagipula, lebih baik ketawa daripada drama, kan?”
Shanum tidak menjawab. Ia hanya mengulurkan tangan, menyodorkan botol minumnya. “Kamu kuat. Tapi kamu nggak harus sendiri.”
Kathlea menatap tangan itu. Perlahan ia terima, lalu tersenyum—kali ini benar-benar tulus. Untuk pertama kalinya hari itu, dadanya terasa hangat.
---
Jam pulang tiba. Sepanjang perjalanan ke gerbang sekolah, Kathlea berjalan berdampingan dengan Shanum. Namun saat mereka hampir keluar, mereka berpapasan dengan Kathleen.
“Wow, kamu udah betah banget ya sama teman barumu,” kata Kathleen datar, matanya melirik tangan Kathlea yang menggenggam kantong camilan kecil. “Dan gak usah balik lagi ke kelas ku.”
Kathlea hanya tersenyum, “Karena aku punya teman sekarang, aku ga akan lagi kembali ke kelas kamu.”
Kathleen terdiam, dan melengos masuk ke dalam mobil.
---
Sepanjang perjalanan pulang tadi, Kathlea hanya menatap keluar jendela hingga tak sadar jika ia sudah sampai dirumah.
Di rumah, Mommy sedang menata bunga di meja ruang tamu saat mereka tiba. Kathleen lebih dulu masuk, disusul Kathlea.
Mommy langsung berdiri ketika melihat putrinya pulang lalu bergegas memeluk Kathleen. “How’s school today, honey?”
“Great, as always,” jawab Kathleen manja.
“Mom…” Kathlea mencoba bicara. “Aku… tadi di sekolah—”
“Mom, tadi aku dapat nilai tertinggi lagi di simulasi TOEFL! Aku harus ikut les tambahan ya?” sela Kathleen, sengaja mengalihkan pembicaraan.
“Oh, tentu, sayang. Mommy akan atur.” Mommy tersenyum bangga.
Kathlea menggigit bibirnya. Ia tahu, ini bukan waktu yang tepat untuk berbagi cerita dengan mommy. Kathleen masih terus mencoba menarik perhatian mommy agar selalu tertuju padanya.
Namun, mommy menyadari jika Kathlea ingin mengatakan sesuatu, "Kathlea? Bagaimana kelas baru mu?"
"Aku suka Mom, teman-temanku baik dan seru! Aku juga punya teman baru." Jawab Kathlea dengan riang.
Mommy menghela napas lega, "syukurlah, mommy senang jika kamu suka."
Kathleen yang mendengar percakapan itu berdecak tak suka lalu melengos pergi menaiki tangga menuju kamarnya
Tak lama Kathlea menyusul, berjalan bersisian menaiki tangga, tapi tak ada satu pun kata yang keluar.
Langkah mereka terhenti bersamaan di depan pintu kamar masing-masing.
Kathlea menggenggam gagang pintu, menahan napas. Ia bisa merasakan tatapan Kathleen dari samping, namun ia tak berani menoleh. Ada banyak hal yang ingin ia katakan—tentang rasa kecewa, tentang perasaan ditinggalkan—tapi semua tertahan di tenggorokannya.
“Kamu akhirnya dapat kelas yang kamu suka, kan?” suara Kathleen terdengar datar, tapi cukup mengejutkan Kathlea.
Kathlea menunduk, lalu mengangguk kecil. “Iya,” jawabnya pelan, hampir seperti bisikan.
Hening lagi.
Kathleen seperti ingin berkata sesuatu lagi, tapi ia mengurungkannya. Ia hanya menghela napas pendek dan masuk ke dalam kamarnya tanpa menoleh.
Pintu tertutup pelan.
Kathlea masih berdiri di depan pintunya. Tangannya belum juga bergerak membuka. Matanya terasa panas, tapi ia paksa tetap kering.
“Aku baik-baik saja... Aku harus baik-baik saja...” bisiknya sendiri.
Lalu ia masuk ke kamarnya. Tak ada pintu yang dibanting. Hanya sepi yang makin tebal.
---