Pagi itu, suara adzan subuh masih bergema pelan dari masjid di ujung gang saat Shanum menyelesaikan cuci piring di dapur kecil rumahnya.
Rumah mungil berdinding triplek itu berdiri di tengah permukiman padat di pinggiran kota, tersembunyi di balik gang-gang sempit yang hanya bisa dilalui satu motor.
Rumah itu bukan yang terbaik, tapi bagi Shanum, rumah itu adalah segalanya. Tempat di mana ia tumbuh bersama keluarganya, ayahnya seorang pengemudi ojek online dan ibunya seorang buruh cuci. Kehidupan mereka sederhana, sangat sederhana, hingga kadang Shanum merasa keberadaannya pun ikut tersembunyikan dari dunia.
“Num, sarapan dulu, Nak,” suara ibunya membuyarkan lamunan.
Shanum tersenyum kecil, mengangguk. “Iya, Bu.”
Ia duduk di lantai beralaskan tikar lusuh, menyantap nasi dengan telur dadar. Meski seadanya, Shanum tetap sangat bersyukur.
---
Pagi itu, di sebuah gang sempit yang dipenuhi suara ayam, deru motor tua, dan aroma gorengan dari warung sebelah, Shanum sedang mematut diri di cermin kecil yang tergantung di dinding kamarnya. Seragam SMP–nya yang tampak warnanya sudah mulai memudar, tapi sudah disetrika rapi oleh ibunya sejak malam tadi.
“Bismillah,” gumam Shanum pelan sambil menarik napas dalam-dalam.
Ayahnya sudah menunggu di depan rumah dengan motornya. Sementara ibunya—menyematkan bros kecil di kerah Shanum dengan penuh kebanggaan, tanda bahwa putrinya bagian dari siswa tahun ajaran baru disekolah.
“Kamu udah hebat bisa masuk sekolah bagus itu, Nak. Harus rajin ya sekolah nya, kamu punya sesuatu yang mereka belum tentu punya,” ujar ibunya lembut.
Shanum hanya tersenyum tipis. Dalam hatinya, ia masih diliputi rasa tak percaya bahwa dirinya diterima di Elvoreign High School—sekolah bergengsi yang biasanya hanya diisi anak-anak pejabat, artis, dan pengusaha. Tapi Shanum punya keistimewaannya sendiri. Ia adalah juara seni lukis tingkat kota. Beberapa karyanya bahkan pernah tampil di pameran nasional dan jadi pusat perhatian. Karena itulah, ia menerima beasiswa penuh dari Elvoreign.
Perjalanan ke sekolah di atas motor ayah terasa lebih sunyi dari biasanya. Tapi sesampainya di depan gerbang sekolah, Shanum terdiam.
Mobil-mobil mewah berjajar rapi di sisi kiri dan kanan jalan. Ada petugas keamanan yang sibuk mengatur lalu lintas kendaraan mewah. Suara pintu otomatis mobil, ucapan sopir, dan suara anak-anak berceloteh terdengar bersahut-sahutan.
Sepanjang gerbang, karangan bunga berukuran besar bertuliskan “Selamat Datang Siswa Baru Elvoreign High School” berjejer indah dengan pita-pita emas mengilap. Beberapa bahkan berasal dari nama-nama perusahaan besar. Sekolah ini benar-benar bukan tempat biasa.
Ayah Shanum menghentikan motornya perlahan di sisi trotoar. Shanum belum turun. Ia terpaku memandangi kemegahan sekolah barunya.
“Nak,” ucap sang ayah lembut. “Jangan lihat apa yang mereka punya. Lihat apa yang kamu punya. Mereka mungkin naik mobil, kamu naik motor Bapak. Tapi kamu sampai di sini bukan karena uang, tapi karena kerja keras.”
Shanum menunduk, matanya mulai berkaca-kaca.
“Jangan malu, ya,” lanjut ayahnya. “Langkahkan kaki kamu dengan kepala tegak. Ingat, lukisan-lukisan kamu udah bikin orang bangga. Sekarang tinggal kamu percaya, kamu pantas di sini.”
Shanum mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Ia turun dari motor, merapikan ranselnya, dan menatap gerbang besar itu.
“Bapak pulang dulu, ya. Nanti kalau sore mau jemput, bilang aja,” kata sang ayah sambil menyalakan motornya kembali. “Semangat, anak Bapak yang paling hebat.”
Saat Shanum sampai di pelataran sekolah, hatinya langsung menciut. Para siswa baru mengenakan seragam menengah pertama berlogo sekolah internasional—baju berpotongan trendi dan bahan mahal. Sementara Shanum hanya memakai seragam putih biru biasa. Ia menjadi satu-satunya siswa yang tampak "berbeda".
Langkah kakinya terasa berat. Mata-mata asing memandanginya seolah ia eksibisi aneh dari dunia lain. Bisikan-bisikan kecil terdengar tiap kali ia melintas.
" Eh, lihat deh... Siapa tuh?"
"Eh, dia itu anak beasiswa, ya?"
"Seragamnya beda banget."
"Kayaknya anak beasiswa deh."
Shanum ingin berbalik dan pulang. Ia merasa ingin jadi siput—masuk ke dalam cangkangnya dan menghilang.
Hari itu adalah hari pengenalan sekolah. Aula besar yang dipenuhi lampu kristal terasa seperti ruangan museum mahal bagi Shanum. Ia duduk di kursi paling pinggir, menunduk, berharap tidak ada yang mengajaknya bicara.
Saat jam istirahat tiba, Shanum berjalan ke kantin dengan ragu. Kantin itu bersih, megah, dan penuh pilihan makanan. Ia terkejut ketika tahu bahwa semua siswa mendapatkan makan siang gratis sebagai bagian dari fasilitas. Shanum mengambil sepiring nasi dengan lauk ayam panggang dan salad, lalu mencari tempat duduk paling ujung.
Saat itulah seseorang datang menghampirinya.
"Maaf, tempat ini kosong?"
Shanum mendongak. Seorang gadis bertubuh gembul dengan kulit kuning langsat bersih tersenyum lebar padanya. Rambutnya dikuncir dua dan ia membawa nampan makanan serupa.
"Iya... kosong," jawab Shanum pelan.
Gadis itu duduk tanpa ragu, meletakkan tas bermerek mahalnya di kursi samping. Tapi senyumannya tidak seperti yang lain—bukan senyum mengejek, tapi hangat dan tulus.
"Aku Kathlea," katanya sambil mengulurkan tangan.
Shanum sempat terdiam, tapi akhirnya membalas uluran itu dengan senyum canggung.
"Shanum."
Percakapan mereka belum banyak hari itu, hanya seputar makanan dan jadwal kegiatan. Tapi bagi Shanum, itu cukup untuk menghangatkan hatinya.
Sejak hari itu, Shanum dan Kathlea mulai duduk bersama. Kathlea sering memulai obrolan, dan walau Shanum masih minder, ia merasa sedikit lebih aman. Kathlea tidak pernah menyinggung soal tas atau asal sekolah. Ia bahkan sering menyisipkan kalimat-kalimat lembut yang membuat Shanum merasa lebih dihargai.
Namun tetap saja, dunia baru ini belum sepenuhnya ramah.
Setiap kali Shanum berjalan melewati koridor, bisikan-bisikan masih terdengar:
"Itu tuh, anak kampung yang pamer lukisan."
"Seriusan dia masuk Elvoreign? Dari mana duitnya?"
Shanum hanya bisa menunduk dan melangkah cepat. Di benaknya, ia masih belum yakin: apakah ia bisa bertahan? Apakah ia bisa diterima?
Tapi dalam diam, ia bertekad—kalau ia bisa masuk sejauh ini, ia pasti bisa melangkah lebih jauh. Meski perlahan.
---
Waktu pulang sekolah tiba. Satu per satu siswa dan siswi baru dijemput mobil-mobil mewah yang berjajar rapi di depan gerbang. Suara pintu otomatis terbuka, klakson mobil listrik, dan sapaan sopir pribadi terdengar bersahut-sahutan.
BMW, Mercedes, hingga Alphard berwarna hitam metalik silih berganti datang dan pergi. Shanum berdiri di dekat halte kecil di ujung gerbang, menunggu angkutan umum dengan tas lusuh di punggung dan selembar tiket bus di tangannya.
Tidak ada yang menyapanya. Tidak ada mobil yang berhenti untuknya. Hanya suara klakson dan debu jalanan yang menemaninya.
Ia duduk di bangku halte, memeluk tasnya erat-erat sambil menatap lalu lalang kendaraan yang bagai dunia lain—dunia yang tak pernah ia sentuh.
Saat bus datang, ia naik dan duduk di dekat jendela. Matanya memandangi gedung-gedung tinggi dan baliho iklan skincare mahal. Dalam diam, hatinya terasa penuh.
Perjalanan pulang yang melelahkan terasa begitu panjang. Di luar, kota bergerak cepat. Tapi di dalam pikirannya, Shanum merasa tertinggal jauh.
"Apa aku salah tempat?" batinnya lirih.
Sekolah yang tadi pagi ia datangi dengan semangat, kini terasa seperti dinding tinggi yang tak mungkin dipanjat. Ia merasa kecil, asing, dan sendirian.
Namun di balik kegundahan itu, ada secercah hangat dari senyum pertama Kathlea. Meski kecil, tapi cukup menjadi pengingat bahwa mungkin... tidak semuanya akan berjalan buruk.
__
Saat sudah sampai di rumah, Shanum segera membuka sepatunya dan masuk ke rumah petak kecil mereka. Ruang tamu menyatu dengan ruang keluarga, hanya ada satu kamar untuk bertiga. Di sudut dapur, ibunya sedang mencuci piring dengan rambut yang diikat asal dan lengan digulung sampai siku.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam. Udah pulang, Num?” tanya ibunya sambil menoleh.
“Iya, bu. Shanum ganti baju dulu ya.”
Setelah mandi dan shalat, Shanum langsung berganti dengan kaos lusuh dan celana santai. Tak lama kemudian, ia mengambil tumpukan cucian tetangga yang sudah selesai dicuci ibunya. Ada pakaian anak-anak, daster, hingga seragam sekolah. Semuanya rapi dan bersih.
“Yang ini udah kering, Num. Tolong dilipat, ya. Kalau bisa, nanti kamu setrika yang seragam kantor itu. Ibu masih mau beresin cucian satunya lagi,” ujar ibunya.
Shanum mengangguk. Ia sudah terbiasa dengan rutinitas ini. Tumpukan pakaian dilipat dengan telaten satu per satu. Tangannya lincah, seperti sudah tahu mana dulu yang harus diselesaikan. Seragam, kaos, celana, disusun rapi.
Tak lama kemudian, ia memanaskan setrika dan mulai menyetrika satu per satu baju yang perlu rapi. Keringat mulai mengalir di pelipisnya, tapi Shanum tetap fokus.
“Selesai, Bu. Shanum anterin cucian ke rumah Bu Ranti ya.”
“Jangan lupa bilang, baju kantornya disetrika ekstra karena tadi lecek banget. Nanti kamu makan dulu, Ibu udah masak sayur asem.”
“Siap, Bu!”
Dengan kantong plastik berisi pakaian yang sudah rapi, Shanum menyusuri gang ke rumah Bu Ranti, tetangga mereka. Meskipun tugasnya cukup melelahkan, Shanum tak pernah mengeluh. Di tengah kesederhanaan ini, ia justru merasa punya peran penting. Ia tahu, membantu ibunya sedikit meringankan beban.
Ketika kembali ke rumah, langit perlahan berubah gelap. Shanum bergegas bergabung makan malam dengan disuguhkan lauk pauk sederhana buatan cinta ibu.
Obrolan ringan mengiringi gurih nya tahu goreng, segar nya sayur bayam dan nikmatnya sambal goreng yang menjadi menu favorit bapak.
Setelah makan malam sederhana bersama bapak dan ibu berakhir, Shanum duduk di depan meja belajarnya yang menempel ke dinding. Di meja kecil itu, buku-buku sudah tersusun rapi.
Sebelum tidur, ia menyempatkan diri membaca buku novel favorit nya lalu menulis dibuku harian bersampul pink dengan gambar bunga sakura.
Saat sedang menulis di buku catatannya, Shanum mendengar suara ayah dan ibunya berbincang pelan di dapur. Suaranya lirih, tapi cukup jelas untuk didengar dari biliknya yang hanya dibatasi oleh lemari kayu tua.
"Bu, uang listrik bulan ini... cukup, nggak?"
"Kalau nggak ada pengeluaran tambahan, InsyaAllah cukup. Tapi kita harus tahan dulu beli gas. Masak pakai tungku aja dulu, ya..."
Shanum menghentikan coretan penanya. Hatinya mencelos.
Ia bangkit pelan, lalu berjalan ke dapur. “Bu… Pak… Kalau memang belum bisa bayar listrik, Shanum nggak apa-apa kok belajar pakai lilin. Dan kalau gas habis, kita bisa masak di luar kayak waktu lalu,” ucapnya lembut, meski matanya mulai berkaca-kaca.
Bapak dan ibunya saling berpandangan, lalu tersenyum kecil.
“Kamu nggak usah mikirin itu, Num. Tugas kamu belajar yang rajin. Ibu sama Bapak yang urus soal rumah,” kata ibunya sambil mengusap kepala Shanum dengan sayang.
“Tapi Shanum juga mau bantu… Shanum bakal rajin belajar biar dapet nilai bagus terus, biar bapak sama ibu bangga,” ucapnya dengan semangat walau matanya masih basah.
Ayahnya tertawa kecil dan menepuk bahu Shanum.
“Itu baru anak Bapak. Kamu harus percaya, Num… Meski kita hidup sederhana, Tuhan nggak tidur. Orang yang berjuang pasti akan dapat jalannya.”
Shanum mengangguk. Dadanya hangat, seolah energi baru menyala di dalam hatinya.
Malam itu, sebelum tidur, Shanum menulis di buku harian kecilnya:
“Hari ini capek, tapi aku senang. Mungkin bukan karena semuanya baik-baik saja, tapi karena aku masih punya keluarga yang selalu percaya padaku. Aku akan terus berusaha, bukan hanya untuk diriku sendiri, tapi untuk mereka. Aku akan buktikan, bahwa anak tukang ojol dan buruh cuci pun bisa berdiri sejajar dengan siapa pun.”
Ia menutup bukunya, menyelimutkan diri, dan memejamkan mata. Di luar, suara hujan mulai turun pelan. Tapi Shanum tidur dengan tenang, karena ia tahu esok akan menjadi hari baru untuk berjuang.
---
Shanum, si gadis kecil dari gang sempit yang dipenuhi semangat besar. Hidupnya mungkin tak mewah, tapi hatinya luas dan penuh cita. Di sekolah, ia dianggap berbeda, namun di balik pandangan meremehkan itu, Shanum menyimpan api yang menyala tenang.
Di dunia yang keras dan penuh batasan, menjadi diri sendiri kadang terasa seperti pertarungan tanpa akhir. Tapi malam itu, Shanum tahu satu hal: ia tak ingin menyerah—karena menyerah berarti mengiyakan bahwa dirinya memang tidak layak.
---