Tidak semua luka tampak di permukaan.
Beberapa tertutup seragam sekolah yang sama setiap hari. Beberapa tersembunyi di balik senyum yang tak pernah jujur. Dan beberapa, mengendap di dalam hati yang lelah karena terus berpura-pura kuat.
Di sekolah ini, suara tawa bisa berubah menjadi senjata. Pandangan bisa melukai lebih dari kata-kata. Dan menjadi berbeda... adalah alasan cukup untuk dijatuhkan.
Mereka bertiga—Shanum, Kathlea, dan Yazlyn—tidak meminta banyak. Mereka tidak ingin menjadi terkenal. Mereka hanya ingin diterima. Dikenali. Dipahami.
Tapi ternyata, untuk menjadi diri sendiri, mereka harus lebih dulu bertarung dengan apa yang dunia anggap sebagai kelemahan. Dan terkadang, musuh terbesar... adalah suara kecil dalam kepala sendiri.
Ini bukan tentang menjadi yang terbaik. Ini tentang bertahan. Tentang tumbuh. Tentang menjadi aku.
---
“Kamu nggak capek, Shan?” tanya Yazlyn pelan, membenarkan duduknya di bangku taman belakang sekolah.
Shanum menunduk. Jemarinya sibuk mengoyak roti isi di tangannya, bukan karena lapar, tapi karena canggung. “Capek. Tapi kalau aku bilang capek, siapa yang dengar?”
Kathlea tertawa kecil, sumbang. “Aku dengar. Tapi kita sama-sama nggak bisa berbuat apa-apa, ya?”
Mereka bertiga duduk berdampingan di sudut yang jarang dilewati siswa lain. Tempat itu seperti ruang aman mereka. Di sana, tidak ada bisik-bisik, tidak ada tawa merendahkan, tidak ada lirikan sinis yang menusuk seperti jarum halus.
Hanya suara angin, dedaunan, dan jantung yang berdetak pelan.
“Kalian pernah ngerasa... pengin hilang?” tanya Kathlea tiba-tiba. Wajahnya masih menatap langit, seolah pertanyaan itu ditujukan pada awan.
“Pernah,” jawab Shanum cepat.
“Setiap hari,” sambung Yazlyn lirih. “Tapi kalau hilang... siapa yang tahu kita pernah ada?”
Tak ada yang menjawab.
Kadang keheningan menyimpan lebih banyak makna daripada kata-kata. Ketiganya duduk dalam diam, ditemani luka yang tak terlihat, namun begitu terasa. Dunia terus berjalan, sekolah tetap ramai, tapi di sudut kecil itu—mereka bertiga sedang belajar bernapas.
Shanum menyimpan banyak hal di balik diamnya. Ia selalu berjalan dengan kepala sedikit menunduk, tak suka menjadi pusat perhatian. Tubuh kecilnya sering jadi bahan olok-olok. “Eh, hati-hati ketabrak angin!” atau “Wah, kamu ikut lomba ngumpet pasti menang, ya!”
Tiap tawa yang terdengar di belakangnya membuat jantungnya mencelup ke perasaan tak nyaman. Tapi ia jarang membalas. Ia hanya diam, lalu menunduk lebih dalam. Dalam sekali, sampai dirinya tak bisa lagi melihat siapa dirinya sebenarnya.
Kathlea berbeda. Ia lebih ekspresif. Tapi senyumnya sering palsu. Dibalik candaannya yang keras, tersembunyi luka dari rumah—dari orang-orang yang selalu membandingkan dirinya dengan Kathleen, kakaknya yang langsing dan “sempurna”. Ia pernah ingin jadi seperti kakaknya. Tapi sekarang, ia hanya ingin bisa bernapas tanpa rasa bersalah saat makan kue kesukaannya.
Lalu Yazlyn. Yang dari luar tampak sempurna: penampilan yang dipenuhi barang branded, hidup dengan bergelimang harta. Tapi hanya ia yang tahu rasa sepi itu menggigit tiap kali pulang ke rumah. Ayah dan ibunya sibuk dengan hidup masing-masing. Ia hanya hiasan di foto keluarga yang telah lama tak tergantung di dinding.
---
Mereka bertemu bukan karena nasib, tapi karena luka yang saling memahami.
Dan dari luka itulah mereka belajar: dunia bisa kejam, tapi mereka tidak sendirian.
“Aku pengin suatu hari nanti... orang kenal aku bukan karena bentuk tubuhku,” kata Kathlea pelan.
“Bukan karena aku juara kelas,” tambah Shanum.
“Dan bukan karena orang tuaku kaya,” ucap Yazlyn, suaranya nyaris tak terdengar.
Mereka saling pandang.
Untuk pertama kalinya hari itu, ada senyum yang tulus. Kecil, tapi nyata.
Senyum karena mereka tahu, meski belum utuh, mereka sedang berjalan menuju tempat di mana mereka tak harus pura-pura.
Menjadi aku, mungkin tak mudah.
Tapi bersama, rasanya bukan hal yang mustahil.