Silla mengantarkan Mahesa ke rumah kepala adat di desa. Namun saat itu, beliau sedang tidak ada di rumah. Seorang bibi yang menjaga rumah beliau memberitahu mereka untuk mengunjungi rumah peribadatan saja. Karena biasanya beliau selalu pergi ke sana. Segera keduanya berkunjung ke rumah peribadatan tersebut.
Benar saja, mereka melihat wanita paruh baya itu di sana. Bu Makar sedang melakukan jamasan bunga-bunga sesajen di sana. Beliau mengenakan kebaya putih sederhana dan rok lilit batik seperti biasanya. Rambutnya yang ubanan disanggul rapi.
“Permisi, Bu…” sapa Silla setelah melepas sepatunya.
Mahesa segera mengikuti langkahnya melepas sepatu di pinggiran lantai teras.
Bu Makar berhenti menyirami mangkuk-mangkuk sesajen saat melihat mereka. Beliau meletakkan sendok batok kelapa ke dalam bejana air. Lalu bersiap menemui kedua tamu.
“Teh Silla, kumaha kabarna pagi ini?”[1] tanya Bu Makar.
Silla balas berkata, “Alhamdulillah, sae. Kumaha sawangsulna, Bu?”[2]
“Sae pisan,”[3] jawab Bu Makar. Senyumannya pudar saat melihat sosok laki-laki di belakangnya. Beliau lalu berbisik, “Saha eta? Pacarnya?”[4]
Silla cepat-cepat melambaikan tangannya dan menggeleng. “Bukan, Bu. Dia…”
Mahesa menyadari lirikan mata beliau padanya. Segera ia berinisiatif untuk memperkenalkan diri, “Selamat pagi, Bu. Saya Mahesa, jurnalis dari koran Tempo Budaya. Saya datang jauh dari Jakarta.”
Bu Makar langsung mengerjap. “Jurnalis?”
Silla berdeham, mengalihkan perhatiannya, “Bu Makar sepertinya lagi sibuk, ya?”
“Ibu tadi lagi persiapan buat ngadain tradisi Tembung Lakar. Kan akhir pekan ini acaranya,” ujar Bu Makar.
“Oh, gitu ya, Bu,” gumam Silla, acuh tak acuh.
“Harus dido’akan dulu sesajennya. Dimandikan seperti biasanya,” tambah Bu Makar.
Silla mencuri pandang ke arah meja berisi mangkuk-mangkuk bunga dan dupa. Tatapannya skeptik. Baginya, hal-hal semacam itu terkesan amat klenik. Sedangkan menurut Bu Makar; bahan-bahan sesajen itu akan digunakan untuk tradisi ritual nantinya.
Silla lalu memperkenalkan kenalan barunya itu, “Jadi begini… dia mau wawancara mengenai tradisi Tembung Lakar. Apa Ibu berkenan?”
Bu Makar melirik laki-laki berkemeja biru itu. Lalu tersenyum dan mengangguk. “Boleh saja. Silahkan.”
“Bu Makar ini yang sekarang jadi kepala adat di Kampung Jinem,” ujar Silla, memperkenalkannya.
“Oh, begitu,” gumam Mahesa, bertukar pandang dengan beliau.
“Dulu Abah saya yang jadi kepala adat, mewarisi lelakunya kakek saya. Sekarang saya tinggal meneruskan amanat; saya ikut menjaga tradisi persembahan agar senantiasa desa kita sejahtera,” ucap Bu Makar.
Silla memberi si jurnalis ruang untuk bertanya-tanya. Mahesa segera menyiapkan alat tulis sebelum melakukan sesi wawancara.
Setelah mengutarakan maksud kedatangannya, Bu Makar tak langsung mengusirnya seperti para warga. Hanya saja sikap beliau terkadang terkesan antipati terhadapnya. Setidaknya beliau masih bersikap cukup ramah dibandingkan orang-orang di desa. Apalagi beliau dengan senang hati menjawab apa yang ingin ditanyakan olehnya.
Saat itu Silla ikut mendengarkan pembahasan mereka. Bu Makar terlihat sangat antusias saat menjelaskan seluk beluk sejarah di desa ini.
“Dulu desa kita ini mengalami kekeringan yang cukup parah. Sampai tidak ada hasil bumi yang bisa dipanen akibat layu semua,” tutur Bu Makar. “Eyang-eyang kita berdo’a bersama, memohon agar ada berkah yang datang ke desa. Dari situlah asal mula legenda Tembung Lakar tercetus.”
“Saya baru sedikit membaca mengenai cerita itu di internet. Tapi rasanya pasti beda kalau bisa dengar langsung begini,” ujar Mahesa. Sesekali matanya melirik ke asap-asap dupa dan sesajen yang ada di meja altar. “Melihat tempat peribadatan ini, sepertinya banyak orang di desa yang masih menganut kepercayaan animisme, ya, Bu?”
Bu Makar terkekeh. “Sudah sejauh mana Aa ini risetnya?”
“Belum banyak sih. Tapi yang barusan Ibu ceritakan, sama dengan yang saya baca,” ucap Mahesa. “Katanya juga ada hubungannya dengan dewi padi, ya?”
“Betul,” ujar Bu Makar, mengangguk.
“Terus apa lagi, Bu?” tanya Mahesa, bersiap mencatatnya.
“Kalau di desa sebelah, mereka masih ngelakuin ritual Nadran, melarung sesajen ke laut. Kebalikannya dengan desa kita yang nyiram sesajen ke tanah,” tutur Bu Makar.
Mahesa balas berkata, “Karena ada komunitas nelayan di desa itu, kan, Bu?”
Bu Makar mengangguk. Lalu menjelaskan, “Setelah malam ritual, mereka ngadain pentas wayang tentang Lakon Budug Basu. Itu sang raja ikan, jodohnya Dewi Sri. Masih ada kaitannya dengan akar sejarah di desa kita.”
“Cerita mitos?” tanya Mahesa.
Bu Makar terkekeh menanggapinya. Lalu berkata, “Sama seperti kedatangan sang dewi padi ke desa kami. Ada yang percaya, ada yang bilang cuma mitos. Jadi kembali pada kepercayaan masing-masing saja. Enggak perlu diperdebatkan.”
“Jadi tradisi Tembung Lakar di desa ini berdasarkan kisah nyata datangnya Dewi Sri? Atau memang semacam mitos belaka?” tanya Mahesa, sigap meneruskan percakapan.
Bu Makar menghela nafasnya, menatap agak kesal pada jurnalis itu. Padahal baru saja beliau memberitahunya agar tak memperdebatkan masalah kepercayaan. Tetap saja jurnalis itu menginginkan jawaban yang pasti.
Mahesa tak mau berhenti sebelum mendapat banyak informasi darinya. Ia lanjut bertanya-tanya, “Lalu tradisi itu ngapain saja, Bu? Saya dengar-dengar katanya—”
Silla menyadari apa yang hendak ditanyakan oleh jurnalis itu. Segera ia berdeham kencang, berpura-pura batuk. Saat Mahesa menengok padanya, Silla mengerjap-ngerjapkan matanya. Namun jurnalis itu tidak peka dengan aba-aba darinya.
Mahesa menghiraukannya dan lanjut bertanya, “Katanya pakai darah manusia buat persembahan, ya? Apa benar mitosnya?”
Spontan Bu Makar menatapnya bak patung. Raut wajah beliau nampak datar, sulit membaca emosi apa yang saat itu terpancar.
Lalu beliau menyeringai seraya berkata, “Kita pakai darah ayam cemani. Ada buah-buahan juga, bunga-bungaan, dan dupa.”
Mahesa tetap nekat dengan pertanyaannya, “Kalau darah manusia? Ada juga?”
Silla melotot padanya. Ia berharap; kepala adat ini tak akan sampai mengusir si jurnalis seperti para warga tadi. Hal seperti itu terdengar terlalu sensitif untuk langsung ditanyakan.
Akhirnya beliau balas bertanya, “Si Aa ini dengar cerita dari mana sih?”
“Dari internet,” ucap Mahesa. “Saya juga ada dengar-dengar dari orang sekitar sih.”
Silla segera menimpali, “Ada kidung khusus yang dinyanyikan pas ritual, kan, Bu?”
Mahesa mengernyit padanya. Ia heran mengapa Silla berusaha menghentikannya untuk bertanya-tanya lebih jauh.
“Ada. Kita punya kidung sakral buat ritualnya,” ujar Bu Makar.
“Saya kemarin sempat tanya-tanya juga mengenai kidung itu. Saya sendiri masih penasaran,” tutur Silla.
Mahesa belum puas. Ia masih ingin kembali mempertanyakan, “Kalau mengenai…”
Silla langsung mengambil alih percakapan, “Katanya bakal diadakan akhir pekan ini, ya, Bu?”
“Benar,” jawab Bu Makar. “Si Aa nanti datang saja pas acara. Jadi bisa lihat sendiri prosesi ritual yang akan kita jalani. Bisa belajar lelaku para buyut kita.”
“Masih lusa ini, ya,” gumam Mahesa.
“Mengenai kisah sang dewi padi, si Aa sudah enggak asing, kan?” tanya Bu Makar.
Mahesa mengangguk. “Saya pernah tahu legendanya. Namanya Nyi Pohaci Sanghyang Asri. Beliau seorang dewi yang masih ada hubungan kekerabatan dengan penguasa di laut selatan. Benar, kan?”
Bu Makar tersenyum dan berkata, “Kalau begitu, saya enggak perlu menjelaskan dari awal mengenai asal muasal Sanghyang Asri. Si Aa ternyata sudah paham.”
“Saya ke sini ingin mengulik lebih rinci mengenai tradisi persembahannya, Bu,” ujar Mahesa, mengingatkannya. “Saya mau menuliskan tentang kebudayaan Tembung Lakar.”
“Nanti datang saja sama Teh Silla pas acara ritual diadakan,” ajak Bu Makar.
Silla seketika merengut. “Ugh, kalau saya sih sepertinya enggak…”
“Masa’ belum pernah ikut sama sekali sih, Teh Silla. Malu sama Abah dan Ambu di rumah,” tegur Bu Makar. “Jangan balik dulu ke Jakarta. Ikut tradisi dulu. Biar bisa lebih mengenal sejarah di desa kita ini.”
Silla sekedar menghela nafas dan tersenyum canggung.
“Walau tradisi ini diadakan sebulan sekali, tapi kan jarang-jarang Teh Silla pulang kampung. Jadi Ibu berharap banget si Teteh bisa ikutan,” tambah Bu Makar.
Setelah obrolan dirasa cukup, Mahesa izin mengambil foto rumah peribadatan milik leluhur beliau.
Bu Makar lalu mendekati Silla. Beliau merengut padanya seraya berbisik, “Si Teteh kok malah bersikap seperti orang luar sih. Kesannya seperti skeptik terhadap tradisi sendiri. Padahal Teh Silla lahir dan besar di Kampung Jinem, kan?”
Silla hanya tersenyum canggung saja menanggapinya.
“Kalau si jurnalis itu sih, Ibu ngerti lah. Dia kan memang orang luar. Makanya mau ngulik cerita dari desa kita,” gerutu Bu Makar.
Lalu beliau mendekatinya dengan mata agak melotot. Silla jadi menatapnya was-was.
“Tapi tetap saja…” bisik Bu Makar, menatapnya dengan hati-hati, “yang namanya sama orang luar, kita mesti waspada ya, Teh.”
Mungkin ada benarnya ucapan beliau. Namun ia tak begitu mempersoalkan tentang kedatangan jurnalis koran itu. Dalam hatinya, Silla masih bertekad ingin mencari jawaban atas teka-teki kematian adiknya di masa lalu.
***
Mahesa pamit pulang siangnya. Ia kembali ke rumah warga di mana ia numpang menginap. Ia akan menyusun catatannya tadi untuk ditulis ulang. Begitu juga dengan Silla. Karena tak ada kegiatan lainnya, ia kembali pulang ke rumah orang tuanya.
Seharian ia menemani ayah dan ibunya di rumah. Kapan lagi ia bisa menghabiskan waktu bersama mereka. Sebelum masa cuti akan habis, setidaknya ia akan memanfaatkan waktunya untuk menikmati kehidupan di desa.
Sebelum pergi tidur, Silla mendengar suara-suara di luar kamarnya. Desiran angin terdengar semakin kencang. Setelah memeriksa, ternyata jendela di ruang tamu terbuka. Ia bergegas menutupnya.
Saat hendak kembali ke kamarnya, jendela itu terbuka lagi. Pikirannya langsung melayang pada ibunya. Mungkin ibunya yang sedang lewat.
“Ambu?” panggilnya. Namun tak ada jawaban.
Lalu ia mendatangi kamar orang tuanya untuk memeriksa. Ternyata ayah dan ibunya sudah tertidur pulas. Lantas ia jadi heran; siapa yang iseng membuka jendela rumah?
Ia takut jika ada penyusup yang datang. Di desa masih rawan ada maling berkeliaran.
Apalagi ditambah latar suara-suara burung hantu di luar rumah, membuatnya bergidik. Angin malam juga terasa sangat dingin. Segera ia menutup rapat jendela tersebut.
Sebelum menutup tirai jendela, tak sengaja ia melihat ada bayangan melesat. Bak ada sekelebatan hitam yang berlari di pekarangan. Entah apakah ia hanya membayangkannya saja. Atau matanya bermain trik karena ia sudah mengantuk.
Silla berharap; itu bukan maling, juga bukan setan. Ia ingin menghiraukannya. Lalu ia segera kembali ke kamar dan tertidur nyenyak.
[1] Kumaha kabarna pagi ini: Bagaimana kabarnya pagi ini? (Sunda)
[2] Sae: sehat // Kumaha sawangsulna, Bu?: Bagaimana kabar sebaliknya, Bu? (Sunda)
[3] Sae pisan: sehat juga (Sunda)
[4] Saha eta?: Siapa itu? (Sunda)