Loading...
Logo TinLit
Read Story - Tembung Lakar
MENU
About Us  

Laki-laki yang baru datang ke desa itu bernama Mahesa. Dia seorang jurnalis koran yang ingin mengulik legenda yang pernah ada di Kampung Jinem. Hanya saja saat itu, kedatangannya tidak disambut baik oleh para warga setempat.

“Balik deui ka tempat mimiti anjeun! Jangan kungsi datang deui dieu!”[1] seru salah satu warga yang geram padanya.

“Mohon maap. Punten, Kang…” suara Mahesa terdengar bergemetar, “Saya cuma mau numpang tanya-tanya kok. Saya enggak ada maksud macem-macem.”

Beberapa warga yang ditemuinya tetap memasang wajah tak ramah. Ia malah dimarahi lagi dan lagi, “Pulang sana! Dasar wartawan rusuh—”

“Saya bukan semacam wartawan infotainment loh. Saya ini jurnalis budaya!” sahut Mahesa, ingin mengoreksinya. “Saya datang ke sini mau riset dan belajar!”

Salah satu warga yang berusia paruh baya menegurnya, “Kamu mah datang cuma mau ngorek-ngorek. Nantinya kamu buat berita jelek tentang kampung kami!”

Mahesa langsung merengut kesal. Ia tetap membela diri, “Loh, kok nuduh saya begitu sih. Saya datang baik-baik ke sini, Pak… Bu…”

“Pergi dari sini! Balik ke tempat asalmu sana!” sahut warga dengan geram.

Bahkan ada ibu-ibu yang membawa sapu lidi, bersiap ingin menghantamnya.

Mahesa jadi was-was menghadapi para warga seorang diri. Kehadirannya tak diterima dengan baik setelah mereka mengetahui tujuannya. Namun menurut Mahesa, dirinya tak bermaksud buruk sama sekali. Ia hanya ingin melakukan riset mengenai tradisi budaya yang ada di desa ini. Tetap saja para warga tak percaya dengan pengakuannya.

Akhirnya Mahesa mundur karena tak mau menyulut amarah para warga. Ia jadi berjalan bak orang luntang-lantung tak tahu arah. Jika harus kembali ke tempat asalnya, maka bakal sia-sia usahanya datang ke Kampung Jinem. Dirinya sudah datang jauh-jauh dari Jakarta.

Karena tak mau menyia-nyiakan uang akomodasi dari kantor, ia harus bisa bertahan. Awalnya ia ingin mencari tempat penginapan terlebih dahulu. Namun perutnya sudah keroncongan akibat belum sarapan pagi. Segera ia mencari warung makan terdekat.

***

Silla diam-diam menyaksikan keributan yang terjadi di luar warung makan. Beberapa pengunjung juga ikut menonton dari meja makan masing-masing.

“Itu bukannya cowok yang tadi ya?” gumam Silla. Ia masih ingat berpapasan dengannya di seberang jembatan sungai.

Sambil menikmati ayam goreng dan nasi, Silla mencuri dengar pembicaraan orang-orang di sekitarnya.

Bapak-bapak di seberang mejanya tengah berkomentar dengan nada gusar, “Belegug pisan si wartawan eta mah. Mau sok-sok’an di desa kita.”[2]

“Wartawan?” gumam Silla, langsung mengernyit.

Bahkan ibu-ibu pemilik warung makan ikut menanggapi, “Mau ngapain atuh wartawan ke sini?”

Silla heran mengapa hampir semua orang terkesan menanggapinya dengan buruk. Apakah kedatangan seorang wartawan bakal mengganggu keseharian mereka?

Saking lamanya tinggal di kota besar, Silla mesti beradaptasi lagi dengan kehidupan di sini. Mungkin ada hal-hal yang terlewatkan olehnya.

Beberapa saat kemudian, keributan sudah mereda. Tak terdengar lagi suara-suara warga yang memaki pendatang baru tersebut.

Silla baru selesai sarapan. Segera ia mencuci tangannya pada baskom kecil yang disediakan di meja. Saat itulah orang-orang mulai berbisik satu sama lain.

Saat menengok ke belakang punggungnya, barulah Silla mengerti apa yang terjadi. Laki-laki itu kini memasuki warung makan. Wajahnya terlihat bak orang kebingungan. Ia tengah mencari-cari meja yang kosong untuk ditempatinya.

Setelah mendapat meja di pojokkan jendela, laki-laki itu memanggil si pemilik warung. Si ibu-ibu gemuk berdaster itu segera memberikan menu makanan padanya.

Selang beberapa menit kemudian, orang-orang masih mencuri pandang padanya. Tatapan semua orang terlihat seperti sedang mengucilkannya. Laki-laki itu terkesan cuek saja. Namun jelas raut wajah risihnya tak bisa ia tutupi.

Begitu juga dengan Silla, sedari tadi ia ikut mencuri pandang. Lama-lama ia jadi penasaran dengan sosok wartawan itu.

Setelah membayar ke kasir, sekali lagi Silla melirik ke arah laki-laki itu. Ia berjalan pelan melewati meja para pengunjung yang sedang makan. Lalu ia berhenti tepat di depan meja laki-laki berkemeja biru itu.

Laki-laki itu mendongak padanya. Silla balas menatapnya hening. Sikap dadakan Silla menarik perhatian semua orang di warung makan.

“Permisi,” ucap Silla, menyapanya. “Punten…”

Masih agak tertegun, laki-laki itu lalu menjawab, “Iya, Teh?”

“Boleh saya duduk di sini?” tanya Silla seraya menyentuh kursi kosong di meja.

Laki-laki itu sempat tertegun. Lalu ia menengok ke sekelilingnya, mendapati orang-orang sedang melihatnya. Dengan cepat ia mengangguk dan mempersilahkan Silla.

Tanpa berlama-lama, Silla segera menarik kursi untuk duduk. Bahkan ia bertanya dengan to-the-point padanya, “Saya dengar-dengar, kamu wartawan, ya?”

Laki-laki itu semakin tertegun dibuatnya. Sup wortel ayam yang baru disantapnya masih hangat. Segera ia menggeletakkan sendok dan garpu ke mangkuk sup.

“Mohon maap ya, Teh. Tapi saya bukan wartawan. Saya ini jurnalis,” nada bicaranya terdengar kesal.

Silla mengernyit seraya menyilangkan kedua tangan di dada. “Loh, bukannya wartawan dan jurnalis sama saja ya? Beda penyebutan doang?”

Laki-laki itu melengos dan memutar matanya, semakin kesal. Lalu ia balas berkata, “Jelas beda dong! Kalau wartawan lebih identik bahas politik atau dunia selebritis—”

Silla tetap saja mengernyit. “Kalau jurnalis apa?”

“Eh, tapi itu menurut pribadiku sih ya!” seru laki-laki itu. Langsung ia menyambung ucapannya, “Kalau kita bahas dalam bidangnya ya… sama-sama jurnalistik sih. Tapi kalau wartawan atau juga reporter, mereka biasanya langsung liputan di lapangan.”

Silla berusaha keras menahan gelak tawanya. “Oh, gitu ya? Baru tahu aku.”

“Nah, kalau jurnalis seperti saya… lebih fokus ngumpulin infomasi buat ditulis nantinya,” jelas laki-laki berponi miring itu.

Lalu Silla bertanya, “Jadi kamu ke sini mau ngumpulin informasi apa?”

Laki-laki itu langsung tersenyum lebar. Ia segera mengelap tangannya dengan tissue. Lalu mengajak Silla bersalaman seraya memperkenalkan diri, “Perkenalkan, nama saya Mahesa. Saya jurnalis dari koran Tempo Budaya.”

Baru pertama kali Silla mendengar nama koran tersebut. Ia sendiri lebih banyak tahu yang berkaitan dengan produk kecantikan. Mengingat pekerjaannya memang berkecimpung di dunia itu.

Silla balas menjabat tangannya dan memperkenalkan diri, “Saya Silla. Kalau saya tim pemasaran di perusahaan kosmetik Glamor.”

“Loh, berarti Teh Silla ini bukan orang sini dong? Datang dari Jakarta juga ya seperti saya?” tanya Mahesa, matanya kini berbinar-binar.

“Saya asli orang sini kok. Cuma memang kerja di Jakarta,” jelas Silla. “Ngomong-ngomong tadi pertanyaan saya belum dijawab. Aa ke sini mau nulis apa buat di koran?”[3]

“Oh, jadi begini…” Mendadak Mahesa mengusap pergelangan jari jemarinya. Silla menyadari sikap resahnya saat itu. “Saya lagi mau ngulik cerita legenda yang pernah ada di Kampung Jinem. Katanya dulu pernah ada tradisi Tembung Lakar ya, Teh, di sini?”

Silla sempat tertegun mendengarnya. Lalu ia berkata, “Jadi kamu mau nulis tentang Tembung Lakar?”

Mahesa menyeringai. Ia kembali bersemangat. “Kedengarannya si Teteh tahu banget nih. Boleh kalau saya tanya-tanya?”

Silla malah terdiam, tak memberikan jawaban.

Mahesa jadi menatapnya heran. “Jangan bilang, si Teteh juga antipati sama saya gara-gara hal ini. Soalnya para warga tadi juga marah banget sama saya. Malah dikiranya saya mau nulis berita jelek. Saya kan datang ke sini baik-baik, Teh. Saya mau riset dan belajar kok.”

Silla masih terdiam. Ia menyadari beberapa orang masih suka mencuri pandang.

“Saya bakal tulis apa adanya! Janji deh!” ujar Mahesa seraya menunjukkan dua jemarinya untuk bersumpah.

Silla lalu berkata, “Bisa kita ngobrolinnya di tempat yang lebih sepi? Di sini banyak orang.”

Mahesa langsung mengangguk-angguk senang. “Oh, boleh banget, Teh! Berarti si Teteh berkenan, kan?”

Silla tersenyum seraya beranjak dari meja. “Saya tunggu di luar. Aa makan dulu saja.”

***

Kedatangan seorang jurnalis ke Kampung Jinem ternyata sempat membuat gusar para warga. Mahesa punya tekad kuat ingin mengulik legenda rakyat di tempat ini. Dan legenda itu tak jauh-jauh dari cerita lama mengenai persembahan para penduduk setempat pada seorang dewi bernama Sanghyang Asri.

Mahesa yang aktif mengulik segala informasi yang ada di desa, malah membuat beberapa orang ingin mengusirnya. Tekad kuatnya itulah yang kini menarik perhatian Silla. Perempuan muda itu juga punya agenda yang serupa.

Usai urusan Mahesa di warung makan, ia segera menemui Silla. Perempuan berpakaian blazer hitam itu tengah duduk di saung pinggir jalan.

Mahesa melanjutkan obrolannya, “Sebenarnya ini hari kedua saya di sini. Saya numpang nginep di rumah warga, Teh.”

“Oh, gitu. Apa sudah dapat informasi ceritanya dari penduduk setempat?” tanya Silla.

Mahesa menggaruk-garuk pelipisnya dengan resah. Lalu ia berkata, “Seperti yang saya cerita tadi, Teh. Kebanyakan langsung gusar sendiri. Saya sampe dimaki-maki. Kenapa, ya?”

Silla menghembuskan nafas panjang. Lalu ia bergumam, “Ya, begitulah. Mungkin buat beberapa warga di sini, cerita begitu masih dianggap sensitif buat dibicarakan. Apalagi sama orang luar.”

“Si Teteh kan masih orang asli sini, pasti tahu sesuatu dong, ya?” tanya Mahesa, menatapnya penasaran. “Kalau saya sih baru sedikit ngumpulin informasinya. Dengar-dengar ada tradisi rutin yang masih ada hubungannya sama legenda itu, ya?”

Silla mengangguk. “Iya, katanya itu tradisi yang harus warga lakukan sebagai tanda penghormatan buat Sanghyang Asri.”

“Nah, ini nih! Saya datang jauh-jauh cuma buat ngulik tradisi Tembung Lakar,” celoteh Mahesa. “Apa benar penduduk setempat menggunakan darah manusia buat ritualnya, Teh?”

Seketika itu Silla tertegun. Sudah sejauh mana jurnalis asing ini mengulik kisahnya?

Mendapati Mahesa masih menunggu jawabannya, Silla berkata, “Kasak-kusuknya sih begitu.”

“Kok kasak-kusuknya? Memangnya si Teteh enggak tahu langsung? Apa enggak pernah ikutan ritual sama para warga?” tanyanya, mulai menginterogasi.

Silla menghembuskan nafas panjang. Lalu ia berusaha menjelaskan, “Sebenarnya saya juga baru mau cari-cari mengenai hal itu sih. Soalnya ada hubungannya sama misteri kematian adik saya.”

Spontan Mahesa bertanya lagi, “Loh, memangnya ada apa, Teh?”

Silla menggigit bibir bawahnya, terdiam.

Menyadari raut wajah Silla berubah sedih, Mahesa langsung segan. “Eh, punten, Teh. Saya enggak bermaksud mau ikut campur. Saya cuma—”

“Enggak apa-apa kok. Lagian kita punya agenda yang sama sekarang. Kita sama-sama mau ngulik legenda Tembung Lakar di Kampung Jinem,” ujar Silla.

“Punten ya, Teh… kalau saya kan memang jurnalis. Informasi yang bakal saya dapatkan buat saya tulis. Kalau si Teteh mau nyari, apa buat mengungkap kematian—” Mahesa takut salah berucap. Ia lebih berhati-hati. Segera ia berdeham dan bertanya, “Kalau boleh tahu, adiknya si Teteh meninggalnya kenapa, ya?”

“Empat belas tahun yang lalu, adik saya meninggal di Kampung Jinem. Kematiannya janggal menurut saya,” tutur Silla, matanya berkaca-kaca. “Saya merasa seperti ada sesuatu yang sangat jahat mencuci otak orang-orang di desa. Entah apakah itu kutukan atau semacamnya. Yang pasti… pada saat itu…”

Suara Silla mulai bergemetar. Ketika ia mengingatnya, sungguh pedih rasa di hatinya.

“Kenapa, Teh?” tanya Mahesa.

“Kejadian itu masih jadi misteri sampai sekarang. Setiap kali ada warga yang suka menembangkan kidung mistis, pasti enggak lama ada yang meninggal,” cerita Silla padanya. “Kidung itu yang biasa dipakai orang-orang tradisi persembahan buat sang dewi padi.”

Mahesa sontak mendebatnya, “Ah, masa cuma gara-gara menembangkan lagu mistis, terus ada yang meninggal?”

“Waktu itu, aku sama adikku masih kecil. Pas kita lagi main sore-sore, kita papasan sama salah satu petani di desa. Namanya Pak Samir. Beliau awalnya juga nembangin kidung itu, terus beliau tiba-tiba bunuh diri di depan kita,” cerita Silla lagi.

“Hah? Kok bisa, Teh? Motif bunuh dirinya kenapa?” tanya Mahesa, keheranan. “Kok tega di depan anak yang masih kecil? Pasti si Teteh trauma banget ya sampai sekarang.”

“Saya sudah enggak bisa bedain lagi; apa itu trauma atau bukan. Tiap malam mimpi buruk. Gara-gara susah tidur, tiap hari berasa banget lelahnya,” ujar Silla.

“Itu sih trauma namanya, Teh, kalau sampai terbawa mimpi,” sahut Mahesa.

Silla tersenyum canggung.

Mahesa mengusap-usap lehernya dan berkata, “Waduh, saya enggak nyangka, cerita masa kecil si Teteh cukup horror juga ya.”

Mereka saling berdiam diri sejenak. Angin sepoi-sepoi menerpa mereka. Beberapa warga yang lewat terkadang melirik penasaran pada keduanya.

“Loh, terus gimana ceritanya adik si Teteh meninggal?” tanya Mahesa, bingung. “Apa hubungannya sama lagu mistis tadi, Teh?”

“Enggak lama setelah pemakaman Pak Samir, adik aku, Mutia jadi suka nembangin kidung itu juga. Kita balik ke rumah bambu di mana tempat Pak Samir bunuh diri. Tiba-tiba Mutia berusaha bunuh diri juga dengan nusukin gunting ke lehernya,” cerita Silla, menahan rasa menyesak di hatinya. “Terus malamnya, Mutia meninggal akibat sesak nafas.”

“Ya ampun, Teh. Saya turut berduka cita yang sedalam-dalamnya,” ujar Mahesa.

“Makanya itu, saya balik lagi ke Kampung Jinem. Saya mau cari tahu apa yang sebenarnya terjadi waktu itu,” tutur Silla.

“Ada baiknya kita ngerti dulu seluk beluknya cerita Tembung Lakar di desa,” ujar Mahesa, memberikan masukan. “Apa benar ada hal mistis dibalik legenda itu? Atau mungkin ada sesuatu yang janggal—”

Silla menatapnya penasaran.

Mahesa secepatnya melihat ke sekitarnya. Lalu ia berbisik, “Saya punya hipotesis gila.”

“Apa?” tanya Silla.

Mahesa lanjut berbisik, seolah takut akan ada yang ikut mendengarkan, “Kata si Teteh kan tadi; bisa jadi ada pencucian otak di desa. Saya juga dengar selentingan cerita; ada sesajen yang menggunakan darah manusia di desa ini. Apa mungkin kematian massal jaman dulu ada hubungannya sama kejanggalan tradisi itu?”

Silla menganggap teori jurnalis tersebut masih masuk akal. Lalu ia ikut menimpali, “Kalau menurutmu begitu, apa jangan-jangan dukun di desa bisa jadi dalangnya?”

Mahesa langsung menepuk tangannya. “Nah, itu!”

Silla mengerjap kaget dengan tepukan kerasnya.

Mahesa berbisik lagi, “Siapa lagi yang paling aktif menyebarkan arahan-arahan buat ritual kalau bukan dukun di desa, benar, enggak?”

Silla lalu memberitahunya, “Namanya Bu Makar. Beliau anaknya dukun yang mengawali tradisi Tembung Lakar.”

“Kalau yang saya dengar; sepertinya semua orang sangat hormat dan patuh sama perintah orang pintar di desa,” ujar Mahesa. “Bahkan kepala desa juga seperti tercuci otaknya.”

“Tapi kesannya kita seperti nuduh kalau enggak ada buktinya,” balas Silla.

Mahesa menyeringai seraya mengusap-usap kedua tangannya. “Gimana kalau si Teteh bantu memperkenalkan Bu Makar ke saya? Jadi saya bisa wawancara langsung—”

Silla menyahut, “Boleh. Gimana kalau sekarang saja?”

Mahesa beranjak dari lesehan saung. Ia langsung semangat berseru, “Makasih banyak ya, Teh. Hayu, mari kita ke sana!”

 

 

[1] Balik deui ka tempat mimiti anjeun! Jangan kungsi datang deui dieu!: Kembali ke tempat asalmu! Jangan pernah datang lagi ke sini! (Sunda Kasar)

[2] Belegug pisan si wartawan eta mah: Bodoh banget si wartawan itu ya (Sunda Kasar)

[3] Aa: sapaan untuk laki-laki yang sebaya atau lebih muda.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Pacarku Arwah Gentayangan
5761      1732     0     
Mystery
Aras terlonjak dari tidur ketika melihat seorang gadis duduk di kursi meja belajar sambil tersenyum menatapnya. Bagaimana bisa orang yang telah meninggal kini duduk manis dan menyapa? Aras bahkan sudah mengucek mata berkali-kali, bisa jadi dia hanya berhalusinasi sebab merindukan pacarnya yang sudah tiada. Namun, makhluk itu nyata. Senja, pacarnya kembali. Gadis itu bahkan berdiri di depannya,...
Persinggahan Hati
2056      833     1     
Romance
Pesan dibalik artikel Azkia, membuatnya bertanya - tanya. Pasalnya, pesan tersebut dibuat oleh pelaku yang telah merusak mading sekolahnya, sekaligus orang yang akan mengkhitbahnya kelak setelah ia lulus sekolah. Siapakah orang tersebut ? Dan mengakhiri CInta Diamnya pada Rifqi ?
In Her Place
735      495     21     
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...
102
2299      934     3     
Mystery
DI suatu siang yang mendung, nona Soviet duduk meringkuh di sudut ruangan pasien 102 dengan raga bergetar, dan pikiran berkecamuk hebat. Tangisannya rendah, meninggalkan kesan sedih berlarut di balik awan gelap.. Dia menutup rapat-rapat pandangannya dengan menenggelamkan kepalanya di sela kedua lututnya. Ia membenci melihat pemandangan mengerikan di depan kedua bola matanya. Sebuah belati deng...
Trip
935      475     1     
Fantasy
Sebuah liburan idealnya dengan bersantai, bersenang-senang. Lalu apa yang sedang aku lakukan sekarang? Berlari dan ketakutan. Apa itu juga bagian dari liburan?
Flashdisk
480      317     2     
Short Story
Ada yang aneh dengan flashdiskku. Semuanya terjadi begitu saja. Aneh. Lalat itu tiba-tiba muncul dan bergerak liar pada layar laptopku, semuanya terasa cepat. Hingga kuku pada semua jariku lepas dengan sendirinya, seperti terpotong namun dengan bentuk yang tak beraturan. Ah, wajahku! Astaga apalagi ini?
Cerita Cinta anak magang
460      290     1     
Fan Fiction
Cinta dan persahabatan, terkadang membuat mereka lupa mana kawan dan mana lawan. Kebersamaan yang mereka lalui, harus berakhir saling membenci cuma karena persaingan. antara cinta, persahabatan dan Karir harus pupus cuma karena keegoisan sendiri. akankah, kebersamaan mereka akan kembali? atau hanya menyisakan dendam semata yang membuat mereka saling benci? "Gue enggak bisa terus-terusan mend...
Late Night Butterfly
29      27     0     
Mystery
Maka sejenak, keinginan sederhana Rebecca Hahnemann adalah untuk membebaskan jiwa Amigdala yang membisu di sebuah belenggu bernama Violetis, acap kali ia memanjatkan harap agar dunia bisa kembali sama meski ia tahu itu tidak akan serupa. "Pulanglah dengan tenang bersama semua harapanmu yang pupus itu, Amigdala..." ucapnya singkat, lalu meletupkan permen karet saat langkah kakinya kian menjauh....
My Dangerious Darling
4468      1703     3     
Mystery
Vicky, mahasiswa jurusan Tata Rias yang cantik hingga sering dirumorkan sebagai lelaki gay bertemu dengan Reval, cowok sadis dan misterius yang tengah membantai korbannya! Hal itu membuat Vicky ingin kabur daripada jadi sasaran selanjutnya. Sialnya, Ariel, temannya saat OSPEK malah memperkenalkannya pada cowok itu dan membuat grup chat "Jomblo Mania" dengan mereka bertiga sebagai anggotanya. Vick...
Manusia Kaset
353      226     0     
Short Story
Sudah lama Darto menghilang terutama saat ditagih hutang. Sekalinya muncul pun ia susah buat ditagih hutangnya. Tapi pada akhirnya Darto benar-benar tak pernah lagi muncul. Kemanakah ia?