Paginya, Silla melihat ibunya sedang memasak bubur lemu khas orang Sunda. Itu makanan manis kesukaannya dan adiknya sewaktu kecil. Saat itu ia sedang bertengger di pillar ruang tengah. Sambil mengintip ibunya di dapur, ia bernostalgia.
Kenangan lalu jadi membuatnya teringat sosok Mutia yang telah lama tiada. Ia membayang-bayangkan sendiri; seperti apa wajah adiknya itu jika sekarang masih hidup. Mungkin akan mirip dengan dirinya. Atau mungkin lebih cantik dan ceria dibanding dirinya.
“Kunaon atuh?”[1] tegur ibunya. “Kok malah bengong di situ. Kesambet nanti loh.”
Seketika lamunan Silla buyar.
“Sarapan bubur lemu sini,” ajak ibunya.
Silla langsung menyeringai seraya menghampiri ibunya. Di meja dapur ada banyak bahan-bahan masakan. Ia mengernyit heran. “Loh, kok banyak banget belanjanya? Memangnya Ambu mau masak bubur lemu lagi?”
Ibunya lalu menjelaskan, “Ini mah buat persiapan besok. Kan mau dimasak untuk kepentingan acara tradisi pas Sabtu nanti. Ambu ikutan nyumbang makanan seperti warga yang lain.”
Silla langsung menyilangkan kedua tangan di dada. Lalu bertanya, “Sejak kapan?”
“Sudah lama Ambu masakin buat warga pas lagi tradisi,” ujar ibunya.
Silla jadi curiga; ada waktu-waktu tertentu ibunya suka meminta uang lebih padanya. Ia sempat berpikir, mungkin ada kalanya kebutuhan pengobatan ayahnya mahal. Namun melihat kegiatan ibunya ini; ia jadi berpikir lain. Apakah selama ini uang tambahannya digunakan membeli bahan-bahan masakan untuk ritual?
“Ngapain sih Ambu ikutan mereka,” gerutu Silla.
“Sebagai warga yang baik, enggak ada salahnya ikutan berkontribusi,” jelas Ambu, santai menanggapi ucapan skeptik anaknya.
Silla menghela nafas. Dalam hati ia sebenarnya tak setuju. Namun ia biarkan saja.
“Kamu masih lama kan nginep di desa?” tanya Ambu.
“Iya, aku bakal nginep seminggu di sini,” jawabnya. “Memangnya kenapa, Bu?”
“Berarti nanti bisa datang pas acara tradisi Tembung Lakar,” ujar Ambu.
“Memangnya kita wajib ikutan ya?” tanya Silla. “Abah kan enggak bisa keluar rumah. Nanti yang jagain siapa—”
“Kan ada kursi roda. Tinggal bantuan Ambu nganter Abah nonton acaranya saja nanti,” sahut ibunya, tersenyum.
Silla merasa percuma memperdebatkan hal ini. Ibunya pasti selalu punya ucapan untuk menangkisnya. Akhirnya Silla pasrah saja. Ia duduk di meja makan dan menyantap bubur manis yang sudah dihidangkan.
“Ambu dengar-dengar dari warga, ada wartawan yang datang ke desa.”
Sambil mengunyah makanan, Silla langsung melirik ibunya.
“Kalau kamu papasan, hindari saja ya,” perintah Ambu. “Enggak usah digubris kalau dia tanya-tanya sama kamu.”
“Loh, memangnya kenapa?” tanya Silla, heran.
Ambu menghela nafas saat menjawabnya, “Biasanya kalau ada wartawan nyari-nyari berita ke sini, mereka mau nulis berita jelek.”
Silla semakin mengernyit keheranan. Lantas ia bertanya lagi, “Kok bisa tahu? Memangnya berita jelek seperti apa yang pernah ditulis tentang desa ini?”
“Pokoknya pasti nanti ada saja berita jelek tentang Kampung Jinem. Mereka buat-buat tulisan ngarang—”
Silla jadi teringat perkataan Mahesa kemarin. Jurnalis itu sempat membaca tulisan di internet mengenai desa ini. Namun yang dibacanya bukan informasi yang baik. Melainkan kasak-kusuk misterius adanya sesajen darah manusia di tempat ini. Makanya jurnalis itu sangat penasaran ingin mengulik perihal tersebut.
Silla sendiri yang besar di Kampung Jinem; belum pernah melihat langsung adanya sesajen darah manusia dipersembahkan. Tapi ia memang masih belum banyak tahu mengenai akar tradisi yang ada di sini.
Ketika ibunya membicarakan sosok kedatangan jurnalis itu, Silla tak kaget. Karena ia sendiri yang membantu jurnalis itu untuk mewawancarai Bu Makar selaku kepala adat. Lagi pula ia tak mau memusingkan perihal seperti itu.
Usai sarapan, Silla pamit untuk menghirup udara segar di luar rumah. Ia menyusuri jalanan kecil di desa. Pemandangan asri menyejukkan hatinya sejenak. Namun ketika pikirannya melayang lagi pada kenangan masa lalu, hatinya kembali bergejolak. Seperti ada rasa panas yang terkadang menyesakkan. Rasa sakit dan haru yang ia tahan selama belasan tahun masih tersimpan dalam dirinya. Kenangan buruk dari masa lalu membuatnya suka jadi kepikiran.
Ia berjalan-jalan sampai ke ladang pertanian. Rerumputan kuning dan kegiatan para pekerja di sana mengingatkan hari-hari indah ayahnya. Beliau dulu salah satu petani yang ikut bekerja keras di sini. Sayang sekali, kini beliau harus berbaring sakit di atas kasur.
Ia lanjut menyusuri jalanan setapak di ladang. Di sana ia bertemu Mahesa yang sedang mengambil foto-foto pemandangan dengan kamera digital. Beberapa saat ia memperhatikannya dari jauh. Jurnalis itu belum sadar akan kedatangannya.
Lalu Silla berdeham, menarik perhatiannya. Akhirnya Mahesa menengok dan terkejut mendapati kehadirannya.
“Selamat pagi, Teh Silla!” sapanya seraya menghampiri.
“Selamat pagi, Aa,” balas Silla. “Lagi sibuk ngambil foto ya?”
“Enggak sibuk-sibuk banget kok, Teh,” jawabnya, menyeringai santai. “Ngomong-ngomong, apa masih lama si Teteh mau balik ke kota nanti?”
“Saya ambil masa cuti seminggu. Masih lama kok. Baru dua hari saya di sini,” jawab Silla dengan nada ramah.
“Oh, kalau begitu, nanti kita bisa pulang bareng ke Jakarta. Saya juga rencananya cuma seminggu doang di sini,” ujar Mahesa. “Si Teteh naik kereta, kan?”
Silla tertawa kecil seraya memberitahunya, “Saya bawa mobil.”
Mahesa langsung tertegun. “Oh—”
“Kalau mau numpang saya antar balik, bisa kok,” ujar Silla, menawarkan.
“Wah, makasih banyak ya, Teh. Baik banget loh. Saya jadi bisa berhemat ongkos pulang,” ungkap Mahesa, terkekeh malu.
Lalu Mahesa mengajaknya menyusuri jalanan ladang bersama. Sesekali ia mengambil foto pemandangan di sekitarnya. Silla sekedar menemani di sampingnya.
Setelah melewati jalanan ladang, mereka berhenti sejenak. Lalu Mahesa bertanya, “Ini kan desa yang mata pencarian utamanya bertani, apa si Teteh tahu sejarahnya?”
Silla menjelaskan, “Kamu lihat kan, ada banyak bangunan kecil di sini?”
Mahesa mengangguk seraya memperhatikan sekelilingnya.
“Bangunan-bangunan itu dijadikan lumbung padi sama para petani,” tambah Silla.
Ada banyak bangunan yang dijadikan tempat penyimpanan padi dan hasil bumi lainnya. Semua bentuknya persegi panjang, memiliki pintu, jendela, dindingnya terbuat dari anyaman bambu dan juga papan kayu. Dilengkapi sekitar lima atau enam anak tangga.
“Para petani menyebutnya bangunan jinem,” tutur Silla. “Bentuk bangunan jinem melambangkan kesuburan katanya.”
“Apa nama desa ini terinspirasi dari bangunan itu?” tanya Mahesa.
Silla mengangguk. “Benar. Selain itu, asal usul kata jinem sendiri terinspirasi dari nama ruangan yang dianggap paling sakral oleh keluarga kerajaan di tatar Sunda.”
“Oh, iya? Coba saya cari di internet ya, Teh. Jadi penasaran…” ujar Mahesa seraya mengeluarkan handphone dari celananya.
Silla memperhatikan Mahesa yang tengah menatap layar handphone. Ia baru menyadari warna mata laki-laki itu ternyata cokelat tua. Bentuknya yang besar dan berbinar memancarkan kesan ceria pada wajah jurnalis itu.
“Jinem berasal dari kata jinek, yang artinya jelas tanpa keraguan. Bisa juga bermakna sebagai tempat untuk menggali kesejatian diri yang utuh,” ujar Mahesa.
Silla mengangguk-angguk.
“Wah, saya jadi belajar filosofi dibalik bangunan-bangunan ini. Makasih ya, Teh, sudah mau berbagai ilmu,” ujar Mahesa, tersenyum lebar.
“Jadi kenapa desa ini bisa bernama Jinem, karena terinspirasi dari asal muasal bangunan lumbung padi,” ungkap Silla. “Kebanyakan tempat penyimpanan hasil bumi disimpan di tempat ini.”
Mahesa terkesima dengan penjelasan dari Silla yang terkesan bak budayawan sejati.
“Kenapa si Teteh enggak jadi arkeolog saja? Atau jadi profesor sejarah?” tanya Mahesa, menatapnya heran. “Pasti cocok banget sama pembawaan Teh Silla yang berwawasan luas.”
Silla sontak terkekeh. Lalu ia membalas, “Saya mah sadar diri saja, Aa. Profesi seperti itu kurang menjanjikan buat saya.”
Mahesa tertegun, penasaran mengapa ia berkata begitu.
“Saya butuh menghasilkan uang yang cukup buat biaya pengobatan ayah saya,” tambah Silla. “Kalau jadi arkeolog atau profesor sejarah kan bisa nunggu lama penghasilannya.”
Mahesa mengernyit heran. “Masa’ sih, Teh? Bukannya banyak duitnya ya jadi arkeolog, sekalinya ada proyek?”
Silla mengangkat bahunya dan menggeleng. “Enggak tahu pasti sih. Tapi sepertinya itu pekerjaan yang lebih merepotkan dibanding jadi tim pemasaran.”
“Oh, iya… tadi si Teteh bilang butuh menghasilkan uang buat biaya pengobatan ayah. Kalau boleh tahu, memangnya ayah si Teteh sakit apa?” tanya Mahesa, ingin bersimpati.
Silla menghela nafasnya. Akhirnya ia jadi harus menceritakan internal keluarganya. “Abah saya sekarang pesakitan. Asmanya suka kambuh. Dulu abah saya petani di sini.”
“Saya turut prihatin ya, Teh. Semoga bisa cepat sembuh si Abah,” tutur Mahesa.
Walau sekedar kata-kata simpati yang dilontarkannya, Silla tetap menghargainya.
Mereka kembali menyusuri jalanan di desa. Entah mau melangkah ke mana, Silla mengikutinya saja. Ia sendiri tak punya kegiatan khusus saat itu. Dalam benaknya, ia masih kepikiran bagaimana caranya bisa mengungkap kejadian misterius di masa lalu.
Mahesa tiba-tiba menanyakan, “Apa di desa suka ada kejadian seram, Teh?”
Silla langung balas menatapnya dan berhenti berjalan.
“Soalnya sejak saya nginep di desa, tiap malam seperti ada sesuatu yang tak kasat mata ngawasin saya,” ungkap Mahesa. “Jendela dan pintu suka buku nutup sendiri. Saya jadi paranoid, Teh.”
Silla kaget mendengarnya. Karena baru semalam ia mengalami kejadian serupa. Lantas ia berasumsi sendiri, “Apa jangan-jangan memang ada maling yang lagi berkeliaran ya semalam?”
“Hah? Maling?” gumam Mahesa.
“Bisa saja kan ada maling yang mau coba masuk ke rumah warga,” tutur Silla. “Soalnya semalam di rumah orang tua saya juga begitu. Jendela kebuka sendiri.”
“Wah, bisa bahaya dong,” sahut Mahesa.
Silla berkata, “Kita bisa lapor satpam setempat.”
Mahesa segera mencegatnya, “Eh, tapi ya, Teh… saya dengar-dengar…”
Silla menatapnya penasaran, “Kenapa?”
“Kalau di tanah Jawa biasanya ada mitos makhluk Lelepah,” ujar Mahesa sambil merengut, menciptakan mimik wajah seram. “Apa jangan-jangan di Kampung Jinem juga menyimpan misteri kisah serupa ya?”
“Makhluk Lelepah maksudnya gimana, Aa?” tanya Silla.
“Itu makhluk seram yang terkenal suka mangsa daging dan darah manusia,” tutur Mahesa. “Saya dengar kan, di desa ini ada yang ngasih persembahan darah manusia. Apa ada hubungannya mungkin?”
“Ah! Ada-ada saja deh,” sangkal Silla, langsung terkekeh.
“Konon katanya sih, makhluk Lelepah suka berkeliaran di pelosok desa. Bentuknya besar dan hitam, suka makan manusia!” seru Mahesa.
“Cuma cerita bualan masyarakat saja kali,” ujar Silla. “Saya enggak pernah dengar ada cerita begitu di Kampung Jinem.”
“Benaran, Teh?” tanya Mahesa, masih terlihat agak ngeri.
“Yang saya tahu sih menyangkut tradisi Tembung Lakar saja,” ujar Silla. “Ada kejadian aneh jaman dulu. Orang-orang mendadak bunuh diri tanpa sebab. Enggak lama setelah mereka ngikutin ritual dan nembangin kidung sakral. Mungkin bisa jadi semacam kutukan.”
“Kok bisa ya?” gumam Mahesa. “Apa benar gara-gara ikutan tradisi ritual itu?”
Silla mengangkat bahunya lagi dan menggeleng. “Saya belum bisa memastikan. Tapi justru saya ingin membuktikannya.”
“Saya juga jadi penasaran,” ucap Mahesa.
“Si Aa jadi mau lihat acara ritualnya besok?” tanya Silla.
Mahesa menyeringai, terlihat bersemangat. “Iya dong, Teh! Saya harus nonton langsung acaranya! Sebagai jurnalis, sudah jadi tugas saya buat cari-cari info tradisi itu.”
Silla menarik nafas panjang. Ia sendiri tak merasa ingin berpartisipasi. Tapi di satu sisi, seharusnya ia ikut hadir demi mencari jawaban atas rasa penasarannya.
Mahesa pun ingin memastikan, “Si Teteh bakal ikut juga kan?”
Silla tersenyum. Lalu menjawabnya, “Iya, besok saya harus ikut bantuin ibu saya bawaiin makanan pas acara.”
“Boleh saya bantuin?” tanya Mahesa.
Silla mengangguk. “Boleh kok. Datang saja besok pagi ke rumah.”
[1] Kunaon atuh?: Kenapa sih? (Sunda)