Loading...
Logo TinLit
Read Story - Tembung Lakar
MENU
About Us  

Setelah Silla beranjak dewasa, ia punya kehidupan sendiri di kota. Hidup jauh dari orang tuanya yang tinggal di desa, ia menjadi tulang punggung keluarga. Ayahnya dulu seorang petani yang rajin. Namun kini beliau sudah sakit-sakitan. Sedangkan ibunya yang masih sehat berusaha membantu dengan berjualan hasil panen bumi dari petani lain.

Tanpa sepengetahuan orang tuanya, Silla selalu bermimpi buruk tiap malam. Ia kerap menyaksikan ulang kejadian yang menimpa mendiang adiknya di rumah bambu.

Ketika bekerja di kantor, Silla harus berpura-pura bak tak ada beban pada punggungnya. Tanpa ia sadar, sebenarnya ia menjalani trauma yang berat. Akibat kenangan-kenangan buruk pada masa itu, Silla kesulitan tidur nyenyak. Lalu ia jadi kepikiran; apa yang menyebabkan dirinya terngiang-ngiang mimpi buruk yang sama?

Dari waktu ke waktu, ia suka merenung. Ia mencoba mengingat hal-hal yang pernah terjadi di desa. Lalu ia teringat tradisi yang selalu dilakukan para penduduk saat itu; yaitu menembangkan kidung. Apalagi mereka suka mengaitkannya dengan dongeng dewi padi. Apa memang ada hubungannya dengan peristiwa lampau—yang selalu dibanggakan para penduduk di Kampung Jinem?

Berbekal rasa penasarannya yang semakin mendalam, Silla berencana kembali ke kampung halamannya. Ia sampai mengambil masa cuti kantor untuk pertama kalinya. Ia berhasrat mencari tahu apa yang terjadi dengan orang-orang di desanya pada saat itu.

Akhirnya Silla memutuskan mengemudi mobil sendiri dari Jakarta. Perjalanan sekitar tiga jam pun ia tempuh demi kembali ke Kampung Jinem yang berkawasan di Jawa Barat.

“Sill, loe yakin mau pulang kampung sendirian?” tanya Andin di telepon.

Saat itu Silla sudah menyalakan pengeras suara yang terpasang di head unit mobilnya. Ia menerima panggilan grup telepon dari kedua teman kantornya.

“Memangnya mau bareng siapa lagi?” sindir Silla, terkekeh.

“Ya sama kita lah!” sahut Jill.

“Gue udah jalan di tol nih. Telat banget kalau kalian baru menawarkan diri,” balas Silla. “Lagian gue mau ada urusan pribadi di desa kok. Ngapain juga kalian ikut?”

“Kita butuh healing juga! Di desa kan pemandangannya segar banget!” ujar Andin.

“Eh, bisa jadi alasan kita buat liburan dari kerjaan kantor yang numpuk!” timpal Jill.

“Selamat ya. Kalian bakal kerja rodi di kantor tanpa gue,” ucap Silla, menertawakan mereka. “Sekarang giliran gue yang mau healing—”

Usai berbasa-basi dengan mereka, Silla menutup panggilan telepon. Kini ia mendengarkan musik sambil fokus mengendarai mobil sedan hitamnya.

***

Terik matahari berada tepat di atas kepala. Silla tiba di Kampung Jinem menjelang jam makan siang. Ibunya sudah menunggu di teras rumah. Beliau tak sabar ingin menyambutnya hangat. Mereka langsung berpelukan, melepas rasa rindu.

Ibunya berceloteh riang seraya mempersilahkannya masuk, “Ambu masakin ubi rebus buat kamu. Ada sagon kelapa juga. Ada—”

“Duh, Ambu, enggak perlu repot-repot,” pungkas Silla sambil mengusap lembut bahu sang ibunda. Ia sendiri membawa banyak oleh-oleh makanan dari Jakarta. Ibunya sangat senang dengan semua jajanan kue kering yang dibawakannya.

“Teu nanaon!”[1] sahut Ambu. “Kita memang sudah nungguin kedatangan Silla ke sini. Makanya Ambu nyiapin banyak makanan enak buat kamu!”

Akhirnya Silla mengangguk-angguk saja. Ia senang bisa disambut riang oleh ibunya. Ketika memasuki ruang tengah, ia mencari-cari di mana sosok ayahnya berada.

Ibunya langsung mengerti bak membaca pikirannya. “Si Abah barusan tidur di kamar. Habis minum obat asma.”

“Kalau begitu, nanti saja bangunin si Abah. Biar istirahat dulu,” tutur Silla.

“Sapa wae lah si Abah. Dia pasti senang bisa lihat kamu!” ujar Ambu.

Silla lalu pelan-pelan memasuki kamar orang tuanya. Terlihat sosok ayahnya sedang berbaring di atas kasur. Melihat beliau mendengkur, Silla tidak tega ingin membangunkannya. Terlihat pulas sekali tidurnya.

Di belakangnya, Ambu menegur, “Kok kamu diam saja?”

Suara ibunya yang terlewat agak kencang membuat ayahnya terbangun. Akhirnya beliau menyadari kedatangan Silla. Benar saja seperti yang dikatakan ibunya, sang ayah langsung tersenyum bahagia melihat sosok anaknya.

Usai menyapa ayahnya, Silla mengikuti langkah ibunya. Ia dipersilahkan duduk di meja makan. Mereka bersama-sama menyantap hidangan lezat sambil bertukar kabar.

“Kumaha damang di kota?”[2] tanya Ambu.

Sambil mengunyah makanan, Silla mengangguk-angguk. “Sae, Ambu.”[3]

Ibunya mulai menginterogasi, “Sudah punya pacar belum?”

Silla terkekeh santai saja menanggapinya. “Belum. Nanti saja lah.”

“Ah, kamu mah harusnya—” ibunya mulai menasihatinya panjang lebar, membuat Silla menarik nafas panjang.

Lama-lama suara beliau terdengar seperti dengungan latar yang berisik. Silla mencoba meredam suara-suara yang tak ingin didengarnya. Lalu meleburnya jauh di belakang benak kepalanya.

Sampai akhirnya sang ibunda menyadari sikap cueknya. Langsung saja ia ditegur, “Maneh dengerin teu mungguh dibere nyaho?”[4]

Silla tertegun ketika mendadak ditegur. Pas sekali ayahnya keluar kamar, mengalihkan pembicaraan mereka di meja makan. Silla merasa terselamatkan saat itu. Segera ia membantu ayahnya duduk di sofa ruang tengah. Sofa usang itu berada tepat di seberang meja makan. Lalu Silla kembali duduk bersama ibunya dan lanjut menyantap hidangan.

Kondisi rumah orang tuanya masih sama seperti terakhir Silla tinggal di sini. Segala perkakas dan perabotan rumah masih tertata rapi seperti sedia kala. Nuansanya juga teduh dan lebih sederhana dibandingkan rumahnya di kota.

Mereka berbincang-bincang kembali; menanyakan berapa lama Silla akan tinggal, kapan kembali bekerja, dan hal-hal umum lainnya yang biasa ditanyakan pada anak rantau.

Sampai pada akhirnya, Silla memberanikan diri bertanya mengenai suatu hal. “Ambu, orang-orang di desa masih pada percaya sama dongeng dewi padi? Apa masih ada ritual-ritual adat khusus begitu?”

Ibunya jelas meliriknya heran. “Kenapa kamu tiba-tiba bertanya begitu?”

Silla menjawab, “Aku penasaran saja kok. Dulu kan orang-orang pada terobsesi sama kepercayaan itu.”

Silla masih belum memberitahu alasan yang sebenarnya. Ia takut akan dimarahi jika membahas perkara mendiang adiknya. Namun karena itulah ia jadi dihantui mimpi-mimpi buruk dari masa lalu.

Abahnya ikut mendengar percakapan mereka. Dengan suara pelan, beliau membisikkan, “Tem… bung… La… kar.”

Silla menengok padanya. “Naon, Abah?”[5]

“Tembung… Lakar,” ucap ayahnya dengan suara yang bergemetar.

Saat mendengar istilah itu, barulah Silla teringat lagi. Ayahnya dulu pernah memberitahunya tentang hal tersebut. Itulah nama legenda yang mengisahkan kedatangan seorang dewi agung di Kampung Jinem.

“Naon sih kamu? Tanya-tanya begitu?” gerutu ibunya. “Aneh-aneh wae—”

Silla jadi tak nyaman dengan lirikan ketus ibunya. Ia juga tak mau menyulut amarah beliau. Segera ia mengalihkan topik pembicaraan. Mereka kembali berbincang mengenai hal-hal yang lebih umum untuk dibicarakan. Akhirnya topik mengenai hubungan asmaranya yang kembali dikulik sang ibunda. Silla pun harus bersabar sampai sesi basa-basi berakhir.

***

Entah mau berapa hari Silla bakal menginap di kampung halamannya. Jika belum kunjung mendapat jawaban sampai masa cuti habis, ia tak akan bisa tidur tenang.

Hari pertama tiba di Kampung Jinem, ia menelusuri perkampungan warga. Kenangan nostalgia muncul, membuatnya teringat hari-hari indah bersama adik kecilnya. Namun semuanya hanya tinggal kenangan. Tiada lagi sosok adik perempuan di sisinya.

“Kalau Mutia masih ada, dia pasti seperti para gadis di desa,” gumam Silla.

Saat itu ia tengah memperhatikan aktifitas sehari-hari para penduduk. Ada yang sedang menampi beras, mengeringkan jemuran baju, anak-anak yang bermain bersama. Suasana di desa benar-benar terasa menyejukkan pandangan.

Namun tidak begitu dengan hati Silla. Rasanya bagai ada yang hilang dalam dirinya. Jika saja waktu bisa berputar kembali, ia akan berusaha melindungi adiknya agar tetap hidup.

Ia ingat betul awal mula kejadian itu; akibat melantunkan sebuah kidung mistis. Tidak hanya Mutia, namun hal yang sama juga menimpa beberapa penduduk setempat. Apakah ia jadi begitu klenik jika harus menyalahkan kidung desa sebagai kutukan?

Silla ingin mengulik kisah dari masa lalu. Itulah tujuan ia datang ke mari. Ia memulainya dari tempat para sesepuh di desa. Ia mengunjungi rumah mereka untuk bertanya-tanya. Kebanyakan dari mereka enggan untuk membicarakan perihal tersebut. Mereka menganggapnya tabu karena jadi membicarakan kisah kematian beruntun pada masa lalu.

Hanya sedikit informasi yang Silla bisa gali dari beberapa sesepuh setempat. Ada yang menyebut kejadian tersebut sebagai persembahan jiwa untuk sang dewi agung. Para petani dan penduduk di Kampung Jinem masih sangat percaya dengan kedatangan Sanghyang Asri. Dari waktu ke waktu selalu ada persembahan khusus yang disajikan. Tidak hanya sekedar rangkaian sesajen atau darah ayam. Bahkan sampai darah manusia pun diberikan.

Sewaktu kecil, amat minim informasi yang ia ketahui. Kedua orang tuanya selalu menepis pembicaraan seperti itu. Akhirnya keanehan di desa hanya menjadi bayang-bayang misteri baginya. Baru kali ini ia akan mengulik peristiwa dari masa lalu.

Berbekal dari sekilas kisah itu, Silla jadi teringat dengan kepala adat di desa. Beliau dulu dipercaya ketua desa untuk memimpin ritual-ritual sakral. Setelah kepala adat yang sebelumnya meninggal dunia, kini digantikan oleh anaknya yang bernama Bu Makar.

Silla berterima kasih atas informasi yang diberikan sesepuh. Kini ia memberanikan diri mencari tempat tinggal kepala adat itu. Harapannya besar ingin mengulik apa yang sebenarnya pernah terjadi di Kampung Jinem.

Saat itu Bu Makar sedang melakukan tradisi ruwatan untuk warga yang datang ke tempatnya. Beliau juga dikenal membuka praktik pengobatan alternatif di desa.

Sosoknya terlihat sudah paruh baya. Sepertinya seumuran dengan kedua orang tua Silla. Saat ditemui, perempuan bertubuh kurus itu mengenakan kebaya putih dan rok lilit batik. Rambutnya disanggul, serta ada hiasan bunga merah di telinganya.

“Sampurasun, Bu Makar,” sapa Silla di pekarangan rumah beliau. Ia mengaitkan kedua tangan dan menunduk hormat.

Sejenak perempuan berkulit sawo matang itu mengernyit padanya. Beliau mencoba mengingat-ingat sebelum bertanya, “Anjeun saha, nya? Si Teteh mau berobat?”[6]

Segera Silla memperkenalkan diri, “Saya Silla, Bu. Anaknya Abah Didin.”

Bu Makar seketika menyeringai. Beliau langsung balas menyapanya dengan riang, “Oh, Teh Silla. Ya ampun, sudah dewasa sekarang—”

Silla balas tersenyum mendapati dirinya disambut hangat.

“Sebentar ya, Teh,” ujarnya. Bu Makar segera menyelesaikan acara ruwatannya pada seorang warga.

Silla memperhatikan ada lima orang lainnya yang ikut mengantri di pekarangan. Sepertinya mereka sudah lama menunggu giliran.

Semenit kemudian, beliau bergegas menemui Silla.

“Kumaha damang si Abah? Sudah sehat sekarang?” tanya Bu Makar.

“Masih menjalani pengobatan, Bu. Masih rutin minum obat,” jawab Silla. “Moga-moga si Abah bisa cepat sembuh.”

“Duh, saya bisa saja tiap hari datang ke rumah si Abah buat bantu ngobatin. Tapi ibumu enggak setuju,” tutur Bu Makar. “Saya menghormati pilihannya Bu Kosasih kalau memang enggak mau suaminya diobati secara alternatif.”

“Sakitnya si Abah memang murni medis, Bu Makar. Memang di keluarga kami ada riwayat penyakit asma turunan. Kalau pengobatan alternatif kan biasanya yang berhubungan dengan dunia gaib, ya?” ujar Silla.

Bu Makar terkekeh seraya menepuk sebelah bahunya. “Ah, kamu bisa saja. Enggak semuanya harus dikaitkan dengan dunia gaib.”

Beberapa warga masih mengantri ingin bertemu dengan Bu Makar saat itu. Silla jadi segan karena telah menyerobot antrian mereka.

“Jadi Teh Silla kenapa mau ketemu sama saya?” tanya Bu Makar.

“Ada yang mau saya bicarakan sama Bu Makar. Kalau enggak keberatan, kapan Ibu ada waktu luang?” tanya Silla, sesekali ia mencuri pandang ke orang-orang yang melirik kesal padanya. Lalu ia berbisik, “Saya enggak enak sama yang lain. Mereka sudah ngantri, Bu.”

Bu Makar tersenyum seraya menepuk-nepuk bahunya. “Boleh kalau mau ngopi bareng sama saya nanti sore. Datang lagi saja ke rumah saya.”

Silla mengangguk setuju. Ia akan datang lagi saat waktu sandekala nanti.

 

[1] Teu nanaon!: Enggak apa-apa! (Sunda)

[2] Kumaha damang di kota?: Gimana kabarnya di kota? (Sunda)

[3] Sae: Baik (Sunda)

[4] Maneh dengerin teu mungguh dibere nyaho?: Kamu dengerin enggak kalau dikasih tahu? (Sunda Kasar)

[5] Naon: Apa (Sunda)

[6] Anjeun saha, nya?: Kamu siapa, ya? (Sunda Halus) // Teteh: sapaan untuk perempuan (Sunda)

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 1 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Hidden Path
5860      1565     7     
Mystery
Seorang reporter berdarah campuran Korea Indonesia, bernama Lee Hana menemukan sebuah keanehan di tempat tinggal barunya. Ia yang terjebak, mau tidak mau harus melakukan sebuah misi 'gila' mengubah takdirnya melalui perjalanan waktu demi menyelamatkan dirinya dan orang yang disayanginya. Dengan dibantu Arjuna, seorang detektif muda yang kompeten, ia ternyata menemukan fakta lainnya yang berkaita...
Dark Shadow
358      230     5     
Horror
Tentang Jeon yang tidak tahu bahwa dirinya telah kehilangan Kim, dan tentang Kim yang tidak pernah benar-benar meninggalkan Jeon....
Only One
837      587     13     
Romance
Hidup di dunia ini tidaklah mudah. Pasti banyak luka yang harus dirasakan. Karena, setiap jalan berliku saat dilewati. Rasa sakit, kecewa, dan duka dialami Auretta. Ia sadar, hidup itu memang tidaklah mudah. Terlebih, ia harus berusaha kuat. Karena, hanya itu yang bisa dilakukan untuk menutupi segala hal yang ada dalam dirinya. Terkadang, ia merasa seperti memakai topeng. Namun, mungkin itu s...
House with No Mirror
457      347     0     
Fantasy
Rumah baru keluarga Spiegelman ternyata menyimpan harta karun. Anak kembar mereka, Margo dan Magdalena terlibat dalam petualangan panjang bersama William Jacobs untuk menemukan lebih banyak harta karun. Berhasilkah mereka menguak misteri Cornwall yang selama ini tersembunyi?
Trip
935      475     1     
Fantasy
Sebuah liburan idealnya dengan bersantai, bersenang-senang. Lalu apa yang sedang aku lakukan sekarang? Berlari dan ketakutan. Apa itu juga bagian dari liburan?
Ruman Tengah Jalan
738      440     3     
Horror
Jeritan Suara
1690      671     0     
Horror
Menjadikan pendakian sebagai hobi walaupun dia seorang gadis dengan kukuatan fisik yang tidak sebanding dengan teman-temannya yang lain. Tetapi seperti dirinya, teman-temannya tau jika Pai lebih kuat dari apa yang orang lain bisa lihat. Setelah beberapa kali membuat kegaduhan saat pulang mendaki selalu membawa 'oleh-oleh', kali ini bukan hanya itu saja. Lebih besar pengaruhnya saat ia membawa ...
Mysterious Call
497      330     2     
Short Story
Ratusan pangilan asing terus masuk ke ponsel Alexa. Kecurigaannya berlabuh pada keisengan Vivian cewek populer yang jadi sahabatnya. Dia tidak sadar yang dihadapinya jauh lebih gelap. Penjahat yang telah membunuh teman dekat di masa lalunya kini kembali mengincar nyawanya.
Dendam
851      557     2     
Mystery
Rian Putra Dinata, seorang pelajar SMU Tunas Muda, memiliki sahabat bernama Sandara. Mereka berdua duduk di bangku yang sama, kelas XI.A. Sandara seorang gadis ceria dan riang, namun berubah menjadi tertutup sejak perceraian kedua orang tuanya. Meskipun Sandara banyak berubah, Rian tetap setia menemani sahabatnya sejak kecil. Mereka berjanji akan terus menjaga persahabatan hingga maut memisahk...
Suara Kala
6841      2207     8     
Fantasy
"Kamu akan meninggal 30 hari lagi!" Anggap saja Ardy tipe cowok masokis karena menikmati hidupnya yang buruk. Pembulian secara verbal di sekolah, hidup tanpa afeksi dari orang tua, hingga pertengkaran yang selalu menyeret ketidak bergunaannya sebagai seorang anak. Untunglah ada Kana yang yang masih peduli padanya, meski cewek itu lebih sering marah-marah ketimbang menghibur. Da...