Menjelang waktu sandekala, Silla menemui Bu Makar selaku kepala adat. Kediaman rumah beliau berada dekat dengan area hutan desa.
Bu Makar bisa dibilang sebagai satu-satunya orang pintar di Kampung Jinem. Orang-orang percaya dengan kemampuan batin beliau yang sudah turun temurun dari moyangnya.
Sewaktu Silla masih kecil, ia mendengar selentingan cerita mengenai keluarga beliau. Ayahnya Bu Makar masih dianggap sebagai dukun yang banyak berjasa bagi para warga.
Kini Silla akan berbincang langsung dengan Bu Makar. Ia berharap akan mendapat banyak penjelasan mengenai kisah-kisah dari masa lalu. Terutama mengenai kematian beruntun para warga kala itu.
“Wilujeng sonten, Teh Silla,” sapa Bu Makar. “Hayu calik di dieu—”[1]
Sudah tersedia dua cangkir kopi di meja teras. Rupanya beliau telah menanti kedatangannya.
Silla balas tersenyum dan berkata, “Selamat sore, Bu Makar.”
Lalu ia dipersilahkan duduk bersama di teras. Perbincangan dimulai dengan basa-basi sebentar mengenai keseharian Silla di Jakarta. Seputar hal-hal umum seperti yang ditanyakan orang tuanya saat baru tiba di rumah.
Setelah menikmati seteguk kopi hitam yang disiapkan beliau, Silla mulai mengutarakan tujuannya, “Jadi maksud kedatangan saya—”
Bu Makar malah menebak, “Apa ada yang jadi beban pikiran si Teteh akhir-akhir ini?”
Silla membelalak. Memang benar ada yang mengganggu pikirannya. Namun beban itu sudah menghantuinya sejak lama, bukan saja belakangan ini.
Silla langsung menghembuskan nafas panjang. Lalu berkata, “Saya kepikiran sama legenda yang pernah ada di Kampung Jinem. Sampai dibuatkan tradisi khusus. Ada kidung mistisnya juga—”
“Itulah yang namanya nguri-uri budaya. Tradisinya sudah turun temurun. Kita sebagai penerus harus bisa ikut melestarikan,” sahut Bu Makar usai meneguk secangkir kopi hangatnya.
“Budaya?” gumam Silla. Dalam batin ia menggerutu sendiri; apa hal semacam itu bisa dikatakan budaya?
“Kenapa kok si Teteh tiba-tiba penasaran?” tanya Bu Makar, menatapnya heran.
“Ah, itu karena…” suaranya gugup.
Rasanya sulit untuk mengatakan alasan yang sebenarnya. Apakah beliau akan langsung menepis ucapannya seperti Ambu?
Belum sampai Silla selesai menjawabnya, Bu Makar menyahut, “Jaman saya masih kecil, tersiar dongeng tentang dewi padi di sini.”
Sepasang mata Silla melebar. Jantungnya berpacu kencang saat beliau menyebutkannya. Silla memang datang ke mari untuk memahami peristiwa di masa lalu. Ia ingin mengungkap kejadian apa yang sebenarnya menimpa adiknya dan juga orang-orang di desa ini.
“Saya menyaksikan abah saya melakoni tradisi persembahan untuk sang dewi. Namanya juga dukun kampung satu-satunya. Jadi abah saya dipercaya buat memimpin ritual waktu itu,” tutur Bu Makar. Ada kebanggaan yang terpancar dari sorot matanya. “Dari situlah tercipta yang namanya legenda Tembung Lakar di Kampung Jinem.”
“Saya dengar dari abah saya juga mengenai legenda itu. Artinya permintaaan para penduduk yang bermula dari akar tanah, kan?” timpal Silla.
“Betul,” Bu Makar mengangguk. “Suatu permintaan para penduduk agar tanah di kampung kita ini bisa subur. Karena jaman dulu, semua tanaman bumi layu. Perekonomian juga menurun. Orang-orang terus bermunajat supaya diberi kesejahteraan.”
“Jadi apa hubungannya dengan dewi yang disebut-sebut tadi?” tanya Silla.
“Setelah beberapa waktu, do’a orang-orang terkabul,” ujar Bu Makar. “Datanglah seorang dewi dari kahyangan bernama Nyi Pohaci Sanghyang Asri.”
Silla masih penasaran. “Lalu?”
“Kedatangan Sanghyang Asri memberikan keberkahan bagi Kampung Jinem. Tanah jadi subur. Perekonomian jadi maju,” tutur Bu Makar. “Tinggal bagaimana kita bisa membalas jasa baik beliau.”
Bak anak polos, Silla bertanya, “Caranya?”
Bu Makar terkekeh dan menatapnya diam sejenak.
“Si Teteh kan sudah tahu tadi,” sindir Bu Makar. “Sebagai tanda balas jasa, orang-orang melakoni tradisi persembahan untuk Sanghyang Asri.”
“Berarti semacam mengkultuskan sang dewi, begitu, Bu?” tanya Silla, heran.
“Tergantung dari sudut pandangnya saja sih. Kalau mau dibilang begitu, ya silahkan. Kalau mau dibilang sebagai tanda penghormatan, juga bisa,” ujar Bu Makar, jawabannya terkesan menggantung.
Kini Bu Makar hanya meneruskan amanat dari ayahnya. Tujuannya demi melestarikan tradisi persembahan untuk sang dewi. Menurutnya, hal itu dilakukan agar desa senantiasa mendapat kesejahteraan dari waktu ke waktu.
Namun bagi orang awam seperti Silla, hal semacam itu jelas terdengar seperti perbuatan syirik. Konsepnya terdengar bak menyekutukan suatu sosok selain Tuhan. Entahlah itu dewa atau entitas lain, bagi Silla persembahan seperti itu terdengar nyeleneh.
“Orang jaman dulu masih berpegang teguh sama kepercayaan animisme. Nenek moyang kita kan awalannya berdo’a pada Tuhan melalui perantara leluhur,” tutur Bu Makar.
Lantas Silla bertanya heran, “Apa masih ada orang-orang di desa yang mengikuti kepercayaan semacam itu?”
Baru kali ini Bu Makar melengos. Sepertinya beliau kesal dengan tanggapan Silla. Lalu beliau menegurnya, “Si Teteh kok kedengarannya seperti jijik begitu sih.”
Silla sontak mengerjap kikuk. “Eh, bukan maksud saya begitu, Bu—”
Bu Makar lalu bertanya balik, “Menurut si Teteh sendiri bagaimana kelihatannya?”
Sejenak mereka memandangi suasana sandekala. Beberapa petani terlihat membawa hasil panennya. Ada juga penggembala yang mengarahkan bebek-bebeknya untuk pulang.
“Masih banyak orang di Kampung Jinem yang rajin ikutan ritual sakral,” ujar Bu Makar. “Dari dulu sampai sekarang, enggak ada yang berubah. Kami tetap mengikuti tradisi nenek moyang kami.”
“Yang jadi pertanyaan terbesar saya selama ini hanya satu,” gumam Silla, matanya berkaca-kaca. Dalam pandangan batinnya, ia teringat wajah adik kecilnya.
Bu Makar tersenyum. “Naon, Teh?”
Silla lalu balas menatapnya hening. Bibirnya ingin mengucap, namun rasa kaku menyergap seluruh tubuhnya. Kenangan-kenangan pahit dari masa lalu menghantamnya bagai mimpi buruk.
“Saya penasaran sama kematian beruntun orang-orang di masa lalu,” akhirnya ia mengutarakannya. “Kok terkesan janggal ya menurut saya.”
Bu Makar kini hanya memandangnya diam membisu.
“Empat belas tahun yang lalu, mereka ditemukan mati bunuh diri tanpa sebab yang jelas,” ujar Silla, pandangannya nanar, hatinya bergetar. “Begitu juga dengan adik saya, Mutia.”
Bu Makar menghembuskan nafas panjang. Lalu berkata, “Jadi kedatangan Teh Silla ke mari untuk menanyakan hal tersebut pada saya?”
“Sebenarnya apa yang terjadi di Kampung Jinem ini?” tanya Silla, geram. “Apa ada hubungannya kematian mereka dengan tradisi yang Bu Makar sebut tadi?”
Spontan Bu Makar membalas, “Kenapa si Teteh bisa nuduh begitu?”
“Karena dulu saya sering dengar orang-orang menyanyikan kidung mistis. Pasti enggak lama setelah itu ada saja yang meninggal,” ujar Silla, masih mengingat betul peristiwa itu. “Dan kidung itu yang sering dinyanyikan saat acara ritual di desa. Apa itu ritual persembahan yang Bu Makar bicarakan tadi?”
Bu Makar menghela nafasnya seraya meletakkan cangkir di atas meja. Sambil memandangi matahari yang hendak tenggelam, beliau berkata, “Kok bisa dihubung-hubungkan begitu peristiwanya? Apa Teh Silla jadi menyalahkan kidung sakral atas kematian orang-orang saat itu?”
Silla menatapnya canggung. “Ugh… saya…”
“Saya turut berduka yang sedalam-dalamnya atas kematian adiknya si Teteh. Tapi yang namanya kematian sudah jadi kehendak yang Maha Kuasa. Pamali diungkit-ungkit,” ujar Bu Makar, sekedar mengingatkan.
“Saya mau tahu kebenaran ceritanya,” ujar Silla, masih penasaran. “Enggak mungkin orang-orang bunuh diri begitu saja tanpa ada sebab yang jelas.”
“Kebenaran bagi tiap orang bisa berbeda,” pungkas Bu Makar, nada bicaranya kini terdengar tegas. “Apa yang kamu percaya, dengan apa yang saya percaya… belum tentu sama sudut pandangnya, kan?”
Raut wajah Bu Makar nampak risih saat Silla mulai berbincang lebih berani. Hal-hal yang menyangkut kepercayaan masih jadi ranah yang cukup sensitif untuk dibahas.
“Apalagi memaksakan apa yang dinamakan kebenaran,” ujar Bu Makar, meliriknya agak ketus. “Sungguh tidak etis.”
Silla balas menghela nafas. “Maaf, Bu. Bukan maksud saya mau berdebat. Tapi…”
“Buat kita, orang di desa… tradisi persembahan sudah jadi hal yang lumrah,” ujar Bu Makar, kembali tersenyum. “Tidak ada yang selama ini mempermasalahkannya, kecuali Teh Silla.”
“Saya cuma merasa harus memahami peristiwa aneh pada saat itu. Karena ini menyangkut misteri kematian adik saya juga,” ujar Silla, mencoba tetap berbicara tenang walau dalam hati gentar. “Adik saya sempat menyanyikan kidung itu sebelum meninggal. Jadi saya punya kecurigaan—”
Bu Makar menatapnya agak kesal. Lalu beliau berujar, “Saya kan sudah bilang tadi; yang namanya kematian sudah jadi kehendak Tuhan. Tidak perlu sampai menyalahkan tradisi kita di desa. Memangnya kenapa kalau orang-orang suka menembangkan kidung mistis itu? Apa terus semua warga bakal mati?”
Silla pun jadi penasaran, “Apa peristiwa semacam itu masih berulang di desa saat ini?”
“Duh si Teteh, pertanyaannya aneh-aneh. Namanya mati dan hidup orang, sudah jadi perputaran takdir yang lumrah,” jelas Bu Makar.
Silla menyahut, “Tapi maksud saya bukan begitu, Bu.”
Rasanya melelahkan harus menjelaskan berulang kali apa yang ingin ia perbincangkan. Mendapati Bu Makar malah terkekeh menanggapinya, Silla jadi merasa bak orang bodoh. Jawaban beliau yang terkesah acuh tak acuh begitu, membuat rasa penasarannya semakin besar. Bahkan ia curiga; bisa jadi ada sesuatu yang sengaja ditutupi oleh kepala adat ini.
Namun Silla tak mau duduk berlama-lama dan berdebat tak karuan. Akhirnya ia pamit pulang sebelum langit gelap.
***
Keesokan harinya, Silla berusaha mengamati keadaan di desa dengan caranya sendiri. Ia ingin mengulik kejanggalan orang-orang yang mati beruntun di masa lalu. Termasuk juga kematian misterius adiknya.
Sejenak ia menyusuri jembatan sungai di desa. Pandangannya terpaku pada air yang mengalir lembut. Pantulan wajahnya yang berkulit putih langsat terlihat di sana.
“Orang-orang enggak mungkin mati begitu saja. Pasti ada penyebabnya,” gumam Silla.
Silla termenung, mengingat-ingat percakapannya dengan Bu Makar kemarin. Menurutnya, ada sesuatu yang tak dikatakan oleh beliau. Sesuatu yang memang sengaja ditutupinya. Tradisi persembahan yang pernah dijelaskan oleh Bu Makar terdengar tak wajar.
Ia merasa keanehan itu berawal dari dukun di desa yang rajin melakoni ritual-ritual adat. Orang-orang terpengaruh untuk ikut menjalaninya juga. Apalagi Bu Makar yang mengatakan; hal itu sudah jadi tradisi yang turun temurun.
Ia juga sempat dengar cerita dari orang tuanya yang pernah mengikuti tradisi itu. Hal-hal yang dipersembahkan dalam ritual bisa berupa sesajen buah-buahan sampai darah ayam. Dengan patuh, semua warga mengikuti prosesi acara pada waktu-waktu tertentu.
“Memang ada keanehan di Kampung Jinem,” gumamnya lagi, raut wajahnya terlihat gundah gelisah sendiri. “Iya, kan?”
Lamunannya buyar saat anak-anak kecil saling berteriak. Mereka berlarian di jembatan sungai sambil membawa layangan.
Silla jadi teringat dirinya juga pernah bermain bersama adik kecilnya di desa. Masa-masa indah itu tak akan pernah terlupakan olehnya.
“Eh, jangan lari-lari gitu! Bahaya tahu!” sahut seorang laki-laki yang membawa tas ransel di pundaknya. “Di sini licih loh—”
Silla mengernyit saat memperhatikannya dari seberang jembatan. Sepertinya laki-laki muda itu bukan dari desa ini. Baru kali ini Silla melihat sosoknya. Laki-laki itu berbadan agak gempal, berkulit sawo matang, dan berambut rapi bak orang kantoran.
Lalu mata mereka saling bertatapan. Silla langsung membuang muka. Ia sempat melihat laki-laki itu tersenyum padanya. Namun ia malah bersikap seakan tak melihatnya. Entah siapa dia dan mau apa di desa, Silla tak mempedulikannya.
Saat ia menengok lagi, laki-laki berkemeja necis itu telah pergi. Begitu juga dengan anak-anak kecil yang tadi berlarian. Kini Silla berdiri sendirian di jembatan kayu. Dirinya kembali merenungi berbagai kenangan dari masa lalu.
[1] Wilujeng sonten: Selamat sore // Hayu calik di dieu: Ayo duduk di sini (Sunda Halus)