***
Kereta terus melaju meninggalkan gemerlap hiruk pikuknya perkotaan. Disambut pemandangan yang sunyi hanya diisi gemerlap bintang yang mulai terbit dari balik gelapnya malam. Lembar demi lembar dibuka, kata demi kata dipahami, seperti menyelam dalam lautan makna dan hikmah. Kasih hanyut membaca tulisan Salim A Fillah dengan judul Bahagia Merayakan Cinta. Sebentar ia berhenti memahami bait yang perlu diulang karena indah rangkaian kata. Kadang ia mengangguk setuju dan mengerti. Tanpa sengaja juga ia tersenyum manis seolah malu tiba-tiba jatuh cinta sendiri. Di tengah asiknya menyelam mencari ribuan mutiara ia dikejutkan dengan panggilan seorang ibu yang berdiri di samping kursi.
"Maaf, mbak," ujar ibu dengan wajah gelisah dengan rambut kusut pendek bergelombang.
Kasih terheran dan membalas, "Iya, Bu. Ada apa, ya?"
"Maaf mbak saya minta tukaran kursi boleh? Mbaknya duduk di sana, saya di sini dengan anak saya." Telunjuk ibu mengarah ke kursi nomor 4.
Kasih pun akhirnya berdiri dan memastikan lagi, "Maaf, Ibu bisa diulangi?"
"Iya, mbak. Anak saya dari tadi menangis takut dengan bapak tatoan di sampingnya. Saya kasihan jadinya saya tawarin buat pindah tapi yang kosong cuma kursinya mbak apalagi mbaknya sendirian." Ibu itu mencoba menjelaskan terbata-bata dengan suara yang semakin pelan.
Kasih menelan ludah dan bertanya lagi, "Anaknya Ibu di mana?"
Ibu dengan baju bunga berlengan pendek dan celana lepis coklat sebetis menunjuk ke arah tempat duduknya. Kasih mengernyitkan dahi daritadi ia tidak mendengar suara anak kecil menangis. Ia berjalan pelan ke kursi nomor 4 dan mendapati bapak gendut bertato naga dengan rambut panjang tengah tertidur pulas di kursi. Sedangkan, di sampingnya tidak ada siapa pun. Kasih mengepal kuat keringat dingin mulai keluar.
Ia kembali lagi dan berkata, "Maaf, Bu tempat duduk harus sesuai yang ada di tiket. Ibu bisa kembali." Kasih tersenyum sebaik mungkin.
Ibu itu merengek terus memohon, "Tolong mbak anak saya terus menangis."
Kasih tetap menggeleng. Penumpang pun mulai terusik seorang laki-laki tinggi dengan wajah rupawan yang duduk di sampingnya berdiri mencoba membujuk ibu itu untuk kembali ke kursi.
"Maaf, Ibu. Ini sudah larut malam mohon ibu duduk tenang di kursi supaya tidak menggangu yang lain."
Ibu itu malah marah dan menaikkan suaranya, "Saya hanya ingin pindah apa susahnya sih lagipula mbaknya juga duduk sendirian."
Bapak dengan kemeja batik sadar dengan kejadian itu dan langsung memaksa ibu itu kembali ke kursi. Ibu itu tetap meronta menolak. Laki-laki rupawan dengan jaket denim pun segera memanggil petugas. Suasana kereta sempat ricuh. Petugas mencoba menenangkan ibu dan mengingatkan untuk tidak menimbulkan kegaduhan di kereta atau terpaksa diturunkan di stasiun berikutnya. Selang beberapa menit suasana kembali tenang dan penumpang mulai menarik selimut melanjutkan tidur. Kasih berterima kasih pada bapak berbaju batik juga kepada laki-laki jaket denim.
"Mbaknya, tidak apa-apa?" tanya laki-laki itu sembari duduk di kursi sampingnya. Perempuan dengan kacamata hitam di samping dan rambut pirang mendecakkan lidah dengan ekspresi sebal. Situasi ini memang mengejutkan dan tidak mengenakkan bagi siapa pun. Apalagi Kasih ia masih shock dan linglung.
"Minum dulu biar tenang." Laki-laki itu menyodorkan botol air mineral yang masih tersegel. Ia membukanya terlebih dahulu sebelum diberikan ke Kasih.
Kasih pun menerima karena sungkan. Ia pun meminumnya perlahan. Menenangkan batinnya.
"Oh iya, kalau boleh kenalkan nama saya Bright. Asal Bandung tujuan mau pulang ke kampung halaman saya dulu daerah Semarang."
"Oh, Semarang. Saya asli semarang juga. Kalau boleh tahu nama kampungnya apa, ya? Salam kenal juga. Nama saya Kasih."
"Sebentar saya ingat dulu, namanya ... Plesinan."
"Oalah itu mah kampung saya juga rumahnya di situ. Nanti boleh mampir ke rumah saya sekalian jalan-jalan."
Mereka pun akhirnya bertukar nomor telepon dan melanjutkan percakapan di WhatsApp. Kasih tidak lupa memberikan alamat rumahnya jika Bright ada kesempatan untuk mampir.
***