Sedetik...
Dua detik...
Tiga detik...
Detik kesepuluh, Yura baru berhenti lompat. Dan pada detik ketiga puluh, dia baru sadar kalau sekarang dia sedang memeluk seseorang. Bukan sekadar orang, tapi... Go Minhyuk.
Dengan sangat pelan, Yura melonggarkan tangannya, menarik tubuhnya menjauh dari lelaki itu. Memberi jarak yang cukup buat mereka bernapas. Setelahnya, Yura langsung menunduk, menyembunyikan wajahnya sambil menaruh kedua tangan ke belakang tubuh. Di dalam hati, dia sedang memaki dirinya sendiri.
"A—C! Han Yura, kau sudah gila, ya?" gumamnya pelan.
Berbeda dengan Yura yang sudah ingin membenturkan kepalanya ke dinding terdekat, Minhyuk malah tersenyum geli. Lucu melihat tindakan Yura yang seolah baru sadar kembali ke dunia nyata.
"Kau bilang apa?" tanya Minhyuk membuka suara.
Mata Yura membulat. "Hah? Eo? Eo..." Dia geleng-geleng kuat.
"Eh... Maaf. Aku cuma refleks tadi. Soalnya... ada kabar baik."
Yura sempat berpikir kalau Minhyuk bakal marah lagi padanya. Jujur aja, dia sedikit takut sekarang. Tapi melihat Minhyuk yang malah menggeleng pelan dan tersenyum, Yura akhirnya bisa bernapas lebih lega.
"Kau... ada apa ke sini?" tanya Yura.
"Aku mau bicara denganmu. Kau... ada waktu?"
Hening. Yura terdiam.
Mwoji? Dia salah pilih waktu, ya?
"Tapi kalau kau nggak ada waktu, nggak apa-apa, bisa—"
"ANIYO!" Yura langsung menghentikan kata-kata Minhyuk. "Aku ada waktu. Maaf, aku cuma kaget aja kau mau nemuin aku setelah kemarin itu. Di kafe aja?"
Minhyuk mengangguk setuju.
***
Setelah beli minuman, keduanya duduk berseberangan.
"Yura-ssi." Minhyuk yang mulai bicara duluan.
Yura yang sedang memainkan jarinya, mengangkat kepala saat namanya dipanggil.
"Ya?"
"Soal kemarin... Maafkan aku. Seharusnya aku nggak membentakmu seperti itu. Alasan apapun nggak akan membenarkan apa yang aku lakuin kemarin."
Minhyuk beneran merasa bersalah. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Dia takut Yura masih marah padanya. Tapi... dia juga udah siap kalau Yura mau marah balik.
Tapi ternyata nggak seperti yang dia bayangkan. Yura malah tersenyum kecil.
"Gwaenchanhayo. Maaf karena aku lancang. Seharusnya aku tanya dulu kalau mau megang sesuatu. Soalnya... itu bukan rumahku."
Semakin mengenal Yura, Minhyuk makin yakin kalau perempuan ini memang baik.
"Nggak apa-apa," jawab Minhyuk sambil tersenyum. Jantungnya mulai tenang.
"Jadi? Kau ke sini cuma buat bilang ini?" Minhyuk mengangguk samar.
"Waw! Aku terharu, boleh kan? Seorang Go Minhyuk bisa melakukan hal seperti ini!" seru Yura dengan gaya lebaynya.
Minhyuk sampai terkekeh dengarnya. Ya... dia nggak salah juga sih. Karena seperti yang sudah dia bilang, dia bukan orang yang seperti ini. Tapi pikirannya memang terusik oleh Yura. Dia nggak mau hubungan mereka jadi renggang.
"Jadi kita udah baikan, kan? Aku boleh chat kau lagi?"
"Eh?" Minhyuk mengangkat satu alis, merasa salah dengar. "Selama ini kau nahan diri buat nggak chat?" tanyanya, senyum kecil menahan.
Kenapa dia malah senang ya dengarnya?
Yura berdeham. "Sebenarnya... aku nahan diri. Masa habis dibentak, masih ngechat juga. Di mana maluku, hei."
"Astaga." Minhyuk geleng-geleng, nggak habis pikir.
"Geuraesseo? Dwaeji?" tanya Yura lagi.
Diamnya Minhyuk bikin Yura menahan napas.
Takut.
Tapi saat kepala lelaki itu mengangguk, Yura senang banget. Sepertinya hari ini memang hari keberuntungannya.
"Tadi kau bilang ada kabar baik? Mau cerita?"
"Oh iya! Aku mau cerita! Kabar baik nggak boleh disimpan sendiri, kan," jawab Yura sambil tertawa kecil.
Lalu cerita itu pun mengalir begitu saja dari mulut Yura.
Kalau ada orang yang kenal Minhyuk selama lima tahun ini, mungkin mereka akan bingung lihat dirinya sekarang. Karena Minhyuk sama sekali bukan tipe yang suka dengar cerita orang lain. Biasanya dia bakal pilih menyendiri.
Tapi Minhyuk yang sekarang... yang duduk di hadapan Yura ini... terasa beda.
Belum lagi senyum yang terus dia lemparkan tiap kali dengar Yura cerita dengan semangat. Sepanjang waktu itu, Minhyuk benar-benar fokus. Dengar, dan melihat perempuan di depannya.
Karena entah kenapa... itu bikin dia tenang.
***
Setelah pertemuan terakhir mereka kemarin, yaaa sekarang hubungan mereka baik-baik saja. kembali seperti sedia kala.
Yura memang sibuk, tapi terkadang juga masih menyempatkan diri untuk mengobrol dengan Minhyuk lewat chat. Lelaki itu juga tidak merasa terganggu, bahkan... dia senang.
Sulit dijelaskan kenapa, hanya saja dia senang berkomunikasi dengan dokter bernama Han Yura itu.
Tapi... memang tidak dapat bohong, pikirannya terkadang masih terganggu dengan surat yang terletak di depan televisi yang belum dia buka sama sekali. Mungkin karna itu dia suka kalau ada chat dari Yura. Karena pikirannya teralihkan—walau hanya sebentar.
"Haruskah?" pikirannya tiba-tiba teringat seseorang yang menurutnya bisa membantunya dalam membaca surat ini. Karna jujur dia tidak akan mampu untuk membacanya sendiri tanpa memukul sesuatu. "Boleh dicoba," gumamnya sendiri setelah pertimbangan panjang.
Jarinya mengetikkan pesan kepada satu-satunya orang yang selalu membuatnya tersenyum belakangan ini.
Go Minhyuk:
Mianhande, bolehkah aku meminta bantuanmu?
Semenit, dua menit.
Tidak ada jawaban.
Minhyuk meletakkan hapenya dengan lesu. "Apakah terlalu berlebihan untuk meminta bantuan padanya?"
Sekitar sepuluh menit kemudian, hapenya baru bergetar yang ternyata pesan masuk dari Yura.
Han Yura:
danggeuniji!
dengan senang hati
maaf aku baru saja selesai operasi
Go Minhyuk:
aku ada surat...
tapi tidak berani untuk membacanya sendiri
bisakah kau menemaniku untuk membacanya?
Han Yura:
surat? Surat cinta?
Go Minhyuk:
... anil... geol(?)
sepertinya tidak sih
Han Yura:
hmm. Boleh boleh!mau dimana?
Go Minhyuk:
hm, besok kau sibuk?
Han Yura:
ani, besok aku jadwal libur
Go Minhyuk jadi merasa bersalah sendiri karna tersadar ia menyita waktu libur yang didapatkan dengan susah. Tapi sudah terlanjur...
Go Minhyuk:
wah, maaf sekali...
Han Yura:
eiii gwaenchanhayong~!
Go Minhyuk:
hm, bagaimana jika café kemarin itu? Jam 11?
Han Yura:
oke! kalau begitu, sampai bertemu besok!
aku masih harus memantau pasien... see ya!
Setelah mengetikkan satu pesan terakhir—berisi terima kasih—Minhyuk menutup chat dengan senyum tenang.
Semoga surat itu... tidak membuatnya sakit hati.
***
Esoknya, di kafe tempat mereka janjian, Minhyuk sudah menunggu satu jam lebih. Tapi belum ada tanda-tanda Yura datang juga.
Padahal jam sepuluh tadi, Yura sempat kasih kabar kalau dia sudah berangkat dari apartemen.
Ini sudah cangkir kedua yang Minhyuk pesan dan habiskan sambil menunggu. Dan—lagi—untuk antisipasi hujan, Minhyuk membawa mobilnya. Pertama kalinya dalam lima tahun terakhir. Mobil itu bahkan hampir tidak pernah dia kendarai lagi. Biasanya cuma dibawa ke bengkel buat servis. Itu pun appanya yang bawain.
Drrtttt
Matanya melirik ke layar hape. Panggilan masuk: Minjun.
Jujur... dia agak malas angkat. Tapi tetap dia angkat juga.
"Halo?"
Dari seberang, suara napas Minjun terdengar cepat dan panik.
"Hyung... Eotteoke..."
Perasaan Minhyuk langsung nggak enak. Jantungnya mulai berdetak nggak karuan.
"Yura... Yura kecelakaan. Sekarang dia di IGD."
Deg.
Kalau tadi jantungnya berdebar kencang, kali ini rasanya seperti berhenti.
Seakan... kosong.
"Hyung, kau dengar, kan?"
Tanpa ba-bi-bu, Minhyuk langsung mematikan telepon. Tangannya cepat-cepat meraih kunci mobil.
Sepanjang jalan, dia hanya berdoa dalam hati. Kuat.
Berharap... ini bukan kejadian yang sama seperti dulu.
Berharap... ini bukan kehilangan kedua kalinya.