Hari mulai gelap saat kegiatan itu berakhir. Barang-barang sudah dimasukkan kembali ke dalam mobil dinas rumah sakit. Di kursi penumpang depan, kepala suster Joo membuka sedikit jendela dan menoleh ke arah Yura yang berdiri di luar.
"Kau yakin tidak mau pulang bersama kami?" tanyanya pelan, suaranya sedikit tertahan di antara deru mesin mobil.
Yura mengangguk mantap. "Iya, aku pulang dengan Minhyuk-ssi saja. Kasihan juga dia pulang sendiri karena Minjun tidak jadi menjemput."
Kepala suster Joo menatapnya sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. "Baiklah. Kalau begitu, kami duluan ya."
"Iya, hati-hati di jalan!" balas Yura dengan senyum.
Dua mobil itu melaju perlahan, lampu belakangnya semakin mengecil sebelum akhirnya menghilang dari pandangan. Yura menghela napas pendek, lalu berbalik, langkahnya ringan menuju Minhyuk yang masih merapikan peralatan fotografinya.
"Mau pulang sekarang?" tanyanya begitu kembali di hadapan Minhyuk.
Minhyuk menatapnya sekilas sebelum mengangguk. "Kau tidak pulang dengan staf rumah sakit?"
"Tidak. Aku ikut denganmu saja. Sekalian pulang bareng."
Minhyuk tidak berkata apa-apa lagi, hanya mulai berjalan dengan Yura di sampingnya menuju stasiun kereta.
Ia teringat bagaimana Yura sempat setengah berlari mengikutinya tempo hari, jadi kali ini, tanpa banyak kata, ia sengaja memperlambat langkahnya. Yura pasti lelah setelah seharian bekerja dan bermain dengan anak-anak. Well, hitung saja ini sebagai salah satu bentu kemanusiaannya(?)
Beruntung, kereta tidak lama datang. Minhyuk merapikan tasnya lebih dulu, membiarkan Yura naik lebih dulu. Begitu perempuan itu duduk, barulah ia ikut masuk dan duduk di sebelahnya.
Perjalanan dari Inwangsa ke Jung-gu tidak lama, terlebih dengan kereta. Ritme kota masih terasa kencang, orang-orang berjalan cepat, seolah dikejar waktu. Begitu turun, Yura yang belum sepenuhnya sigap malah tertabrak seseorang yang tengah berlari untuk masuk ke kereta.
"Oh, maaf, maaf!" seru orang itu buru-buru, sebelum langsung menghilang di dalam kereta yang melaju.
Yura memandang kemeja dan jaketnya yang kini ternoda kopi. Matanya berkilat kesal, tapi mau bagaimana lagi? Orangnya sudah pergi. Mau marahpun, orangnya sudah tidak ada.
"Pergilah ke toilet dulu, bersihkan jejak kopinya." Minhyuk berkata dengan nada tenang.
Yura mendesah kecil, lalu mengangguk. Sementara itu, Minhyuk berjalan ke minimarket di stasiun, membeli tisu kering.
Saat Yura keluar dari toilet, ia mendapati Minhyuk sudah berdiri menunggunya sambil menyerahkan tisu. "Gomawoyo," katanya, tersenyum kecil.
Minhyuk hanya mengangguk. Tapi begitu mereka berjalan menuju pintu keluar stasiun, langkah mereka kembali terhenti.
Hujan turun.
Yura mengulurkan tangannya keluar dari gedung stasiun, membiarkan rintik-rintik air jatuh di telapak tangannya. Hujan tipis, tapi cukup untuk membuat mereka basah jika nekat menerjangnya.
"Sepertinya musim panas memang sudah dekat," gumamnya pelan, menoleh pada Minhyuk yang hanya diam, tatapannya lurus ke depan. "Buktinya, sudah turun hujan aja."
Minhyuk menghela napas, menatap langit yang kelabu. "Dan kau jadi terjebak hujan."
"Bagaimana ini? Aku tidak bawa payung, kau bawa?"
Minhyuk menggeleng pelan. Sama sekali tidak terpikirkan hujan akan turun malam ini.
Yura ikut terdiam. Tangannya yang basah hendak ia usapkan ke jaket, tapi Minhyuk dengan sigap menyerahkan beberapa lembar tisu.
"Ohooo~ Tto gomawoyo!" ucap Yura lembut, mengambilnya.
Minhyuk berpikir sejenak. Jika mereka menunggu, tidak tau sampai kapan hujan akan berhenti. Dan lagi, mereka belum makan malam. Kalau menunggu terlalu lama di stasiun, bisa-bisa malah masuk angin.
...
Hm...
Sebenarnya ada satu solusi.
Pergi ke apartemennya yang hanya berjarak dua menit dari sini. Karna Yura juga pasti tidak nyaman setelah ketumpahan kopi tadi.
"Aku.. Hm, bagaimana jika kita ke apartemen ku dulu? Kau pasti tidak nyaman dengan baju dan jaketmu yang ketumpahan itu. Dekat dari sini. Hanya sekitar dua menit. Nanti kau bisa mengganti pakaian dengan bajuku dulu. Kalau tidak, kau akan sakit."
Sejenak, Yura bengong. Agak terkejut dengan ajak Minhyuk yang tak pernah ia bayangkan. Tapi perempuan itu tau niat baik Minhyuk, jadi dia tidak berpikir yang macam-macam juga.
Kepalanya mengangguk sambil tersenyum, "boleh. Tapi apakah aku tidak merepotkanmu?"
"Sudah biasa juga. Ayo lari." Dengan langkah cepat, Minhyuk memandu Yura menerjang hujan menuju apartemennya.
***
Hujan masih turun saat mereka tiba di apartemen Minhyuk. Pakaian mereka basah, air menetes dari ujung rambut hingga ke ujung sepatu.
Begitu memasuki unit, Minhyuk segera menaruh tasnya di atas meja makan lalu bergegas masuk ke kamarnya, meninggalkan Yura yang masih berdiri di dekat pintu dengan tubuh sedikit menggigil. Ia ragu untuk melangkah lebih jauh, merasa tidak enak karena ini pertama kalinya ia masuk ke tempat tinggal Minhyuk.
Tak lama, lelaki itu kembali dengan handuk bersih di tangannya. Tanpa berkata-kata, ia mengusap wajah Yura dengan lembut, sedangkan tangan lainnya bergerak ke belakang kepala Yura, menahan pelan kepala perempuan itu. Gerakannya pelan dan penuh kehati-hatian. Setelahnya, handuk itu disampirkan di bahu Yura, membiarkannya membalut tubuhnya yang basah.
Tangan Minhyuk yang masih terasa dingin karena hujan, perlahan menggenggam pergelangan tangan Yura, menuntunnya ke ruang tamu. "Duduklah dulu. Aku ambilkan pakaian untukmu."
Lalu Minhyuk menghilang ke dalam kamarnya lagi.
Yura sadar bahwa pakaiannya basah, jadi ia memilih untuk duduk di lantai daripada mengotori sofa. Namun, begitu Minhyuk kembali, ekspresinya berubah kesal melihat Yura yang duduk di bawah.
"Duduk di sofa aja," perintahnya yang mau tak mau membuat Yura mengikutinya.
Lelaki itu menyerahkan satu kemeja biru yang cukup familiar bagi Yura, serta celana jogger berwarna gelap yang tampaknya akan kebesaran jika tidak ada tali karet di pinggang. "Gantilah pakaianmu. Ini yang paling pas untukmu. Aku akan membuat teh hangat. Kamar mandinya di sebelah sana."
Semua terjadi begitu cepat, Yura tak sempat menolak atau berkata apa-apa. Ia hanya bisa mengangguk lalu masuk ke kamar mandi untuk mengganti pakaian.
Sementara itu, Minhyuk mengeringkan dirinya, asal, dengan handuk, lalu memasak air untuk teh.
Tak lama, bunyi pintu kamar mandi yang terbuka menarik perhatiannya. Ia menoleh dan melihat Yura keluar, kini mengenakan pakaiannya. Ada sesuatu yang terasa asing di dadanya melihat perempuan itu dalam bajunya sendiri. Tapi ia menepis pikirannya dan menyerahkan secangkir teh.
"Duduk dan minumlah dulu, untuk menghangatkan diri," ucapnya.
Yura menerima cangkir itu, membiarkan kehangatan teh meresap ke jemarinya yang masih dingin. Minhyuk berdiri di seberangnya, menyeruput tehnya dengan tenang.
"Terima kasih," gumam Yura.
Minhyuk hanya mengangguk lalu meletakkan cangkirnya di meja. "Aku ganti baju dulu. Kau bisa duduk di sofa kalau mau."
Setelah Minhyuk masuk ke kamarnya, Yura perlahan berpindah tempat ke sofa. Saat itulah matanya menangkap sesuatu di meja lampu kecil di sampingnya—sebuah figura foto yang diletakkan terbalik.
Rasa penasarannya muncul.
Dengan hati-hati, Yura mengambil figura itu dan membaliknya.
Matanya terpaku pada foto di dalamnya. Minhyuk, berdiri di samping seorang perempuan yang tidak ia kenali. Mereka tampak dekat. Ada sesuatu di dalam foto itu yang membuatnya bertanya-tanya.
Pacarnya? Temannya? Atau seseorang dari masa lalunya?
Namun, sebelum ia sempat menyusun jawabannya sendiri, figura itu tiba-tiba direnggut dari tangannya dengan kasar.
Yura tersentak.
Minhyuk berdiri di hadapannya, menggenggam figura itu dengan begitu erat, matanya menatap tajam, penuh emosi yang Yura duga adalah kemarahan.
Suasana tiba-tiba saja berubah mencekam. Saking heningnya, Yura sampai bisa mendengar suara rintik hujan yang terdengar dengan jelas. Tak ada yang bersuara. Hanya suasana mencekam yang sepertinya akan mencekik Yura perlahan sebentar lagi kalau dia tidak bersuara duluan.
"Itu siapa?" tanya Yura pelan, memberanikan diri untuk memecah suasana yang tak ia suka ini.
Alih-alih menjawab, Minhyuk menggigit pipi bagian dalamnya. Rahangnya menegang, jemarinya semakin mencengkeram bingkai kayu itu. Ia tidak suka ini. Tidak suka kalau Yura menyentuh sesuatu yang seharusnya tidak ia sentuh.
Dan lebih dari itu, ia tidak suka dengan perasaan yang muncul bersamaan dengan kemarahannya.
"Hamburo manjiji-ma!" bentaknya, suaranya dalam dan penuh tekanan. (Jangan sembarangan menyentuh sesuatu!)
Yura membeku di tempatnya. Sorot mata Mihnyuk benar-benar menakutkan sekarang. Sorot mata yang tak pernah Yura lihat sebelumnya.
Ia bisa merasakan dadanya menghangat karena syok. Matanya mulai terasa panas.
Tak ingin air matanya jatuh di hadapan Minhyuk, Yura memilih untuk bangkit dan pergi. Ia tidak mengatakan apa pun, tidak menoleh, hanya melangkah keluar dengan cepat.
Minhyuk hanya diam di tempat. Ia bahkan tidak mencoba menahan Yura.
Detik berikutnya, keheningan di apartemen itu terasa menyesakkan. Minhyuk merasakan sesuatu yang menekan dadanya, sesuatu yang membuat napasnya terasa berat.
Ia menggenggam figura itu dengan erat—terlalu erat hingga buku-buku jarinya memutih.
Lalu, dengan kesadaran penuh...
PRANG!!
Figura foto itu menghantam dinding, pecah berantakan di lantai.
Minhyuk memejamkan matanya, menggigit bibir bawahnya keras.
"Ah, shibal..." desisnya, suaranya rendah dan penuh frustrasi.
Tangannya naik ke rambutnya, mengacaknya kasar.
Ia marah.
Tentu dia marah pada Yura karena menyentuh sesuatu yang seharusnya tidak disentuh.
Tapi lebih dari itu, ia lebih marah pada dirinya sendiri.
Karena ia telah membentaknya. Karena melihat ekspresi terkejut Yura yang dipenuhi luka sebelum pergi.
Karena membiarkannya pergi begitu saja.
Dan sekarang, entah bagaimana... ia merasa lebih dingin daripada sebelumnya.
***
Rintik hujan masih turun, menemani langkah cepat Yura yang dipenuhi perasaan berkecamuk. Dadanya terasa sesak, pikirannya berantakan. Rasanya seperti melakukan kesalahan besar—kesalahan yang cukup besar hingga Minhyuk membentaknya seperti itu.
Sepanjang jalan di dalam taksi, dia membiarkan dirinya melihat ke jalanan, jari-jarinya saling mencakar tangannya agar tangis tidak turun.
Bahkan orangtuanya saja tidak pernah berbicara sekasar itu padanya.
Jejak kakinya yang basah membekas di sepanjang lantai hingga ia tiba di unit apartemennya. Pintu tertutup di belakangnya dengan bunyi klik pelan, namun suara itu seakan menjadi tanda pintu sudah terkunci.
Begitu kakinya berganti dari sepatu ke sandal dalam ruangan, sesuatu di dalam dirinya runtuh.
Air matanya akhirnya jatuh.
Deras.
Lebih deras dari hujan yang turun di luar sana. Tidak peduli seberapa sering tangannya mengusap pipinya, air mata itu terus mengalir. Dadanya naik turun, napasnya tersendat.
Ia kesal.
Kesal karena Minhyuk membentaknya seperti itu.
Kesal karena ia memang salah.
Tapi bukankah bisa dibicarakan dengan baik? Kenapa harus membentaknya seolah-olah ia telah melakukan sesuatu yang tak termaafkan?
Dering ponsel tiba-tiba memenuhi keheningan apartemennya membuat perempuan itu tersentak.
Dengan kasar, ia menghapus air matanya yang masih turun, mencoba mengendalikan suaranya agar tidak terdengar menangis saat mengangkat panggilan itu.
"Hm." Suaranya serak.
"Han Yura. Kau mau mak—"
Manghaetta. ang menelepon adalah Rowoon.
"Kau baik-baik saja?"
Yura berusaha menetralkan napas dan suaranya, lalu hanya menggumam pelan. "Ada apa?"
"Kami ingin makan malam. Kau mau ikut?"
Yura menghela napas lemah. "Aku lelah. Tidak ikut dulu." Suaranya terdengar lirih, nyaris tanpa tenaga. Bibir bawahnya ia gigit, mencoba menahan isakan yang hampir lolos.
Sejenak, hening.
Tidak ada yang bersuara di sana.
"Kau menangis?"
"Aku ti—"
"Aku sedang menuju ke sana sekarang."
Lalu sambungan terputus begitu saja.
Yura menatap layar ponselnya, tapi tak ada lagi tenaga untuk berpikir atau menolak. Tiba-tiba saja, tangisnya kembali pecah.
Keheningan apartemennya hanya diisi oleh suara isakannya yang tertahan.
Dadanya terasa penuh, tangannya sudah mulai gemetar.
Ia ingin berhenti menangis.
Tapi rasanya seperti ada sesuatu di dalam dirinya yang pecah—seperti ada kran air mata yang rusak dan tak bisa dihentikan.
Jadi... ia hanya bisa pasrah dan membiarkan dirinya menangis dulu.