"Eo~!! Han Yura!"
Astaga.
Untung saja Yura tidak tersedak air minumnya saat suara nyaring itu menggema di ruang jaganya. Ia bahkan belum menelan sepenuhnya ketika sosok Hyena muncul dengan senyum penuh arti.
Hah... Sepertinya dia sudah tahu ada apa ini.
Yura menghela napas, meletakkan gelasnya di atas meja, lalu berbalik dengan ekspresi pasrah. Ia mencoba tersenyum, meski setengahnya terasa dipaksakan. "Kenapa kau tiba-tiba datang ke sini?" tanyanya, berharap—untuk kesekian kalinya—bahwa hari ini bukanlah hari sialnya.
Hyena berkedip polos, seakan pertanyaan itu menghina eksistensinya. "Eh? Memang aku tidak boleh ke sini?" suaranya dibuat manja, wajahnya dipenuhi kepura-puraan yang membuat bulu kuduk Yura meremang.
Yura bahkan belum sempat membalas ketika Hyena sudah berbalik dan memeluk lengan Minjun, pacarnya. "Jagi-ya, sepertinya aku tidak boleh ke sini lagi," rengeknya dengan suara manja.
Dan Minjun? Oh, dia tentu saja langsung masuk ke dalam perannya. Dengan penuh kasih sayang, dia mengusap kepala Hyena dengan lembut. "Aniya, jagi-ya. Jangan dengarkan kata-kata manusia hantu itu," balasnya, suaranya mengalun seperti drama romansa yang terlalu dramatis.
Yura menatap keduanya dengan ekspresi kosong, menekan hasrat untuk meninju sesuatu—atau seseorang. "Kalian berdua, kalau mau menjijikkan seperti ini, bolehkah kalian melakukannya di luar saja? Atau setidaknya, saat aku tidak ada?" katanya, suaranya hampir terdengar seperti permohonan.
Tawa kecil langsung pecah dari pasangan itu.
Namun, belum sempat Yura bernapas lega, seseorang lagi muncul di ambang pintu. Rowoon. Dan tentu saja, dia tidak datang dengan tangan kosong. Di tangannya, ada empat gelas kopi di tangannya.
"Hei, kalau kalian mau mengganggu Yura, harusnya menungguku, dong." Dengan santai, Rowoon menarik kursi dan duduk di sebelah Yura.
Yura memutar bola matanya. Satu pengganggu lagi. Sempurna.
Hyena dan Minjun kembali terkekeh. Mereka bertiga memang hobi sekali menjadikannya target keisengan. "Kenapa juga harus menunggumu?" tanya Minjun, penasaran.
Rowoon mengangkat bahu ringan. "Karena aku memutuskan untuk menjadi black knight-nya Han Yura sekarang."
...
Hening.
Seakan seseorang baru saja membekukan waktu di dalam ruangan itu.
Hyena dan Minjun sama-sama terpaku, menatap Rowoon dengan ekspresi tercengang. Sementara Yura? Matanya membulat sempurna, seakan kata-kata Rowoon baru saja menamparnya lebih keras dari yang bisa ia bayangkan. Ia bahkan tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, tatapannya langsung menusuk ke arah pria itu.
Apa maksudmu sekarang, Jung Rowoon sialan?!
Plak!
Tanpa berpikir panjang, tangan Yura melayang dan mendarat keras di bahu Rowoon.
"Aww! Wae ttaeryeo?!" protes Rowoon, meringis sambil mengusap bahunya yang kini terasa panas.
Alih-alih menjawab, Yura justru menundukkan kepala dan menenggelamkan wajahnya di kedua tangannya.
Hyena adalah yang pertama kali tersadar. Disusul Minjun, yang kini menatap Yura dengan tatapan penuh arti. "Maksudmu apa, Jung Rowoon?" tanyanya, suaranya terdengar seperti seseorang yang baru saja menemukan gosip besar. "Kalian..."
Sebelum kalimat itu bisa selesai, Yura buru-buru menggeleng. "Tidak seperti yang kalian pikirkan! Dia hanya bercanda! Kalian tahu kan, dia memang suka menggangguku?" jelasnya, dengan senyum kikuk yang jelas-jelas tidak meyakinkan.
Namun, tatapan Hyena dan Minjun masih belum berubah.
Tapi seolah tidak cukup dengan pernyataannya tadi, Rowoon malah menarik bahu Yura, merangkulnya dengan santai.
Yura, yang sudah memelototinya sejak tadi, semakin membulatkan matanya. Tapi Rowoon? Dia hanya terkekeh kecil, seakan menikmati situasi ini. "Kalian semua benar. Aku memang menyukai Yura, dan aku sudah mengatakannya padanya. Yaaa, meskipun dia belum menjawabnya sih."
Di kalimat terakhirnya, ada nada sedikit kecewa yang samar, namun cukup terasa.
Astaga.
Rasanya Yura ingin menyeret lelaki ini ke tepi jurang dan mendorongnya tanpa ragu. Dengan kasar, dia melepaskan diri dari rangkulan Rowoon, mendecak kesal.
Minjun, yang sedari tadi hanya bisa menganga, akhirnya berhasil membuka suara. "Jadi kalian berpacaran?"
"Tidak," Yura langsung menggeleng kuat.
"Tapi akan?" kali ini Hyena yang bertanya, ekspresinya penuh rasa ingin tahu.
"Tidak!" jawab Yura lagi, lebih cepat dari sebelumnya.
Dan tiba-tiba—
"Wah, hyungku benar-benar tidak ada kesempatan, kah?" gumam Minjun, lebih seperti monolog, tapi cukup keras untuk didengar semua orang di ruangan itu.
"Maksudnya apa?" Hyena menoleh dengan cepat. Rowoon pun menatap Minjun dengan dahi berkerut.
Namun, berbeda dengan mereka berdua, Yura justru merasa perutnya mencelos. Kenapa ini malah jadi semakin berantakan?
Rowoon langsung berubah serius. "Iya, maksudmu apa? Hyungmu sedang mendekati Yura?"
Yura menghela napas. "Ani. Tidak ada yang mendekatiku."
Rowoon, yang awalnya menatap Minjun, kini beralih ke Yura. "Aku sedang mendekatimu."
"Tidak," sahut Yura refleks.
Tapi begitu kata itu keluar, dia langsung menyadari kesalahannya. Itu tadi... dalam bahasa Indonesia.
Rowoon menatapnya dengan ekspresi bingung, sementara Hyena dan Minjun hanya bertukar pandang. Yura menghela napas, lalu buru-buru mengoreksi, "Ani. Tidak."
Tapi Rowoon justru mengangguk mantap. "Iya, aku memang sedang mendekatimu. Hanya saja kau belum memberikan jawaban."
Yura terdiam. Kepalanya mulai berdenyut. Dia harus segera memberikan jawaban pasti pada Rowoon. Bukan karena dia ingin, tapi karena jika tidak, ini akan terus berulang. Tapi bagaimana kalau jawabannya justru membuat pertemanannya berantakan? Ah, persetanlah.
Dengan napas dalam, Yura akhirnya menatap Rowoon. Suasana yang tadi penuh obrolan ringan kini berubah sunyi, seolah semua orang menunggu kata-katanya.
"Jung Rowoon."
Rowoon tetap menatapnya dengan santai. Tapi Yura bisa melihat sedikit ketegangan di matanya.
Lalu, dengan suara yang lebih pelan dari sebelumnya, Yura berkata, "Kau mau jawaban? Maafkan aku. Jawabanku... aku tidak punya perasaan untukmu."
...
Sesaat, Rowoon tidak bereaksi. Hanya tatapan yang kosong, tanpa ekspresi. Tapi Yura yang duduk di sampingnya, sedang menatap Rowoon sekarang, bisa melihat bagaimana rahangnya sedikit mengeras.
Lalu, dalam hitungan detik, wajah itu berubah. Sebuah senyum tengil khas Rowoon muncul, seolah menutupi apa yang sebenarnya ia rasakan.
Sangat cepat.
Sangat... lihai.
Tapi Yura melihatnya. Kilatan kesedihan yang nyaris tidak tampak.
Rowoon menggigit bibir bawahnya, sebelum akhirnya tertawa kecil. "Han Yura menolakku, kawan-kawan." Suaranya dibuat ringan, penuh lelucon, sambil berpura-pura meletakkan tangan di dadanya, seakan benar-benar terluka.
"Han Yura, bagaimana bisa kau sekejam itu menolaknya di depan kami," celetuk Minjun, dramatis.
Hyena mengangguk setuju, "Benar-benar dingin sekali."
Sementara itu, Yura hanya bisa menutup mata, lalu memijat pelipisnya.
Benar-benar pagi yang terlalu ramai.
***
Karena lagi-lagi menerima panggilan pulang dari rumah, Minhyuk mau tak mau harus datang. Padahal baru seminggu atau dua minggu sejak terakhir bertemu di pameran, tapi sudah dipanggil lagi.
Seperti biasa, saat masuk ke ruang makan, Minhyuk melihat meja sudah penuh dengan berbagai lauk pauk. Begitu matanya menangkap satu hidangan tertentu, dia hanya bisa menghela napas pelan. Galbijjim.
"Eomma." Minhyuk duduk di kursi dan melirik ke dapur. Eommanya masih sibuk mondar-mandir, memastikan semuanya sudah tersaji.
"Oh, kau sudah datang. Makanlah dulu."
Minhyuk mengangguk, lalu melirik ke sekeliling. "Eomma juga makanlah. Appa masih di kantor?"
Pertanyaan itu sebenarnya retoris. Jam masih menunjukkan pukul empat sore, jelas Appa masih di kantor. Apalagi dengan posisinya sebagai wakil presiden di sebuah perusahaan besar, jam pulangnya paling cepat pukul lima.
"Iya, tapi seharusnya hari ini dia pulang lebih cepat. Entah kenapa belum datang," ujar eomma sambil akhirnya duduk di seberang Minhyuk.
Minhyuk mulai makan. Satu suapan, dua suapan.
Dia tidak perlu menoleh untuk tahu kalau eommanya sedang memperhatikannya dengan hati-hati. Tatapan yang seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi ragu-ragu.
Dengan pelan, Minhyuk meletakkan sumpitnya dan menatap eommanya langsung. "Malhaeyo, Eomma. Ada apa?"
Eommanya sedikit kaget, seperti tertangkap basah. Tapi kemudian, dengan ekspresi tenang, dia menatap Minhyuk. "Perempuan itu, Han Yura. Kau ada niatan untuk mendekatinya?"
Minhyuk menghela napas dalam. Ah... sudah menduga kalau ini akan jadi obrolan panjang.
Sejak kejadian lima tahun lalu, Minhyuk benar-benar menutup diri. Tidak pernah ada perempuan lain di sekitarnya—maka tak heran jika kedua orang tuanya begitu antusias saat mendengar Minhyuk 'mengajak' seorang perempuan ke pameran.
Minhyuk berdeham pelan sebelum menjawab. "Aniyo, Eomma. Aku dan dia hanya berteman."
"Oh?" Eommanya menaikkan alis. "Jadi sekarang kau sudah mau mengaku punya teman baru? Bukan hanya sekadar kenalan yang kau tahu namanya saja?"
Salah langkah kau, Go Minhyuk.
"Iya, iya. Dia teman baruku. Tapi hanya itu saja."
"Kau yakin?" Eommanya menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Sejak kejadian itu, kau selalu menutup diri. Tidak mau berteman, apalagi dengan lawan jenis. Tapi tiba-tiba sekarang kau punya teman, dan dia perempuan. Kau bahkan mengundangnya ke pameran."
Minhyuk diam. Menatap piringnya tanpa benar-benar melihat.
Ada jeda sebelum eommanya bicara lagi, kali ini dengan nada lebih lembut. "Jujur saja, eomma dan appa sangat senang melihatmu bersama seseorang lagi."
"Bahkan... dulu 'dia' saja butuh waktu lama sampai kau cukup nyaman untuk mengajaknya ke pameran."
Minhyuk sedikit menegang.
Sekali lagi, 'dia' disebutkan.
Tidak perlu dijelaskan siapa yang dimaksud. Minhyuk tahu persis. Dan itu membuatnya merasa sedikit bersalah. Karna dia sampai menarik diri dari keluarganya agar tidak ada yang perlu tau.
Minhyuk menghela napas dan mengangkat sudut bibirnya, "Tidak perlu khawatir. Aku baik-baik saja. Dan Yura memang orang yang menyenangkan. Mungkin karena itu aku terlihat senang dengannya."
Itu bukan kebohongan.
Minhyuk awalnya menolak perasaan nyaman yang muncul sejak Yura tiba-tiba muncul di hidupnya. Tapi semakin dipikirkan, dia mulai sadar—kehadiran Yura membawa sedikit warna dalam hidupnya yang selama ini terasa sunyi.
Tapi hanya sebatas teman.
Iya, hanya teman.
"Kau yakin tidak ada perasaan untuk perempuan itu?"
Minhyuk terdiam. Dia bahkan tidak sadar kalau pikirannya sempat melayang, tapi eommanya melihat semuanya.
Dia melihat keraguan yang samar.
Dan itu cukup untuk membuat seulas senyum kecil muncul di wajahnya.
Beberapa detik kemudian, Minhyuk akhirnya mengangguk. "Tidak ada."
Eommanya masih tersenyum. Lalu, dengan nada santai, dia bertanya, "Bagaimana kalau dia diambil orang lain?"
Minhyuk berhenti mengunyah.
Jeda lagi.
"Biar saja," jawabnya akhirnya. "Bukan urusanku."
Nada suaranya terdengar santai. Tapi eommanya menangkap sesuatu di sana—halus, nyaris tak terdengar.
Sebuah nada kecil yang membuatnya semakin yakin.
Eommanya ingin berbicara lagi, tapi Minhyuk menatapnya lelah. "Bagaimana kalau kita makan saja tanpa pertanyaan apa pun, Eomma?"
Tertawa kecil, eomma akhirnya mengangguk. "Baiklah, baiklah."
Mereka kembali makan. Sesekali, eommanya mengambilkan lauk dan meletakkannya di piring Minhyuk, tanpa banyak bicara lagi.
Tapi dalam hati, eommanya sudah menemukan jawabannya sendiri.