Benar-benar.
Yura benar-benar malu setengah mati karena kata-katanya kemarin itu. Astaga. Bagaimana bisa sih dia bicara seperti itu pada Minhyuk? Aigoo.
Setiap kali mengingatnya, perutnya terasa seperti diremas. Malu, canggung, dan ingin menghilang saja rasanya.
Malam itu, saat dia sampai di kamarnya, Yura sudah mencoba berbagai cara untuk mengusir rasa malunya—berguling-guling di kasur, mengguyur diri dengan air dingin, menutup wajah dengan bantal sambil menjerit tertahan—tapi ingatannya tidak hilang. Malah semakin kuat. Seakan pikirannya sengaja mengulang momen itu lagi dan lagi, membuat rasa malunya semakin tak tertahankan.
...
Dan sekarang, empat hari telah berlalu, tapi kejadian itu masih terputar jelas di kepalanya, seperti film yang tak mau berhenti diputar.
Setidaknya, dia masih bisa bekerja dengan baik. Untung saja, dia tidak melakukan kesalahan akibat kurang fokus. Kalau sampai itu terjadi, profesornya pasti sudah mengomel habis-habisan.
"Yura ssaem."
Suara kepala suster terdengar sayup-sayup di telinganya, tapi Yura tetap tidak menoleh. Bukan karena tidak mendengar, melainkan pikirannya sedang melayang entah ke mana.
Ia masih menatap layar rekam medis di depannya, tapi fokusnya kosong. Seolah-olah angka dan tulisan di layar hanya sekadar coretan abstrak yang tak memiliki makna.
"Att cha-!" (Ah, dingin!)
Sensasi dingin yang tiba-tiba menyentuh wajahnya membuatnya tersentak. Ia buru-buru mengusap pipinya, seolah ingin memastikan bahwa dirinya benar-benar kembali ke dunia nyata.
"Ya, Jung Rowoon!"
Tatapannya langsung tertuju pada pria di hadapannya yang tengah menyeringai, jelas puas dengan reaksinya.
Rowoon menyandarkan satu tangannya ke meja sambil tersenyum miring. "Kau kenapa sih?" suaranya terdengar santai, tapi ada nada menggoda di sana. "Kau tau sudah berapa kali kepala suster memanggilmu dari tadi? Lima kali, sepertinya. Tapi kau... menoleh pun tidak."
Dia menggeleng tak percaya, lalu tanpa basa-basi, menyodorkan sebuah kaleng dingin ke arahnya. "Nih, kopi untukmu."
Butuh beberapa detik bagi Yura untuk menyadari apa yang terjadi. Tapi begitu menyadari benda di depannya, ia langsung menerimanya dengan senang hati. "Gomawo!"
Barulah dia sadar bahwa kepala suster masih menatapnya. Tatapan yang sedikit khawatir, sedikit heran. Yura buru-buru tersenyum canggung. "Maaf, Joo ssaem. Ada apa memanggilku?"
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya takut kau kemasukan karena melamun terus."
Yura menyengir kecil. "Tidak akan kok."
Tapi suasana tenang itu tidak bertahan lama.
Duo gosip bangsal bedah anak sudah siap membuka suara.
"Geunde, Rowoon ssaem. Belakangan ini jadi lebih sering datang ke sini, nggak sih?"
Nada suara suster Park terdengar menggoda, dan meskipun pertanyaannya ditujukan kepada suster Min, jelas sekali bahwa sasaran utamanya adalah Rowoon.
Sementara itu, Rowoon hanya menanggapinya dengan senyum santai, kepala sedikit miring, tatapan seperti seseorang yang baru saja mendapatkan ide jahil.
"Benar. Kalau dipikir-pikir, kami jadi sering melihat Rowoon ssaem belakangan ini." Suster Min menambahkan, tatapannya penuh arti. "Kalau mau pakai alasan teman, kami tidak terima."
Suster Park mengangguk setuju. "Karena kau tidak ke Minjun ssaem sesering ini. Rowoon ssaem lebih sering ke Yura ssaem. Dul-i... mwonga isseo... bunmyeonghi. Kalian berdua, ada apa-apa, kan? Hayooo, apa?"
Mati lah.
Yura langsung merasa jantungnya berdebar kencang.
Suster-suster ini seperti punya radar insting super akurat.
Tapi masalahnya, dia dan Rowoon memang tidak ada apa-apa! Apa yang harus ditakutkan.
"Tidak ada apa-apa." Jawaban itu meluncur dari mulutnya secepat mungkin. Yura bahkan langsung memalingkan wajah, menghindari kontak mata dengan duo suster tersebut.
Tapi tentu saja, mereka tidak percaya begitu saja.
"Eiiii, geojitmal!"Suster Min langsung menuding ke arahnya. "Kelihatan sekali. Rowoon ssaem, kau sedang mendekati uri Yura ssaem, ya?" (Bohong!)
Oh, tidak.
Yura membelalak, buru-buru menoleh ke Rowoon dengan tatapan yang bisa diartikan sebagai, "Jangan macam-macam, atau aku habisi kau sekarang juga."
Tapi pria itu malah tersenyum semakin lebar.
Senyum yang tidak bisa Yura artikan. Yura sangat mengenali senyum itu.
Tolonglah.
Tapi sepertinya doa Yura tidak terkabul.
Karena detik berikutnya, kepala Rowoon mengangguk.
"Aku sedang berusaha mendekatinya."
BOOM.
Yura bisa merasakan otaknya meledak.
"Tapi seperti yang kalian lihat, dia sepertinya tidak mau denganku, kan?"
Sepersekian detik, suasana terasa hening.
Lalu—
"WOAH!!"
Duo suster langsung heboh.
Sementara itu, kepala suster Joo hanya tersenyum sambil menggeleng pelan, seolah sudah menduga hal ini sejak awal.
Sedangkan Yura? Dia ingin cuti seminggu.
Tanpa berpikir panjang, dia langsung menyikut perut Rowoon. "Ngomong apa sih kau ini? Jangan menyebar gosip!" Suaranya setengah berbisik, tapi tatapannya bisa menusuk.
Rowoon tertawa kecil. Bukannya terlihat menyesal, pria itu malah masih memamerkan senyum jahilnya.
"Gosip?" Alisnya terangkat. "Aku tidak bicara bohong, kok."
"WOAH!!"
Pekikan tertahan kembali terdengar, karena bagaimanapun, ini masih di rumah sakit.
Yura hanya bisa memutar matanya, menghela napas berat.
"Pergilah kau sekarang. Aku sibuk. Sebentar lagi rawat jalan Profesor Choi dimulai."
Dengan sekuat tenaga, ia mendorong Rowoon.
Tapi Rowoon malah tertawa kecil, menghentikan langkahnya, dan melemparkan satu kalimat terakhir yang membuat Yura semakin ingin menghilang.
"Tolong jaga uri Yura, ya!" katanya santai sebelum pergi.
Yura melotot.
Astaga. Manusia itu semakin jadi.
Dan terima kasih kepada Jung Rowoon yang menyebalkan itu, sekarang Yura sudah bisa merasakan tatapan 'lapar' dari duo predator gosip di belakangnya.
Tanpa pikir panjang, dia mengambil tablet di atas meja dan—
Kabur.
"Sampai nanti!"
***
Kalau diingat-ingat lagi, Minhyuk benar-benar tidak bisa menghapus senyumnya saat teringat kejadian seminggu yang lalu. Perempuan itu sudah memenuhi pikirannya selama seminggu ini.
Benar-benar.
Entah berapa kali dalam sehari, Minhyuk bisa tersenyum sendiri tiba-tiba. Kadang saat sedang mengedit foto, kadang saat sedang minum kopi, bahkan di tengah-tengah rapat bersama timnya. Begitu menyadari hal itu, dia hanya bisa menghela napas—tapi senyumnya tetap tidak hilang.
Lamunannya kali ini terbuyarkan tatkala seorang pria datang mendekat.
"Eo, Sunbaenim." Minhyuk segera menyambut pria itu dengan senyum ramah, menjabat tangannya dengan penuh hormat. "Pameranmu kali ini juga berhasil. Selamat!"
Seniornya tertawa ringan. "Hahaha, terima kasih atas selamatnya. Tapi ini juga tidak terlepas dari beberapa foto yang kau dan yang lain kirimkan. Kalian juga harus ikut senang dengan ini. Kita melakukannya bersama."
Sikapnya rendah hati seperti biasa.
Lalu, seniornya harus pamit karena seseorang memanggilnya. Minhyuk mengangguk paham, membalas senyumnya sebelum pria itu beranjak pergi.
Dan kini dia kembali sendirian.
Tadi keluarganya juga sudah datang. Tentu saja mereka datang. Mereka selalu mendukungnya. Tapi sekarang, sepertinya mereka sedang sibuk berkeliling, melihat foto-foto lain.
Tuk tuk
Minhyuk sedang memperhatikan satu demi satu foto yang terpajang saat tiba-tiba ia merasakan tepukan pelan di bahunya.
Saat menoleh, matanya sedikit melebar—lalu langsung membentuk bulan sabit. Senyum tipis terukir di wajahnya, refleks, seperti reaksi otomatis yang tidak bisa ia kendalikan.
Di depannya, Han Yura berdiri dengan senyum khasnya.
"Halo," sapanya ramah. "Aku tidak mengingkari janjiku."
Ada jeda di sana sebelum Minhyuk mengangguk. "Terima kasih sudah datang."
Matanya benar-benar seakan disihir untuk tetap memperhatikan perempuan yang berdiri di depannya ini.
Yura...
Dia benar-benar cantik hari ini. Kemeja lengan panjang berwarna biru langit, lengannya dilipat sampai siku, dipadukan dengan celana jeans panjang dan sepatu mary jane putih gading. Rambutnya terurai dengan sedikit gelombang lembut di ujungnya.
Benar-benar... menawan.
Yura mengendikkan kedua bahunya santai. "Bukan masalah. Ah, ini kemejamu."
Tangannya menyodorkan sebuah paper bag kecil. "Sudah ku laundry juga, jadi tidak ada noda dan bau. Terima kasih untuk saat itu."
Minhyuk tersenyum sopan, menerima paper bag itu tanpa melepaskan pandangannya dari Yura. "Terima kasih. Jadi kau memang tidak ada jadwal? Atau?"
Yura mengangguk sambil mulai mengikuti Minhyuk, berjalan beberapa langkah di belakangnya.
"Sedang tidak ada. Kebetulan sekali, kan?"
Matanya berbinar begitu melihat foto-foto yang terpajang di sekeliling mereka.
"Wah! Ini bagus sekali." Yura mendekat ke salah satu foto, ekspresinya dipenuhi kekaguman. "Perhatianku seperti tersedot ke dalamnya. Bagaimana bisa seseorang mengambil foto sebagus ini?"
Foto itu adalah foto langit senja membentang luas dengan gradasi warna yang memesona—jingga keemasan menyatu perlahan dengan ungu lembut, menciptakan latar sempurna bagi kehidupan yang terus bergerak di bawahnya. Matahari yang hampir tenggelam memantulkan sinarnya di permukaan laut, membuat ombak tampak berkilauan saat berlari ke bibir pantai.
Di sepanjang pasir, anak-anak kecil berlarian tanpa alas kaki, tawa mereka terlihat berhamburan bersama langit sore. Beberapa orang-orang terlihat tertawa saat air menyentuh kaki mereka. Di dekat mereka, sekumpulan burung camar tiba-tiba mengepakkan sayap dan terbang, siluetnya melintas di langit yang mulai menggelap.
Tak jauh dari sana, sepasang kekasih bermain dengan anjing mereka, melihat bola yang terbang ke laut sambil tertawa ringan. Anjing melompat dengan penuh semangat, seakan hendak berlari melewati ombak yang pecah di kakinya. Di sudut lain, sekelompok sahabat duduk membentuk lingkaran, berbagi cerita sambil melemparkan pandangan ke arah matahari yang semakin tenggelam.
Momen itu terasa seperti potongan kecil dari kehidupan yang sempurna—penuh kehangatan, penuh kebersamaan. Tak ada yang terburu-buru, tak ada yang ingin beranjak lebih dulu. Seakan-akan semua orang ingin menikmati detik-detik terakhir cahaya matahari sebelum malam mengambil alih.
Ada alasan seperitnya mengapa Yura seperti ingin tenggelam dalam foto ini. Karna dunianya seakan berbeda dengan foto ini. Semua berjalan dengan cepat. Setidaknya, itu yang ia rasakan setiap hari di rumah sakit. Pasien demi pasien terus datang bergantian. Tak jarang Yura juga ikut sedih melihat orang sakit. Tapi mau bagaimana lagi, menyembuhkan orang adalah salah satu tugasnya.
Dan... selama di rumah sakit, dia merasa... hampir tidak ada waktu untuk melihat sunset seperti foto ini.
Minhyuk ikut tersenyum melihat foto itu. Foto yang dia ambil saat sedang di Kolombia tahun kemarin. Tapi entah mengapa dia tidak ada niat untuk membagikannya kepada publik. Seperti belum ketemu waktu yang pas saja gitu.
"Oh? Ini kau yang foto?"
Nada suara Yura terdengar penuh kejutan. Matanya berbinar saat menoleh ke Minhyuk, seperti anak kecil yang baru menemukan mainan baru.
Minhyuk tersenyum kecil. "Ada namaku di sana," katanya santai, menunjuk label kecil di bawah foto.
Yura menoleh ke arah yang ditunjuknya, membaca nama yang terpampang di sana. "Oh! Benar juga!"
Minhyuk mengangguk kecil. "Aku yang foto."
"Ini di mana?" tanyanya penasaran.
"Kolombia, tahun kemarin."
Yura ber-oh pelan, kagum. "Wah, kau benar-benar seorang fotografer yang handal, ya ternyata."
Minhyuk mengernyitkan keningnya, tersenyum ragu. "Selama ini kau mengira aku fotografer gadungan?"
Sontak, Yura mengangkat kedua tangannya, menyilangkan di depan tubuhnya dengan ekspresi defensif. "Tidak! Tentu saja tidak!"
Minhyuk menahan tawa.
Yura mengembuskan napas, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih pelan, "Hanya saja... ini pertama kalinya aku melihat hasil fotomu sebesar ini. Dan ternyata bagus sekali."
Minhyuk berdeham pelan, berusaha menutupi rasa senangnya.
"Terima kasih," ujarnya singkat.
Tapi dalam hati, dia sudah tau.
Seminggu ini, Minhyuk sering tersenyum sendiri saat mengingatnya.
Dan sekarang, saat perempuan itu berdiri di sampingnya, tersenyum sambil mengagumi fotonya.
Tiba-tiba, suara familiar terdengar dari belakang mereka.
"Ehem."
Nada itu khas—jahil dan penuh maksud tersembunyi.
Minhyuk menutup mata sejenak, menghela napas. Manghaettda. Ia sudah bisa menebak siapa yang baru saja datang tanpa perlu menoleh. Dengan sedikit enggan, ia akhirnya membalikkan tubuhnya.
Yura ikut berbalik, namun tidak seperti Minhyuk, ia tampak lebih terkejut. Di samping Minjun, berdiri sepasang pria dan wanita paruh baya.
"Eo? Go Minjun?" Yura mengernyit, refleks menyebut nama itu. Ia sebenarnya tau kalau Minjun kemungkinan besar diundang ke pameran ini. Tapi yang ia tidak tau adalah Minjun benar-benar datang. Setaunya, hari ini Minjun seharusnya pergi bersama Hyena. Tapi mungkin, Hyena sedang ada CITO di rumah sakit dan batal pergi.
Minjun menyilangkan kedua tangan di depan dadanya, ekspresi jahil terpasang sempurna di wajahnya—ekspresi yang ingin sekali Yura tampar.
"Han Yura. Ternyata kau juga diundang oleh hyung ke pameran ini."
Yura masih bingung, tapi tetap mengangguk sopan. Di sampingnya, Minhyuk hanya bisa mengusap pelipisnya. Pusing. Sudah bisa dibayangkan, gosip apa lagi yang akan beredar di keluarganya nanti.
Sepasang pria dan wanita paruh baya itu tidak langsung bicara. Tapi tatapan mereka tertuju pada satu orang—perempuan yang berdiri di samping anak sulung mereka.
Minjun akhirnya membuka suara. "Han Yura, kenalkan." Dengan sedikit dramatis, ia menunjuk kedua orang itu. "Ini kedua orangtuaku. Dan hyung."
Mata Yura membelalak.
Oh.
Sekarang semuanya jelas. Jadi ini... orangtua Minhyuk?
Bisa-bisanya dia tidak langsung menyapa mereka sejak tadi. Untung saja dia tidak mengatakan sesuatu yang tidak sopan.
Seketika, ia berusaha mengendalikan ekspresinya dan segera mengulurkan tangan lebih dulu. Senyum sopan tersungging di wajahnya.
"Han Yura imnida. Senang bertemu dengan kalian."
Di sebelahnya, Minhyuk hanya bisa menatap Minjun dengan tatapan membunuh. Bisa dirasakan, adiknya itu pasti sedang menikmati situasi ini. Astaga. Ingin sekali ia mengacak wajah Minjun sekarang juga.
Orangtua Minhyuk menyambut uluran tangan Yura dengan hangat. Ada senyum yang berbeda di wajah eommanya. Senyum yang Yura belum pernah lihat di wajah Minhyuk. Tapi kalau diperhatikan lebih seksama, raut wajah Minhyuk memang mirip sekali dengan eommanya. Sedangkan Minjun? Anak itu lebih mirip dengan appa mereka.
"Senang bertemu denganmu juga," ujar eommanya. Lalu, ia menambahkan sesuatu yang membuat Yura semakin bingung. "Jadi kau yang bernama Han Yura, ya? Kami sudah mendengar tentangmu... terutama dari Minjun."
Minhyuk hampir bisa melihat ekspresi polos nan menjengkelkan di wajah Minjun. Astaga, bocah ini benar-benar harus dikurung.
"Mohon bantuannya untuk uri Minhyuk, ya," lanjut eommanya dengan senyum penuh makna.
...Eh?
Yura mengerjapkan mata, tidak mengerti.
Perlahan, tatapannya beralih ke Minhyuk yang tampak putus asa, lalu ke Minjun yang hanya mengangkat bahunya santai. Si bocah ini benar-benar hanya mau menonton kekacauan yang sudah dibuatnya.
Minhyuk menghela napas panjang. Baiklah. Sudah cukup.
"Eomma, jom," panggilnya, suaranya terdengar sedikit putus asa. Tatapan yang dilemparkan mihnyuk pada eommanya seakan sudah memberi tanda kalau lelaki itu tidak terlalu nyaman dengan hal itu, dan Yura juga mungkin kebingungan sekarang.
Eomma tertawa kecil. "Maaf, maaf. Salah bicara," ujarnya dengan nada bercanda. "Maksudnya, maaf kalau Minhyuk pernah menyusahkanmu."
Di sebelahnya, appa mereka hanya mengangguk setuju, tapi tidak berkata apa-apa.
Yura masih sedikit bingung, tapi ia memilih untuk mengangguk sopan dan tersenyum kecil. "Tidak apa-apa, Eomeonim."
Sejenak, suasana hening sebelum akhirnya suara berat appa Minhyuk terdengar.
"Kau sudah makan?"
Minhyuk dan Minjun sama-sama sedikit terkejut. Bahkan Minhyuk refleks sedikit melebarakan matanya. Appanya... bicara?
"Kalau belum, kau bisa—"
"Dia habis ini ada acara. Iya, kan?"
Minhyuk memotong cepat. Matanya melirik Yura sekilas, seakan memberikan sinyal —tolong jawab iya—
Yura mengerjap beberapa kali, tapi akhirnya paham. Ia mengangguk kaku, lalu tersenyum sopan.
"Habis ini aku masih harus kembali ke rumah sakit. Maaf sekali. Mungkin lain waktu?"
Di samping mereka, Minjun membuka mulut, siap berkata sesuatu—tapi langsung membeku saat Minhyuk menatapnya tajam. Tatapan membunuh itu benar-benar membuatnya merinding.
Eomma dan appa mengangguk maklum. "Tidak apa. Lain waktu masih bisa bertemu lagi," ujar eommanya, melirik appanya. "Iya, kan, adeul?"
Minhyuk menghela napas. Seharusnya dia tidak mempertemukan mereka di sini.
"Iya," jawabnya lesu.
"Kalau begitu, kami pergi duluan ya. Adikmu dari tadi sudah ribut lapar," kata eommanya.
Minhyuk mengangguk paham. "Hati-hati di jalan."
Begitu keluarga Minhyuk benar-benar pergi, barulah kedua manusia itu bisa menarik napas panjang. Rasanya seperti baru saja keluar dari ruang interogasi.
Minhyuk mengusap wajahnya. "Maaf. Aku tidak tahu kalau mereka akan mendatangimu. Ini pasti rencana Minjun."
Berbagai umpatan sudah siap meluncur di kepalanya.
Tapi...
Alih-alih kesal, Yura justru tertawa kecil.
Minhyuk menoleh, bingung. "Kenapa kau tertawa?"
Yura menutup mulutnya, masih tersenyum. "Kau berbeda sekali dengan adikmu. Awalnya kupikir hanya itu. Tapi ternyata kau juga berbeda dengan keluargamu. Mereka terlihat menyenangkan. Tapi kau... terlihat sulit didekati."
Minhyuk terdiam.
"Aku jadi ingin tau," lanjut Yura. "Apakah kau memang seperti ini dari dulu, atau kau berubah karena sesuatu?"
Diamnya Minhyuk membuat Yura sadar kalau mungkin ia terlalu ikut campur.
"Ah, aku terlalu banyak bicara, ya?" tanyanya sedikit canggung. "Maaf."
Minhyuk menggeleng. "Tidak perlu minta maaf. Aku yang seharusnya minta maaf kalau kesannya terlalu dingin."
Yura tersenyum. "Tidak apa-apa, kok. Aku tidak terusik. Di mataku, kau baik."
Minhyuk tersenyum kecil. Tidak menjawab apapun, tapi dia mengajak Yura untuk lanjut berkeliling melihat-lihat, sekalian mengalihkan topik. Belum saatnya minhyuk bercerita pada Yura. Dan untuk apa juga? Mereka hanya dua orang yang kebetulan saling tau nama satu sama lain.
Tapi sejujurnya, tanpa Minhyuk sadari, lelaki itu sebenarnya sudah mulai nyaman dengan keberadaaan Yura di sekitarnya. Kalau dia tidak nyaman, dia pasti akan mengusir Yura pergi seperti lima tahun belakangan ini. Tapi ini kan tidak. Minhyk awalnya terusik, tapi lama-kelamaan, Yura yang seakan ada saja cara untuk bertemu dengannya, menarik perhatian Minhyuk yang sudah lama tertutup.