Akhirnya!
Acara yang sudah ditunggu-tunggu itu terjadi.
Yura sudah datang sejak pagi bersama kepala suster Joo. Sementara itu, suster Min dan suster Park tidak bisa ikut karena jadwal jaga di rumah sakit.
Selagi membantu mempersiapkan semuanya, mata Yura terus bergerak ke sana kemari, mencari seseorang.
"Mencari fotografer itu?" tanya kepala suster Joo dengan nada sedikit bercanda, sementara tangannya sibuk mengeluarkan peralatan medis dari tas.
Seakan tertangkap basah, Yura berdeham. "A-anieyo, Ssaem."
"Ehei, kau bisa jujur padaku. Aku tidak akan mengejekmu, Yura ssaem."
Bahu Yura langsung merosot. Sepertinya dia memang tidak bisa berbohong. "Iya... Dia belum datang, kan? Tidak mungkin dia batal, kan?"
Kepala suster Joo tertawa kecil. "Tenang saja. Dia pasti datang. Kan sudah dikontrak juga untuk acara ini."
Dan benar saja. Baru saja mereka membicarakannya, sebuah mobil melaju masuk ke lahan parkir depan pintu panti asuhan. Minjun duduk di kursi pengemudi.
Begitu mobil terparkir, seorang lelaki berbaju polo hitam dan celana jeans turun dari kursi penumpang dengan ransel di punggungnya. Setelah pintunya ditutup, mobil itu segera melaju pergi.
Menyadari orang yang sejak tadi ditunggu sudah datang, kepala suster Joo menyikut pelan Yura.
"Tuh, sudah datang."
Senyum tanpa sadar terbit di wajah Yura, membuat kepala suster Joo menggelengkan kepala sambil tersenyum.
Anak muda.
"Pergilah ke sana. Aku bisa menyelesaikan ini sendiri. Lagipula, persiapannya hampir selesai."
"Bolehkah?"
Begitu kepala suster Joo mengangguk, Yura langsung mengucapkan terima kasih dan berlari kecil menghampiri lelaki yang sedang mengeluarkan kameranya di bawah pohon.
Tak ingin mengejutkannya, Yura berdeham kecil, berusaha memberi tau Minhyuk bahwa dirinya ada di sana.
Usahanya berhasil. Minhyuk berhenti dari kegiatannya, menoleh sekilas ke arahnya, lalu kembali sibuk menyiapkan kamera.
"Kau datang juga, Minhyuk-ssi. Kukira tidak jadi," ujar Yura.
"Ini pekerjaan. Tidak mungkin aku mengingkarinya," jawabnya datar. Kameranya terangkat untuk mengetes sudut pengambilan gambar. Ke kanan, ke kiri, mencari objek yang bagus.
Lalu, kamera itu berhenti tepat di depan wajah Yura yang berdiri tak jauh darinya.
Cantik sekali.
Minhyuk cepat-cepat menurunkan kamera, lalu berdeham pelan. "Hm, kau... aku ingin mengecek kamera dulu. Kau mau menjadi objek percobaannya?"
Yura mengerjapkan mata sebelum tersenyum cerah.Lagi-lagi, senyum itu seakan mengundang Minhyuk untuk ikut tersenyum.
"Tentu saja aku mau! Aku harus berdiri dimana?"
Minhyuk berdeham, "disitu saja tidak apa."
Yura mengangguk dan berdiri di tengah latar parkiran panti asuhan yang dikelilingi pepohonan rindang. Cahaya matahari sore menyelinap di antara dedaunan, membalut sosoknya dengan semburat keemasan yang lembut. Pakaian sederhana yang dikenakannya tampak bersinar dalam cahaya alami, mempertegas pesonanya.
Senyumnya, lembut dan tulus, mengarah langsung ke lensa kamera Minhyuk, seolah menyampaikan perasaan yang tak perlu diucapkan. Angin berembus pelan, memainkan helaian rambut panjangnya yang terurai. Beberapa helai melayang ringan di udara sebelum jatuh kembali ke bahunya, menambah kesan alami dan anggun pada sosoknya.
Di latar belakang, siluet bangunan panti asuhan dan beberapa kendaraan terparkir terlihat samar, sedikit buram, seakan dunia di sekitarnya menghilang sementara, menyisakan hanya dirinya sebagai pusat perhatian.
Suasana dalam foto itu terasa hangat, bukan hanya karena cahaya siang yang menyelimuti, tetapi juga karena ekspresi Yura yang memancarkan ketenangan dan kehangatan.
Yang Yura tidak tau, senyum tipis diam-diam terukir di wajah Minhyuk di balik kamera.
Begitu kamera diturunkan, Yura langsung berdiri di samping Minhyuk, penasaran dengan hasil fotonya. Minhyuk agak terkejut dengan dekatnya kepala Yura di bahunya. Baru sekarang dia menyadari bahwa Yura hanya setinggi bahunya—mungil.
"Aku mau lihat!"
Minhyuk kembali berdeham. "Ini. Wah, kau tumben sekali bisa terlihat bagus."
"Eh?Hei!" Pukulan pelan mendarat di bahunya. "Semua orang selalu memujikucantik ya!" Yura menjawab gurauan itu sambil terus memperhatikan fotonya sambiltersenyum puas.
Hasilnya sangat bagus. Senyum kembali terukir di wajah Minhyuk. Entah kenapa, perasaannya terasa sedikit aneh sekarang.
***
Tenda sudah berdiri sejak pagi untuk pemeriksaan kesehatan gratis di panti asuhan. Entah sudah berapa pasien yang Yura periksa hari ini.
Tapi dia menikmatinya.
Setiap anak yang datang menyambutnya dengan senyum hangat, membuat lelahnya seakan menguap begitu saja. Yura pun selalu memberikan permen kecil sebagai hadiah setelah pemeriksaan selesai.
"Sebentar ya," ujarnya lembut sambil mengelus lengan atas seorang anak perempuan kecil di depannya. Tangan lainnya sudah bersiap dengan suntikan. "Sedikit sakit, tapi aku janji tidak akan membuatmu menangis. Rasanya cuma seperti digigit semut, kok."
"Seonsaengnim... tidak bisakah aku minum obat saja? Aku tidak mau disuntik."
Yura tersenyum sabar, tidak langsung menyuntik. "Ini vaksin, sayang. Hanya beberapa detik saja, lalu selesai."
Anak perempuan itu mengerutkan wajahnya, jelas tidak senang, tapi akhirnya mengangguk pelan. Matanya sengaja ia palingkan ke arah lain, berusaha menahan rasa takut yang mungkin akan datang bersamaan dengan rasa sakitnya.
"Ttakkeum," ucap Yura lembut. Jarum suntik masuk dengan cepat dan terukur. Sekejap saja, sudah selesai. Ia langsung mengelus area bekas suntikan dengan kapas dingin sebelum menempelkan plester di sana. "Nah... sudah selesai," lanjutnya dengan senyum menenangkan.
"Uwa~ ternyata cepat. Tapi tetap sedikit sakit." Anak perempuan itu tersenyum manis, meskipun matanya masih berbinar karena tegang. "Terima kasih, Seonsaengnim."
Yura mengangguk sambil menyerahkan permen kecil. "Ini untukmu."
"Gomawoyo, Seonsaengnim."
"Terima kasih kembali, anak baik."
Di sisi lain, tangan Minhyuk tak henti-hentinya bekerja. Kamera miliknya terus menangkap momen-momen penuh kehangatan di acara ini. Melalui lensa, ia menyadari satu hal—Yura benar-benar menyukai anak-anak.
Lihat saja hasil fotonya nanti. Entah ada berapa banyak momen di mana Yura tersenyum hangat pada mereka. Entah sudah berapa kali pula Minhyuk tersenyum sendiri, tanpa sadar, saat melihat interaksi perempuan itu dengan anak-anak.
Bahkan sekarang, ketika makan siang sedang berlangsung, Yura masih belum benar-benar beristirahat. Mungkin baru lima atau enam sendok yang sempat ia suapkan ke mulutnya sebelum dua anak kecil datang menarik tangannya, mengajaknya bermain.
Tanpa ragu, Yura berdiri dan mengikuti mereka, meninggalkan makan siangnya.
Mata Minhyuk tanpa sadar terus mengikuti gerakannya. Sambil meminum cola, ia tetap bersandar santai, tapi sesekali kembali mengangkat kamera, membidik objek yang menarik perhatiannya.
Seperti sekarang.
Sekelompok anak berlarian ke sana kemari sambil mengangkat stik balon udara, membuat balon-balon beterbangan ke langit. Di antara mereka, Yura ikut berlari pelan, tawanya lepas, senyumnya lebar—terlihat begitu alami dan bahagia.
Dan Minhyuk?
Ia mulai menyadari sesuatu.
Sejak tadi, perhatiannya terus terkunci pada satu orang—Yura.
Bahkan ketika ia mencoba mengalihkan pandangan, begitu sosok perempuan itu masuk ke dalam frame, fokusnya kembali padanya. Ada sesuatu dalam dirinya yang terasa aneh hari ini.
Seakan ada sesuatu yang menghangat di dalam dadanya. Menggebu-gebu.
Dan, jujur saja, perasaan itu membuatnya sedikit... tidak nyaman.
Walaupun di sisi lain, ia juga menyukainya.
"Yura ssaem cantik, kan?"
Minhyuk hampir tersedak mendengar suara yang tiba-tiba terdengar di sampingnya. Kepala suster Joo berdiri di sana, tersenyum penuh arti.
Minhyuk diam. Tangannya meletakkan kamera.
Tidak menjawab.
Tapi anggukan kecilnya sudah cukup menjadi jawaban.
Kepala suster Joo terkekeh pelan. "Tidak perlu ragu untuk mengakuinya. Sejak pertama kali Yura-ssaem datang ke rumah sakit, aku sudah tau dia akan jadi happy virus di bangsal kami. Selelah apa pun dia, dia selalu memberikan yang terbaik. Bahkan di sela kesibukannya, dia sering mampir ke ruang bermain anak-anak."
Minhyuk tetap diam, mencerna semua informasi itu.
"Fotografer Go," lanjut kepala suster Joo santai. "Anda tertarik dengan Yura ssaem, kan?"
Ohok, ohok
Minhyuk tersedak ludahnya sendiri.
Kepala suster Joo hanya tertawa kecil, seakan puas dengan reaksinya.
"Maksudnya? Tidak," jawab Minhyuk buru-buru, berusaha terdengar meyakinkan.
Kepala suster Joo tersenyum penuh makna. "Aku sudah banyak melihat orang, jadi bisa dibilang aku cukup pintar membaca mereka. Hm... Anda boleh menyangkalnya. Tapi aku akan berbaik hati memberi tau sesuatu. Kalau Anda memang tertarik, Anda harus cepat."
Minhyuk mengernyit. "Maksudnya?"
"Yura ssaem... ada yang mengejarnya juga," ujar kepala suster Joo sambil menepuk bahunya pelan sebelum pergi begitu saja.
Minhyuk terdiam.
Ingin bersikap tenang, tetap cool—tapi tidak bisa.
Ada sesuatu yang terasa... kacau di dalam dirinya. Ia tidak tau itu apa, tapi saat mendengar kata-kata kepala suster Joo tadi, ia merasakan sesuatu yang menyerupai...
Takut kehilangan.
Tapi itu tidak mungkin.
Iya, tidak mungkin.