Begitu tiba di pintu kedatangan, Minjun sudah berdiri sambil melambaikan tangannya dengan semangat agar kakaknya melihatnya di tengah keramaian bandara. Matanya berbinar melihat Minhyuk yang berjalan santai ke arahnya dengan headphone tergantung di lehernya.
Minhyuk membalas lambaian Minjun dengan anggukan kecil, langkahnya tetap stabil tanpa tergesa-gesa. Meski ekspresinya tetap datar seperti biasa, matanya sedikit melunak melihat keluarganya yang sudah menunggu.
Saat Minhyuk semakin mendekat, mamanya langsung berlari kecil menghampirinya dan menariknya ke dalam pelukan erat.
"Minhyuk-ah! Astaga, akhirnya kau pulang juga!" seru mamanya, suaranya sedikit bergetar karena terlalu lama tidak melihat putra sulungnya.
Minhyuk, meskipun awalnya sedikit terkejut, akhirnya mengangkat tangannya dan membalas pelukan itu pelan. "Eomma..." hanya itu yang keluar dari mulutnya.
Minjun dan appa mereka hanya tersenyum menyaksikan momen itu. Minjun sendiri menahan tawa melihat ekspresi Minhyuk yang sedikit canggung saat dipeluk begitu erat di tempat umum.
Mamanya akhirnya melepaskan pelukan, tapi langsung mengamati wajah Minhyuk dengan seksama. Dahinya mengerut.
"Kenapa wajahmu jadi tirus begini, huh? Apa kau tidak makan yang benar selama di Jakarta?" tegurnya sambil mencubit pelan pipi Minhyuk yang memang terlihat sedikit lebih tirus daripada terakhir kali mereka bertemu sebelum musim salju turun tahun lalu.
Minhyuk menghela napas kecil. "Eomma, aku baik-baik saja. Aku makan banyak, kok. Mungkin karena aku lebih sering berjalan di luar, jadi kelihatan lebih kurus."
"Tapi tetap saja... kau harus makan lebih banyak! Lihat pipimu!"
Papa Minhyuk terkekeh sebelum menepuk bahu istrinya pelan. "Sudah, sudah. Kau bisa mengomeli Minhyuk di rumah nanti. Sekarang lebih baik kita segera masuk ke mobil. Udara di sini dingin sekali."
Mendengar itu, Minjun bersiap membantu memasukkan barang-barang kakaknya ke bagasi mobil. Namun, sebelum ia sempat bergerak, mamanya sudah lebih dulu menoleh padanya.
"Minjun-ah, bantu hyungmu memasukkan barangnya ke mobil. Dia pasti lelah."
Minjun langsung mengerutkan kening dan memberengut. "Eomma. Aku juga akan mulai pendidikan lagi besok, tau. Dan di rumah juga aku selalu membantu loh," protesnya, tapi tetap bergerak membantu Minhyuk memasukkan barang-barang ke dalam bagasi.
Minhyuk hanya tersenyum tipis melihat interaksi itu. Ia sedikit merindukan dinamika keluarganya yang selalu terasa hangat meskipun diselipi keluhan kecil seperti ini.
Setelah semuanya dimasukkan, Minjun segera masuk ke kursi penumpang di depan, sementara Minhyuk dan mamanya duduk di belakang bersama appa mereka.
***
Di dalam mobil, mamanya menoleh ke Minhyuk dengan penuh perhatian. "Kau ingin makan sesuatu? Eomma bisa memasakkan makanan favoritmu malam ini."
Minhyuk menggeleng pelan. "Tidak usah, Eomma. Aku hanya ingin tidur sekarang. Rasanya lelah sekali."
Mamanya mengangguk paham. "Baiklah, kalau begitu kita langsung pulang saja."
Namun, Minhyuk kembali menggeleng. "Eomma, aku ingin ke apartemenku saja. Sekalian aku mau beres-beres dulu."
Mamanya langsung menatapnya dengan tidak setuju. "Kenapa? Pulang saja dulu. Kau bisa beres-beres besok."
Sebelum Minhyuk sempat menjawab, Minjun sudah menyela. "Eomma, biarkan saja Minhyuk hyung ke apartemennya dulu. Lagipula, dia pasti lebih nyaman beres-beres barang sekarang supaya besok tidak kerepotan."
Papa mereka juga ikut menimpali. "Benar juga. Kalau Minhyuk ingin ke apartemennya, biarkan saja. Dia sudah dewasa dan tau bagaimana mengurus dirinya sendiri."
Meskipun masih terlihat enggan, akhirnya mamanya mengalah. "Baiklah, tapi kalau kau butuh sesuatu, langsung bilang pada eomma, mengerti?"
Minhyuk tersenyum kecil. "Algesseoyo, Eomma."
***
Setelah tiba di apartemennya, Minhyuk turun dari mobil dan mengeluarkan barang-barangnya. Namun, sebelum ia bisa melangkah masuk, drama kecil terjadi.
"Aku ikut ke atas! Kau pasti butuh bantuan membereskan barang-barang!" kata mamanya dengan penuh keyakinan.
Minhyuk menghela napas panjang. "Eomma... jinjja. Tidak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri."
"Tapi—"
"Eomma," Minhyuk menatap mamanya dengan lembut tapi tegas. "Jumangan... naega bon-ga-e galge." (Sudahlah... aku ingin sendirian dulu.)
Mamanya menggigit bibir, terlihat sedikit sedih, tapi akhirnya ia mengangguk pelan. "Baiklah. Tapi kalau ada apa-apa, kau harus bilang, mengerti?"
Minhyuk tersenyum tipis dan mengangguk. "Ne, Eomma."
Akhirnya, setelah beberapa kali menoleh penuh kekhawatiran, mamanya masuk kembali ke dalam mobil bersama Minjun dan appa mereka. Setelah mobil mereka menghilang dari pandangan, Minhyuk menarik napas panjang sebelum melangkah masuk ke apartemennya.
***
Begitu pintu apartemennya tertutup, keheningan langsung menyelimuti ruangan. Minhyuk berdiri di ambang pintu, matanya menyapu setiap sudut tempat yang sudah lama tidak ia tempati.
Sama seperti sebelumnya... apartemen ini masih sama. Tapi rasanya begitu berbeda.
Suasana yang dulu selalu hangat dengan suara-suara ceria kini terasa kosong dan dingin. Jantungnya terasa berat, dadanya sesak.
Kenangan-kenangan itu mulai kembali muncul di benaknya.
"Selamat datang kembali, Minhyuk-ah!"
"Hari ini kau mau makan apa? Aku bisa memasaknya untukmu!"
"Jangan lupa pakai syalmu kalau keluar, nanti kau sakit!"
Suara-suara yang dulu menyambutnya saat pulang... kini hanya tinggal bayangan samar di kepalanya.
Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Haruskah aku pindah saja?" gumamnya pada dirinya sendiri.
Apartemen ini... terlalu banyak kenangan.
Tak sadar, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Padahal sudah lima tahun berlalu, tapi rasa sakit itu tetap tidak hilang.
Hape di saku jaketnya tiba-tiba bergetar, membuyarkan lamunannya.
Minhyuk mengambil hapenya dan melihat layar. Chat dari Minjun.
Go Minjun:
hyung, aku tau kau pasti sedang memikirkan hal itu lagi
jangan terlalu berlarut-larut, oke?
aku ada disini kalau kau mau cerita!
jangan mengingat masa lalu terus. kau sudah cukup menderita selama ini.
Minhyuk menghela napas, sudut bibirnya sedikit terangkat. Adiknya itu... selalu bisa membaca pikirannya.
Ia mengetik balasan singkat.
Go Minhyuk:
ara. nan gwaenchana
Walaupun entah siapa yang sedang ia yakinkan—Minjun atau dirinya sendiri.
Tapi ia tau satu hal. Ia tidak boleh terus tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Menyimpan ponselnya kembali ke saku, Minhyuk menarik napas dalam dan mulai membereskan barang-barangnya.
Tidak peduli seberapa sakitnya kenangan yang tersisa, hidup harus tetap berjalan.
Dan Minhyuk... harus belajar untuk melepaskan.