Esok paginya, suasana di rumah sakit terasa berbeda. Yura sibuk membantu Go Minhyuk mengepak barang-barangnya. Ia melipat baju dengan rapi sambil sesekali melirik ke arah pria itu, yang sedang menandatangani dokumen administrasi untuk kepulangannya. Di sela kesibukan, Yura menghembuskan napas lega. Empat hari menjaga Minhyuk mungkin bukan waktu yang panjang, tapi baginya itu cukup untuk menyadari betapa kompleks pria ini.
"Nah, selesai juga!" seru Yura ceria sambil menepuk-nepuk tangannya. Ia berbalik dan berdiri di hadapan Minhyuk, mengulurkan tangannya dengan senyum cerah. "Nah, pasien Go Minhyuk-ssi, selamat atas kepulangannya dari rumah sakit."
Minhyuk menghentikan aktivitasnya sejenak. Tatapannya turun ke tangan Yura yang terulur di depannya. Sesaat ia terlihat ragu, tapi kemudian perlahan menyambut uluran tangan itu. Sentuhan mereka singkat, tapi hangat.
"Terima kasih, Yura-ssi," ucap Minhyuk dengan suara rendah namun tulus. "Kalau bukan karena kau, mungkin semuanya akan jauh lebih sulit. Terutama soal bahasa."
Yura terkekeh. "Ah, itu sudah tugasku. Lagi pula, kau cukup kooperatif kok. Walaupun lebih banyak juteknya," balasnya dengan nada ringan.
Setelah tangan mereka terlepas, Minhyuk mengangkat tasnya ke pundak. Yura sempat ingin berkata sesuatu, mungkin mengajak Minhyuk hangout selama ia masih di Jakarta. Namun, sebelum kata-kata itu keluar, pria itu sudah melangkah pergi. Yura hanya bisa memperhatikan punggungnya yang menjauh.
"Hah. Dasar manusia itu," gumam Yura pelan, menghela napas panjang. Ada perasaan hampa yang tak ia mengerti.
***
Sepulangnya Minhyuk, Yura kembali berkutat di rutinitasnya. Ia duduk di perpustakaan, dikelilingi buku-buku tebal dan layar laptop yang menyala. Untuk menjaga fokus, ia menyalakan mode silent pada ponselnya. Tidak ada notifikasi yang bisa mengganggu konsentrasinya.
Namun, tanpa ia sadari, mamanya sudah mengirim banyak pesan di KakaoTalk. Bahkan, beberapa panggilan pun ia abaikan. Pesan-pesan itu akhirnya ternyata diteruskan ke appa-nya, yang kini muncul di belakang Yura di perpustakaan.
Tepukan lembut di pundak membuat Yura terkejut. Ia melepas headphone-nya dan menoleh. "Appa?"
"Yura-ya, ikut appa dulu ke depan," ucap sang ayah dengan nada lembut tapi tegas.
Mereka berjalan keluar perpustakaan. Begitu tiba di depan, papanya menatap Yura sambil melipat tangan di dadanya. "Eomma itu sudah mengirim banyak pesan, tau? Tapi tidak kau jawab sama sekali. Sampai-sampai dia harus chat ke appa juga."
Yura menunduk, merasa bersalah. "Mian. Aku terlalu fokus belajar..."
"Bukan masalah itu," potong papanya. "Masalahnya, sekarang eomma marah besar di rumah. Dia bilang, jangan ke rumah sakit dulu besok. Liburan saja, jalan-jalan. Waktu liburanmu tinggal sebentar, Yura. Jadi, menurut appa, lebih baik kau pulang sekarang."
Yura mendesah panjang. "Tapi, Appa, aku masih banyak yang harus dikejar."
"Yura-ya," potong papanya lagi, kali ini dengan suara lebih lembut. "Eomma mungkin hanya ingin kau menikmati waktu luangmu. Dia tidak ingin kau melewatkan masa mudamu hanya dengan belajar terus-menerus."
Dengan berat hati, Yura mengangguk. Ia tau jika mamanya sudah marah, tidak ada yang bisa menghentikan omelannya. "Arasseo, arasseo. Aku akan pulang."
***
Sesampainya dia di rumah, Yura sampai harus berjinjit agar bisa masuk diam-diam ke dalam rumah, dan langsung berlari pelan berushaa tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Ini semua dia lakukan untuk menghindari mamanya karna dia sudah tau apa yang akan dikatakan oleh mamanya.
Kan dia takut juga ya kalau tiba-tiba mamanya bilang dia harus blind date lagi. Ohhhhh. Tidak tidak. Dia sangat tidak mau menjalani blind date lagi. Cukup liburan terakhir dia kesini saja dia dipaksa untuk blind date.
Kakinya ini sudah berhenti di depan pintu kamarnya, hanya tinggal membuka pintu.
"Ehem." Dan Yura menghela napasnya setelah mendengar suara dehaman yang ia sangat kenal. Dengan berat hati, Yura membalik badan dan menatap mamanya dengna senyum tipis yang dipaksakan.
"Eomma," panggil Yura pelan. "Aku janji aku tidak akan ke rumah sakit besok," kata Yura langsung dengan cepat sambil memasang jari peace pada mamanya.
Mamanya menghela napas dan berkacak pinggang. "Kau, ganti baju sekarang. Ikut eomma ke pertemuan dengna teman-teman."
"Eh?" Yura menurunkan jari-jarinya dan menatap mamanya bingung. "Naega waeyo? Sirheoyo." Untuk apa dia ikut. Dia sudah bisa menebak obrolan-obrolan yang akan dibawa disana nanti. Wah. Tidak, terima kasih. Aku tidak mau.
Mamanya menggeleng, sepertinya benar-benar bersikeras untuk membawa anaknya ke pertemuan itu. Bahkan jika itu harus memaksa dan menyeret Yura sekalipun. "Cepat ganti bajumu. 15 menit lagi kita jalan. Ppali!"
Yura menghela napas berat, "arasseo." Dengan berat hati, Yura terpaksa mengikuti kemauan mamanya, karna mamanya selalu menang. Hadehh...
Yah, dan begitulah kejadiannya. Yura diseret paksa untuk ikut ke pertemuan itu memang. Tapi walaupun begitu, Yura masih ikut tersenyum sesekali karna dia juga harus menjaga wajah mamanya juga kan. Sambil berdoa semoga tidak ada pertanyaan mengenai jodoh dan sebagainya. Aduh, sudah seperti pertanyaan pasaran saja.
Dari awal sampai saat ini sih syukurnya belum ada yang menanyakan itu. Dan Yura berpikir dia bisa bernapas lega, tapi ternyata tidak jadi. Karna kali ini benar-benar ada yang bertanya.
"Apakah kamu sudah punya pacar?" tanya seorang teman mamanya. Yura sedikit terkejut, dan menggeleng sambil tersenyum malu.
Diam-diam Yura menghela napas mendengar pembicaraan diantara emak-emak ini, menyuruhnya untuk segera mencari jodoh karna umurnya sudah tidak muda lagi.
Memangnya kalian ayng akan membayar pernikahanku, hah? Kalian mau membelikan ku rumah untuk keluargaku tinggali? HADEH, batin Yura.
Merasa dirinya seperti lelah dengan pembicaraan ini, Yura pamit untuk ke toilet dulu. Memisahkan diri supaya dia bisa bernapas lagi.
"...aaRRRGGHhh!!" Yura menjerit sedikit tertahan sambil menatap dirinya di cermin toilet. Astaga. Dirinya benar-benar tidak habis pikir, kenapa juga ia mengiyakan ajakan mamanya tadi untuk ikut pergi ke pertemuan ini.
Kalau tidak ingat dia masih harus kembali ke dalam ruangan, mungkin dia sudah mengacak rambutnya sekarang. "Haruskah aku kabur? Berpura-pura sakit atau gimana?" Helaan napas kembali terdengar dari perempuan itu.
Dia tidak percaya dengan yang dia dengar tadi. "Ani... Apakah memang ada batasan umur untuk menikah? Kan tidak juga. Kenapa juga harus buru-buru menikah. Kalau nanti malah menyesal bagaimana."
Setelah beberapa saat dia menarik dan membuang napasnya, Yura merasa dia sudah agak sedikit tenang. Sepertinya sudah waktunya dia kembali lagi. Kalau lebih lama lagi dia di toilet, bisa-bisa nanti dia dicari oleh mamanya.
Dengan senyum palsu di wajahnya, Yura kembali duduk di meja itu. Dan betapa beruntungnya dia, ternyata pertemuan itu sudah mau berakhir. Waw sekali.
Masing-masing sudah saling berpamitan satu sama lain, dan yang terakhir meninggalkan ruangan adalah Yura dan mamanya.
"Kau sendiri dengarkan apa yang dikatakan oleh teman-teman mama?"
Di balik kemudinya, Yura menghela napas pelan, lagi. "Eomma. Bukankah aku masih tergolong muda? Kenapa juga harus buru-buru mencari pasangan?" katanya dengan berusaha tenang. Matanya tetap menatap ke jalan raya. Rasanya jika dia melihat mamanya, mungkin akan ribut mereka.
"Hei, kau ini sibuk sekali. Kalau tidak diingatkan terus, kami takut kau malah sendirian sampai akhir."
"Geokjeongma. Aku juga akan mendapatkan seseorang jika waktunya tiba. Tapi sekarang kan aku fokus dengan pendidikan dan karirku sendiri."
"Yura-ya.."
"Eomma, ini sedikit macet, jadi lebih baik eomma tidur dulu saja, oke?" pinta Yura dengan sangat tenang.
Dan mungkin mamanya juga sudah merasa Yura sedikit tidka nyaman dengan suara jawabannya, jadi mamanya memilih untuk tidak memanjangkan komunikasi ini lagi.
"Tapi, kau ingat ya. Besok tidak ke rumah sakit. Kau harus ja--"
"Arasseoyo, Eomma. Jinjja. Aku tidak akan ke rumah sakit besok, kok."
Benar-benar mamanya ini. Setelah dia menjawabnya seperti itu, sepertinya mamanya baru bisa tenang. Karna mamanya benar-benar diam sampai di rumah. Hadeh...