Setelah makan siang, Yura memutuskan untuk mencari udara segar di taman rumah sakit. Ia merasa penat setelah seharian berkutat dengan buku-buku tebal. Dengan langkah ringan, ia menuju taman, duduk di bangku panjang, dan melepas kacamata yang selama ini bertengger di hidungnya.
"Ah, tenang sekali di sini..." gumamnya sambil meregangkan tubuh.
Namun, ketenangan itu segera terganggu oleh suara langkah kaki kecil yang berlari tergesa-gesa. Tangisan anak kecil terdengar semakin dekat, dan Yura segera membuka matanya. Ia melihat seorang anak laki-laki dengan baju pasien berlari ke arah taman, lalu menyembunyikan diri di balik kursi taman di seberangnya.
Yura mengerutkan kening, bingung sekaligus khawatir. Dengan hati-hati, ia berdiri dan berjalan mendekati kursi itu. Tangis anak kecil itu terdengar pilu, dan Yura tahu ia harus berhati-hati agar tidak membuatnya semakin takut.
"Halo," sapanya lembut dalam bahasa Indonesia. Tubuhnya ikut berjongkok agar sejajar dengan anak itu. "Kamu kenapa? Mau keluar dulu? Aku bukan orang jahat kok."
Anak kecil itu mengintip dari balik kursi, matanya bengkak karena menangis, tetapi tangisannya mulai mereda. Ia hanya memandang Yura tanpa berkata apa-apa.
Melihat anak itu masih ragu, Yura segera merogoh saku celananya. "Sepertinya aku ada permen," gumamnya, mencoba mengingat. Dan benar saja, tangannya menemukan permen yang ia bawa dari kantin. Ia mengeluarkannya dan menunjukkannya pada anak itu.
"Nih, kamu mau permen? Aku punya banyak. Mau keluar dulu?" Yura tersenyum hangat, tangannya terulur pelan agar tidak menakuti anak itu.
Mata anak itu melebar melihat permen di tangan Yura. Tangisannya benar-benar berhenti. Dengan tangan kecilnya, ia mengusap air matanya dan menerima uluran tangan Yura. Perlahan, ia keluar dari balik kursi.
"Bagus," puji Yura sambil menggandeng tangan anak itu. Ia membawanya duduk di bangku taman dan berusaha menenangkannya. Ia juga memberikan permen itu seperti yang sudah ia janjikan. "Tapi, kamu tidak boleh makan ini dulu. Kita harus tanya pada doktermu dulu. Mau kembali ke kamar?"
Anak laki-laki itu menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Tidak mau. Aku takut ketemu dokter."
"Hm? Takut kenapa? Namamu siapa?" Yura mencoba menenangkan dengan suara selembut mungkin.
"Aku Hansen," jawab anak itu pelan.
"Oh, Hansen. Kenapa takut sama dokter?"
"Takut disuntik. Aku tidak mau disuntik," katanya polos, wajahnya terlihat ketakutan lagi.
Yura tersenyum lembut, mencoba menghapus rasa takut itu. "Hansen, tahu gak? Kalau pun disuntik, rasanya seperti digigit semut. Tidak sakit, kok." Ia mempertemukan ibu jari dan telunjuknya, lalu menyipitkan matanya, berusaha meyakinkan Hansen. "Kamu mau aku temani kalau ketemu dokter?"
Hansen menatap Yura lama, tampak berpikir. Akhirnya, ia mengangguk pelan. "Janji akan temani aku, kan?"
"Janji," jawab Yura sambil tersenyum. "Ayo. Orang tuamu pasti khawatir kalau kamu tidak ada di kamar."
Hansen mengangguk lagi, kali ini dengan sedikit lebih percaya diri.
***
Sementara itu, Minhyuk yang merasa bosan berada di kamar memutuskan untuk keluar mencari udara segar. Dia membawa kameranya, berharap menemukan sesuatu yang menarik untuk diabadikan.
Ketika dia sampai di taman, matanya langsung menangkap sosok Yura. Perempuan itu sedang duduk di bangku taman dengan kacamata yang masih bertengger di hidungnya, rambutnya dicepol santai ke atas. Tanpa sadar, Minhyuk mengangkat kameranya dan mengambil gambar.
"Dia terlihat... nyaman," gumamnya pelan.
Namun, tak lama kemudian, perhatian Minhyuk teralih ketika seorang anak kecil melewati dirinya dan berlari ke arah Yura, lalu menyembunyikan diri di balik kursi taman. Dia menyaksikan Yura dengan tenang mendekati anak itu, berbicara lembut, dan akhirnya menggandeng tangannya keluar dari taman. Tanpa sadar, Minhyuk mengambil gambar lagi.
Dia tersenyum tipis. "Dia punya cara untuk membuat semua orang di sekitarnya merasa senang."
Ketika Yura dan Hansen berjalan mendekat, Yura terlihat terkejut melihat Minhyuk di sana. "Oh? Minhyuk-ssi. Kau kenapa di sini? Dan kenapa juga kau bawa kamera?" tanyanya dalam bahasa Korea.
Hansen memandang Yura dengan bingung, lalu bertanya, "Kakak, kamu kenal kakak ini? Dan kenapa kamu bicara bahasa aneh?"
Yura terkekeh, lalu beralih ke bahasa Indonesia. "Iya, ini temanku. Kakak tadi bicara bahasa Korea karena dia orang Korea."
Hansen mengangguk, meski wajahnya masih tampak bingung.
Minhyuk tersenyum tipis. "Kau... bukan byeontae lagi, tapi penculik anak kecil sekarang?"
"Hei!" protes Yura dengan nada kesal. "Jangan sembarangan bicara. Aku ini mengantar Hansen kembali ke kamarnya, oke?"
"Hansen?" ulang Minhyuk, menatap anak itu.
"Ya, namanya Hansen. Sudah, kau ngapain keluar kamar? Kau belum sembuh, tahu."
"Mencari angin," jawab Minhyuk singkat.
Yura mendengus. "Baiklah, jangan kelamaan. Nanti kau kelelahan dan drop lagi. Aku akan mengantar Hansen dulu, ya." Dia menggandeng tangan Hansen sambil melambai pada Minhyuk. "Hyung, bye-bye! Ayo, Hansen."
***
Sore itu, dokter datang untuk visite ke kamar Minhyuk. Setelah memeriksa hasil lab dan kondisi fisiknya, dokter menyatakan bahwa Minhyuk sudah membaik dan boleh pulang keesokan harinya.
"Syukurlah," ujar Yura sambil tersenyum lebar. "Selamat, Minhyuk-ssi!"
Minhyuk menatapnya dengan ekspresi datar, tetapi nada bicaranya terdengar tulus. "Terima kasih. Kau bisa pulang sekarang. Besok aku bisa mengurus diriku sendiri."
Yura mendengus. "Tidak apa-apa. Aku harus bertanggung jawab sampai akhir."
Minhyuk hanya menggeleng pelan, tak mau berdebat lebih jauh.
***
Malam itu, Yura tidak sibuk dengan buku-buku seperti biasanya karena semua bukunya sudah dikembalikan ke perpustakaan. Dia memilih untuk tiduran di sofa sambil menatap langit-langit kamar. Minhyuk, yang sudah berbaring di tempat tidurnya, melakukan hal yang sama.
Setelah beberapa menit dalam keheningan, Yura membuka suara. "Minhyuk-ssi, kenapa kemarin kau mengigau? Sampai menangis, loh."
Minhyuk tertegun mendengar pertanyaan itu. Dia tidak menjawab langsung, hanya memandangi langit-langit. Setelah beberapa saat, dia berkata pelan, "Aku tidak ingat."
Yura menoleh, menatapnya dengan penasaran. "Benar-benar tidak ingat?"
Minhyuk menggeleng pelan. "Tidak ingat."
"Yakin tidak ada yang ingin kau ceritakan?" tanya Yura lagi, mencoba mendorongnya untuk berbicara.
"Kau terlalu banyak bertanya," jawab Minhyuk dengan nada dingin, meski tidak setajam biasanya. "Tidurlah saja. Kau pasti lelah."
Yura mendesah panjang, lalu memejamkan mata. "Baiklah, selamat malam, Minhyuk-ssi."
Minhyuk menutup matanya, tetapi pikirannya masih berputar. Gumaman samar yang keluar dari bibirnya malam sebelumnya kembali menghantui ingatannya.
"Kenapa kau melakukan itu padaku..."