Dami duduk di hadapan Seungjae dengan wajah yang masih menunjukkan kebingungan. Meskipun dia sudah mendengar permintaan maaf Seungjae sebelumnya, emosinya belum sepenuhnya tenang. Seungjae, yang biasanya penuh dengan percaya diri dan sedikit arogan, kini tampak canggung, seolah sedang berusaha keras mencari kata-kata yang tepat.
Hening beberapa saat. Dami merasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Namun, tiba-tiba Seungjae membuka mulutnya, memecah keheningan dengan kata yang tidak terduga.
"Habgyeok!" serunya, suaranya terdengar lantang dan jelas.
Dami berhenti sejenak, mengerutkan kening sambil menatap Seungjae dengan penuh kebingungan. Apa yang baru saja dia katakan? Habgyeok? Dami tidak yakin apakah dia mendengar dengan benar atau Seungjae sedang bercanda lagi. Otaknya mencoba memahami situasi tersebut, tetapi sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, kalimat itu meluncur dari mulutnya tanpa sadar.
"Ireon michin?!" (Apa kau gila?!)
Suaranya sedikit meninggi, mencerminkan kekagetan dan kemarahannya. Seungjae hanya tersenyum tipis, seolah-olah dia mengharapkan reaksi seperti itu dari Dami. Dami melotot padanya, jelas tak mengerti apa yang sedang terjadi. Apa maksudnya dengan 'habgyeok'? Apa ini semacam candaan lain yang dia tidak pahami?
Melihat reaksi Dami yang bingung dan kesal, Seungjae mencoba menenangkan situasi. Ia mengangkat tangan sedikit sebagai tanda damai. "Tunggu, tunggu. Jangan marah dulu," katanya sambil tertawa kecil. "Aku hanya bercanda, tapi ada alasan kenapa aku melakukan semua ini."
Dami tetap memandangnya dengan tatapan tidak percaya, tapi setidaknya ia menahan diri untuk tidak melontarkan lebih banyak kemarahan. "Apa maksudmu dengan 'habgyeok' dan semua ini, Seungjae-ssi? Kau benar-benar membuatku bingung."
Seungjae menarik napas dalam-dalam, dan wajahnya menjadi lebih serius. "Aku tahu mungkin ini terdengar konyol, tapi aku ingin menjelaskan semuanya dengan jujur," ujarnya, suaranya lebih tenang kali ini.
"Aku ingin minta maaf, Dami-ssi, karena selama ini aku memang sering menjahilimu dan membuatmu marah. Tapi sebenarnya, aku tidak melakukannya dengan niat jahat. Aku hanya ingin... menguji orang yang bekerja denganku." Seungjae berhenti sejenak, memastikan bahwa Dami mendengarkannya.
"Menguji?" Dami mengangkat alisnya, sedikit terkejut dengan penjelasan tersebut.
"Iya," Seungjae melanjutkan. "Aku ingin tahu bagaimana kau akan bereaksi dalam situasi sulit. Bagaimana kau mengendalikan emosimu, bagaimana kau menangani tekanan, dan yang paling penting, apakah kau bisa tetap profesional dan bertanggung jawab meskipun aku bertingkah konyol."
Dami memutar matanya. Ia sudah cukup mendengar alasan-alasan aneh dari Seungjae, tetapi kali ini, penjelasan itu terdengar lebih masuk akal, meskipun masih terasa sedikit keterlaluan.
"Aku tahu itu mungkin terdengar seperti alasan yang buruk, tapi begini, pekerjaanku ini... dunia tempatku berada sangat penuh tekanan. Aku harus memastikan bahwa orang-orang di sekitarku bisa bertahan dalam situasi yang tidak mudah. Dan aku tahu kau mampu, tapi aku hanya ingin memastikannya," lanjut Seungjae, matanya serius menatap Dami.
Dami mengerutkan kening, mencoba mencerna kata-kata Seungjae. Dia ingin marah, tapi di sisi lain, ada sesuatu dalam penjelasan Seungjae yang terdengar tulus. Dia tidak terlihat seperti orang yang sedang membuat alasan atau berusaha menyelamatkan dirinya. Seungjae benar-benar tampak seperti seseorang yang ingin memperbaiki keadaan.
Setelah beberapa detik yang terasa sangat lama, Dami menghela napas panjang dan melipat tangan di depan dada. "Jadi, kau menguji kesabaranku, ya? Dengan sengaja membuatku kesal selama berminggu-minggu hanya untuk melihat apakah aku bisa bertahan?"
Seungjae mengangguk, meskipun sedikit canggung. "Ya... begitulah. Aku tahu aku salah. Aku seharusnya tidak mendorongmu sejauh itu. Dan untuk itu, aku benar-benar minta maaf."
"Lalu bagaimana dengan insiden USB itu?"
"Itu aku benar-benar minta maaf. Itu bukanlah bagian dari rencanaku. Jujur saja. Aku juga tidak tahu kalau ternyata aku masukkan ke dalam saku celanaku. Aku benar-benar minta maaf untuk soal itu."
Dami menatapnya tanpa ekspresi untuk beberapa saat. Di dalam hatinya, ia masih merasa sedikit marah. Namun, melihat kesungguhan di mata Seungjae, sesuatu dalam dirinya mulai melunak. Dia tidak tahu apakah harus marah atau tertawa mendengar alasan itu. Tapi dia tahu bahwa permintaan maaf Seungjae kali ini berbeda dari sebelumnya. Itu terasa tulus.
Dami memutar bola matanya lagi, kali ini lebih sebagai tanda frustrasi daripada kemarahan. "Astaga, kau ini benar-benar..."
"Aku tahu," Seungjae memotong ucapannya dengan senyuman kecil. "Aku memang sulit dimengerti. Tapi, bisakah kau memaafkanku kali ini? Aku janji, tidak akan ada 'uji coba' lagi."
Dami terdiam sejenak. Meski bagian dari dirinya ingin tetap marah, ia tidak bisa menolak permintaan maaf Seungjae yang terdengar tulus. Lagipula, ia juga sudah lelah dengan perasaan kesal yang terus menumpuk di hatinya. Mungkin, lebih baik jika semua ini diselesaikan sekarang.
"Aku akan memaafkanmu, tapi hanya karena kau terdengar serius kali ini," kata Dami akhirnya, menganggukkan kepala dengan tegas. "Tapi ingat, tidak akan ada lagi 'ospek' atau 'uji coba' aneh-aneh. Aku di sini untuk bekerja, bukan jadi kelinci percobaan."
Seungjae tersenyum lega. "Deal. Tidak ada lagi ospek. Aku janji."
Dami akhirnya tersenyum kecil, meskipun masih sedikit kesal. Setidaknya, dia merasa bahwa situasinya sudah jauh lebih baik sekarang. Seungjae, meskipun sering bertingkah konyol, akhirnya menunjukkan sisi yang lebih dewasa dan penuh tanggung jawab.
Seungjae mengulurkan tangannya, menawarkan salam sebagai tanda kesepakatan baru mereka. "Kita mulai dari awal, ya?"
Dami menatap tangan Seungjae sejenak sebelum akhirnya menerima salam tersebut. "Baiklah. Kita mulai dari awal."
Mereka berjabat tangan, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, Dami merasa bahwa hubungan profesionalnya dengan Seungjae mungkin tidak akan seburuk yang ia bayangkan. Meskipun pria itu sering menjahilinya, setidaknya kini mereka telah mencapai pemahaman bersama. Tidak akan ada lagi lelucon atau candaan yang melampaui batas, dan Dami bisa fokus pada pekerjaannya tanpa merasa dihina atau direndahkan.
Setelah beberapa saat, mereka melepaskan jabat tangan dan Seungjae tersenyum lagi. "Aku sungguh menghargai kesabaranmu, Damssi. Dan aku akan memastikan mulai sekarang kau diperlakukan sebagaimana mestinya. Terima kasih sudah bersabar denganku."
Dami mengangguk, merasa lega bahwa akhirnya semua masalah ini bisa diselesaikan. "Kita lihat saja nanti. Kalau kau melanggar janjimu, aku tidak akan segan-segan berhenti," ujar Dami dengan nada serius, meskipun ada sedikit senyum di sudut bibirnya.
Seungjae tertawa kecil. "Aku janji, kau tidak perlu khawatir."
Dengan itu, suasana di antara mereka terasa jauh lebih ringan. Meski perjalanan ke depan mungkin masih penuh dengan tantangan, setidaknya mereka berdua telah memulai dari awal dengan lebih baik.