Loading...
Logo TinLit
Read Story - Between Us
MENU
About Us  

Dami tak bisa lagi menahan air matanya. Hari itu terasa begitu berat, bukan hanya karena tubuhnya yang masih lelah, tapi juga karena emosi yang ia pendam selama ini. Dia sudah berusaha kuat, menjaga sikap dan tetap profesional di depan Seungjae, namun kali ini ia merasa semuanya terlalu berlebihan. Tidak ada tempat yang aman untuk meluapkan perasaannya kecuali di depan Jian, sahabat yang selalu ada di sisinya.

Di sebuah kafe kecil yang sering mereka datangi, Dami duduk dengan tangan menutupi wajahnya. Tangisannya pelan tapi terdengar jelas oleh Jian, yang duduk di seberangnya. Jian tahu, Dami bukan tipe yang mudah menangis, apalagi di tempat umum seperti ini. Tapi kali ini, Jian bisa melihat betapa berat beban yang Dami tanggung.

"Gwaenchana, Dami-ya. Lepaskan saja," Jian berkata dengan lembut sambil menepuk-nepuk pundak sahabatnya. Ia tidak mencoba menghentikan tangisan Dami, hanya menawarkan kehadiran dan dukungannya. Dami butuh ruang untuk merasakan apa yang ia rasakan, dan Jian tahu betul itu.

"Aku sudah tidak tahan lagi," suara Dami terdengar serak di sela tangisnya. "Aku muak bekerja untuknya. Dia selalu memanfaatkan situasi, mempermainkanku, dan—oh, astaga, Jian, aku bahkan harus kembali ke apartemennya hanya untuk mencari USB yang ternyata ada di kantong celananya! Bayangkan betapa bodohnya aku merasa saat itu."

Jian mendengarkan dengan penuh perhatian, memastikan Dami bisa mengungkapkan semua kekesalannya.

"Dan aku sakit! Tapi tetap saja, aku memaksakan diri untuk datang, karena dia punya pertemuan penting. Aku pikir... aku pikir, dia akan menghargainya. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Cih."

Dami menghela napas panjang, lalu mengusap air matanya. Jian menyerahkan tisu kepadanya, lalu Dami mengambilnya dan menyeka wajahnya.

"Lalu apa yang kau lakukan sekarang? Kau tidak mungkin terus begini," Jian bertanya, suaranya tenang, tapi penuh perhatian.

"Aku tidak mau bertemu dengannya lagi," Dami berkata tegas. "Pesan, telepon, lihat saja, tidak akan aku jawab. Aku bahkan berpikir untuk berhenti saja. Aku lelah. Aku tidak bisa terus begini."

Jian mengangguk, memahami keputusan sahabatnya. "Kalau memang itu yang terbaik untukmu, aku dukung. Kau sudah cukup bersabar, Dami."

Dami tersenyum kecil, meski matanya masih terlihat merah. Jian selalu tahu bagaimana membuatnya merasa lebih baik, meski hanya dengan kehadiran dan kata-kata sederhana. Dami merasa sedikit lebih ringan, walau perasaan campur aduk itu belum sepenuhnya hilang. Setidaknya, untuk saat ini, dia bisa bernapas lega.

***

Di sisi lain, Seungjae mulai merasa ada yang salah. Sudah tiga hari sejak Dami pergi dari pertemuan itu tanpa sepatah kata, dan selama tiga hari pula, pesan maupun teleponnya tidak pernah dijawab. Biasanya, Dami tidak pernah seperti ini. Dia selalu profesional, bahkan ketika Seungjae bertindak semaunya. Ada sesuatu yang berbeda kali ini, dan itu membuat Seungjae tidak tenang.

Awalnya, ia berpikir bahwa Dami hanya butuh waktu sendiri. Tapi setelah tiga hari, kegelisahannya mulai tumbuh. Ia menyadari ada kemungkinan besar bahwa Dami benar-benar marah padanya. Tapi kenapa? Apakah karena insiden USB? Apakah karena lelucon-lelucon kecil yang biasa ia lakukan?

Seungjae duduk di sofanya dengan ekspresi termenung. Ia tidak pernah benar-benar berpikir bahwa tindakannya akan membuat Dami semarah ini. Tapi semakin lama ia berpikir, semakin ia merasa bahwa mungkin ia sudah terlalu berlebihan. Mungkin, Dami benar-benar terluka.

Ponselnya kembali diam, tanpa balasan dari Dami. Akhirnya, Seungjae memutuskan untuk bertindak. Ia menelepon Sangho, adik Dami, yang mungkin bisa memberinya jawaban.

"Sangho hyung, aku butuh bantuanmu," Seungjae berkata setelah sambungan tersambung.

"Ada apa?" Sangho bertanya dengan nada hati-hati.

"Kau tahu di mana Dami tinggal? Aku... aku ingin bicara dengannya. Aku rasa aku sudah membuat kesalahan."

Sangho terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Kau berbuat apa memang? Kau melakukan ospek lagi ya?"

"Bagaimana kau tahu?"

Terdengar helaan napas di ujung telepon sana sebelum Sangho melanjutkan kata-katanya. "Karna aku juga pernah melewatinya. Orang tidak tahu alasanmu melakukan itu. Jadi sepertinya kau bisa melupakan untuk melakukan itu pada orang lain, Lim Seungjae-ssi."

Seungjae jadi merasa bersalah sekarang setelah mendengar kata-kata Sangho. Dia tidak menjawab apapun melainkan hanya diam. Setelah beberapa detik hening, Sangho akhirnya memberikan alamat Dami. Seungjae merasa lega, namun rasa bersalah tetap menghantui pikirannya. Ia tidak tahu apakah Dami mau mendengarkannya atau bahkan bertemu dengannya, tapi setidaknya, ia akan mencoba.

***

Hari itu, Seungjae memutuskan untuk pergi ke tempat tinggal Dami. Di sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi oleh berbagai skenario tentang apa yang akan terjadi. Apakah Dami akan marah? Apakah dia akan memaafkannya? Seungjae bukanlah tipe orang yang mudah meminta maaf, tapi kali ini, ia merasa bahwa tidak ada pilihan lain. Dami layak mendapatkan permintaan maaf.

Begitu sampai di depan rumah Dami, Seungjae berdiri sejenak, ragu-ragu. Tangannya terangkat untuk mengetuk pintu, namun ia menariknya kembali. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Setelah beberapa detik, ia akhirnya mengetuk pintu dengan lembut.

Pintu terbuka tak lama kemudian. Dami muncul di ambang pintu, dengan ponsel di tangan, sepertinya sedang berbicara dengan seseorang. Ketika melihat Seungjae berdiri di depannya, ekspresi Dami berubah seketika. Ia segera mematikan panggilan teleponnya dan menatap Seungjae dengan ekspresi yang sulit dibaca.

Seungjae berdiri canggung di sana, sementara Dami tidak mengatakan sepatah kata pun. Hanya ada keheningan yang terasa begitu berat di antara mereka.

"Kita... bisa bicara sebentar?" Seungjae akhirnya membuka mulut, suaranya rendah dan penuh kehati-hatian.

Dami diam saja, tidak memberikan senyum atau isyarat hangat seperti biasanya. Ia hanya berdiri diam di pintu, tak memberikan Seungjae akses untuk masuk ke dalam rumahnya. Suasana seakan sedikit mencekam diantara mereka berdua.

"Kau tak mau bicara apa-apa? Kalau begitu, pergilah." Pintu hendak ditutup di hadapan wajah Seungjae, saat lelaki itu sadar dan menahan pintu itu sebelum ditutup.

"Aku... aku tahu kau marah padaku," kata Seungjae pelan. "Dan aku mengerti. Aku mungkin sudah keterlaluan. Aku tidak tahu bahwa tindakanku membuatmu merasa seperti ini."

Dami menatapnya dengan tatapan dingin, tidak berkata apa-apa.

"Pulanglah. Aku sedang tidak mau bicara denganmu."

"Bisakah kau memberiku sepuluh menit?"

Kepala Dami penuh dengan dua jawaban pasti yang menghasilkan hasil berbeda. Iya atau tidak. Tapi Dami memilih untuk memberikan lelaki di depanya ini sebuah kesempatan, jadi Dami mengangguk. 

"Ku tunggu di kafe depan sana ya."

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Today, I Come Back!
4006      1391     3     
Romance
Alice gadis lembut yang sebelumnya menutup hatinya karena disakiti oleh mantan kekasihnya Alex. Ia menganggap semua lelaki demikian sama tiada bedanya. Ia menganggap semua lelaki tak pernah peka dan merutuki kisah cintanya yang selalu tragis, ketika Alice berjuang sendiri untuk membalut lukanya, Robin datang dan membawa sejuta harapan baru kepada Alice. Namun, keduanya tidak berjalan mulus. Enam ...
Until The Last Second Before Your Death
479      341     4     
Short Story
“Nia, meskipun kau tidak mengatakannya, aku tetap tidak akan meninggalkanmu. Karena bagiku, meninggalkanmu hanya akan membuatku menyesal nantinya, dan aku tidak ingin membawa penyesalan itu hingga sepuluh tahun mendatang, bahkan hingga detik terakhir sebelum kematianku tiba.”
ALACE ; life is too bad for us
1053      640     5     
Short Story
Aku tak tahu mengapa semua ini bisa terjadi dan bagaimana bisa terjadi. Namun itu semua memang sudah terjadi
Ku Jaga Rasa Ini Lewat Do\'a
537      391     3     
Short Story
Mozha, gadis yang dibesarkan dengan pemahaman agama yang baik, membuatnya mempunyai prinsip untuk tidak ingin berpacaran . Namun kehadiran seorang laki -laki dihidupnya, membuat goyah prinsipnya. Lantas apa yang dilakukan mozha ? bisakah iya tetap bertahan pada prinsipnya ?
Batas Sunyi
1965      895     108     
Romance
"Hargai setiap momen bersama orang yang kita sayangi karena mati itu pasti dan kita gak tahu kapan tepatnya. Soalnya menyesal karena terlambat menyadari sesuatu berharga saat sudah enggak ada itu sangat menyakitkan." - Sabda Raka Handoko. "Tidak apa-apa kalau tidak sehebat orang lain dan menjadi manusia biasa-biasa saja. Masih hidup saja sudah sebuah achievement yang perlu dirayakan setiap har...
Dear Groom
511      364     5     
Short Story
\"Kadang aku berpikir ingin seperti dulu. Saat kecil, melambaikan tangan adalah hal yang aku sukai. Sambil tertawa aku melambaikan tangan pada pesawat yang lewat. Tapi sekarang, bukan seperti ini yang aku sukai. Melambaikan tangan dengan senyuman terpaksa padanya bersama orang lain.\"
Be Yourself
535      361     0     
Short Story
be yourself, and your life is feel better
Accidentally in Love!
452      301     1     
Romance
Lelaki itu benar-benar gila! Bagaimana dia bisa mengumumkan pernikahan kami? Berpacaran dengannya pun aku tak pernah. Terkutuklah kau Andreas! - Christina Adriani Gadis bodoh! Berpura-pura tegar menyaksikan pertunangan mantan kekasihmu yang berselingkuh, lalu menangis di belakangnya? Kenapa semua wanita tak pernah mengandalkan akal sehatnya? Akan kutunjukkan pada gadis ini bagaimana cara...
MERAH MUDA
516      374     0     
Short Story
Aku mengenang setiap momen kita. Aku berhenti, aku tahu semuanya telah berakhir.
Wedding Dash [Ep. 2 up!]
2969      1117     8     
Romance
Arviello Surya Zanuar. 26 tahun. Dokter. Tampan, mapan, kaya, dan semua kesempurnaan ada padanya. Hanya satu hal yang selalu gagal dimilikinya sejak dulu. Cinta. Hari-harinya semakin menyebalkan saat rekan kerjanya Mario Fabrian selalu mengoceh panjang lebar tentang putri kecilnya yang baru lahir. Juga kembarannya Arnaferro Angkasa yang selalu menularkan virus happy family yang ti...