Kedua kaki lelaki berpakaian kaos putih dengan celana santai tiga perempat itu akhirnya sampai juga di depan sebuah bangunan yang cukup tua tapi hangat dengan bertuliskan "Rumah Kasih Sayang" di papan yang bertengger tergantung di atas pintu masuk.
Tak perlu menunggu lama setelah dia menekan bel, pintu itu terbuka, menampilkan beberapa anak kecil yang berlari berhamburan ke luar untuk memeluk Seungjae.
"Hyung!!!"
"Oppa!!!"
Panggilan demi panggilan memasuki telinga Seungjae yang kini tersenyum lebar memeluk mereka semua. "Annyeong! Jal isseosseo?" (Halo! Semua baik-baik saja?)
"Kenapa kau lama sekali baru berkunjung, Oppa?" Seorang gadis bernama Hyera memeluknya erat. "Kami sudah kangen sekali denganmu."
"Maafkan aku ya!"
"Yadeul-ah! Ayo biarkan Seungjae masuk dulu ya." Seornag wanita paruh baya yang mereka panggil eomma itu keluar dengan anggun dan senyum yang terbit di wajahnya.
Seungjae membalasnya dengan senyuman dan memeluk mama angkatnya itu, "eomma."
Mama angkatnya membalas pelukan itu, menepuk-nepuk punggung lelaki berumur 24 tahun yang sudah dua tahun tidak datang karna sibuk. "Pasti lelah sekali kesini."
Dengan dua kali gelengan kepala Seungjae menjawab, "tidak juga, kok."
Mereka semua berjalan masuk ke dalam ruangan bermain yang sudah lama tidak Seungjae datangi disana. "Istirahatlah dulu," ujar eommanya.
Tepat sebelum ia menjawab, Dowoon menarik-narik lengan Seungjae untuk bermain bersama. "Hyung, ayo main. Ayo main."
"Dowoon-ah. Hyung baru saja sampai. Nanti lagi ya," kata eomma pelan.
Tapi Seungjae menggeleng lagi dan tersenyum, "tak apa. Ayo kita main."
"Yeay!!!"
"Lim Seungjae. Kau ini terkadang terlalu memanjakan adik-adikmu."
"Tidak sering, kok." Seungjae terkekeh kecil. "Ayo main!!!"
***
Seungjae duduk di samping eommanya di pinggir lapangan, keringatnya masih menetes setelah bermain sepak bola. Matahari mulai turun, dan warna oranye langit memantulkan kehangatan di wajah mereka. "Kau ingat saat kau diadopsi?" tanya eommanya sambil menatap jauh ke depan, senyum kecil tersungging di bibirnya. Seungjae hanya mengangguk, matanya melamun seolah kembali ke masa lalu, ke hari itu.
Itu adalah hari di mana hidup Seungjae berubah. Hari itu adalah hari perpisahan, hari yang dipenuhi emosi yang bergejolak. Panti asuhan tempat ia tinggal selama bertahun-tahun adalah rumahnya, meski bukan rumah yang sebenarnya. Anak-anak yang tinggal di sana, mereka adalah saudara-saudaranya. Mereka tertawa bersama, bermain bersama, dan berbagi kesedihan. Tapi hari itu, segalanya berubah.
Seungjae baru berumur sepuluh tahun ketika sepasang orangtua datang untuk mengadopsinya. Ia tahu bahwa suatu saat dia harus meninggalkan panti asuhan, tapi ketika saat itu tiba, hatinya terasa berat. Dia berdiri di depan pintu besar panti, memegang tangan wanita yang menjadi eomeoni dan pria yang menjadi abeojinya sekarang, sementara adik-adik di panti berdiri di belakangnya, mata mereka basah oleh air mata. Anak-anak kecil memeluknya erat, menangis karena tahu mereka mungkin tidak akan melihatnya lagi setiap hari.
"Aku janji akan sering main," bisik Seungjae kepada mereka, meskipun dalam hati ia juga merasa ketakutan. Dunia di luar panti asuhan adalah tempat yang asing baginya. Wanita yang berdiri di sampingnya tersenyum lembut, tapi bagi Seungjae, senyum itu belum terasa hangat. Dia masih merasa seperti seorang anak kecil yang tersesat.
Setiap langkah menuju mobil yang akan membawanya pergi terasa berat. Dia memandang ke belakang, melihat wajah-wajah sedih adik-adiknya yang melambaikan tangan. Mereka mengerti, seperti Seungjae, bahwa ini adalah kesempatan yang baik baginya. Tapi perpisahan tetaplah perpisahan.
Seungjae akhirnya masuk ke dalam mobil, menutup pintu dengan hati yang masih bimbang. Saat mobil mulai bergerak, ia melihat rumah panti asuhan itu semakin menjauh. Pemandangan itu membekas di pikirannya selama bertahun-tahun. Meski begitu, janji yang ia buat untuk kembali tetap tertanam di hatinya. Setiap tahun, dia datang kembali, membawa harapan bagi adik-adik yang baru. Setiap tahun, ia bermain sepak bola dengan mereka, menghibur mereka dengan cerita-cerita tentang dunia di luar panti.
Di antara setiap kunjungan, Seungjae belajar bahwa meski hidupnya telah berubah, panti asuhan itu akan selalu menjadi bagian dari dirinya. Itu adalah tempat di mana ia belajar tentang persahabatan, kesedihan, dan harapan. Adik-adik baru yang ditemuinya setiap tahun mengingatkannya pada dirinya sendiri yang dulu—anak kecil yang bingung dan takut akan perubahan, tapi penuh harapan.
"Aku kangen mereka," bisik Seungjae, memecah keheningan. "Mereka sudah tumbuh jadi besar dan cakep-cakep sekali."
Eommanya menatapnya dengan penuh kasih, "Kau juga sudah tumbuh menjadi lelaki yang baik dan tampan, Seungjae-ya." Seungjae tersenyum kecil. Meski hidupnya kini berbeda, setiap kali ia datang ke panti asuhan, ia merasa kembali menemukan dirinya yang dulu. Setiap senyum anak-anak baru di sana adalah pengingat bahwa harapan selalu ada, bahkan dalam perpisahan.
***
Dini hari, Seungjae duduk di depan meja kerjanya dengan mata yang mulai berat. Sejak pulang dari panti asuhan, pikirannya penuh dengan inspirasi. Semua itu ia tuangkan dalam tulisan, sebuah kebiasaan yang selalu membantunya memproses emosi. Namun, kali ini tubuhnya menolak untuk mengikuti pikirannya. Rasa lelah yang menumpuk akibat perjalanan dan kurang tidur mulai terasa, tapi Seungjae tetap memaksa matanya untuk tetap terbuka.
Sesekali, ia melirik jam di dinding yang menunjukkan waktu semakin mendekati pagi. Ia tahu ada janji temu dengan Sangho hari ini untuk membahas jadwal terbaru. Pesan dari Sangho sebelumnya mengabarkan bahwa Dami, adiknya Sangho, akan datang lebih dulu untuk mengantarkan makanan yang dimasak Sangho sendiri. Sangho terpaksa harus bertemu dengan penulis lain sebelum bisa menyusul. Seungjae tak terlalu memikirkan itu, ia hanya berharap bisa menyelesaikan tulisannya sebelum Dami tiba.
Beberapa jam kemudian, suara ketukan di pintu menggema di apartemen Seungjae yang sunyi. Suara ketukan itu tak henti-hentinya memaksa Seungjae untuk bangkit dari kursinya. Matanya terasa berat, badannya panas, tapi ia tetap menyeret langkahnya menuju pintu dengan sisa tenaga yang ada. Ketukan semakin keras, menunjukkan seorang pemrepuan yang tak lain adalah Dami yang sudah tak sabar menunggu di luar.
Seungjae membuka pintu dengan wajah lusuh, mata merah karena kelelahan, dan napas yang terdengar berat. Tepat saat pintu terbuka, Dami yang sudah siap dengan senyum simpul menyambutnya, justru mendapati sesuatu yang tak ia duga.
Seungjae tak sempat mengucapkan sepatah kata pun. Tubuhnya melemah seketika, dan sebelum ia sadar, kakinya tak lagi bisa menopang berat badannya. Dalam sekejap, ia ambruk ke arah Dami yang berdiri di depannya. "Seungjae-ssi!" seru Dami dengan panik, kedua tangannya reflek menangkap tubuh Seungjae yang hampir jatuh ke lantai. Dada Seungjae terasa panas, dan Dami bisa merasakan demam yang begitu tinggi dari tubuhnya.
Dengan sekuat tenaga, Dami menahan tubuh Seungjae agar tidak jatuh lebih dalam. Makanan yang ia bawa dari Sangho kini tak lagi penting. Dami dengan hati-hati menuntun Seungjae menuju sofa terdekat, lalu segera meletakkan tubuhnya yang lemas di sana. Nafas Seungjae terdengar berat, keringat membasahi dahinya, menandakan betapa tubuhnya benar-benar kelelahan.
Dami merasa cemas dan bingung sejenak. Dengan tangan gemetar, ia mengeluarkan ponselnya dan segera menghubungi Sangho. "Oppa, Seungjae-ssi... Seungjae-ssi pingsan. Dia panas sekali!" suaranya gemetar penuh kekhawatiran.
"Dami-ya, jinjeonghae. Aku segera ke sana. Sementara itu, kompres dahinya dan pastikan dia tetap berbaring," jawab Sangho cepat, meski dari nadanya terdengar bahwa dia pun cemas.
Dami mengangguk meski tak ada yang bisa melihatnya. Dia segera mencari kain basah untuk mengompres dahi Seungjae. Sementara itu, ia duduk di samping Seungjae, menatap wajah yang sekarang terlihat damai dalam kelelahan. Dami menggigit bibirnya, merasa khawatir. Pikirannya tak bisa berhenti memutar skenario terburuk.
[TBC]