Koridor sekolah riuh oleh langkah kaki siswa yang terburu-buru bercampur dengan suara gelak tawa yang saling sahut-menyahut. Aroma kertas buku yang lembap mengambang di udara berpadu dengan wangi samar roti panggang yang berasal dari kantin di ujung lorong. Alvaro berjalan pelan seperti menolak untuk ikut dalam hiruk-pikuk itu. Tasnya ia peluk erat di dada, seolah menjadi satu-satunya jangkar yang mampu menahan pikirannya yang nyaris karam.
Wajahnya tertunduk, pandangannya terpaku pada lantai, tetapi pikirannya jauh melayang. Aileen. Nama itu memenuhi setiap sudut ruang batinnya, memantul dan bergaung tanpa henti. Debaran jantungnya menggema dalam rongga dada, terasa berat dan tak beraturan, hampir menyakitkan.
Dia berhenti melangkah. Sebuah dinding kosong di sudut lorong menjadi tempatnya bersandar. Napasnya tertahan sejenak sebelum ia menariknya perlahan, mencoba meredam gejolak yang tak kunjung surut. Tapi sia-sia. Setiap tarikan napas justru membawa ingatannya kembali pada senja itu, saat Aileen melangkah di sisinya dengan riang, tanpa beban.
Langit sore berpendar lembayung, menerangi jalan setapak kecil di belakang sekolah. Udara sore itu begitu tenang, hanya ada suara langkah kaki mereka berdua yang terdengar bergema di antara derit ranting-ranting tua. Aileen berjalan di sampingnya, senandungnya melayang ringan, seperti irama angin yang menari di antara dedaunan. Tidak ada yang istimewa dalam momen itu, setidaknya tidak bagi Aileen. Namun, bagi Alvaro, setiap detiknya terasa bagai nyanyian waktu yang begitu berharga.
Dia berjalan setengah langkah di belakang, matanya diam-diam memperhatikan gerakan kecil Aileen: cara rambutnya bergerak mengikuti angin, bagaimana ujung roknya bergoyang lembut setiap kali ia melangkah, dan senyum kecil di wajahnya yang seakan-akan tak pernah lepas. Kata-kata yang sudah ia susun selama berminggu-minggu bermain di lidahnya, menggantung tanpa keberanian untuk terucap.
Tapi akhirnya, suara itu keluar, meski terdengar lebih pelan daripada yang ia rencanakan. “Aileen.”
Aileen menoleh, wajahnya cerah diterangi cahaya senja. Mata cokelatnya yang besar menatap Alvaro dengan polos, bercampur dengan binar keceriaan yang seolah menjadi ciri khas dirinya. “Hmm? Apa?” jawabnya ringan, suaranya seperti melodi lembut yang tak pernah gagal menggetarkan hati Alvaro.
Alvaro menggaruk belakang kepalanya, gugup. Pikirannya bercampur aduk, dan mendadak semua kalimat yang ia susun terasa konyol. Tetapi, ia tahu ia tidak bisa mundur. Tidak lagi.
“Kamu tahu nggak...” katanya dengan nada ragu, berhenti sesaat untuk menenangkan gemuruh di dadanya. “Pacaran itu apa?”
Untuk sesaat, Aileen memandangnya dengan dahi berkerut, sebelum sudut bibirnya terangkat. “Hah? Pacaran?” tanyanya, memiringkan kepala seperti anak kecil yang kebingungan. “Apa itu? Makanan? Rasanya enak nggak?”
Alvaro hanya bisa menatap, lidahnya terasa kelu. Aileen benar-benar tampak serius, meski caranya mengucapkan pertanyaan itu membuat Alvaro tidak tahu harus menangis atau tertawa. Dia bahkan menjilat bibirnya, seolah benar-benar membayangkan rasa “pacaran” di kepalanya.
“Ehh...” Alvaro tergagap. Kata-kata yang sudah ia persiapkan berhari-hari akhirnya menguap begitu saja. Ia hanya bisa menunduk, melangkah lebih cepat, meninggalkan Aileen yang tertawa kecil di belakangnya.
Tawa itu. Ringan, bebas, tanpa beban—tetapi entah bagaimana, terasa seperti belati kecil yang menusuknya perlahan-lahan. Sesuatu yang begitu sederhana bagi Aileen justru menjadi beban yang tak pernah mampu Alvaro lepaskan.
Kini, ingatan itu terasa seperti luka lama yang kembali terbuka. Alvaro menghela napas panjang, seolah mencoba menyingkirkan bayangan Aileen yang terus menghantui pikirannya. Tapi itu mustahil. Nama itu sudah menjadi bagian dari dirinya, mengakar terlalu dalam untuk dicabut.
Dia menendang ujung sepatunya ke lantai, pelan, hanya untuk melampiaskan sedikit frustrasi. “Apa yang aku harapkan? Selama tujuh tahun, aku tetap di sini, dan dia tetap tidak tahu apa-apa...” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Keriuhan koridor sekolah berlanjut seperti biasa, tanpa menyadari pergolakan yang terjadi di dalam dirinya. Siswa-siswa berlalu-lalang dengan langkah-langkah penuh semangat, seolah dunia ini hanya terdiri dari ujian, tugas, dan jam istirahat. Tapi bagi Alvaro, dunia terasa berhenti. Dia tetap terjebak di titik yang sama, bersama perasaan yang tidak pernah berhasil ia ungkapkan.
Sebuah senyum pahit muncul di wajahnya. “Hah... bahkan ke toilet saja rasanya capek kalau kayak begini.” Kata-kata itu meluncur begitu saja, menyisakan keheningan di sekitarnya. Dia bersandar lebih dalam ke dinding, pandangannya jatuh pada lantai, menatap kosong seperti seorang prajurit yang kalah perang.
Lorong sekolah pagi itu sibuk seperti biasa, penuh dengan langkah-langkah terburu-buru yang memantul dari dinding. Cahaya matahari menyelinap melalui jendela besar, membentuk pola-pola terang di lantai yang baru saja dipel hingga licin berkilau. Aroma segar dari lantai itu bercampur dengan wangi kertas buku dan tas kulit yang mulai usang. Di tengah semua itu, Kou berjalan santai, berusaha mengabaikan hiruk pikuk di sekitarnya. Matanya setengah terpejam, tubuhnya condong malas ke depan, seolah lorong ini adalah hal terakhir di dunia yang ingin dihadapinya pagi ini.
Tali tas di bahunya bergeser, dan ia mengangkat tangan untuk membetulkannya dengan gerakan yang hampir mekanis. Saat itu juga, suara riang memecah lamunannya.
“Pagi, Alvaro!”
Nada suara itu nyaring, melengking dengan keantusiasan yang sepertinya tidak tahu waktu. Kou menoleh sedikit, cukup untuk melihat Alfathoni Edgar Nuruzzaman—atau Edgar, nama yang lebih sering ia gunakan. Pemuda itu melangkah cepat dengan senyum lebar yang terlalu cerah, bahkan lebih cerah dari sinar matahari yang menerpa punggungnya. Sebelum Kou sempat bereaksi, lengan Edgar sudah melingkari bahunya, menepuk-nepuk seolah-olah mereka sudah lama tidak bertemu.
“Kemana saja kau?” Edgar mulai dengan suara riang yang hampir mengalahkan keramaian lorong. “Aku sudah mencarimu sejak tadi! Kau tahu, wajahmu pagi ini kelihatan seperti... yah, seseorang yang baru saja kalah taruhan besar. Apa kau mau ke toilet, ya?”
Alvaro menghela napas, tangannya terangkat untuk menepis lengan Edgar tanpa banyak tenaga. “Dan kau,” katanya pelan, tapi cukup menusuk, “pagi-pagi sudah membuat orang merasa gerah.”
Edgar hanya terkekeh, suaranya menggema di lorong. “Ah, seperti biasa. Kau ini dingin sekali,” ujarnya santai sambil berjalan ke arah jendela, melepaskan rangkulannya. Tangannya masuk ke saku celana, langkahnya sedikit menghentak seperti seorang aktor panggung yang sedang bersiap melakukan monolog.
“Oh, ngomong-ngomong,” Edgar menoleh dengan senyum yang lebih licik sekarang. “Kau dan Aileen berangkat bersama lagi pagi ini, ya? Romantis sekali.”
Kata-kata itu langsung menghantam Alvaro seperti pukulan yang tidak ia duga. Tubuhnya menegang, dan pipinya, tanpa bisa dikendalikan, mulai memerah pelan-pelan. Alvaro buru-buru mengalihkan pandangan, berharap sahabatnya itu tidak melihat perubahan di wajahnya. Tapi sayangnya, Edgar terlalu ahli untuk melewatkan momen seperti ini.
“Wah, wah, wah,” Edgar tertawa keras, tangannya bergerak dramatis menunjuk ke arah Alvaro. “Jangan coba-coba menyembunyikannya dariku, Varo. Aku ini sudah tahu segalanya! Jadi? Ada kemajuan, atau kau masih stuck di fase cinta dalam diam?”
“Apa kau mencariku hanya untuk membahas ini?” Alvaro akhirnya angkat bicara, nada suaranya terdengar datar, tapi matanya melirik dengan tajam.
Edgar mendekat, tiba-tiba serius, meski tatapan jahil itu tidak pernah benar-benar hilang. “Aku serius, tahu,” katanya dengan suara yang lebih pelan, nyaris seperti bisikan. “Aku ini cuma ingin melihat kalian berdua bahagia.”
Alvaro membalas tatapan Edgar dengan kebingungan singkat, tapi sebelum ia bisa membalas, Edgar kembali melakukan sesuatu yang tidak terduga. Pemuda itu mendekatkan wajahnya ke Kou dengan cepat, seperti seseorang yang akan mengungkapkan rahasia besar. Tapi alih-alih berbisik, Edgar malah berteriak keras.
“Aku mendukungmu, Alvaro! Seratus persen!”
Alvaro tersentak mundur, tangannya refleks mengangkat tasnya untuk menjauhkan Edgar. “Hei! Jangan terlalu dekat!” serunya, dengan nada panik yang ia benci karena terdengar terlalu jujur. Matanya melirik sekeliling, menyadari beberapa siswa mulai menoleh, tersenyum geli melihat interaksi mereka.
Edgar, tentu saja, tidak peduli. Ia berdiri tegak, menatap Kou dengan ekspresi penuh semangat yang nyaris seperti seorang prajurit yang baru saja memenangkan perang. “Aku ini pendukung terbesarmu, Varo! Kau harus tahu itu.”
Alvaro hanya bisa memejamkan mata sejenak, menghela napas panjang untuk meredam rasa frustrasi yang mulai menguasainya. Tapi, sebelum ia bisa mengatakan apa pun, Edgar kembali melanjutkan.
“Dengar, aku ini saksi hidup perjuanganmu selama ini,” katanya dengan nada penuh keyakinan. “Waktu Aileen kabur karena dimarahi ibunya, siapa yang pertama kali mencarinya? Kau. Waktu dasi sekolahnya kusut, siapa yang merapikannya? Kau. Bahkan waktu dia salah minum dan merasa pahit, siapa yang langsung menukar minuman itu dengan miliknya sendiri?”
Alvaro mendesah, menundukkan kepala untuk menyembunyikan rona merah di pipinya. “Kau tidak perlu mengingatkan aku soal itu,” gumamnya, lebih pada dirinya sendiri daripada pada Edgar.
Tapi Edgar, seperti biasa, tidak menyerah. Ia menyelipkan tangannya ke saku celana, mengeluarkan secarik kertas yang penuh coretan. Dengan gaya teatrikal, ia membentangkan kertas itu di depan Alvaro, seolah sedang menunjukkan peta harta karun.
“Ini dia! Strategi besar: kencan ganda!” serunya penuh percaya diri.
Alvaro menatap kertas itu dengan ekspresi datar, nyaris tanpa emosi. “…Kau serius?” tanyanya akhirnya, suaranya nyaris tenggelam di keramaian lorong.
“Tentu saja serius!” Edgar menjawab tanpa ragu. “Kau dan Aileen, aku dan... siapa pun yang mau jadi pasanganku. Kita pergi bersama, dan kau akhirnya punya waktu untuk mendekatkan dirimu padanya. Tanpa gangguan, tanpa alasan, tanpa basa-basi.”
Alvaro menggelengkan kepala pelan, rasa was-was mulai merayapi pikirannya. “Aku rasa ini ide buruk,” gumamnya, setengah berharap Edgar akan berubah pikiran.
Namun, harapan itu sia-sia. Edgar menepuk bahunya dengan keras, senyum lebarnya sama sekali tidak luntur. “Ah, jangan pesimis begitu! Percaya saja padaku, sahabatmu yang paling jenius ini!”
Alvaro memejamkan mata lagi, mencoba mengumpulkan ketenangan. Tapi di balik semua kehebohan Edgar, ada sesuatu yang aneh. Sebuah rasa hangat kecil yang merayap di sudut hatinya, membuat bibirnya nyaris tersenyum. Entah kenapa, ia merasa bahwa rencana konyol ini, seberapa pun absurdnya, mungkin adalah dorongan kecil yang selama ini ia butuhkan.