Alvaro berdiri di dekat jendela, matanya mengamati siluet gedung-gedung jauh yang dihiasi bayangan burung berarak pulang. Wajahnya tampak serius, tapi ada ketidakpastian yang melintas di matanya.
"Jadi maksudmu..." Alvaro akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar ragu. Kata-katanya menggantung di udara, seperti daun yang terhenti sebelum menyentuh tanah. Pandangannya beralih ke Edgar yang justru tampak santai bersandar di kursi. Pemuda itu bersiul pelan, seperti tak terganggu oleh pertanyaan Alvaro.
Edgar mengangkat bahu santai, senyumnya melintas samar di wajahnya. "Bukannya kau sendiri yang ingin melakukan itu?" ucapnya dengan nada ringan, matanya kini tertuju pada bingkai foto di dinding seolah benda itu lebih menarik daripada percakapan mereka.
Alvaro mengernyit, keningnya berkerut dalam kebingungan. "Apa maksudmu?" tanyanya, suaranya lebih tajam kali ini.
Edgar menoleh, ekspresinya berubah sedikit serius, tapi senyum itu tak benar-benar hilang. "Aku cuma bilang, kau sudah tahu apa yang harus kau lakukan. Aku hanya memastikan kau nggak kehilangan arah, bro." Ia menatap Alvaro, matanya seperti mencoba membaca pikiran sahabatnya itu. "Tepat sasaran, kan?"
Kebingungan di wajah Alvaro belum sirna. Ia mencoba memproses kata-kata Edgar, tapi ada sesuatu yang mengganjal, membuatnya sulit untuk langsung mempercayai niat sahabatnya. "Kau serius?" tanyanya akhirnya, nada suaranya penuh keraguan.
Edgar tertawa kecil, menepuk lututnya seolah mencoba mencairkan suasana. "Santai, santai. Aku bisa saja kencan sama Mitsuki kalau aku mau," ujarnya, nada bercandanya tak sepenuhnya menyembunyikan ketulusan di balik kalimat itu. "Tapi aku nggak. Aku di sini buat mendukungmu, Varo. Nggak ada agenda tersembunyi, sumpah."
Alvaro menghela napas panjang, tangannya terangkat untuk mengusap wajahnya. "Kau ini... kadang terlalu jujur," katanya dengan nada setengah frustrasi. Tapi di balik kata-katanya, ada senyuman kecil yang mulai muncul, seolah ia tak bisa benar-benar marah pada Edgar.
Melihat reaksi itu, Edgar mendekat, senyumnya berubah lebih tulus. "Kau tahu, aku serius kali ini," katanya pelan. "Mana mungkin aku nggak tulus begitu? Aku cuma mau memastikan kau nggak menyerah sebelum mencoba."
Wajah Alvaro perlahan memerah, ekspresi kikuknya mulai muncul. Ia menggaruk belakang lehernya, kebiasaan lamanya setiap kali merasa canggung. "Meski begitu... aku tetap berterima kasih. Kau benar-benar bantu aku kali ini," katanya dengan nada rendah, nyaris seperti bisikan.
Mendengar itu, Edgar langsung berseri-seri. Dengan gerakan spontan, ia melompat dari kursinya, kedua tangannya terangkat tinggi ke udara. "Horee!!" serunya penuh semangat, suaranya memenuhi ruangan kecil itu. "Sudah bulat! Asyik!! Yey!"
Alvaro menghela napas pendek, senyum kecil muncul di sudut bibirnya. "Hei, jangan terlalu heboh," katanya mencoba menenangkan, meski nada suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. Ia mendekat, mencoba menarik lengan Edgar untuk menurunkan antusiasmenya, tapi sahabatnya itu terus tertawa riang.
Bel istirahat berbunyi nyaring, menandai berakhirnya pelajaran pagi itu. Suasana kelas langsung berubah riuh, seperti sarang lebah yang baru saja diusik. Suara kursi berderit, tawa lepas, dan percakapan bertubi-tubi mengisi ruangan. Di tengah kegaduhan itu, seorang guru berdiri di depan kelas, tersenyum tipis sambil merapikan buku-bukunya.
"Selamat istirahat," ucap guru itu singkat sebelum beranjak pergi.
"Beri salam," serentak suara para murid mengikuti aba-aba.
Langkah kaki bergema di koridor, dan dari arah pintu, Edgar muncul dengan gaya khasnya—tanpa basa-basi, langsung membuka pintu kelas Mitsuki. Tatapannya penuh tekad, seperti seorang pejuang yang baru saja menyusun rencana besar.
"Camelia, ke lorong sebentar," katanya dengan nada mendesak, melangkah masuk tanpa peduli pada tatapan penasaran murid lain.
Camelia Savita Chandra, yang sedang sibuk mengobrol dengan teman-temannya, mengangkat alis. Ekspresinya mencampur antara penasaran dan sedikit terganggu. "Mau ngomong apa? Kau merencanakan apa lagi, Edgar?" tanyanya sambil menyilangkan tangan di dada.
Edgar mengibaskan tangan, seolah ingin menghapus tuduhan itu. "Begini… aku nggak merencanakan apa-apa!" katanya cepat, meski nada suaranya terdengar seperti seseorang yang berusaha terlalu keras untuk meyakinkan orang lain.
Camelia memandanginya dengan skeptis, tapi akhirnya mengikuti Edgar ke lorong. Suasana di luar kelas jauh lebih sepi. Hanya terdengar langkah-langkah siswa yang lalu lalang dan suara obrolan samar-samar dari kelas lain. Edgar menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara, seolah ingin memastikan kata-katanya tidak salah.
"Strategi kencan ganda," ucapnya, mencoba terdengar santai meski matanya berbinar penuh antusias. "Ini kedengerannya asyik, kan?"
Mitsuki mengernyit, lalu mengangkat bahu. "Strategi kencan ganda? Apa itu? Kedengerannya lumayan menarik," ujarnya sambil memiringkan kepala, mencoba mencerna maksud Edgar.
Edgar langsung berseri-seri. "Ya kan?! Asyik kan? Aku tahu Camelia pasti ngerti," katanya, berpindah posisi ke sisi kiri Camelia dengan tangan terkatup seperti orang memohon.
Camelia, dengan sikap tenangnya, menatap Edgar sambil menyilangkan tangan. "Aku sudah memperhatikan mereka sejak SD. Aku mengerti perasaan ingin mendukung Alvaro dan Aileen. Kalau hanya mereka berdua, tidak akan ada kemajuan. Mau tak mau, kita harus mendukung mereka lewat kencan ganda."
Edgar mengangguk penuh semangat, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan izin untuk melakukan sesuatu yang seru. "Betul, betul! Aku tahu Camelia pasti setuju!" katanya sambil menggoyangkan kedua tangannya di udara.
Camelia tersenyum kecil, lalu menutup mata sambil memegang dagunya, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu dengan serius. "Boleh saja. Aku akan membantu," ujarnya akhirnya.
"Benar, nih?! Camelia setuju?!" Edgar hampir melompat kegirangan. Tapi sebelum ia bisa melanjutkan, Camelia menyela dengan nada dingin.
"Tapi aku tak suka kalau pasanganku kau," katanya, menambahkan penegasan yang membuat senyumnya sedikit lenyap.
Ekspresi Edgar yang semula sangat antusias langsung berubah datar. Sejenak, ia terdiam, lalu berkata pelan, "Aku juga... aku juga nggak mau sama Camelia. Ini terpaksa, tahu," serunya dengan nada setengah kesal dan setengah malu.
Pipi Edgar memerah, dan ia langsung berpaling, berusaha menghindari tatapan Camelia yang mulai tertawa kecil. Suasana lorong menjadi sejenak sunyi, hanya diisi oleh gema tawa Mitsuki yang penuh kepuasan.
Di lorong yang ramai dengan suara langkah kaki siswa dan gemuruh obrolan, Camelia berbalik dengan senyum kecil di wajahnya, bercanda ringan dengan Edgar. Namun, ketika matanya tanpa sengaja menangkap sosok yang dikenalinya di dekat jendela, senyumnya memudar, digantikan oleh sorot mata penuh perhatian.
“Ah, lihat itu,” ucap Camelia sambil menunjuk dengan dagunya ke arah dua sosok di ujung lorong. “Baru saja kita omongin mereka.”
Edgar mengikuti arah pandangan Camelia. Di sana, di dekat jendela besar dengan pemandangan taman sekolah yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi, berdiri Alvaro dan Aileen. Mereka tampak begitu cerah, tertawa kecil sambil berbincang. Aileen, dengan senyum yang menyala di wajahnya, tampak berbinar-binar.
“Horeee!” seru Aileen dengan nada riang. “Hari ini aku nggak jadi telat, berkat kamu, Alvaro!”
Alvaro hanya tersenyum. Senyum itu sederhana, tapi sarat dengan rasa sayang yang begitu dalam. Matanya menatap Aileen dengan lembut, seperti seseorang yang melihat dunianya sendiri. “Dasar,” balasnya ringan. “Berhenti baca Webtoon sampai larut malam. Begadang itu nggak baik buat tubuhmu.”
Aileen mengerucutkan bibir, memasang ekspresi seolah sedang dicereweti. “Hee, lagi-lagi ngomong kayak ibuku,” gumamnya, tapi senyumnya tetap tak hilang.
Dari kejauhan, Camelia dan Edgar hanya bisa saling pandang. Camelia menghela napas pelan, sementara Edgar menepuk dahinya perlahan dengan telapak tangan. Ada sesuatu yang hampir komikal dalam keputusasaan mereka.
“Mereka benar-benar...” Camelia menggeleng pelan, jemarinya memijat pelipis. “Hubungan mereka nggak akan maju-maju kalau dibiarkan begini.”
Edgar menatap pasangan itu dengan ekspresi campuran antara geli dan frustrasi. “Kita perlu strategi yang matang. Kencan ganda ini harus berhasil,” katanya sambil mengepalkan tangan, penuh semangat.
“Ya, tapi kita nggak bisa sembarangan. Harus direncanakan dengan baik,” balas Camelia, nada suaranya berubah serius. Dia menyilangkan tangan di dada, tatapannya kembali tertuju pada Aileen dan Alvaro yang masih berbincang di dekat jendela.
Edgar mengangguk setuju, meskipun senyum jahil sempat terlintas di wajahnya. “Kalau nggak, mereka bakal terus-terusan seperti ini. Saling suka, tapi nggak ada yang berani mengambil langkah.”
Camelia tertawa kecil, meski ekspresinya tetap menunjukkan kekhawatiran. “Kita harus melakukan ini demi mereka. Kalau bukan kita yang bergerak, siapa lagi?”
Mereka berdua kembali menatap Alvaro dan Aileen. Di bawah sinar matahari pagi, dua sosok itu terlihat begitu harmonis, namun tetap saja menyiratkan ketidakjelasan hubungan yang membuat Camelia dan Edgar gemas. Dengan tekad yang mulai menguat di hati mereka, Camelia dan Edgar tahu bahwa mereka harus mempersiapkan segalanya dengan cermat.
“Strategi besar kencan ganda ini,” gumam Mitsuki sambil menatap lurus ke depan, “harus berhasil.”
Edgar mengepalkan tangan dengan ekspresi penuh determinasi. “Betul! Kita harus memastikan mereka bahagia.”